Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105742 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Angelica Riadi Alim Suprapto
"Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan pada tahun 2018, prevalensi prediabetes adalah 57,1%. Prediabetes merupakan faktor risiko hiperfiltrasi ginjal yang dapat memicu kerusakan ginjal. Meskipun vitamin D umumnya tidak digunakan dalam tatalaksana hiperglikemia, efek anti-inflamasi, anti fibrotik dan mekanisme umpan balik pada sistem renin-angiotensin vitamin D dapat bermanfaat dalam tatalaksana prediabetes. Efek protektif terapi vitamin D terhadap kerusakan ginjal akut pada kondisi prediabetes perlu diteliti lebih lanjut. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental pada model hewan yang menggunakan sampel urin tersimpan dari penelitian sebelumnya. Tikus dikelompokan dalam kelompok sehat, kelompok prediabetes, kelompok prediabetes dengan pemberian vitamin D 100 IU/kg BB/hari atau kelompok prediabetes dengan pemberian vitamin D 1000 IU/kg BB/hari. Sebanyak 6 ekor tikus dalam setiap kelompok diteliti selama 12 minggu. KIM-1 diukur dengan metode ELISA dan dianalisis menggunakan analisis uji One-way ANOVA. Terdapat peningkatan kadar KIM1 pada tikus prediabetes. Pemberian terapi vitamin D3 dosis 100 IU/kg BB/hari dan 1,000 IU/kg BB/hari menurunkan kadar KIM-1 jika dibandingkan dengan tikus model prediabetes yang tidak mendapatkan terapi vitamin D3. Namun, hanya vitamin D3 dosis 1,000 IU/kg BB/hari yang menurunkan kadar KIM-1 pada tikus model prediabetes secara bermakna (p = 0,043).

According to the Riset Kesehatan Dasar in 2018, the prevalence of prediabetes was 57.1%. Prediabetes is a risk factor for renal hyperfiltration that can lead to kidney damage. Although vitamin D is not generally used to treat hyperglycemia, its anti-inflammatory effect, anti-fibrotic effect and feedback mechanisms on the renin-angiotensin system may be useful in the management of prediabetes. Therefore, the protective effect of vitamin D therapy against acute kidney damage in prediabetes conditions is worthy of investigation. This study is an experimental study using stored urine samples from a previous study. Rats were grouped into the healthy group, the prediabetes group, the prediabetes group which received 100 IU/kg BW/day of vitamin D or the prediabetes group which received 1000 IU/kg BW/day of vitamin D. Each group had 6 rats and were studied for 12 weeks. KIM-1 was measured by ELISA and analyzed using the One-way ANOVA test. There was an increase in KIM-1 levels in prediabetic rats. Administration of vitamin D3 therapy at doses of 100 IU/kg BW/day and 1000 IU/kg BW/day reduced KIM-1 levels when compared to prediabetic rats which did not receive vitamin D3 therapy. However, only 1000 IU/kg BW/day of vitamin D significantly (p=0.043) reduced KIM-1 levels in prediabetic rats."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Ivana Angelia
"Latar belakang: Prevalensi prediabetes yang terus meningkat dapat menjadi masalah karena prediabetes dapat meningkatkan probabilitas terkena penyakit kardiovaskular. Diketahui bahwa vitamin D memiliki peran untuk mencegah progresivitas prediabetes menjadi diabetes walaupun berbagai hasil studi sebelumnya masih belum konsisten. Sampai saat ini, belum ada studi yang meneliti dosis suplementasi vitamin D yang dibutuhkan untuk memberikan kadar vitamin D yang cukup pada ginjal dalam mencegah perkembangan prediabetes. Kadar vitamin D biasanya diukur dalam bentuk lainnya yaitu 25(OH)D3 (25-hidroksi-vitamin D3) karena lebih mudah diukur. Oleh karena itu, pengaruh suplementasi vitamin D3 terhadap kadar 25(OH)D3 pada ginjal perlu diteliti lebih lanjut. Metode: Penelitian ini dilakukan dengan metode pra-klinis eksperimental yang menggunakan bahan biologis tersimpan berupa ginjal yang diperoleh dari model tikus prediabetes. Kelompok perlakuan terdiri dari 4 kelompok masing-masing 6 ekor yaitu: kelompok sehat, prediabetes tanpa perlakuan, prediabetes yang diberikan vitamin D3 100 IU dan prediabetes yang diberikan vitamin D3 1000 IU. Perlakuan diberikan selama 12 minggu kemudian diukur kadar 25(OH)D3 ginjal dengan metode ELISA. Perbedaan kadar 25(OH)D3 antar keempat kelompok diuji dengan metode statistik yang sesuai. Hasil: Kadar 25(OH)D3 di ginjal cenderung meningkat pada kelompok prediabetes. Suplementasi vitamin D3 100 IU/kgBB/hari maupun 1000 IU/kgBB/hari menurunkan kadar 25(OH)D3 pada ginjal dengan p<0,05 setelah dianalisis dengan uji post hoc. Kesimpulan: Suplementasi vitamin D3 dosis 100 IU/kgBB/hari maupun 1000 IU/kg/BB/hari sama-sama menyebabkan penurunan bermakna kadar 25(OH)D3 pada kelompok tikus model prediabetes dibandingkan kelompok model tikus prediabetes tanpa suplementasi.

Introduction: The increasing prevalence of prediabetes can be a problem because prediabetes can increase the probability of developing cardiovascular disease. It is known that vitamin D has a role in preventing the progression of prediabetes to diabetes, although the result of previous studies are still not consistent. Until now, there have been no studies examining the right dose of vitamin D supplementation that can provide adequate vitamin D levels in kidneys to prevent the development of prediabetes. Vitamin D levels are usually measured in another form, namely 25(OH)D3 (25-hydroxy-vitamin D3) because it is easier to measure. Therefore, effect of vitamin D3 supplementation on 25(OH)D3 levels in the kidneys of prediabetic needs to be investigated further.Method: This study is an experimental pre-clinical study that used stored biological material in the form of a kidney which were obtained from prediabetic rats. The treatment group consisted of 4 groups, each containing 6 rats, namely: a healthy group, prediabetes without treatment, prediabetes which were given 100 IU of vitamin D3 and prediabetes which were given 1000 IU of vitamin D3. The treatment was given for 12 weeks and then the kidney 25(OH)D3 levels were measured using ELISA method. The differences in levels of 25-hydroxy-vitamin D3 between the four groups were tested by the appropriate statistical method.Result: The levels of 25(OH)D3 in the kidneys tends to increase in the prediabetes group. Treatment with vitamin D3 supplementation of 100 IU/kgBW/day and 1000 IU/kgBW/day both reduced the level of 25(OH)D3 in the kidneys with p<0.05 after being analyzed by post hoc test.Conclusion: Vitamin D3 supplementation at a dose of 100 IU and 1000 IU of prediabetic rats model both caused a significant decrease in 25(OH)D3 levels in kidney compared to the prediabetics rat model without supplementation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aurelia Demtari Tuah
"Latar belakang: Resistensi insulin dan berbagai komplikasi organ yang ditemukan pada kasus diabetes telah berkembang sejak tahapan prediabetes, diantaranya gangguan fungsi ginjal. Suplementasi vitamin D menjadi terapi yang menjanjikan untuk mencegah perkembangan gangguan ginjal. Oleh karena itu, dilakukan studi untuk menganalisis pengaruh suplementasi vitamin D baik dosis tinggi dan dosis rendah pada model tikus prediabetes dalam mencegah perburukan fungsi ginjal. Metode: Digunakan metode penelitian praklinis eksperimental pada tikus Wistar jantan. Tikus diberikan diet tinggi lemak dan glukosa kemudian dibagi menjadi empat kelompok acak yakni 1 kelompok kontrol dan 3 kelompok prediabetes (Tidak mendapat suplementasi vitamin D, mendapat vitamin D dosis rendah 100 IU/kgBB/hari atau dosis tinggi 1000 IU/kgBB/hari). Setelah 12 minggu, diambil serumnya untuk mengevaluasi kadar urea, kreatinin, dan albumin. Hasil: Studi ini menunjukkan bahwa kadar urea (p = 0,275) dan kreatinin (p = 0,067) tidak memiliki perbedaan signifikan pada setiap kelompok intervensi. Kelompok prediabetes dengan suplementasi vitamin D 1000 IU/kgBB/hari memiliki kadar urea serum lebih rendah dibandingkan 100 IU/kgBB/hari. Namur, suplementasi vitamin D 100 IU/kgBB/hari lebih menurunkan serum kreatinin dibanding 1000IU/kgBB/hari. Terdapat perbedaan signifikan pada kadar albumin (p = 0,003). Suplementasi vitamin D 100IU/kgBB/hari dan 1000IU/kgBB/hari ditemukan meningkatkan albumin serum. Kesimpulan: Pemberian suplementasi Vitamin D, baik dosis rendah maupun dosis tinggi tidak memberikan perbedaan signifikan pada urea dan kreatinin serum dibandingkan tikus yang tidak mendapat suplementasi namun didapati perbedaan signifikan pada kadar albumin serum tikus. Akan tetapi, perbedaan signifikan ini ditemukan pada albumin serum tikus sehat dibandingkan dengan tikus prediabetes. Suplementasi vitamin D meningkatkan kadar albumin serum secara signifikan.

Introduction: Insulin resistance and organs complication related to diabetes have developed since prediabetic stage. One of this complications is impaired kidney function. Vitamin D supplementation become a promising therapy to prevent worsening of kidney function. Therefore, this study was conducted to assess and compare the effect of high dose and low dose vitamin D supplementation on markers of kidney function. Methods: This study is experimental preclinical study on animal model using serum sample of male Wistar rat. The rats received high fat and glucose diet and divided into a group of normal control and three groups of prediabetic (without vitamin D supplementation, with low dose (100IU/kgBW/day) and high dose (1000IU/kgBW/day) vitamin D supplementation). After 12 weeks, blood samples were collected to evaluate level of serum urea, creatinine, and albumin. Result : This study showed that serum urea (p=0,275) and creatinine (p=0,067) were not different statistically between groups. Group of prediabetic with 1000 IU vitamin D supplementation had lower serum urea compared to prediabetic group with 100 IU supplementation. On the contrary, vitamin D 100 IU/kgBW/day supplementation produced better result than 1000 IU/kgBW/day to lower serum creatinine. There was significant difference in serum albumin between all groups (p=0,003). Vitamin D supplementation of 100IU/kgBW/day and 1000IU/kgBW/day increased serum albumin levels more than normal groups. Conclusion: Low dose and high dose Vitamin D supplementation did not give significant difference to serum urea and creatinine level compared to nontherapy group. However, serum albumin was increased with supplementation of vitamin D 100 IU/kgBW/day and 1000 IU/kgBW/day in prediabetic rat than normal rat."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abas Suherli
"Patogenesis nefropati diabetik (ND) merupakan hasil interaksi faktor hemodinamik, metabolik dan lingkungan serta faktor genetik. ND biasanya tidak terdeteksi secara klinis sampai terjadi kerusakan ginjal yang bermakna dapat berupa glomerulosklerosis, tubular atrofi dan fibrosis interstitial. KIM-1 dapat digunakan sebagai penanda adanya kerusakan tubulus ginjal. Hubungan polimorfisme gen ACE dengan nefropati diabetes masih tidak konsisten.
Penelitian ini merupakan studi cross sectional komparasi antara dua kelompok penyandang DMT2 dengan atau tanpa nefropati yang bertujuan untuk mengetahui adanya kerusakan tubulus, polimorfisme gen ACE dan menganalisis hubungannya dengan kadar KIM-1 terhadap terjadinya kelainan tubulus. Didapatkan adanya peningkatan ekskresi KIM-1 urin pada 19 subjek pre-nefropati dengan median 1,3 (interquartile 1,5) ng/mL, 25 subjek nefropati insipien dengan median 1,6 (interquartile 2,3) ng/mL dan 12 subjek nefropati overt dengan rerata kadar KIM-1 3,1 ± 2,4 ng/mL. Terdapat polimorfisme gen ACE pada penyandang DMT2. Proporsi genotipe DD 9,3%, ID 33,3% dan II 57,4% pada kelompok NND, pada kelompok ND proporsi genotipe DD 4,7%, ID 34,1% dan genotipe II 61,2%.
Dijumpai adanya hubungan bermakna antara alel D dengan peningkatan ekskresi KIM-1 urin pada kelompok pre-nefropati (p = 0,030). Peningkatan kadar KIM-1 urin pada kelompok pre-nefropati menunjukkan adanya kerusakan tubulus yang merupakan proses awal nefropati DM. Distribusi genotipe polimorfisme gen ACE pada penelitian ini menyerupai penelitian lain di negara-negara Asia, sedangkan di negara Eropa genotipe DD lebih banyak daripada genotipe II. Hubungan bermakna alel D dengan kadar KIM-1 hanya pada kelompok prenefropati mungkin disebabkan adanya faktor lain seperti kadar glukosa, kontrol glikemik, ureum, kreatinin dan kadar trigliserida yang memengaruhi.
Simpulan: Terdapat peningkatan ekskresi KIM-1 urin pada penyandang DMT2 kelompok pre-nefropati yang meningkat secara bermakna pada penyandang DMT2 dengan nefropati overt. Peningkatan ekskresi KIM-1 urin dapat dipakai sebagai penanda kerusakan tubulus. Terdapat polimofisme gen ACE pada penyandang DMT2. Genotipe II lebih banyak dibanding genotipe ID dan DD. Dijumpai adanya hubungan alel D dengan peningkatan kadar KIM-1 urin pada penyandang DMT2 pre-nefropati.

The pathogenesis of nephropathy diabetic (ND) is the result of the interaction of haemodynamic, metabolic, environment, and genetic factors. In general, ND was clinically undetectable until kidney has been damaged significantly, in the form of glomerulosclerosis, tubular atrophy, or interstitial fibrosis. KIM-1 can be used as the initial indicator of kidney tubules damage. The relationship between ACE gene polymorphism and diabetic nephropathy was still inconsistent.
This research was a comparative cross-sectional study on two groups of DMT2 patients with and without nephropathy diabetic. The objectives of this study were to identify the tubules damage, ACE gene polymorphism, and to analyze the relationship between the degree of KIM-1 and the tubules damage. The increase of KIM-1 urine excretion was found in 19 pre-nephropathy subject (median = 1.3 with interquartile 1.5 ng/mL), in 25 incipient nephropathy subject (median = 1.6 (2.3) ng/mL), in 12 overt nephropathy subject (Mean = 3.1 ± 2,4 ng/mL). ACE polymorphism gene was found in DMT2 patients. In the NDD group, the genotype proportion of DD = 9.3%, ID = 33.3% and II = 57.4%. Whereas, in the ND group, the figures were 4.7%, 34.1% and 61.2%, respectively.
Significant relationship was found between allele D and the increase of KIM-1 urine on pre-nephropathy group (p = 0.030). The increase of KIM-1 urine on prenephropathy group shows the tubules damage which is the initial process of nephropathy diabetic. The genotype distribution of ACE gene polymorphism in this study was similar with the studies in Asian countries; however, in European countries the genotype DD is found higher than genotype II. The significant relationship between allele D and KIM-1 level in pre-nephropathy group might be the influence of other factors, such as glucose level, glycaemic control, urea, creatinine, and triglyceride level.
Conclusion: There was KIM-1 excretion increased on DMT2 pre-nephropathy group, which increase significantly in DMT2 overt nephropathy group. The increase of KIM-1 urine excretion can be used as the indicator of tubules damage. ACE gene polymorphism was found in DMT2 group, with genotype II was higher than genotype ID and DD. A significant relationship between allele D and the increase of KIM-1 urine excretion was found in pre-nephropathy group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisni Untari Dewi
"ABSTRAK
Latar belakang: Sepsis merupakan masalah kesehatan penting yang dapat menyebabkan insidens kematian sampai 50% pada pasien dengan sepsis berat. Antibiotik aminoglikosida
terutama amikasin semakin banyak digunakan untuk mengobati infeksi kuman Gram negatif pada pasien sepsis di ICU, meskipun penggunaan obat tersebut pada dosis
terapi dapat meningkatkan risiko kerusakan ginjal sekitar 10-25%. Pemantauan kadar lembah amikasin serta biomarker dini diperlukan untuk mencegah kerusakan ginjal pada pasien sepsis yang dirawat di ICU. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan kadar lembah amikasin pada pasien ICU dewasa yang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang diberikan amikasin 1000 mg/hari dengan
peningkatan kadar KIM-1 normalisasi dalam urin yang merupakan biomarker dini nefrotoksisitas.
Metode:
Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan yang dilakukan pada 12 pasien sepsis dewasa yang dirawat di ICU RSCM dan diberikan amikasin 1000 mg/hari pada bulan Mei-September 2015. Kadar lembah amikasin dosis ketiga dihubungkan dengan peningkatan kadar KIM-1 normalisasi yang diukur melalui urin 24 jam setelah pemberian amikasin dosis pertama/kedua dan dosis ketiga.
Hasil:
Dari 12 subyek penelitian, didapatkan 3 subyek penelitian dengan kadar lembah amikasin di atas 10 g/mL, sedangkan 9 subyek penelitian kadar lembahnya ada dalam batas aman (di bawah 10 g/mL). Delapan dari 12 subyek penelitian (66,7%) mengalami peningkatan kadar KIM-1 normalisasi dalam urin hari ketiga dibandingkan hari pertama. Tidak ada hubungan antara kadar lembah amikasin dengan peningkatan kadar KIM-1 normalisasi dalam urin (p=0,16; r=0,43).
Kesimpulan:
Pasien sepsis yang mendapat amikasin 1000 mg/hari di ICU RSCM selama 3 hari memperlihatkan kadar lembah amikasin plasma dalam batas aman untuk ginjal.

ABSTRACT
Background: Sepsis is a common caused of mortality which may account for up to 50% death rate in patients with severe sepsis. Aminoglycoside antibiotics, especially amikacin, are the most commonly used antibiotics in the septic patients with Gram-negative bacterial infections, despite these drugs may induce nephrotoxicity in 10-25%
patients. Hence, it is essential to monitor amikacin trough plasma concentration and to detect nephrotoxicity as early as possible. The aim of this study is to find out the correlation between amikacin trough plasma concentration with normalized KIM-1 concentration in the urine as a sensitive and specific biomarker.
Methods:
This is a pilot study conducted in 12 septic patients treated with amikacin 1000 mg/day from May, 2015 to September, 2015. The correlation between amikacin
trough plasma concentrations measured at the third doses with the elevation of urine normalized KIM-1 concentrations measured at the first/second and the third doses were evaluated.
Results:
We observed 3 patients with amikacin trough plasma concentration above the safe level (>10 g/mL), while 9 patients had amikacin concentrations within the safe
plasma level (<10 g/mL). Furthermore, we observed 8 out of 12 patients with higher normalized KIM-1 concentrations measured at third doses compared to normalized KIM-1 concentrations measured at first/second doses. There was no correlation between amikacin trough concentration with elevated urine normalized KIM-1
concentration (p=0,16; r=0,43).
Conclusion:
Septic patients treated with amikacin 1000 mg/day hospitalized in ICU RSCM for 3 days have amikacin safe trough plasma concentration.
"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rindhy Utami Muris
"Gangguan fungsi ginjal merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada pasien diabetes melitus tipe 2. Pendeteksian dini dengan menggunakan senyawa 8-iso-Prostaglandin F2α dan KIM-1 diperlukan untuk mencegah progresifitasnya. Dalam penelitian ini dilakukan analisis hubungan antara kadar 8-iso-Prostaglandin F2α dan KIM-1 urin dengan estimasi laju filtrasi glomerulus (eLFG). Sampel yang dianalisis adalah 40 orang pasien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Pasar Minggu, dengan teknik total sampling.
Nilai eLFG diperoleh berdasarkan nilai kreatinin serum yang diukur menggunakan metode kinetik Jaffe, sedangkan kadar 8-iso-Prostaglandin F2α dan KIM-1 diukur dengan menggunakan metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Kadar 8-iso-Prostaglandin F2α diperoleh 6633,87 ± 1292,62 pg/mg kreatinin, kadar KIM-1 diperoleh 8,23 ± 3,23 ng/mL dan nilai eLFG diperoleh 99,65 ± 41,12 (Cockroft-Gault); 96,59 ± 41,90 (MDRD study); dan 100,79 ± 40,07 (CKD-EPI).
Hubungan antara kadar 8-iso-Prostaglandin F2α dengan nilai eLFG berdasarkan persamaan Cockroft-Gault (r = 0,520; p = 0,001), MDRD (r = 0,477; p = 0,004) dan CKD-EPI (r = 0,403; p = 0,013), serta setelah perokok dieksklusi, berdasarkan ketiga persamaan, yaitu Cockroft-Gault (r = 0,595; p = 0,001), MDRD (r = 0,554; p = 0,003) dan CKD-EPI (r = 0,559; p = 0,003). Hubungan antara kadar KIM-1 dengan nilai eLFG berdasarkan persamaan Cockroft-Gault (r = -0,155; p = 0,339), MDRD (r = -0,173; p =0,285) dan CKD-EPI (r = -0,024; p = 0,883). Sehingga diketahui terdapat hubungan yang bermakna antara kadar 8-iso-Prostaglandin F2α dengan nilai eLFG dan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara KIM-1 dengan nilai eLFG.

Renal dysfunction is one of complication that most common in type 2 diabetes mellitus patients. The earlier detection is needed to prevent its progression with 8-iso-Prostaglandin F2α and KIM-1. The aim of this study was to analyze concentration of 8-iso-Prostaglandin F2α and KIM-1urine and its correlation with estimated glomerular filtration rate (eGFR). Samples analyzed were 40 type 2 diabetes mellitus patients at Pasar Minggu Local Government Clinic, used total sampling method.
eGFR was obtained based on the measurement of serum creatinine on kinetic Jaffe method, 8-iso-Prostaglandin F2α and KIM-1 was measured by ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) method. Concentration of 8-iso-Prostaglandin F2α was 6633,87 ± 1292,62 pg/mg creatinine, concentration of KIM-1 was 8,23 ± 3,23 ng/mL and the eGFR values were 99,65 ± 41,12 (Cockroft-Gault); 96,59 ± 41,90 (MDRD study); and 100,79 ± 40,07 (CKD-EPI).
The correlation between 8-iso-Prostaglandin F2α concentration and eGFR is based on Cockroft-Gault (r = 0,520; p = 0,001), MDRD (r = 0,477; p = 0,004) and CKD-EPI (r = 0,403; p = 0,013), and the correlation between 8-iso-Prostaglandin F2α concentration after smoker exclution and eGFR based on Cockroft-Gault (r = 0,595; p = 0,001), MDRD (r = 0,554; p = 0,003) and CKD-EPI (r = 0,559; p = 0,003). But the correlation between KIM-1 concentration and eGFR based on Cockroft-Gault (r = -0,155; p = 0,339), MDRD (r = -0,173; p =0,285) and CKD-EPI (r = -0,024; p = 0,883). So there was a significant correlation between 8-iso-Prostaglandin F2α concentration and eGFR, and also there were no significant correlation between KIM-1 concentration and eGFR.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
S55000
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afifah Ika Kurniawati
"Penyakit Ginjal Kronik memberikan berbagai dampak buruk pada tingkat individu maupun nasional dan prevalensinya mengalami kenaikan. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor dominan Penyakit Ginjal Kronik pada usia produktif (19-60 tahun) di Indonesia tahun 2018 dari analisis data Riskesdas 2018. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dan dilakukan pada bulan Maret-Juli 2023. Populasi penelitian adalah penduduk usia produktif (19-60 tahun) di Indonesia dengan jumlah sampel sesuai kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 9400 orang. Variabel penelitian terdiri dari karakteristik demografi (usia dan jenis kelamin), penyakit tidak menular (diabetes melitus, hipertensi, dan obesitas), serta gaya hidup (merokok, konsumsi minuman berkarbonasi, konsumsi minuman berenergi, dan aktivitas fisik). Data penelitian dianalisis secara bivariat dan multivariat menggunakan uji chi square dan binary logistic regression. Prevalensi Penyakit Ginjal Kronik pada usia produktif (19-60 tahun) di Indonesia tahun 2018 adalah 1,7%. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara usia (p=0,000), diabetes melitus (p=0,001), hipertensi (p=0,000), obesitas (p=0,004), serta konsumsi minuman berkarbonasi (p=0,047) dengan kejadian penyakit ginjal kronik pada usia produktif (19-60 tahun). Hasil uji statistik multivariat menunjukkan bahwa usia OR 3,709 (95% CI: 2,325-5,919) merupakan faktor paling dominan berhubungan dengan kejadian Penyakit Ginjal Kronik pada usia produktif (19- 60 tahun) di Indonesia tahun 2018. Saran utama yang dapat diberikan untuk mengurangi kejadian Penyakit Ginjal Kronik pada usia produktif, yaitu mengoptimalkan program pencegahan Penyakit Tidak Menular (PTM), termasuk Penyakit Ginjal Kronik dan faktor-faktornya.

Chronic Kidney Disease has various impacts at the individual and national levels. The prevalence of this disease is also rising. This thesis aims to determine the prevalence and dominant factors of Chronic Kidney Disease in productive age (19-60 years old) in Indonesia in 2018 from the 2018 Riskesdas data analysis. This study was conducted in March-July 2023 using a cross-sectional design. The study population was Indonesian at productive age (19-60 years old) with a total sample of 9400 people. The study variables include demographic characteristics (age and gender), non-communicable diseases (diabetes mellitus, hypertension, and obesity), and lifestyle (smoking, consumption of carbonated drinks, consumption of energy drinks, and physical activity). The data were analyzed using chi-square and binary logistic regression. The prevalence of Chronic Kidney Disease in productive age (19-60 years) in Indonesia in 2018 was 1.7%. Bivariate analysis showed that there was a relationship between age (p=0.000), diabetes mellitus (p=0.001), hypertension (p=0.000), obesity (p=0.004), and carbonated drinks consumption (p=0.047) with the incidence of chronic kidney disease at productive age (19-60 years old). Multivariate analysis shows that age OR 3.709 (95% CI: 2.325-5.919) is the most dominant factor associated with the incidence of Chronic Kidney Disease in productive age (19-60 years) in Indonesia in 2018. Based on the evidence, the suggestion to prevent Chronic Kidney Disease is to optimize Non-Communicable Disease (NCD) prevention programs, including Chronic Kidney Disease and its factors."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Kuntarti Heruyanto
"ABSTRAK
Latar Belakang: Prevalensi penyakit ginjal kronik (PGK) meningkat pada usia lanjut. Berdasarkan Riskesdas 2013, prevalensi PGK lebih tinggi pada usia 55-75 tahun dibandingkan usia kurang dari 55 tahun. Pada usia lanjut terjadi perubahan struktur dan fungsi ginjal, serta adanya riwayat penyakit komorbid seperti diabetes
melitus (DM), hipertensi, penyakit jantung dan pembesaran prostat, menjadi faktor risiko yang meningkatkan terjadinya PGK. Komplikasi yang dapat timbul pada penderita PGK antara lain frailty dan protein energy wasting, yang menyebabkan penurunan kapasitas fungsional dan kualitas hidup, serta peningkatan morbiditas dan mortalitas. Terapi nutrisi yang adekuat berperan penting untuk mencegah protein energy wasting dan komplikasi lain yang dapat timbul pada PGK.
Metode: Laporan serial kasus ini memaparkan empat kasus PGK pada pasien usia di atas 60 tahun. Dua pasien memiliki penyakit komorbid DM dan hipertensi, dan
dua lainnya hanya hipertensi. Keempat pasien dalam serial kasus ini termasuk PGK derajat IV dan V. Pada dua kasus dilakukan hemodialisis, sementara pada dua lainnya belum dilakukan. Masalah yang timbul pada keempat kasus adalah
terdapat gejala-gejala sindroma uremia yaitu mual, muntah, anoreksia, lemas, sesak, dan anemia sehingga asupan makanan tidak adekuat dan terjadi penurunan
kapasitas fungsional. Kebutuhan energi pasien dihitung dengan menggunakan persamaan Harris-Benedict ditambah faktor stres dan pemberian protein disesuaikan dengan sudah atau belum dilakukan hemodialisis. Komposisi
karbohidrat dan lemak disesuaikan dengan rekomendasi theurapeutic lifestyle changes (TLC) dan American Diabetes Association (ADA). Suplementasi mikronutrien diberikan sesuai dengan kondisi pasien. Pemantauan pasien
dilakukan setiap hari dengan memperhatikan perubahan gejala klinis, tanda vital, imbang cairan, kapasitas fungsional, analisis dan toleransi terhadap makanan,
serta hasil pemeriksaan laboratorium.
Hasil: Pemantauan yang dilakukan pada empat pasien selama perawatan di rumah sakit menunjukkan terjadi perbaikan gejala klinis serta peningkatan asupan makanan dan kapasitas fungsional.
Kesimpulan: Terapi nutrisi dapat mendukung terapi utama pada penderita PGK usia lanjut dalam memperbaiki keadaan klinis dan kapasitas fungsional, serta mencegah komplikasi lebih lanjut

ABSTRACT
Background: The prevalence of chronic kidney disease (CKD) increases in the elderly. Based on Riskesdas 2013, the prevalence of CKD is higher in the age of 55-75 years old compared to below 55 years of age. In the elderly, there are alterations in kidney structure and function, as well as history of comorbidities include diabetes mellitus, hypertension, heart disease and prostate hypertrophy that increase the factor CKD. Complication that may occur in patients with CKD including frailty and protein energy wasting, which can cause decreased
functional capacity and quality of life, and increased morbidity and mortality. Adequate nutrition therapy plays an important role in preventing protein energy wasting and other complications that may arise in CKD.
Methods: This case series report describes four cases of CKD in patients aged above 60 years old. Two patients have comorbid disease diabetes mellitus and hypertension and the others have only hypertension. The four patients in this case series are in CKD stage IV and V. Two cases with hemodialysis, while in the others has not done yet. Problems arising in all cases are uremic syndrome
symptoms such as nausea, vomiting, anorexia,fatigue, dypsnea, and anemia causing inadequate food intake and decreased functional capacity. Energy requirements of the patients calculated using the Harris-Benedict equation added by stress factor and the amount of protein depends on whether the hemodialysis has or has not been applied. Carbohydrate and fat composition appropriated to the
theurapeutic lifestyle changes (TLC) and the American Diabetes Association (ADA) recommendations. Micronutrients supplementation was given in
accordance to patient's condition. Patient monitoring is carried out every day by observing changes in clinical symptoms, vital signs, fluid balance, functional
capacity, dietary analysis and food tolerance, and laboratory resultsResults: Monitoring conducted in the four patients during treatment at the hospital showed the improvements in clinical symptoms, and increased in food
intake and functional capacity.
"
Ilmu Gizi Klinik, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Benedictus Ansell Susanto
"Latar belakang: Prediabetes adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah di bawah kriteria diagnosis diabetes yang memicu inflamasi yang menurunkan fungsi ginjal. Vitamin D3 dapat menurunkan ekspresi faktor inflamasi IL-6 dan meringankan inflamasi ginjal. Dari itu, vitamin D3 memiliki potensial yang belum diselidiki untuk menurunkan inflamasi karena prediabetes pada ginjal.
Metode: Dilakukan pengukuran IL-6 pada ginjal tikus Wistar dengan ELISA. Tikus dibagikan menjadi tikus sehat sebagai kontrol negatif dan prediabetes. Induksi prediabetes dilakukan dengan diet tinggi lemak dan glukosa bersama dengan injeksi streptozotocin. Tikus prediabetes dibagikan lagi menjadi tiga kelompok intervensi, yaitu kontrol positif dan suplementasi vitamin D3 dengan dosis 100 dan 1000 IU/kgBB/hari. Penelitian dilaksanakan selama 12 minggu. Rerata konsentrasi IL-6 dibuatkan rasio dengan konsentrasi protein total sampel. Perbedaan antarkelompok rasio tersebut diujikan menggunakan one-way ANOVA dengan IBM SPSS Statistics ver. 26 dari IBM Corp.
Hasil: Rerata rasio IL-6/protein total adalah 2,379 ng/mg protein untuk kontrol positif. Kontrol negatif memiliki rerata rasio 2,053 ng/mg protein. Kelompok intervensi 100 dan 1000 IU/kgBB/hari memiliki rerata rasio 1,692 dan 1,609 ng/mg protein. Tren penurunan IL-6 dengan suplementasi vitamin D3 pada kelompok prediabetes tidak bermakna.
Kesimpulan: Suplementasi vitamin D3 dengan dosis 100 dan 1000 IU/kgBB/hari pada tikus model prediabetes tidak menurunkan IL-6 pada ginjal.

Background: Prediabetes is a metabolic condition defined by subthreshold increase in blood glucose for diabetes diagnosis. Prediabetes causes low-level inflammation that may impair kidney function. Vitamin D3 has been shown to reduce proinflammatory factors, such as IL-6 and alleviate kidney inflammation in paracetamol toxicity. IL-6 can also be used as a kidney inflammation marker. Therefore, vitamin D3 provides an unexplored potential as an agent to reduce prediabetic kidney inflammation.
Methods: IL-6 measurement was conducted on frozen Wistar rat kidneys using ELISA. The rats were grouped into healthy for negative control and prediabetic groups. Prediabetes was induced by a high fat and glucose diet and streptozotocin injection. Prediabetic rats were further grouped into a positive control group and two intervention groups with vitamin D3 supplementation doses of 100 and 1000 IU/kgBM/day. The experiment was run for 12 weeks. Mean IL-6 concentration was ratioed with total sample protein. The ratios between the groups were tested with one-way ANOVA using IBM SPSS Statistics ver. 26 by IBM Corp.
Results: The healthy rat kidneys had a IL-6 to protein ratio of 2.379 ng/mg protein. Meanwhile, the ratios for the prediabetic rat model groups were 2.053, 1.692, and 1.609 ng/mg protein for the no supplementation, 100 IU/kgBM/day, and 1000 IU/kgBM/day groups respectively. Despite a decreasing trend with increasing supplement dosages, no statistically significant difference was found between any group.
Conclusion: Vitamin D3 supplementation at 100 and 1000 IU/kgBM/day in prediabetic rat models does not significantly reduce kidney IL-6.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
William Nathaniel
"Prediabetes adalah kondisi dimana kadar gula darah seseorang diatas batas normal tetapi belum mencapai kriteria diagnosis diabetes melitus. Hiperglikemia pada penderita prediabetes dapat meningkatkan penanda inflamasi kronik dan pembentukan spesies oksigen reaktif, yang akan meningkatkan stres oksidatif. Kadar GSH (glutation tereduksi), GSSG (glutation teroksidasi), dan rasio GSH/GSSG dapat diukur untuk melihat tingkat stres oksidatif. Dilakukan pengukuran GSH dan GSSG pada ginjal tikus Wistar dengan metode kolorimetri. Tikus dibedakan menjadi tikus sehat sebagai kontrol negatif dan prediabetes. Induksi prediabetes dilakukan dengan diet tinggi lemak dan glukosa ditambah injeksi streptozotocin. Tikus prediabetes terbagi menjadi tiga kelompok intervensi, yaitu tanpa suplementasi vitamin D3 dan suplementasi vitamin D3 dengan dosis 100 dan 1000 IU/kgBB/hari. Pemberian vitamin D3 pada tikus model prediabetes tidak memberikan efek yang signifikan secara statistik pada kadar GSH (p=0,077) dan GSSG (p=0,509) ginjal tikus. Pemberian vitamin D3 dosis rendah (100 IU/kgBB/hari) meningkatkan rasio GSH/GSSG ginjal tikus model prediabetes (2,59 ± 0,32) dibandingkan dengan ginjal tikus model prediabetes tanpa pemberian vitamin D3 (1,68 ± 0,80) dan signifikan secara statistik (p = 0,026). Suplementasi vitamin D 100 IU/kgBB/hari pada ginjal tikus prediabetes dapat meningkatkan rasio GSH/GSSG secara signifikan.

Hyperglycemia in prediabetic patients can increase the formation of reactive oxygen species, which will increase oxidative stress. GSH (reduced glutathione), GSSG (oxidized glutathione), and the GSH/GSSG ratio can be measured to see the level of oxidative stress. GSH and GSSG were measured in the kidneys of Wistar rats using the colorimetric method. Mice were differentiated into healthy mice as negative controls and prediabetes. Prediabetes was induced with a diet high in fat and glucose plus injection of streptozotocin. Prediabetic rats were divided into three intervention groups, namely without vitamin D3 supplementation and vitamin D3 supplementation at doses of 100 and 1000 IU/kgBW/day. Administration of vitamin D3 to prediabetic rats did not have a statistically significant effect on rat kidney GSH (p=0.077) and GSSG (p=0.509) levels. Administration of low-dose vitamin D3 (100 IU/kgBW/day) increased the ratio of GSH/GSSG in the kidneys of prediabetic rat models (2.59 ± 0.32) compared to the kidneys of prediabetic rats without administration of vitamin D3 (1.68 ± 0.80) and statistically significant (p = 0.026). Supplementation of vitamin D 100 IU/kgBB/day in the kidneys of prediabetic rats can significantly increase the ratio of GSH/GSSG."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>