Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180501 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chalimatus Sadiyah
"Perdagangan bebas antar negara selalu membawa konsekuensi tersendiri, bisa berkonsekuensi baik dan berkonsekuensi tidak baik. Salah satunya adalah yang dialami oleh Indonesia. Indonesia yang memiliki hutan luas sebagai bahan baku kertas, dalam kurun waktu delapan tahun terakhir telah mengalami tiga kali tuduhan praktik dumping kertas dalam perdagangan ke luar negeri atau ekspor. Tuduhan praktik dumping yang dialamatkan ke Indonesia tersebut disampaikan kepada World Trade Organization (WTO), sebagai Lembaga yang menaungi segala permasalahan perdagangan antar negara dalam bentuk pengajuan perkara atau gugatan perdagangan. Salah satu permasalahan yang harus dihadapi Indonesia di WTO adalah tuduhan praktik dumping kertas oleh tiga negara berbeda. Tuduhan praktik dumping tersebut bermula Ketika terdapat tiga negara yaitu Pakistan, Korea Selatan dan Australia yang mengalami kerugian akibat masuknya kertas dari Indonesia dengan harga yang rendah. Akibatnya konsumen di negara mereka masing – masing lebih tertarik membeli produk kertas Indonesia karena lebih murah apabila dibandingkan dengan harga produk kertas bangsa mereka sendiri. Atas tiga gugatan tuduhan praktik dumping kertas di WTO tersebut, Indonesia melakukan beberapa strategi untuk menghadapi tuduhan. Melalui Kerjasama yang sangat baik antara lembaga yaitu Kementrian Luar Negeri, Kementrian Perdagangan dan Kementrian keuangan, Indonesia telah memenangkan ketiga tuduhan perkara dumping kertas dengan masing – masing alasan kemenangan. Dipandang secara hukum Islam, praktik dumping sendiri merupakan praktik yang dilarang apabila bertujuan merugikan negara lain. Namun demikian apabila dipandang sebagai suatu strategi pemasaran maka terdapat pula aktivitas dumping yang diperbolehkan. Oleh karena itu setiap tindakan termasuk dalam perdagangan bebas antar negara harus dititikberatkan pada orientasi kemanfaatan bagi kepentingan masyarakat luas. Hal ini termasuk pula dalam tindakan atau strategi dalam menyelesaikan perkara gugatan dumping di WTO, harus dipandangan dari sisi kebijakan publik yang memberi manfaat kepada bangsa Indonesia. Strategi memenangkan perkara gugatan dumping di WTO dipandang dari teori hukum Maqashid Syariah dilaksanakan dengan mengedepankan sejauh mana memberi manfaat dan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat Indonesia bukan saja kepada pelaku usaha terkait tuduhan dumping kertas. Karenanya analisis mendalam atas tuduhan dumping dan langkah – langkah strategis yang akan diambil dalam penyelesaian masalah gugatan mutlak diperlukan.

Free trade between countries always brings its own consequences, it can have good and bad consequences. One of them is experienced by Indonesia. Indonesia, which has extensive forests as raw material for paper, in the last eight years has experienced three accusations of paper dumping practices in foreign trade or exports. The allegation of dumping practices addressed to Indonesia was submitted to the World Trade Organization (WTO), as an institution that oversees all trade issues between countries in the form of filing a case or trade lawsuit. One of the problems that Indonesia must face at the WTO is the accusation of paper dumping by three different countries. The accusation of dumping began when three countries, namely Pakistan, South Korea and Australia, suffered losses due to the entry of paper from Indonesia at low prices. As a result, consumers in their respective countries are more interested in buying Indonesian paper products because they are cheaper when compared to the prices of their own nation's paper products. For the three lawsuits alleging paper dumping practices at the WTO, Indonesia has implemented several strategies to deal with the accusations. Through excellent cooperation between institutions namely the Ministry of Foreign Affairs, the Ministry of Trade and the Ministry of Finance, Indonesia has won all three accusations of paper dumping cases with each winning reason. In view of Islamic law, the practice of dumping itself is a prohibited practice if it aims to harm other countries. However, when viewed as a marketing strategy, dumping activities are also permitted. Therefore, every action included in free trade between countries must be focused on the orientation of benefits for the benefit of the wider community. This is also included in the action or strategy in resolving the dumping lawsuit at the WTO, it must be viewed from the side of public policy that benefits the Indonesian people. The strategy of winning the dumping lawsuit at the WTO, viewed from the Maqashid Syariah legal theory, is implemented by prioritizing the extent to which it provides benefits and benefits for all Indonesian people, not only for business actors related to accusations of paper dumping. Therefore, an in-depth analysis of the allegations of dumping and the strategic steps to be taken in resolving the lawsuit is absolutely necessary."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lolita Citta Nirmala
"Kertas, sebagai salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia dalam sektor non-migas, sering menghadapi beberapa permasalahan yang ada di pasar internasional, seperti tuduhan dumping oleh negara tujuan ekspor. Dumping adalah suatu keadaan di mana produk yang diekspor oleh suatu negara ke negara lain dengan harga yang lebih rendah dari harga jual di dalam negerinya sendiri atau nilai normal dari produk tersebut. Dumping merupakan tindakan curang yang sering terjadi dalam perdagangan internasional yang dapat menimbulkan injury di negara tujuan ekspor. Negara dalam melindungi produksi dalam negeri dari praktik dumping oleh negara lain dapat mengenakan Bea Masuk Anti-dumping (“BMAD”). Pengenaan BMAD ini yang sering kali menjadi sengketa antara negara, di mana masing-masing negara berupaya untuk melindungi kepentingan nasionalnya. WTO mempunyai suatu forum untuk menyelesaikan sengketa antar negara, yaitu Dispute Settlement Body (“DSB”). Tercatat, hingga saat ini ada 5 sengketa produk Kertas Indonesia terkait tuduhan dumping di WTO, yaitu sengketa dengan Korea Selatan (DS 312), Afrika Selatan (DS 374), Pakistan (DS 470), Amerika Serikat (DS 491) dan Australia (DS 529). Negara-negara ini bersengketa dengan Indonesia karena adanya tuduhan dumping produk kertas Indonesia yang diduga tidak konsisten dengan Anti-dumping Agreement (“ADA”) . Dari 5 sengketa tersebut, hanya ada 3 sengketa yang berlanjut di Panel WTO, yaitu DS 312, DS 491 dan DS 529. Ketiga Putusan Panel ini, sudah sesuai dengan ketentuan dalam ADA. Untuk melindungi kepentingan nasionalnya, Indonesia dapat melakukan tindakan preventif dan represif

Paper, as one of Indonesia's leading export commodities in the non-oil and gas sector, often faces several problems in the international market, such as accusations of dumping by export destination countries. Dumping is a condition in which a product is exported by one country to another at a price lower than the selling price in its own country or the normal value of the product. Dumping is a fraudulent act that often occurs in international trade which can cause injury to the export destination country. Countries in protecting domestic production from dumping practices by other countries can impose Anti-dumping Duties (“BMAD”). The imposition of BMAD is often a dispute between countries, in which each country seeks to protect its national interests. The WTO has a forum for resolving disputes between countries, namely the Dispute Settlement Body (“DSB”). Currently, there have been 5 disputes regarding Indonesian Paper products related to dumping accusations at the WTO, namely disputes with South Korea (DS 312), South Africa (DS 374), Pakistan (DS 470), the United States (DS 491) and Australia (DS 529). These countries are in dispute with Indonesia because there are allegations of dumping paper Indonesian products allegedly inconsistent with the Anti-dumping Agreement (“ADA”). Of the 5 disputes, there were only 3 disputes that continued in the WTO Panel, namely DS 312, DS 491 and DS 529. These three Panel decisions were in accordance with the provisions in Agreement (“ADA”). To protect its national interests, Indonesia can take preventive and repressive measures."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Halida Mutiara Dhia
"Dalam skripsi ini akan dibahas mengenai tuduhan Uni Eropa mengenai produk stainless steel milik Indonesia apakah melanggar ketentuan Anti Dumping Agreement. Dalam penelitian ini juga membahas mengenai penentuan unsur kerugian (injury) menurut Hukum World Trade Organization (WTO); dan apakah tindakan peningkatan tarif Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) yang dilakukan Uni Eropa terhadap produk Stainless Steel Cold Rolled Flat Products (SSCRFP) milik Indonesia telah melanggar ketentuan Pasal VI GATT 1994. Dengan menerapkan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan kasus-kasus yang telah ditangani oleh Dispute Settlement Body, Penelitian ini menyimpulkan dua hal. Pertama. Unsur Kerugian (Injury) oleh WTO didasari dengan melakukan perbandingan antara nilai normal dengan harga ekspor yang menghasilkan margin dumping, dimana hasil margin dumping tersebut akan diklasifikasikan menjadi tiga kategori kerugian, yaitu kerugian materiil, ancaman kerugian, dan adanya hambatan dalam industri domestik. Kedua, tindakan peningkatan tarif BMAD yang dilakukan Uni Eropa terhadap produk SSCRFP milik Indonesia tidak melanggar ketentuan Pasal VI GATT 1994. Hal ini dikarenakan Uni Eropa telah memenuhi unsur adanya ancaman kerugian sesuai dengan Pasal VI GATT 1994.

This Undergraduate Thesis will be discussed about the EU's allegations regarding Indonesia's stainless steel products whether they violate the Anti Dumping Agreement. This study also discusses the determination of loss elements (injuries) under the World Trade Organization (WTO) Law; and whether the measures to increase tariffs on Anti-Dumping Customs (BMAD) made by the European Union on Stainless Steel Cold Rolled Flat Products (SSCRFP) products belonging to Indonesia have violated the 1994 provisions. By applying a normative juridical method with a legislative approach and cases already handled by the Dispute Settlement Body, this study concludes two points. First. The WTO's Element of Loss (Injury) is based on comparing the normal value with the export price resulting in the dumping margin, where the dumping margin results will be classified into three categories of loss, namely material loss, loss threat, and the presence of obstacles in the domestic industry. Second, the act of increasing the BMAD tariff carried out by the European Union on Indonesia's SSCRFP products does not violate the provisions of Article VI GATT 1994. This is because the European Union has fulfilled the element of threat of loss in accordance with Article VI GATT 1994."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Panji Mohamad Pandu Wirawan
"Perdagangan internasional merupakan faktor yang sangat penting bagi setiap negara, oleh karena itu sangat diperlukan hubungan perdagangan antar negara yang tertib dan adil. Untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan di bidang perdagangan internasional, maka diperlukan aturan-aturan yang mampu menjaga serta memelihara hak-hak dan kewajiban para pelaku perdagangan internasional, serta dapat mengatur hubungan dagang antar negara. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apa sajakah tindakan-tindakan pelanggaran yang dikategorikan sebagai dumping menurut WTO Agreement? Bagaimanakah WTO Agreement mengatur kegiatan dumping dalam perdagangan internasional? Bagaimanakah penerapan atas sanksi yang diberikan dan efeknya terhadap suatu negara yang melakukan kegiatan dumping?
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder dan menggunakan metode analisis data kualitatif, karena data yang diperoleh bersifat kualitas.
Hasil penelitian menyatakan Tindakan-tindakan pelanggaran yang dikategorikan sebagai dumping menurut WTO Agreement adalah tindakan yang telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal VI ayat (1) GATT 1947, sehingga GATT memberikan hak kepada para anggota GATT untuk dapat menerapkan tindakan-tindakan antidumping jika praktik dumping yang terjadi telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal VI ayat (1) GATT 1947. Penerapan atas sanksi yang diberikan dan efeknya terhadap suatu negara yang melakukan kegiatan dumping adalah sanksi administrasi berupa pencabutan regulasi dan juga pemberlakukan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap Negara yang melakukan kegiatan dumping. Efeknya adalah pencabutan regulasi dan juga kerugian bagi perusahaan asal Negara yang telah melakukan praktik dumping.

International trade is a very important factor for every country, therefore an orderly and fair trade between countries is needed. To realize order and justice in the field of international trade, rules are needed that are able to maintain and maintain the rights and obligations of international trade actors, and can regulate trade relations between countries. The problem in this study is what are the violations that are categorized as dumping according to the WTO Agreement? How does the WTO Agreement regulate dumping activities in international trade? What is the application of sanctions given and their effects on a country that is carrying out dumping activities?
This study uses a normative juridical method, using secondary data and using qualitative data analysis methods, because the data obtained are of a quality nature.
The results of the study state that the violations categorized as dumping according to the WTO Agreement are actions that have fulfilled the elements in Article VI paragraph (1) GATT 1947, so that the GATT gives the GATT members the right to implement antidumping measures if dumping practices what happened has fulfilled the elements in Article VI paragraph (1) GATT 1947. The application of sanctions given and their effect on a country that conducts dumping activities is administrative sanctions in the form of revocation of regulations and also the imposition of Anti-Dumping Import Duty (BMAD) on the State dumping activities. The effect is revocation of regulations and also losses for companies from countries that have carried out dumping practices.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52233
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatou Diagne Mbaye
"Indonesia memulai praktik Anti-Dumpingnya relatif terlambat, tetapi telah berhasil menebusnya karena sejak investigasi Anti-Dumping pertamanya pada tahun 1996, Indonesia telah menjadi salah satu pengguna tindakan Anti-Dumping yang paling sering. Namun, sistem Anti-Dumping negara ini memerlukan reformasi yang signifikan agar lebih efektif dalam mencegah dan melindungi industri domestik dari barang dumping. Industri negara ini tetap rentan terhadap impor murah meskipun ada penegakan hukum. Pada tahun 2018, Indonesia kehilangan lebih dari $228 juta dalam industri aluminium dan baja berlapis seng, polipropilena berorientasi ganda, polietilena tereftalat berorientasi ganda, dan baja tahan karat canai dingin saja. Peraturan Anti-Dumping juga perlu direformasi agar kompatibel dan konsisten dengan Persetujuan Anti-Dumping WTO dan untuk memfasilitasi interpretasi hukum dan prosedur investigasi Anti-Dumping. Dalam Peraturan Pemerintah nomor 34 Tahun 2011, Peraturan Menteri Perdagangan nomor 76/M-DAG/PER/12/2012 dan Peraturan Menteri Perdagangan No 53/M-DAG/PER/9/2013, beberapa ketentuan tidak sejalan dengan WTO; yang lain akan menjadi lebih jelas dengan penjelassan yang lebih luas dan detail dan akhirnya, ada masalah yang tidak ditangani oleh Peraturan Pemerintah nomor 34 Tahun 2011 sama sekali. Belum lagi, penerapan langkah-langkah Anti-Dumping hanya bisa efektif jika disertai dengan langkah-langkah anti-circumvention untuk memastikan kepatuhan.

Indonesia started its Anti-Dumping practice relatively late, but has managed to make up for it since its first Anti-Dumping investigation in 1996. It has been one of the most frequent users of Anti-Dumping measures. However, the country's Anti-Dumping system requires significant reform to be more effective in preventing and protecting domestic industries from dumped goods. The country's industry remains vulnerable to cheap imports despite enforcement. In 2018, Indonesia lost more than $228 million in the aluminium and zinc-coated steel, double-oriented polypropylene, double-oriented polyethylene terephthalate, and cold-rolled stainless-steel industries alone. Besides that, the Anti-Dumping regulations (Government Regulation No. 34/2011, Minister of Trade Regulation No. 76/M-DAG/PER/12/2012 and Minister of Trade Regulation No. 53/M-DAG/PER/9/2013) needs to be reformed to be consistent with the WTO Anti-Dumping Agreement in order to facilitate legal interpretation and Anti-Dumping investigation procedures. Some provisions of existing legislation are not WTO-compliant; others will become clearer with more extensive and detailed explanations and finally, there are issues that are not addressed at all. Not to mention that the application of Anti-Dumping measures can only be effective if accompanied by anti-circumvention measures to ensure compliance."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nizam Alija Nazarudin
"Perkembangan perdagangan internasional sejak adanya kemajuan teknologi seakan tidak mengenal batas-batas negara sehingga perdagangan barang antar negara semakin bebas dan membentuk pasar persaingan sempurna. Adanya praktek dumping yaitu persaingan dalam bentuk harga berupa diskriminasi harga atau menjual di bawah harga pasaran adalah imbas dari adanya pasar bebas yang bersaing untuk memperoleh keuntungan. Pengaturan untuk menanggulangi dampak negatif dari praktik dumping ditetapkan dalam Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994 dan merupakan salah satu Multilateral Trade Agreements yang ditandatangani bersamaan dengan Agreement Establishing The World Trade Organization WTO. Praktik dumping yang dilarang menurut WTO adalah penjualan barang sejenis yang dibawah harga normal yang menyebabkan kerugian material di Industri dalam negeri. Sebagai anggota WTO, Indonesia wajib melindungi industri dalam negeri dari akibat negatif dumping dengan cara memberikan bea masuk antidumping kepada barang impor dan melindungi industri dalam negeri dari tuduhan dumping negara lain. Dengan adanya Komite Anti Dumping Indonesia KADI Indonesia mempunyai suatu lembaga yang bertugas untuk melindungi industri dalam negeri dari persaingan barang impor yang tidak adil dan memberikan perlindungan atau pembelaan terhadap produk-produk ekspor Indonesia yang dituduh dumping di Negara tujuan.

The development of international trade since the advent of technology as if not know the boundaries of the country so that trade goods between countries more free and form a perfect competition market. The existence of the practice of dumping the competition in the form of price in the form of price discrimination or selling below the market price is the impact of a free market competing for profit.The arrangement to address the negative impact of dumping practices is set out in the Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994 and is one of the Multilateral Trade Agreements signed in conjunction with the World Trade Organization WTO Agreement Establishing. Dumping practices prohibited under the WTO are the sale of similar goods below the normal price causing material losses in the domestic Industry. As a member of the WTO, Indonesia is obliged to protect the domestic industry from the negative effects of dumping by providing import duties on anti dumping and protecting domestic industries from accusations of dumping of other countries. The existence of anti dumping BMAD action against Indonesia biodiesel export must be adjusted with Anti dumping Agreement so that justice in international trade can be achieved."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shagi Algivary
"Dalam ilmu ekonomi, globalisasi menyebabkan menaiknya ketergantungan antar dunia ekonomi melalui perdagangan bebas. Untuk memastikan perdagangan yang bebas dan adil, terciptalah World Trade Organization. WTO membentuk peraturan dasar mengenai perdagangan bebas, terutama untuk negara yang menghadapi praktik perdagangan yan tidak adil, seperti dumping dan subsidi. Tindakan Antidumping dan tindakan imbalan adalah instrumen perlindungan industri dalam negeri yang dibentuk oleh WTO untuk mencegah perbuatan dumping dan subsidi yang dapat menyebabkan kerugian atau ancaman kerugian kepada suatu Industri. Peraturan mengenai Antidumping dan Tindakan Imbalan diatur dalam agreement on the application of Article VI GATT 1994 danagreement on subsidies and countervailing measures. Tindakan dumping yang dilarang oleh World Trade Organization adalah penjualan suatu komoditi ke luar negeri yang jauh lebih murah dibandingkan dengan penjualan domestiknya yang dapat menyebabkan kerugian atau ancaman kerugian kepada suatu Industri, dan tindakan subsidi yang dilarang oleh World Trade Organization,adalah kontribusi finansial yang spesifik dari pemerintah yang dapat menyebabkan kerugian atau ancaman kerugian kepada suatu Industri. Indonesia, sebagai salah satu anggota World Trade Organization, telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, termasuk anti-dumping code dansubsidies and countervailing measures. Ratifikasi persetujuan tersebut mewajibkan anggota World Trade Organizationuntuk diimplementasikan ke dalam Undang-undang. Karya tulis ini akan menganalisis implementasi perjanjian tersebut pada kasus penerapan tindakan Antidumping dan tindakan Imbalan oleh Amerika Serikat kepada produk kertas jenis coated paperdari Indonesia.

In economic terms, globalization leads to the increasing interdependence of world economies through free trade. To ensure global trade commences freely and fair, World Trade Organization was created. The WTO creates and embodies the ground rules for global trade, especially when a country faced with unfair trade practices, such as dumping and subsidy. Anti-dumping actions and Countervailing measures are instruments for the protection of domestic industries created by World Trade Organization to prevent dumping and subsidy that can threaten or cause injury to an industry. Regulation of anti-dumping and countervailing measures set out in the agreement on the application of Article VI GATT 1994 and agreement on subsidies and countervailing measures. Dumping practices prohibited by World Trade Organization is the sale of similar goods lower than normal prices that can threaten or cause injury to domestic industry, and subsidy practices prohibited by World Trade Organization is a specific financial contribution from government that can threaten or cause injury to an industry. Indonesia, as one of the members of World Trade Organization, has ratified the convention articles from the World Trade Organization by act No. 7 of 1994, including anti-dumping code and subsidies and countervailing measures. The ratification of the agreement obligates each member of World Trade Organization to implement the agreement in their national act. This paper analyzes the implementation of the agreement on the cases of the United States Anti-dumping and countervailing measures Implementation on certain coated paper from Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
London: Kluwer Law International, 1996
341.754 ANT
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Bayumurti
"Dalam era globalisasi, pertumbuhan perdagangan internasional semakin pesat, dan meningkatkan frekuensi sengketa perdagangan. Salah satu sengketa tersebut disebabkan karena praktik dumping yang dapat merugikan negara lainnya, dan untuk mengantisipasi kerugian tersebut, negara yang dirugikan dapat melakukan tindakan berupa tindakan anti dumping. Tindakan anti dumping yang dilakukan pada umumnya berupa pemberlakuan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk impor yang terbukti dumping. Namun, BMAD ini sering disalahgunakan sebagai bentuk proteksi terhadap produksi dalam negeri.
Untuk menyelesaikan sengketa dagang tersebut, World Trade Organization (WTO) telah menetapkan seperangkat prosedur dan forum penyelesaian sengketa perdagangan, yaitu Dispute Settlement Body (DSB). Salah satu contoh sengketa dagang karena kesalahan BMAD adalah kasus antara Indonesia dengan Korea Selatan. Sengketa ini bermula pada saat KTC mengajukan petisi anti-dumping dan melakukan penyelidikan dumping terhadap perusahaan-perusahaan eksportir produk kertas Indonesia. Atas penyelidikan KTC tersebut, maka Pemerintah Korea Selatan telah memberlakukan BMAD kepada produk-produk kertas PPC (plain paper copier or business information paper used on copies in business and home offices) dan WF (uncoated wood-free printing paper used for printing) kepada SMG (Sinar Mas Group), yaitu sebesar 8,22 persen untuk Indah Kiat, Pindo Deli, dan Tjiwi Kimia, sedangkan April Fine dan eksportir kertas Indonesia lainnya sebesar 2,80 persen, melalui Regulation
No. 330 of The ministry of Finance and Economy tertanggal 7 November 2003. Oleh karena itu, atas permintaan Indonesia, DSB membentuk sebuah
Panel. Kemudian, Panel DSB memutuskan bahwa pemerintah Korea Selatan telah melanggar ketentuan yang berkenaan dengan penentuan dumping dan penentuan kerugian dalam mengenakan BMAD terhadap produk kertas Indonesia. Untuk itu, DSB merekomendasikan agar pemerintah Korea Selatan melakukan perhitungan kembali atas keputusannya dan melakukan penyesuaian sesuai dengan kewajibankewajiban yang diatur dalam Perjanjian WTO. Akan tetapi, Pemerintah Korea Selatan tidak melaksanakan putusan panel tersebut. KTC lalu menyampaikan Report on Implementation of WTO Compliance Panel Decision. Namun pada akhirnya Korsel benar-benar mencabut pengenaan BMAD-nya terhadap produk kertas Indonesia pada Desember 2010.

In the globalization era, the growth of international trades increases rapidly, but dispute often occurs. One of the disputes are dumping practice that could inflict loss to other country, to prevent such loss, inflicted country might impose action called anti dumping measure. Usually the anti dumping measure taken are Anti Dumping Import Duty (ADID) or Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) to import products which proven to be dumping. Nonetheless, ADID is mostly misused as a protection measure to local products. To settle the dispute, World Trade Organization (WTO) has provide procedures and dispute settlement forum, namely Dispute Settlement Body (DSB). One example of trade disputes caused by faulty implementation of anti dumping is the case between Indonesia and South Korea. The dispute started when Korean Trade Commission (KTC) filed anti-dumping petition and conducted dumping investigation to Indonesian paper products export companies.
Based on KTC investigation, South Korea government imposed ADID to PPC (plain paper copier or business information paper used on copies in business and home offices) and WF (uncoated wood-free printing paper used for printing) paper products to SMG (Sinar Mas Group), namely 8,22% to Indah Kiat, Pindo
Deli, and Tjiwi Kimia, while April Fine and other Indonesian exporting paper as 2,80%, through Regulation No. 330 of The ministry of Finance and Economy dated 7 November 2003.
Referring to the situation, based on Government of Indonesias (GOI) request, DSB assemble a Panel. Afterwards, the DSB Panel decided that South Korean government has violated the provision to determine dumping and loss in
imposing ADID to Indonesian product paper. In result, DSB recommends the South Korea Government to conduct recalculation over its decision and conducted adjustment pursuant to obligations regulated under the WTO Agreement.
However, Korean Government has not execute the decision. KTC then provided Report on Implementation of WTO Compliance Panel Decision. Although, South Korea Finally lifted the ADID upon Indonesias paper product at
December 2010.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41992
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Cipta Anugrah
"ABSTRAK
Prosedur penyelesaian sengketa dagang dalam WTO diatur dalam artikel XXII dan XXIII GATT 1994 dan Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU). Menurut Pasal 3.7 DSU, sasaran dan tujuan utama sistem penyelesaian sengketa WTO adalah menjamin penyelesaian yang positif bagi suatu sengketa dan sistem ini sangat cenderung menyelesaikan sengketa melalui konsultasi daripada proses pengadilan. Penyelesaian sengketa ini dilaksanakan dengan beberapa cara yang diatur dalam DSU, yaitu konsultasi atau negosiasi, pemeriksaan oleh Panel dan Appelate Body, arbitrase, dan good offices, conciliation, dan mediation, dengan yurisdiksi yang bersifat integrated, compulsory, dan contentious. Berdasarkan Pasal 3.2 DSU, sistem penyelesaian sengketa WTO bertujuan untuk memelihara hak dan kewajiban negara anggotanya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Persetujuan WTO (covered agreement). Sengketa dapat muncul ketika suatu negara menetapkan suatu kebijakan perdagangan tertentu yang bertentangan dengan komitmennya di World Trade Organization (WTO) atau mengambil kebijakan yang kemudian merugikan kepentingan negara lain. Negara - negara anggota WTO telah sepakat bahwa jika ada negara anggota yang melanggar peraturan perdagangan WTO, negara - negara anggota tersebut akan menggunakan sistem penyelesaian multilateral daripada melakukan aksi sepihak. Ini berarti negara-negara tersebut harus mematuhi prosedur yang telah disepakati dan menghormati putusan yang diambil. Salah satu jalan keluar, dan merupakan upaya terakhir dalam penyelesaian sengketa, apabila pihak pelanggar tidak dapat melaksanakan rekomendasi/putusan DSB adalah retaliasi atau penangguhan konsesi. Pasal 22 ayat 6 DSU.

ABSTRACT
Dispute settlement procedure in the WTO set in article XXII and XXIII of GATT 1994 and the Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU). According to Article 3.7 DSU, major goals and objectives of the WTO dispute settlement system is to ensure a positive solution to a dispute and the system is very likely to resolve disputes through consultation rather than litigation. Dispute resolution is implemented in several ways set out in the DSU, namely consultation or negotiation, examination by the Panel and the Appelate Body, arbitration and good offices, Conciliation and mediation, with jurisdictions that are integrated, compulsory, and contentious. Pursuant to Article 3.2 DSU, the WTO dispute settlement system aims to preserve the rights and obligations of Member States under the provisions contained in the WTO Agreement (covered agreement). Disputes can arise when a country sets a certain trade policies that are contrary to the commitments in the World Trade Organization (WTO) or take out a policy which then harm the interests of other countries. Countries - WTO members have agreed that if member countries that violate trade rules of the WTO, the country - the member states will use the multilateral settlement system rather than take unilateral action. This means that these countries should comply with agreed procedures and respect the decision taken. One way out, and it is the last resort in resolving disputes, if the offender can not implement the recommendation / decision DSB is retaliation or suspension of concessions. Article 22, paragraph 6 DSU.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T44881
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>