Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 112549 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Farhan Arif Sumawiharja
"Pemilu adalah fenomena demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia setiap lima tahun sekali, setiap pelaksanaan pemilu selalu diawali dengan beberapa proses. Pemilu adalah suatu fenomena legalized polarization. Political Polarization mulai terlihat mencolok pada Pilpres 2014 dan memuncak pada Pilpres 2019. Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 adalah dua kontestasi politik yang mempertemukan dua calon yang memiliki pendukung politik yang fanatik. Joko Widodo dan Prabowo Subianto adalah dua Pasangan Calon Presiden yang berkedudukan penting di dua partai besar di Indonesia, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Gerakan Indonesia Raya. Polarisasi politik di Indonesia adalah keniscayaan karena berbagai aliran dan kekuatan politik telah tumbuh dan berkembang sejak lama terutama pada masa awal kemerdekaan.. Penelitian kali ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan polarisasi yang terjadi di DKI Jakarta dan Peran Intelijen Keamanan Polri dalam menanggulangi polarisasi masyarakat setelah pemilihan umum tahun 2019, serta melihat implikasi dari peran intelijen Polri dalam menanggulangi polarisasi masyarakat. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Polarisasi masyarakat yang terjadi di DKI Jakarta mulai muncul pada tahun 2016 sejak peristiwa penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahya Purnama, setelah itu sentimen agama dan suku mencuat ke permukaan sehingga menyisakan pembelahan di masyarakat. Untuk menanggulangi hal tersebut intelijen polri mengedepankan upaya deteksi dini, penggalangan khusus, dan cipta opini di masyarakat agar polarisasi tidak meruncing dan berakibat terjadinya konflik unsur SARA. Intelijen Polri hanya baru bisa mencegah terjadinya konflik tidak mampu mengurangi polarisasi. Dengan arti kata lain Intelijen Polri masih seperti pemadam kebakaran yang mampu memadamkan api, tapi belum mampu mencegah api tersebut menyala lebih besar.

Election is a democratic phenomenon that is held in Indonesia every five years, every election is always preceded by several processes. Election is legalized polarization phenomenon. Political polarization of election emerged in the 2014 Indonesian Presidential Election and culminated in the 2019. The 2014 and 2019 Indonesian Presidential Election were two political contestations that brought two candidates who had fanatical political supporters. Joko Widodo and Prabowo Subianto were two presidential candidate pairs who had important positions in the two major political parties in Indonesia, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) and the Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Political polarization in Indonesia is an inevitability because some political streams and strength have grown and developed for a long time, especially in the early era of Indonesian independence. This research aims to know about the development of polarization that had occurred in DKI Jakarta and the role of the Police Security Intelligence to overcome the society polarization after the Indonesian general election in 2019 was occurred, and see the implications of POLRI’s intelligence to overcome society polarization. The research method that used is a qualitative approach. The polarization of society that occurred in DKI Jakarta emerged in 2016 since the blasphemy incident that carried out by Basuki Tjahya Purnama, since then religious and ethnic sentiments surfaced that generated society being divided. In order to counter this case the police intelligence prioritizes detection efforts, special mobilization, and creates opinion in the community to prevent SARA conflict. Currently Police intelligence only capable to prevent the conflict that happens not to reduce its polarization. Other meaning analogical Police Intelligence yet as fire fighter who fixed the fire without capability to avoid once the fire blaze burns bigger."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marsahala Yoshua
"Informasi keuangan individu adalah bagian integral dari kehidupan seseorang. Informasi ini berisi detail pribadi, berapa banyak uang yang mereka miliki dan mutasi bagaimana uang mereka diperoleh dan dibelanjakan. Informasi ini dilindungi dalam Undang-Undang Perbankan dan harus dijaga kerahasiaannya sesuai dengan prinsip kerahasiaan bank. Namun karena dikeluarkannya Undang-undang nomor 9 tahun 2017 tentang Akses informasi keuangan untuk keperluan perpajakan, prinsip kerahasiaan bank tidak lagi berlaku dan hanya berlaku untuk tujuan pajak. Selain itu, tujuan Undang-Undang ini adalah bagian dari Indonesia menunjukkan komitmen terhadap program AEOI internasional. Direktorat Jenderal Pajak kini memiliki wewenang untuk memperoleh informasi ini dari lembaga jasa keuangan. Karena dikeluarkannya undang-undang ini, sistem perbankan menjadi lebih terbuka dan transparan dan membantu pemerintah untuk menemukan sumber pajak baru dan mengevaluasi orang-orang yang tidak membayar pajak dengan tepat. Selanjutnya, implementasi dari undang-undang ini adalah memberi kewenangan untuk direktorat jenderal pajak untuk mengakses data rekening nasabah tanpa izin dari bank Indonesia.

Individual financial information is an integral part of a person’s life. It contains personal detail, how much money they have and the mutation of how their money is earned and spent. This information are protected in the Banking Law and should be kept confidential as according to the bank secrecy principle. However due to the issuance of Law number 9 of 2017 concerning Access to financial information for tax purposes, bank secrecy principle is no longer valid and applicable solely for tax purposes. Furthermore, the purpose of this Law is part of Indonesia showing commitment to the international AEOI program. Directorate General of Taxes now has the authority to acquire this knowledge from financial institutions. Due to the issuance of this law, banking system is more open and transparent and it helps the government to discover new source of tax and evaluate people who did not pay their taxes appropriately. Furthermore, the implementation of this law gives a significant authority to the directorate general of taxes to access customers account information without permits from Bank Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Habi Afpandi
"Asas Legalitas adalah asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana Indonesia. Asas legalitas lahir sebagai jaminan atas hak-hak individu untuk diperlakukan secara patut dihadapan hukum dan asas legalitas juga lahir untuk memberikan batasan kepada penguasa dalam menggunakan kekuasaannya agar tidak sewenang-wenang. Namun melalui sudut pandang lain asas legalitas dianggap begitu absolut dalam membatasi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini menjadi dilema tersendiri mengingat Indonesia sebagai Negara yang beradat dan berbudaya. Salah satu contohnya adalah penerapan Syari’at Islam sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat di wilayah Provinsi Aceh.. Melalui penelitian yang menggunakan metodologi yuridis normatif, diperoleh beberapa temuan. Pertama, penerapan syari’at Islam didasarkan pada Qanun yang secara hirarki peraturan perundang-undangannya dipersamakan dengan peraturan daerah yang berada dibawah Undang-Undang. Selanjutnya yang kedua, penerapan hukum yang hidup dalam masyarakat di Aceh memberikan dampak terhadap berlakunya Sistem Peradilan Pidana. Qanun Nomor 6 tahun 2014 tentang Jinayat pada akhirnya dapat melahirkan beberapa tindak pidana baru yang tidak diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ketiga, penerapan hukum yang hidup dalam masyarakat ini tidak mengikuti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai hukum materil, melainkan menggunakan Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat yang pada akhirnya melahirkan sub-sistem baru yaitu Polisi Wilayatul Hisbat sebagai PPNS dan Mahkamah Syariat yang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran terhadap hukum yang hidup ini.
Kata Kunci: Asas Legalitas, Hukum yang Hidup Dalam Masyarakat, Sistem Peradilan Pidana

The Principle of legality is a fundamental principle in the application of Indonesian criminal law. The legality principle was born as a guarantee of the rights of individuals to be treated properly before the law and the legality principle was also born to provide the limits to the authoties when they use their power. But in other point of view the legality principle is considered so absolute in limiting the application of the living law. This has become a dilemma considering that Indonesia is a cultured state. The one of the exemple of the limitation is the application of Islamic Sharia as a living law in Aceh Province. The type of this research used was a normative juridical. Than in other side, the application of Islamic sharia is based on Qanun which in the hierarcyof the laws and regulation is equated with regional regulation that is under the law. So that becomes an irregularity when applying Islamic sharia as a living law based on regulations that is under the law. The application of the living law has a new impact on the implementation of criminal justice system. Qanun Number 6 of 2014 concerning Jinayat finally can give birth to seceral criminal offense that are not regulated in criminal code then even more in the application of living law does not follow the criminal procedure code as material law but instead uses Qanun Number 7 of 2013 concerning Jinayat procedure law which gave birth a now sub-system of criminal justice system namely Wilayatul Hisbat Police as a investigator or PPNS and Mahkamah Syariah that examined and tried cases of violations of this living law.
Keywords: Legality Principle, Living Law, Criminal Justice System.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.A.K. Moc. Anwar
Bandung: Alumni, 1980
345.023 2 MOC t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tani Hartono Wibowo
Jakarta: Universitas Indonesia, 1984
S21597
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1993
S22768
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I. Sriyanto
Jakarta: Universitas Indonesia, 1984
S21830
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
La Ode Zalaluddin Kapege
"Penelitian ini membahas tentang kemerdekaan pers pasca reformasi bebas dan bertanggung jawab dengan menggunakan metode analisis normatif baik dengan pendekatan perundang-undangan dan perbadingan hukum. Bebas dimaksud yaitu pers bebas melakukan aktifitas jurnalistiknya sesuai dengan kaidah UU Pers, UU Penyiaran dan kode etik jurnalistik. Tanggung jawab yaitu kewenangan pemerintah mengawasi kemerdekaan pers salah satunya hak atas privasi. Lahirnya UU ITE salah satu kebijakan untuk melindungi hak atas privasi. Namun kehadirannya justru menghambat kebebasan pers dalam menyampaikan informasi khususnya terhadap aktifitas pejabat publik dan informasi publik yang menyimpang dan melanggar hukum. Dalam pasal 26 ayat (3) penghapusan informasi tidak relevan di pengadilan, pasal 27 ayat (3) sanksi pidana terhadap setiap orang dengan sengaja mendistribusikan, mentransmisikan dan membuat dapat diakses informasi memuat tentang pencemaran nama baik, dan pasal 40 ayat (2b) kewenangan pemerintah dan penyelenggara sistem elektronik melakukan pencabutan akses informasi dan/atau dokumen elektronik memuat unsur melanggar hukum. Ketiga pasal tersebut memuat tentang pencemaran nama baik. Akibatnya pers yang mempunyai kewenangan menyiarkan informasi yang berkaitan dengan pencemaran nama baik dengan mengacu pada pasal 5 ayat (3) dan pasal 2 dan 9 kode etik jurnalistik akan sangat rentan terkena UU ITE. Walau demikian pers juga harus mempunyai batasan yang tidak diskriminatif dalam menyampaikan informasi pribadi agar informasi tersebut tidak disampaikan secara sensasional dan hanya mengharapkan keuntungan. Olehnya itu penulis memberikan saran memperjelas kedudukan UU Pers sebagai lex spesialis dan memperkuat kewenangan Dewan Pers melakukan pencabutan informasi melanggar hak atas privasi yang bersifat sensasional dan hanya mencari keuntungan.

This research discusses the freedom of the press after free and responsible reform using normative analysis methods with both a statutory and comparative legal approach. Free means that the press is free to carry out its journalistic activities in accordance with the rules of the Press Law, the Broadcasting Law and the journalistic code of ethics. Responsibility, namely the government's authority to oversee press freedom, one of which is the right to privacy. The enactment of the ITE Law is a policy to protect the right to privacy. However, its presence actually hinders press freedom in conveying information, especially on the activities of public officials and public information that deviate and violate the law. In article 26 paragraph (3) the elimination of irrelevant information in court, article 27 paragraph (3) criminal sanctions against everyone deliberately distributing, transmitting and making accessible information containing defamation, and article 40 paragraph (2b) government authority and the electronic system operator shall revoke access to information and / or electronic documents containing elements of violating the law. The three articles contain defamation. As a result, the press which has the authority to broadcast information related to defamation with reference to article 5 paragraph (3) and articles 2 and 9 of the journalistic code of ethics will be very vulnerable to being exposed to the ITE Law. However, the press must also have non-discriminatory limits in conveying personal information so that the information is not conveyed sensationally and only hopes for profit. Therefore, the authors provide suggestions to clarify the position of the Press Law as a lex specialist and strengthen the authority of the Press Council to revoke information that violates the right to privacy which is sensational in nature and only seeks profit"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rieska Aulia
"Tugas karya akhir ini membahas tentang fraud yang dilakukan oleh pegawai dengan posisi tinggi pada lembaga perbankan di Indonesia, khususnya Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dalam memahami fraud yang dilakukan oleh pegawai bank, tulisan ini menggunakan studi kasus terhadap fraud yang terjadi di BPR X. BPR ini mengalami kerugian akibat kredit fiktif, penggelapan dana debitur, dan penyalahgunaan agunan yang dilakukan oleh Kepala Cabang dan Direktur Utama. Tindakan fraud yang dilakukan oleh pegawai di BPR X akan dianalisis menggunakan konsep kejahatan keuangan dan fraud diamond theory yang berfokus pada penyebab terjadinya fraud. Dengan menggunakan data yang berasal dari hasil penyelidikan kasus yang berasal dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan putusan pengadilan terhadap pelaku, akan dilihat faktor-faktor yang menjadi penyebab timbulnya fraud yang dilakukan oleh pegawai BPR X. Hasilnya menunjukkan bahwa jabatan tinggi yang dimiliki oleh kedua pelaku memiliki pengaruh yang besar terhadap tindakan fraud yang mereka lakukan karena membantu mereka untuk melakukan pelanggaran tanpa melibatkan kekerasan dan mendapatkan kepercayaan dari korban. Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap timbulnya fraud di BPR X adalah besarnya keuntungan yang akan diperoleh, lemahnya sistem pengendalian internal dan rasionalisasi pelaku atas tindakannya.

This final project discusses fraud committed by high-position employees at banking institutions in Indonesia, especially Rural Banks (BPR). In understanding fraud committed by bank employees, this paper uses a case study of fraud that occurred at BPR X. This BPR was involved in fictitious credit, embezzlement of debtor funds, and misuse of collateral by Branch Heads and President Director. Fraud acts committed by employees at BPR X will be analyzed using the concept of financial crime and fraud diamond theory, which focuses on the causes of fraud. By using data derived from the results of case investigations from the Deposit Insurance Corporation (LPS) and court decisions against the perpetrators, it will look at the factors that caused the fraud committed by BPR X employees. The results show that the high positions held by both perpetrators have a great influence on their fraudulent actions, because it helps them to commit violations without involving violence and gain the trust of victims. Other factors that also influence the occurrence of fraud in BPR X are the amount of profit to be obtained, the weakness of the internal control system and the rationalization of the perpetrators for their actions.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>