Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 137212 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ranita Astikya Carolina
"Obesitas ditandai dengan akumulasi lemak berlebih dan menyebabkan stres oksidatif. Apabila tidak ditangani, stres oksidatif dapat menurunkan kualitas hidup, memicu berbagai penyakit, dan meningkatkan mortalitas. Salah satu cara untuk mengurangi stres oksidatif adalah dengan puasa intermiten. Puasa intermiten dapat meningkatkan pertahanan antioksidan, termasuk glutation tereduksi (GSH) sebagai antioksidan endogen sehingga mengurangi radikal bebas dan mencegah stres oksidatif. Penelitian dilakukan dengan metode uji klinis acak dengan kontrol. Subjek penelitian adalah karyawan pria dewasa berusia 19-59 tahun dengan IMT ≥ 25 kg/m2. Subjek terbagi menjadi kelompok kontrol dan puasa melalui randomisasi sederhana. Puasa intermiten 5:2 dilakukan setiap hari Senin dan Kamis selama 8 minggu serta tidak diperkenankan makan dan minum selama 14 jam berpuasa. Kadar GSH diukur menggunakan metode Ellman sebelum dan sesudah perlakuan pada sampel leukosit yang tersimpan dari penelitian sebelumnya oleh Yudhistina K, et al. Pengaruh puasa intermiten 5:2 terhadap kadar GSH dianalisis dengan uji perbandingan rerata Wilcoxon dan Mann-Whitney dengan batas kemaknaan 5%. Kadar GSH sesudah perlakuan menurun signifikan pada kelompok kontrol (p = 0,01) dengan kadar GSH 0,433 (0,041-2,372) µmol/mL menjadi 1,247 (0,415-2,631) µmol/mL dan kelompok puasa (p < 0,001) dengan kadar GSH 0,604 (0,080-2,976) µmol/mL menjadi 1,874 (0,052-6,937) µmol/mL. Kadar GSH sesudah perlakuan pada kelompok puasa lebih rendah signifikan (p = 0,045) dibandingkan kelompok kontrol. Selisih perubahan kadar GSH pada kelompok puasa lebih tinggi signifikan (p = 0,041) dibandingkan kelompok kontrol. Puasa intermiten 5:2 selama 8 minggu dapat meningkatkan kadar GSH pada pria dewasa dengan obesitas.

Obesity is characterized by excessive fat accumulation and correlates with oxidative stress, which can reduce quality of life, lead to various diseases, and increase mortality. An alternative way to reduce oxidative stress is intermittent fasting which can increase antioxidant defences, including reduced glutathione (GSH) as an endogenous antioxidant, thereby reducing free radicals and preventing oxidative stress. This study used a randomized controlled clinical trial. The subjects were male employees aged 19-59 years with BMI > 25 kg/m2 divided into control and fasting groups through simple randomization. Intermittent fasting 5:2 was done every Monday and Thursday for 8 weeks and subjects were not allowed to eat or drink during fasting. GSH levels were measured using the Ellman method in leukocytes stored from previous study by Yudhistina K, et al. The effect of intermittent fasting 5:2 on GSH levels was analyzed by the Wilcoxon and Mann-Whitney tests with a significance limit of 5%. GSH levels post-intervention decreased significantly both in the control group (p = 0.01) with GSH levels of 0.433 (0.041-2.372) µmol/mL to 1.247 (0.415-2.631) µmol/mL and the fasting group (p < 0.001) with GSH levels of 0.604 (0.080-2.976) µmol/mL to 1.874 (0.052-6.937) µmol/mL. GSH levels post-intervention in the fasting group were significantly lower (p = 0.045) than in the control group. The changes in GSH levels in the fasting group was significantly higher (p = 0.041) than in the control group. Intermittent fasting 5:2 for 8 weeks can increase GSH levels in adult males with obesity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puti Retasya Novira
"Pendahuluan: Stres oksidatif terjadi ketika kadar antioksidan dan pembentukan oksidan dalam tubuh tidak seimbang. Puasa telah terbukti meningkatkan ketahanan sel terhadap stres oksidatif dengan meningkatkan kadar antioksidan atau menurunkan produk akhir dari kerusakan oksidatif. Namun, dari penelitian yang sebelumnya dilakukan pada tikus, jenis puasa terbaik untuk meningkatkan kadar glutathione masih menjadi perdebatan. Selain itu, belum ada penelitian tentang pengaruh jenis puasa terhadap tingkat antioksidan pada jantung kelinci. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh puasa dan durasinya terhadap kadar glutathione (GSH) pada jantung kelinci New Zealand White Rabbit's
Metode: Subyek dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan, (1) kelompok kontrol yang mengonsumsi makanan secara normal, (2) kelompok puasa intermittent yang menjalani puasa selama 16 jam, dan (3) kelompok puasa berkepanjangan yang menjalani puasa selama 40 jam, selama 7 hari. Kemudian spektrofotometer digunakan untuk menghitung kadar glutathione. Uji Saphiro-Wilk kemudian uji Kruskal-Wallis sebagai uji lanjutan digunakan untuk menganalisis data.
Hasil: Median untuk kelompok kontrol, berkepanjangan dan intermittent adalah 0,004 ± 0,003 ‡g/mg, 0,004± 0,001 g/mg, dan 0,004± 0,002 g/mg. Uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kadar GSH yang signifikan antara kelompok kontrol, puasa intermittent dan puasa berkepanjangan (P>0,05).
Kesimpulan: Puasa intermiten dan berkepanjangan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kadar glutathione pada jantung kelinci New Zealand putih dibandingkan dengan kontrol.

Introduction: Oxidative stress occurs when the balance between antioxidant and the generation of body's oxidant is unfavorable. Fasting has been showed to increase cell resistance toward oxidative stress by increasing the level of antioxidant or decreasing the end product of oxidative damage. However, from previous studies done on rats, the best fasting types to boost glutathione, one of the antioxidants, is still debatable.Moreover, there are no study about the effect of different types of fasting done on rabbit's antioxidant level. This research aims to the effect of fasting and its duration on glutathione (GSH) level in New Zealand White Rabbit's Heart.
Methods: The subjects were divided into 3 groups of treatment, (1) control group consumed food normally, (2) intermittent fasting group who underwent 16 hours fasting with 8 hours eating period, and (3) prolonged fasting group who underwent 40 hours fasting with 8 hours eating period, for 7 days. Then a spectrophotometer was used to calculate the glutathione level. Saphiro-Wilk test and then Kruskal-Wallis test as the followed-up test were used to analyzed the data.
Results: The median for the control, prolonged and intermittent groups were 0.004 ± 0,003 g/mg, 0.004± 0.001 g/mg, dan 0.004± 0.002 g/mg respectively. The Kruskal- Wallis test revealed that there was no significant difference in GSH levels among control, intermittent fasting and prolonged fasting group (P>0.05).
Conclusion: Intermittent and prolonged fasting is not significantly affecting glutathione level in New Zealand White Rabbit's Heart compared to control.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Damayanti Angelina
"Stres oksidatif merupakan kondisi ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan yang dapat memicu timbulnya berbagai penyakit. Peran puasa sebagai upaya pencegahan stres oksidatif telah terbukti, tetapi tidak dengan durasi yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan pengaruh puasa dan durasi puasa optimal dalam meningkatkan kadar glutation (GSH), antioksidan endogen nonprotein terbanyak tubuh. Penelitian dilakukan pada jaringan hati dan plasma kelinci new Zealand white. Subjek dibagi ke dalam tiga kelompok perlakuan, yakni (1) kelompok kontrol dengan asupan makanan normal, (2) kelompok puasa intermittent, yakni siklus puasa 16 jam dan makan delapan jam, serta (3) kelompok puasa berkepanjangan, yakni siklus puasa 40 jam dan makan delapan jam, selama satu minggu. Setelah itu, dilakukan pengukuran kadar GSH plasma serta jaringan hati dengan metode Ellman. Data kemudian dianalisis dengan uji Anova untuk jaringan hati serta uji Kruskal-Wallis untuk sampel plasma. Pada jaringan hati didapati rerata kadar GSH kelompok kontrol 0,73 ± 0,026 µmol/mg, kelompok puasa intermittent 1,03 ± 0,023 µmol/mg, dan kelompok puasa berkepanjangan 0,91 ± 0,059 µmol/mg yang memperlihatkan perbedaan signifikan (p<0,05). Sedangkan, pada plasma didapati median kadar GSH kelompok kontrol 2,08 ± 0,056 µmol/mL, kelompok puasa intermittent2,35 ± 0,158 µmol/mL, dan kelompok puasa berkepanjangan 2,15 ± 0,060 µmol/mL yang memperlihatkan perbedaan tidak signifikan (p>0,05). Didapatkan hasil dan kesimpulan puasa intermittent dan berkepanjangan meningkatkan kadar GSH jaringan hati secara signifikan, tetapi tidak berpengaruh secara signifikan pada plasma kelinci New Zealand white

Oxidative stress is a condition of imbalance between oxidants and antioxidants that may trigger various diseases. The role of fasting to prevent oxidative stress has been proven, but the optimal fasting duration remains unknown. This study aims to find the impact of fasting and optimal fasting duration in increasing glutathione (GSH) concentration, the body's most abundant non-protein endogen antioxidant. This study observed GSH concentration on liver tissue and plasma of New Zealand white rabbits. Subjects were divided into three treatment groups, a control group with usual food intake, an intermittent fasting group with 16-hour of fasting and eight hours of eating, and a prolonged fasting group with 40-hour of fasting and eight hours of eating, for one week. After that, GSH levels were measured in plasma and liver tissue using Ellman’s method. In liver tissue, the mean GSH level in the control group is 0.73 ± 0.026 mol/mg, in the intermittent fasting group is 1.03 ± 0.023 mol/mg, and in the prolonged fasting group is 0.91 ± 0.059 mol/mg with significant differences (p<0, 05). Meanwhile, in plasma, the median GSH level in the control group is 2.08 ± 0.056 mol/mL, in the intermittent fasting group is 2.35 ± 0.158 mol/mL, and in the prolonged fasting group is 2.15 ± 0.060 mol/mL, which means the difference is not significant (p > 0.05). In conclusion, Intermittent and prolonged fasting significantly increase liver GSH concentration. However, fasting has an insignificant impact on the plasma of New Zealand white rabbits. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Damayanti Angelina
"Stres oksidatif merupakan kondisi ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan yang dapat memicu timbulnya berbagai penyakit. Peran puasa sebagai upaya pencegahan stres oksidatif telah terbukti, tetapi tidak dengan durasi yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan pengaruh puasa dan durasi puasa optimal dalam meningkatkan kadar glutation (GSH), antioksidan endogen nonprotein terbanyak tubuh. Penelitian dilakukan pada jaringan hati dan plasma kelinci new Zealand white. Subjek dibagi ke dalam tiga kelompok perlakuan, yakni (1) kelompok kontrol dengan asupan makanan normal, (2) kelompok puasa intermittent, yakni siklus puasa 16 jam dan makan delapan jam, serta (3) kelompok puasa berkepanjangan, yakni siklus puasa 40 jam dan makan delapan jam, selama satu minggu. Setelah itu, dilakukan pengukuran kadar GSH plasma serta jaringan hati dengan metode Ellman. Data kemudian dianalisis dengan uji Anova untuk jaringan hati serta uji Kruskal-Wallis untuk sampel plasma.
Pada jaringan hati didapati rerata kadar GSH kelompok kontrol 0,73 ± 0,026 μmol/mg, kelompok puasa intermittent 1,03 ± 0,023 μmol/mg, dan kelompok puasa berkepanjangan 0,91 ± 0,059 μmol/mg yang memperlihatkan perbedaan signifikan (p<0,05). Sedangkan, pada plasma didapati median kadar GSH kelompok kontrol 2,08 ± 0,056 μmol/mL, kelompok puasa intermittent 2,35 ± 0,158 μmol/mL, dan kelompok puasa berkepanjangan 2,15 ± 0,060 μmol/mL yang memperlihatkan perbedaan tidak signifikan (p>0,05). Didapatkan hasil dan kesimpulan puasa intermittent dan berkepanjangan meningkatkan kadar GSH jaringan hati secara signifikan, tetapi tidak berpengaruh secara signifikan pada plasma kelinci new Zealand white.

Oxidative stress is a condition of imbalance between oxidants and antioxidants that may trigger various diseases. The role of fasting to prevent oxidative stress has been proven, but the optimal fasting duration remains unknown. This study aims to find the impact of fasting and optimal fasting duration in increasing glutathione (GSH) concentration, the body's most abundant non-protein endogen antioxidant. This study observed GSH concentration on liver tissue and plasma of New Zealand white rabbits. Subjects were divided into three treatment groups, a control group with usual food intake, an intermittent fasting group with 16-hour of fasting and eight hours of eating, and a prolonged fasting group with 40-hour of fasting and eight hours of eating, for one week. After that, GSH levels were measured in plasma and liver tissue using Ellman’s method.
In liver tissue, the mean GSH level in the control group is 0.73 ± 0.026 mol/mg, in the intermittent fasting group is 1.03 ± 0.023 mol/mg, and in the prolonged fasting group is 0.91 ± 0.059 mol/mg with significant differences (p<0, 05). Meanwhile, in plasma, the median GSH level in the control group is 2.08 ± 0.056 mol/mL, in the intermittent fasting group is 2.35 ± 0.158 mol/mL, and in the prolonged fasting group is 2.15 ± 0.060 mol/mL, which means the difference is not significant (p > 0.05). In conclusion, Intermittent and prolonged fasting significantly increase liver GSH concentration. However, fasting has an insignificant impact on the plasma of New Zealand white rabbits.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Afifa Aghnat
"Akumulasi lemak berlebih merupakan masalah kesehatan global yang disebut obesitas. Peningkatan lemak ini meningkatkan produksi ROS (Reactive Oxygen Species) sehingga terjadinya stress oksidatif. Protein karbonil merupakan produk ROS yang menjadi marker oksidasi seluruh protein. Peningkatan kadar protein karbonil berhubungan dengan berbagai penyakit yang dapat mengganggu kualitas hidup. Salah satu metode menurunkan stress oksidatif adalah dengan melakukan puasa intermiten Uji klinis dengan kelompok kontrol merupakan metode yang digunakan. Sampel penelitian tersimpan dari penelitian sebelumnya dengan subjek yaitu karyawan pria obesitas (IMT ≥ 25 kg/m2 ) berusia 19-59 tahun yang kemudian melalui randomisasi sederhana dibagi menjadi kelompok puasa dan kontrol. Puasa dilakukan selama 8 minggu setiap Senin dan Kamis. Kadar protein karbonil dihitung sebelum dan sesudah puasa dengan spektrofetrometer dan dianalisis dengan SPSS versi 24.0 dengan batas kemaknaan 5% untuk mengetahui pengaruh puasa intermiten 5:2 terhadap kadar protein karbonil plasma. Kadar protein karbonil menurun signifikan (p=0,004) pada kelompok puasa, sedangkan meningkat signifikan pada kelompok tidak puasa (p=0,007). Perbedaan bermakna (p = 0,011) ditemukan pada penurunan kadar protein karbonil antara kelompok puasa dan kontrol. Kelompok puasa memiliki kadar protein karbonil yang lebih rendah secara signifikan (p = 0,000) dibandingkan kelompok kontrol. Puasa intermiten 5:2 yang dilakukan selama 8 minggu menurunkan kadar karbonil plasma pada karyawan pria obesitas secara signifikan

Excessive fat accumulation is a global health problem called obesity. Fat accumulation makes the production of Reactive Oxygen Species (ROS) rise and stimulates oxidative stress. Protein carbonyl is a product of ROS and a marker for whole protein oxidation. Increased levels of protein carbonyl are related to various diseases that influence the quality of life. Intermittent fasting is one method to lower oxidative stress. A randomized controlled clinical trial was used in this study. The sample stored from previous studies with the subject is an obese male employee (IMT ≥ 25 kg/m2) aged 19-59 years old then divided into fasting and control groups through simple randomization. Fasting every Monday and Thursday for 8 weeks. Carbonyl protein levels were measured before and after fasting with spectrophotometry and analyzed by SPSS version 24.0 with a significance limit of 5% to determine how intermittent fasting 5:2 effect protein carbonyl levels in plasma. Protein carbonyl levels in the fasting group decreased significantly (p=0.004), while the control group increased significantly (p=0,007) after fasting. Meaningful difference (p = 0.011) was found in decreased protein carbonyl levels between the fasting and control groups after the intervention. Protein carbonyl levels were significantly lower (p=0.000) in the fasting group compared to the control group after intervention. Intermittent fasting 5:2 significantly reduces plasma protein carbonyl levels in male employees with obesity. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hansens Yansah
"Latar Belakang: Kondisi hypobaric diinduksi pada manusia di daerah dataran tinggi; kondisi hipoksia hypobaric intermiten adalah paparan normoxic di antara induksi hipoksia. Kondisi hipoksia hypobaric dapat membahayakan karena meningkatkan produksi stres oksidatif. GSH adalah antioksidan utama yang merupakan pertahanan utama terhadap hidrogen peroksida. Kadar hidrogen peroksida meningkat pada kondisi hipoksia. Dalam percobaan ini saya akan menelurusi pengaruh kondisi hipoksia hypobaric intermiten pada kadar glutathione GSH .
Metode: Percobaan ini menggunakan otak dari tikus jantan Sprague Dawley yang berusia 2 bulan dengan berat di 200-250 gram. Kondisi hipoksia hypobaric intermiten disimulasikan menggunakan tipe I Chamber profil penerbangan hypobaric. Tikus dibagi menjadi lima kelompok yang masing-masing terdiri dari 5 tikus dan diberi perlakuan kondisi hipoksia hypobaric yang berbeda. Kemudian, kandungan protein dan kadar GSH dalam homogenat otak dengan spectrofotometer.
Hasil: Kadar GSH menurun di otak yang terpapar oleh efek hipoksia hipobarik. Tetapi dari hasil analisa statistic membuktikan bahwa data yang sudah peroleh tidak signifikan. Kesimpulan: Menurut hasil penelitian ini, tidak ada korelasi antara tingkat GSH dan hipoksia hypobaric intermiten tetapi penelitian lebih lanjut harus dilakukan.

Background: A hypobaric hypoxic condition is induced in human in high altitude areas an intermittent hypobaric hypoxic condition is continuous exposure with normoxic conditions in between. A hypobaric hypoxic condition can potentially be harmful because of the oxidative stress that it causes. GSH is the prime antioxidant that is the main defense against hydrogen peroxide. Hydrogen peroxide levels increase in hypoxic conditions. In this experiment, I am analyzing the effect of intermittent hypobaric hypoxic condition on the level of glutathione GSH.
Method: We utilized the cerebellum of two months old healthy male Sprague Dawley rats weighing at 200 250 grams. An intermittent hypobaric hypoxic condition was simulated using a hypobaric Type I Chamber flight profile. The rats are split into five groups with 5 rats in each group of varying exposure to the hypobaric hypoxic condition. Protein content in the cerebellum homogenate was also measured and the GSH level is measured.
Results: The level of GSH decreases in rat cerebellum exposed to hypobaric hypoxia. However, after statistical analysis the data is shown to be insignificant.Conclusion According to the results of this experiment, there is no correlation between the level of GSH and intermittent hypobaric hypoxia but further research should be conducted.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70420
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexandra Francesca Chandra
"ABSTRAK
Latar Belakang: Glutation tereduksi (GSH) adalah antioksidan endogen nonenzimatik utama di paru dan saluran pernapasan. GSH mengoksidasi spesi oksigen reaktif (ROS) untuk mencegah terjadinya kerusakan oksidatif, sehingga GSH menjadi salah satu parameter pengukuran derajat stres oksidatif. Hipoksia sistemik kontinu telah diketahui menyebabkan pembentukan ROS dan kerusakan oksidatif. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh waktu paparan hipoksia sistemik kontinu terhadap pembentukan ROS di jaringan paru, yang direpresentasikan melalui kadar GSH. Metode: Sampel paru didapat dari tikus Sprague-Dawley jantan berusia 6-8 minggu dengan berat badan 150-200 g, yang telah terpapar kondisi normoxia (kontrol) atau hipoksia sistemik kontinuselama hari. Kemudian, kadar GSH diukur dari ekstrak jaringan paru. Hasil: Data analisis dengan ANOVA mengindikasikan adanya perbedaan bermakna antara kadar GSH paru terhadap perbedaan waktu pemaparan hipoksia sistemik kontinu Perbandingan post hoc LSD memperlihatkan bahwa dibutuhkan pemaparan hipoksia setidaknya 5 hari untuk menimbulkan efek, ditunjukkan dengan adanya penurunan bermakna kadar GSH pada kelompok hipoksia 5 hari dan 7 hari Namun, paparan hipoksia selama kurang dari atau sama dengan 3 hari tidak berpengaruh signifikan terhadap kadar GSH. Kemudian, uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan berbanding terbalik yang sangat kuat antara waktu pemaparan hipoksia terhadap kadar GSH paru Kesimpulan: Waktu pemaparan hipoksia sistemik kontinu mempengaruhi kadar GSH paru secara berbanding terbalik, di mana kadar GSH paru semakin menurun seiring dengan semakin bertambahnya waktu paparan hipoksia

ABSTRACT
Background: Reduced-glutathione (GSH) is a major endogenous nonenzymatic antioxidant in the lung and airway system. GSH oxidizes reactive oxygen species (ROS) to prevent oxidative damage. Hence, GSH is considered one of the parameters for measuring the degree of ROS-induced oxidative stress. Continuous systemic hypoxia has been known to cause ROS formation and oxidative damage. Consequently, this research attempted to see the effect of exposure time to continuous systemic hypoxia to ROS formation in the lung as reflected by GSH level. Methods: Lung samples were collected from 6-8 weeks old male Sprague-Dawley rats weighing 150-200g, previously exposed to normoxic environment (control) or continuous systemic hypoxia (days. Afterwards, GSH level was measured from lung extracts. Results: Data analysis using ANOVA indicated a significant difference in lung GSH level upon different exposure times to continuous systemic hypoxia Post hoc LSD comparisons revealed that hypoxic exposure should be of at least 5 days to yield an effect, as shown by significantly reduced GSH level in hypoxic groups of 5 days . Meanwhile, hypoxic exposure for 3 days or less did not significantly affect GSH level. Further Pearsons correlation analysis demonstrated a very strong negative relationship between hypoxic exposure times and lung GSH level Conclusion: The exposure times to continuous systemic hypoxia were inversely proportional to lung GSH level, in which lung GSH level decreased as the exposure time was increased.
"
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisha Safa Putri Calista
"Latar Belakang: Intermittent fasting (IF) dan prolonged fasting (PF) merupakan bagian dari puasa yang meliputi pola makan waktu puasa dan waktu tidak puasa dalam sehari. Ada banyak manfaat terkait puasa dan salah satunya adalah IF dapat mengurangi stres oksidatif yang bermanfaat bagi otak. Karbonil, biomarker stres oksidatif yang irreversible dan universal telah dikaitkan dengan penuaan sel, jaringan, organ, dan penyakit terkait usia. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah ada pengaruh puasa terhadap kadar protein karbonil di otak. Metode: Penelitian ini menggunakan sampel jaringan otak yang diperoleh dari 15 ekor kelinci white New Zealand yang dikelompokkan ke dalam tiga perlakuan pemberian pakan yang berbeda yaitu 5 kelompok kontrol, 5 kelompok IF (dipuasakan 16 jam), dan 5 kelompok PF (dipuasakan 40 jam). Sampel diperlakukan sesuai perlakuan masing- masing selama tujuh hari berturut-turut. Kadar karbonil kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 390 nm. Data dianalisis menggunakan IBM SPSS. Hasil Penelitian: Semua sampel terdistribusi normal (p>0,05), namun pengaruh puasa intermiten (IF) dan puasa berkepanjangan (PF) terhadap kadar karbonil otak pada kelinci White New Zealand tidak signifikan. Kadar karbonil sampel IF lebih rendah daripada PF dengan rata-rata dan standar kesalahan masing-masing 365,4 ± 24,2 dan 409,1 ± 44,7 nMol/mg protein. Kesimpulan: Meskipun tidak signifikan, perlakuan IF dan PF satu minggu yang dilakukan pada kelinci White New Zealand mampu menurunkan kadar karbonil pada otak. IF mampu menurunkan lebih banyak protein karbonil dibandingkan PF.

Introduction: Intermittent fasting (IF) and prolonged fasting (PF) is a part of fasting that includes eating pattern of fasting-time and non-fasting time in a day. There are many benefits related to fasting and one of them is that IF can reduce oxidative stress that benefits the brain. Carbonyl, an irreversible and universal marker of oxidative stress has been linked to cell, tissue, organ aging and age-related diseases hence this research is conducted to see whether there are any effects of fasting towards protein carbonyl level in the brain. Methods: This research uses brain tissue sample obtained from 15 white New Zealand rabbit that are grouped into three different feeding treatments: 5 control groups, 5 IF (16 h fasting time) groups, and 5 PF (40 h fasting time). They are treated accordingly for seven days straight. Level of carbonyl then is measured by spectrophotometer at 390 nm wavelength. The data was analyzed using IBM SPSS. Result: All samples are normally distributed (p>0.05), however the effect of IF and PF towards brain carbonyl level in white New Zealand rabbit are not significant. The carbonyl level of IF group samples are reduced more than PF group with mean and standard of error of 365.4 ± 24.2 and 409.1 ± 44.7 nMol/mg protein respectively. Conclusion: Although insignificant, one-week treatment of IF and PF done on White New Zealand rabbit are able to decrease carbonyl level in their brain, with IF being able to reduce more protein carbonyl than PF."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karima Yudhistina
"Obesitas adalah faktor risiko terjadinya penyakit seperti diabetes melitus tipe 2 dan penyakit jantung dan pembuluh darah. Akumulasi lemak stimulasi proses peroksidasi lipid yang menghasilkan malondialdehida (MDA) dan mengurangi antioksidan endogen seperti katalase dalam tubuh. Puasa intermiten merupakan cara alternatif untuk menurunkan radikal bebas dalam tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek puasa intermiten terhadap status stres oksidatif pada karyawan dengan obesitas di Jakarta. Penelitian ini menggunakan metode uji klinis acak dengan kontrol. Subjek penelitian ini adalah pria berusia 19-59 tahun dengan indeks massa tubuh (IMT) ≥25 kg/m2 yang terbagi menjadi kelompok puasa dan kontrol melalui randomisasi sederhana. Puasa intermiten 5:2 dilakukan selama 8 minggu setiap hari Senin dan Kamis, tidak diperkenankan untuk makan dan minum selama 14 jam. Sebelum intervensi, kedua kelompok diberikan edukasi diet seimbang. Kadar MDA dan katalase dianalisis dengan spectofotometer. Asupan makan dinilai dengan 2x24 hr food recall dan food record. Hasil penelitian menunjukan kadar MDA setelah intervensi pada kelompok puasa berbeda signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol (p=0,02). Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar katalase pada kelompok puasa dan kontrol (p>0,05). Puasa intermiten 5:2 selama 8 minggu dapat menurunkan kadar MDA pada karyawan dengan obesitas di Jakarta

Obesity is a major risk factor for many non-communicable diseases. Fat accumulation stimulates the lipid peroxidation process, which produces malondialdehyde (MDA) and reduces endogenous antioxidants such as catalase. Intermittent fasting is an alternative way to reduce free radicals in the body. This study aimed to determine the effect of intermittent fasting 5:2 on MDA and catalase levels in obese employees in Jakarta. This study's subject was men aged 19-59 years with body mass index ≥25 kg/m2, who were divided into fasting and control groups through simple randomization. Intermittent fasting 5:2 was performed for eight weeks, done every Monday and Thursday, and not allowed to eat and drink during 14 hours of fasting. Before the intervention, both groups were given nutrition education on a balanced diet. Food intake was assessed by the 2x24 h food recall and food recall method. MDA and catalase levels were measured using a spectrophotometer. There was a significant difference (p<0,001) in pre-post intervention MDA and catalase levels within the fasting and control groups. MDA post-intervention levels in the fasting group were significantly different compared to the control group (p=0,02). Intermittent fasting 5:2 for eight weeks can reduce MDA levels in obese employees in Jakarta."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhri Rahmadiansyah
"Hipoksia hipobarik merupakan kondisi dimana tubuh memiliki kekurangan oksigen dalam jaringan dan sel. Pada keadaan hipoksia, tubuh mampu memproduksi radikal bebas. Sehingga, tubuh menghasilkan antioksidan yang berfungsi menangkal radikal bebas. Salah satu antioksidan yang berfungsi yaitu glutation (GSH). Glutation memiliki peranan penting dalam antioksidan khususnya menangkal radikal bebas hidrogen peroksida (H2O2). Dengan adanya antioksidan ini, maka dapat melindungi sel tubuh yang mengalami kerusakan akibat radikal bebas. Penelitian yang dilakukan yaitu menggunakan metode desain eksperimental. Penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus yang dikelompokkan menjadi 5 kelompok, yaitu kelompok kontrol, kelompok 7 kali, kelompok 14 kali, kelompok 21 kali, dan kelompok 28 kali hipoksia hipobarik intermiten (HHI). Setiap kelompok diberikan prosedur hypobaric chamber training. Selanjutnya melakukan pengukuran kadar glutation dengan menggunakan metode Ellman. Rata-rata kadar glutation organ hati kelompok tikus 7 kali HHI lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan kelompok tikus kontrol (p = 0.001). Rata-rata kadar glutation organ hati kelompok tikus 14 kali HHI lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan kelompok tikus 7 kali HHI (p < 0.001). Rata-rata kadar glutation organ hati pada kelompok lainnya kembali menurun setelah diberikan paparan 21 kali HHI dan 28 kali HHI dibandingkan dengan kelompok normal namun tidak memiliki makna yang signifikan. Menurut hasil penelitian ini, kadar glutation pada keadaan HHI mengalami penurunan akibat dari suatu efek perlindungan hati terhadap adanya radikal bebas yang dihasilkan dari hipoksia hipobarik intermiten.

Hypobaric hypoxia is a condition in which the body has a low level of oxygen in the tissues and cells. The effect that occurs when in a state of hypoxia is that the body produces free radicals. However, the body also produces antioxidants that work to eliminate free radicals. One of the antioxidants is glutathione. Glutathione has a role in antioxidants, especially scavenging free radical hydrogen peroxide (H2O2). With this antioxidant, it can protect from cell damage by free radicals. This research use the experimental design method. This study used 25 rats which grouped into 5 groups, namely the control group, group with 7 times, group with 14 times, group with 21 times, and group with 28 times intermittent hypobaric hypoxia (IHH). Each group will be exposed to hypobaric chamber training procedure. Furthermore, measuring glutathione levels in rat liver samples in each group using the Ellman’s method. The average glutathione level of the group rats 7 times IHH was significantly lower than that of the control rats group (p = 0.001). The average liver glutathione levels in the group rats 14 times IHH were significantly higher than the group rats 7 times IHH (p < 0.001). The average liver glutathione levels in the other groups decreased again after exposure to 21 times IHH and 28 times IHH compared to the control group but did not significantly different. According to the results of this study, glutathione levels in rat's liver decreased due to a protective effect of the liver against the presence of free radicals resulting from IHH."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>