Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172484 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Axel
"Pada bulan Agustus hingga Mei 2022, saya mengikuti program magang menjadi UX Reseach di PT Vidio Dot Com atau biasa dikenal dengan Vidio, perusahaan yang bergerak pada bidang OTT Streaming. UX Research di Vidio memiliki berbagai macam metode pengumpulan data salah satunya studi etnografi. Dalam satu kesempatan, saya dapat menggunakan studi etnografi pada salah satu proyek mandiri. Namun, pada proyek mandiri ini studi etnografi saya lakukan secara daring karena mengingat situasi pandemi COVID-19 yang masih berlangsung. Proyek mandiri tersebut mengusung topik kebiasaan menonton, media sosial, dan pola berlangganan dengan subjeknya adalah pengguna Instagram. Metode pengumpulan data yang digunakan pada proyek mandiri adalah observasi melalui Instagram dan wawancara mendalam melalui Google Meet. Selama melakukan hingga selesai proyek mandiri timbul pertanyaan apa istilah etnografi secara daring yang paling sesuai dari pengalaman proyek mandiri yang saya lakukan. Ternyata, istilah yang paling mendekati adalah netnografi karena topik dan pengumpulan data proyek mandiri sesuai dengan definisi netnografi, yaitu studi tentang online community dan budaya online yang dimediasi oleh komputer atau ruang online. Dengan demikian, netnografi memungkinkan untuk dilakukan sebagai metode pengumpulan data oleh UX Researcher, namun pada pengalaman saya masih ada aspek teknologi dan beban kerja yang menjadi limitasi saat melakukan netnografi.

From August to May 2022, I participated in an internship program to become a UX Researcher at PT Vidio Dot Com or commonly known as Vidio, a company engaged in OTT Streaming. UX Research in Vidio has various data collection methods, one of which is ethnographic studies. On one occasion, I was able to use an ethnographic study on one of my independent projects. However, for this independent project, I did an online ethnographic study because I remember the ongoing COVID-19 pandemic situation. The independent project carries the topic of viewing habits, social media, and subscription patterns with the subject being Instagram users. The data collection method used in the independent project is observation through Instagram and in-depth interviews through Google Meet. During the completion of the independent project, the question arose as to what online ethnographic term was the most appropriate for my independent project experience. It turns out that the closest term is netnography because the topic and data collection of independent projects fit the definition of netnography, namely the study of online communities and online culture mediated by computers or online spaces. Thus, netnography is possible to be used as a data collection method by UX Researcher, but in my experience there are still technological aspects and workloads that become limitations when doing netnography."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Humaira Akbar
"Makalah ilmiah akhir ini merefleksikan pengalaman magang saya di program penelitian Receh Coreng, dengan fokus pada tantangan yang saya hadapi sebagai mahasiswa antropologi yang diharapkan untuk menerapkan metode etnografi dalam lingkungan penelitian transdisipliner. Terlepas dari pembelajaran saya sebelumnya, penerapan praktik metode etnografi terbukti sulit, terutama saat mengintegrasikannya ke dalam kerangka penelitian multidisiplin yang lebih luas. Dalam pelaksanaannya, saya menemukan berbagai limitasi mulai dari tahap pra lapangan, penelitian lapangan, pengorganisasian, dan pengolahan data. Dalam setiap prosesnya, saya menyadari bahwa etnografi tidak bisa diimplementasikan secara maksimal. Dengan mengacu pada Hammersley dan Atkinson (2007), makalah ini merefleksikan dan membandingkan kesenjangan antara pelatihan teoritis dan praktis, menggambarkan hambatan dan kendala spesifik yang saya dihadapi selama penelitian magang. Melalui refleksi ini, saya mengeksplorasi bagaimana ekspektasi penggunaan metode etnografi sering kali tidak sesuai dengan implementasi nyatanya dalam penelitian transdisipliner. Refleksi ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang tantangan praktik metode etnografi dalam penelitian interdisipliner.

This final scientific paper reflects on my internship experience at the Receh Coreng research program, focusing on the challenges I faced as an anthropology student expected to apply ethnographic methods in a transdisciplinary research environment. Despite my prior learning, the practical application of ethnographic methods proved difficult, especially when integrating them into a broader multidisciplinary research framework. In its implementation, I encountered various limitations from the pre-field, field research, organizing, and data processing stages. Throughout the process, I realized that ethnography could not be implemented to its full potential. With reference to Hammersley and Atkinson (2007), this paper reflects on and compares the gap between theoretical and practical training, describing the specific obstacles and constraints I faced during my internship research. Through this reflection, I explore how expectations of using ethnographic methods often do not match the actual implementation in transdisciplinary research. This reflection aims to provide a deeper understanding of the challenges of practicing ethnographic methods in interdisciplinary research."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ave, J.B.
Djakarta: Ichtiar, 1961
985. 503 42 AVE h (1);985. 503 42 AVE h (2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Rivaldo Herman
"Penelitian ini membahas mengenai salah satu tradisi yang berkembang hingga saat ini di Minangkabau, yaitu Baburu babi. Dalam skripsi ini, baburu babi bagi masyarakat Minangkabau secara umum dipahami sebagai cara untuk membasmi babi hutan yang dianggap sebagai hama ladang. Penelitian ini berfokus pada interaksi yang terjalin dalam tradisi baburu babi. Penelitian pada skripsi ini menggunakan pendekatan etnografi multispesies untuk memahami interaksi antara paburu, anjing paburu serta babi yang saling berkelindan dalam baburu babi. Interaksi interspesies dalam baburu babi terlihat dari beragam aspek mulai di Nagari hingga di Arena paburuan. Interaksi antar subjek dalam baburu babi dipahami sebagai suatu relasi multispesies dengan bentuk co-survival. Interaksi antar subjek dalam baburu babi menunjukkan adanya proses pertukaran intersubjektif, sehingga baburu babi dipahami sebagai tradisi yang melibatkan relasi multispesies dalam praktiknya. Interaksi yang berbentuk relasi multispesies ini juga berkaitan dengan lingkungannya. Praktik-praktik dalam baburu babi menunjukkan adanya proses penubuhan lanskap yang bersifat timbal balik. Fokus pada aspek interaksi yang terjalin dalam memberikan sudut pandang baru untuk memahami tradisi yang telah berlangsung dari lama ini, bahwa untuk memahami baburu babi penting ada penekanan pada praktik yang melibatkan relasi multispesies dengan lanskapnya dan tidak bisa semata-mata dipahami dalam perspektif adat yang lebih menekankan pada hal-hal simbolik.

This research will discuss one of the ongoing traditions in Minangkabau, namely Baburu Babi. In Minangkabau society, Baburu Babi in general is understood as a way to eradicate wild boars, which are considered as field pests. Furthermore, this research will focus on the occuring interaction in Baburu Babi—what have intertwined between paburu, the hounds and the wild boars--and will be written with the help of a multispecies ethnographic approach. Interspecies interactions in Baburu Babi itself can be seen from various aspects, starting in Nagari to the Paburuan arena. The interaction between subjects in Baburu Babi is understood as a multispecies relations, which shows an intersubjective exchange process that is also closely related to their environment. The multisepcies relation is also understood as mode of co-survivor. The hunting practices in Baburu Babi shows that there is a reciprocal process of their landscape embodiment. Lastly, the focus on this interaction aspect will provide a new perspective for understanding the long-standing tradition; that Baburu Babi emphasizes practices which involve multispecies relations within their own landscapes and baburu babi cannot be understood solely in the perspective of adat which emphasizes more on symbolic matters."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prihandoko Sanjatmiko
Makassar: Nas Media Pustaka, 2020
MK-Pdf
UI - Publikasi  Universitas Indonesia Library
cover
Rivan Habie Syafa`At
"Tulisan ini membahas praktik perkawinan bajapuik yang berasal dari Padang Pariaman. Perkawinan bajapuik menekankan pihak perempuan untuk memberikan sejumlah uang kepada pengantin laki-laki sebagai salah satu syarat perkawinan. Selain sebagai pemberian, ternyata terdapat suatu tujuan lain diberikanya uang japuik, yaitu sebagai bentuk pertukaran serta mempertahankan aliansi suku. Dengan menggunakan pendekatan etnografi, penelitian ini bertujuan untuk melihat praktik pernikahan bajapuik oleh orang Pariaman di perantauan yang terfokus pada wilayah Bekasi. Praktik pernikahan bajapuik yang dilakukan oleh orang pariaman di Bekasi menggambarkan bahwa praktik ini masih dilaksanakan dengan berbagai tujuan dan alasan, dengan melibatkan sebuah pertukaran yang terjadi di dalamnya. Dari proses pertukaran tersebut, terjadi sebuah pola yang sama dalam suatu pernikahan dan terjadi secara berulang atau disebut sebagai circulating connubium. Selain itu terdapat suatu preferensi untuk melakukan perkawinan dengan memilih pasangan dari satu garis keturunan yang sama, atau disebut sebagai closed chain of marriage connexions. Dengan kata lain, praktik perwakinan bajapuik adalah salah satu cara komunitas Pariaman di Bekasi untuk mempertahankan aliansi suku melalui sebuah bentuk pertukaran dalam perkawinan adat.

This paper discusses the practice of bajapuik marriage originating from Padang Pariaman. Bajapuik marriage emphasizes the woman to give some money to the groom as one of the conditions of marriage. Apart from being a gift, it turns out that there is another purpose for giving japuik money, namely as a form of exchange and maintaining tribal alliances. Using an ethnographic approach, this study aims to examine the practice of bajapuik marriage by Pariaman people overseas, focusing on the Bekasi area. The practice of bajapuik marriage carried out by pariaman people in Bekasi illustrates that this practice is still carried out for various purposes and reasons, involving an exchange that occurs in it. From the exchange process, a similar pattern occurs in a marriage and occurs repeatedly or is referred to as the circulating connubium. In addition, there is a preference for marriage by choosing a partner from the same lineage, or referred to as closed chain of marriage connexions. In other words, the practice of bajapuik perwakinan is one way for the Pariaman community in Bekasi to maintain tribal alliances through a form of exchange in traditional marriages."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Nathalia Cristina Iyuscori
"Memahami persepsi dan penyebaran penyakit mempengaruhi bagaimana seseorang hidup dalam masa pandemi COVID-19 termasuk keputusan pertemuan dengan pasangan romantis. Di masa yang serba terbatas demi mencegah penularan virus, pasangan membuat pengecualian untuk satu sama lain dan bertemu dengan atau tanpa protokol kesehatan demi keintiman guna mempertahankan hubungan. Penelitian etnografi dilakukan secara daring dengan memanfaatkan panggilan video dan observasi media sosial . Informan penelitian merupakan pasangan dewasa muda yang masih berkuliah atau baru bekerja, tinggal di kota besar, dan tidak memiliki masalah internet untuk melakukan hubungan secara daring. Teori narasi penyakit digunakan untuk memahami penyakit dan konsep keintiman. Tulisan ini mendeskripsikan keintiman dari penyintas atau kerabat yang pernah berkontak erat dengan pasien COVID-19 demi memahami bagaimana mereka tetap berusaha mendapatkan keintiman. Pandangan terhadap penularan penyakit sangat beragam bahkan setelah sembuh atau berkontak erat sehingga dalam keputusan dalam kehidupan sehari-hari juga dapat berbeda-beda. Banyak langkah dilakukan untuk terhindar dari penularan penyakit COVID-19 begitu pula pemahaman terhadap kondisi sakit-sehat, penyakit, dan cara penyembuhan selama sakit. Pemahaman dan pengalaman memegang peran besar dalam keputusan tersebut.

Understanding the perception and spread of disease affects how a person lives during the COVID-19 pandemic, including the decision to meet their romantic partner. In these limited times to prevent the transmission of the virus, couples make exceptions to each other and meet with or without health protocols to maintain intimacy in the relationship. Ethnographic research was conducted via the internet by utilizing video calls and social media observations. Research informants are young adult couples who are still in college or new to work, live in big cities, and do not have internet problems to have online relationships. Using the illness narrative theory to understand illness and the concept of intimacy, this paper seeks to understand the intimacy of survivors or relatives who have been in close contact with COVID-19 patients in order to understand how they continue to seek intimacy. Views on disease transmission are very diverse even after recovery or close contact so that decisions in everyday life can also vary. Many steps have been taken to avoid the transmission of COVID-19 as well as an understanding of sick-healthy conditions, diseases, and treatment. Understanding and experience play a big role in this decision."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dendi Andrian
"Penelitian ini menjadikan Desa Biting di Jawa Tengah, Indonesia, sebagai studi kasus untuk mengeksplorasi makna dan praktik kesuksesan dari perspektif pemuda. Desa Biting dikenal dengan praktik gotong royong, nilai guyub rukun, pertanian tembakau, tingkat urbanisasi tinggi, dan partisipasi rendah dalam pendidikan formal. Dengan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya ini, pemuda Biting menjadi subjek yang menarik untuk memahami kesuksesan pemuda rural di Indonesia. Menggunakan kerangka teori praktik Bourdieu, saya menganalisis praktik kesuksesan pemuda yang berkaitan dengan kapital dan habitus dalam konteks Biting sebagai field. Penelitian ini mengungkap bagaimana habitus keluarga dan masyarakat (doxa) berperan dalam praktik kesuksesan pemuda Biting. Kesuksesan mereka meliputi praktik ekonomi (memiliki pekerjaan, mencapai kemandirian, serta stabilitas ekonomi), tanggung jawab keluarga (berbakti kepada keluarga, khususnya orang tua), dan tanggung jawab sosial serta keagamaan (menjaga hubungan baik, saling membantu, dan hubungan resiprositas di antara anggota masyarakat). Data dikumpulkan melalui penelitian lapangan etnografi selama satu bulan dengan melibatkan dua belas pemuda dan sembilan tokoh Desa, menggunakan metode auto-driven photo-elicitation, wawancara semi-terstruktur, dan observasi partisipan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagi pemuda Biting, kesuksesan diukur tidak hanya dari pencapaian ekonomi atau status individu, tetapi juga dari kesuksesan kolektif yang mencakup tanggung jawab keluarga dan sosial. Praktik kesuksesan mereka didasarkan pada akumulasi kapital sosial yang diperoleh dari kontribusi dan keaktifan di masyarakat, yang tertanam dalam nilai guyub rukun dan praktik gotong royong. Kapital sosial memiliki nilai simbolik yang paling dominan bagi kesuksesan di masyarakat Biting. Studi ini mengungkap bahwa kesuksesan di Biting dipahami sebagai doxa, yaitu habitus kolektif berupa disposisi, nilai, atau kepercayaan yang mengaitkan kesuksesan individu pemuda dengan kesuksesan kolektif masyarakat Biting.

This research focuses on the village of Biting in Central Java, Indonesia, as a case study to explore the meaning of success from the perspective of rural youth, with a specific focus on how the local context of Biting shapes their understanding of success. Biting is known for its practices of mutual cooperation (gotong royong), the value of social harmony (guyub rukun), tobacco farming, a high level of urbanization, and low participation in formal education. Given its social, economic, and cultural background, the youth of Biting are an intriguing subject for understanding rural youth success in Indonesia. In this study, Bourdieu's theory of practice serves as the framework to analyze the practices of success among youth, involving capital and habitus, within the Biting context as a field. The research reveals how family and community habitus (doxa) play a role and integrate into the practices of success among Biting's youth. This is represented through their concepts of success, including economic success (having a job and achieving economic independence and stability), family responsibilities (filial piety, particularly towards parents), and social and religious responsibilities (maintaining good relationships, mutual assistance, and reciprocal relationships among community members). Data was collected through a month-long ethnographic field study involving twelve youth and fourteen village leaders, utilizing methods such as auto-driven photo-elicitation, semi-structured interviews, and participant observation. The study shows that for Biting's youth, success is measured not only by economic achievements or individual status but also by collective success involving social and familial responsibilities. Their success practices are based on accumulating social capital through community contributions and active participation, rooted in values of social harmony and cooperation. In Biting, strong social relationships, reciprocity, mutual assistance, and a sense of belonging hold the most symbolic value for success. This study concludes that success in Biting is understood as doxa, a collective habitus of dispositions, values, or beliefs that link individual youth success to the collective success of the Biting community."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanro Yonathan Lekitoo
"Kelompok etnik Kayo Pulau dan kelompok etnik asli lainnya di teluk Humboldt, Kota Jayapura adalah rumpun kelompok etnik yang oleh Keesing disebut sebagai masyarakat tribal, masyarakat tanpa ekonomi sentral dan politik sentral. Kelompok etnik di sana dapat dikategorikan sebagai masyarakat pra-industri oleh Lewellen, dengan tipe masyarakat yang oleh Fried disebut rank society. Sejarah Perang Dunia Kedua membawa kelompok-kelompok etnik di Kota Jayapura segera masuk dalam dunia modern, di mana kehadiran Tentara Jepang 1942 dan Sekutu 1944 membuka berbagai infrastruktur perang di sana. Setelah hengkangnya Pemerintah Belanda, dan Papua kembali ke Pangkuan NKRI 1963, hingga kini Kota Jayapura menjadi salah satu daerah yang lebih maju dan sangat polietnik, oleh karena itu sering disebut sebagai Indonesia mini.
Kajian mengenai relasi antar-kelompok etnik dilakukan di Kampung Kayo Pulau kira-kira 3 tahun lamanya, yakni 2015-2018. Penelitan dengan metode etnografi, di mana teknik observasi partisipasi, wawancara, serta studi literatur dari berbagai sumber digunakan. Analisis selain Kampung Kayo Pulau, juga diangkat ke tingkat Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura di mana karakter sosial budaya penduduknya mirip.
Konsep utama yang dipakai pada kajian ini adalah konsep etnisitas dari Barth dan Eriksen, di mana relasi antar-etnik bersifat mencair dan konstruktif. Namun demikian penekanan dari Barth lebih pada relasi individu dan keluarga dalam perspektif ekologi dan demografi. Sedangkan Eriksen lebih kepada konteks kesejarahan. Dalam kaitan relasi antar-etnik orang Kayo Pulau dengan kelompok etnik lainnya di Kota Jayapura, saya mencermati empat konteks, yakni kekerabatan, ekonomi, politik dan keagamaan. Dalam kaitan dengan keempat konteks tersebut, sifat inklusif orang Kayo Pulau dan kelompok-kelompok etnik asli di Kota Jayapura yang mana selalu mencari persamaan dan merangkul kelompok etnik lainnya, merupakan nilai-nilai penting dalam mempertahankan kehidupan yang toleran dan harmonis.
Kini penduduk asli Kota Jayapura hanya 3,71 persen dan orang Kayo Pulau di kampungnya hanya 24,6 persen. Namun mereka mampu bertahan dan beradaptasi di tengah pusaran modernisasi, serta dalam konteks masyarakat yang polietnik dan berbagai tuntutan kehidupan dengan mengedepankan relasi antar-kelompok etnik, baik dalam konteks kekerabatan, ekonomi, politik dan keagamaan.

The Kayo Pulau ethnic group and other indigenous ethnic groups in the Humboldt bay, Jayapura City are groups of ethnic groups that Keesing refers to as tribal communities, communities without a central economy and central politics. Those ethnic groups can be categorized as pre-industrial societies by Lewellen, with the type of society that Fried calls rank society. The history of the Second World War brought ethnic groups in the city of Jayapura immediately into the modern world, where the presence of the Japanese Army in 1942 and the Allies of 1944 opened various war infrastructures there. After the departure of the Dutch Government and Papua returned to Indonesia in 1963, until now Jayapura has become one of the most developed region and become a highly polyethnical region. The development and the diversity of Jayapura city make this city called Little Indonesia.
The study of relations between ethnic groups in Kampung Kayo Pulau is conducted approximately 3 years, between 2015-2018. The research is done using ethnographic methods, with participatory observation techniques, interviews, and literature studies from various sources are used. The analysis proccess is done other than Kampung Kayo Pulau, is also raised to the level of Jayapura City and Jayapura Regency where the socio-cultural character of the population is similar
The main concept used in this study is the concept of ethnicity from Barth and Eriksen, where inter-ethnic relations are melting and constructive. However, the emphasis of Barth’s concept is on the relations of individuals and families in an ecological and demographic perspective. Whereas Eriksen’s is more on the historical context. The inter-ethnic relations of the Kayo Pulau people with other ethnic groups in Jayapura City, I look at four contexts, those are kinship, economy, politics and religion. In relation to these four contexts, the inclusive nature of Kayo Pulau and indigenous ethnic groups in Jayapura City which always seek equality and embrace other ethnic groups, are important values ​​in maintaining a tolerant and harmonious life.
Today, the native population of Jayapura City is only 3.71 percent and Kayo Pulau is only 24.6 percent. However, they are able to survive and adapt in the midst of a vortex of modernization, multi-ethnic context and various demands of life by prioritizing relations between ethnic groups, both in the context of kinship, economy, politics and religion.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Collier, John, 1913-
New York: Holt, Rinehart and Winston, 1967
301 COL v
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>