Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 194725 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Violine Martalia
"atar belakang: Prevalensi penyakit Parkinson di Indonesia terus meningkat, khususnya pada lansia. Namun, penyakit Parkinson seringkali hanya dikaitkan dengan gangguan motoriknya saja, gangguan non-motoriknya sering diabaikan. Padahal, gangguan non-motorik dapat memengaruhi kualitas hidup. Salah satu gangguan non-motorik yang sering terjadi adalah gangguan tidur. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran gangguan tidur pada pasien penyakit Parkinson di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Metode: Metode penelitian ini adalah cross-sectional yang dilakukan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada Mei sampai September 2022. Instrumen yang digunakan merupakan kuesioner dengan teknik consecutive sampling yaitu 31 pasien penyakit Parkinson. Uji univariat digunakan untuk melihat distribusi prevalensi penyakit Parkinson, uji Chi Square untuk menilai hubungan antarvariabel, dan uji Fisher’s exact untuk menilai hubungan status depresi dengan gangguan tidur. Hasil: Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa 61.3% subjek memiliki gangguan tidur berdasarkan PSQI dan 35.5% memiliki EDS berdasarkan ESS. Terdapat hubungan yang bermakna antara faktor depresi dengan gangguan tidur berdasarkan PSQI dan ESS. Status depresi memengaruhi bermakna kejadian EDS dengan mayoritas pasien depresi ringan. Kesimpulan: Disimpulkan bahwa gangguan tidur pada pasien penyakit Parkinson di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi dan klinis.

Introduction: The prevalence of Parkinson's disease in Indonesia is increasing, especially in elderly. However, Parkinson's disease is often only associated with motor disorders, non-motor disorders are often neglected even though it can also affect quality of life. One of the non-motor disorders that often occurs is sleep disorders. Therefore, this study aims to provide an overview of sleep disorders in Parkinson's disease patients and factors that influence it. Method: A cross-sectional study was conducted at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo from May to September 2022. The instrument used was questionnaires with a consecutive sampling technique, namely 31 Parkinson's disease patients. Univariate test was used to see the distribution of Parkinson's disease, Chi Square test to assess the relationship between variables, and Fisher's exact test to assess the relationship between depression status and sleep disorders. Result: Statistical analysis showed that 61.3% subjects experienced sleep disorders (PSQI) and 35.5% experienced EDS (ESS). The relationship between depression and sleep disorders based on PSQI and ESS is significant. Depressive status is associated with EDS with the majority being mild depression. Conclusion: Sleep disorders in Parkinson's disease patients at dr. Cipto Mangunkusumo is influenced by sociodemographic and clinical factors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arden Gabrian
"Gangguan otonom pada penyakit Parkinson lebih banyak dialami dan berdampak pada kualitas hidup dan mortalitas pasien dibandingkan gejala motoriknya. Namun, hal tersebut jarang mendapat perhatian klinis dan data mengenai karakteristiknya masih minim di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk menggambarkan karakteristik gangguan otonom pada pasien penyakit Parkinson serta faktor yang memengaruhinya menggunakan instrumen SCOPA-AUT INA (Scale for Outcome in Parkinson`s Disease - Autonomic bahasa Indonesia) di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Penelitian ini dilakukan di RSCM pada Mei 2021 hingga September 2022 dengan desain potong lintang dan melibatkan 31 pasien penyakit Parkinson sebagai subjek. Data diambil melalui wawancara menggunakan SCOPA-AUT INA dan melihat rekam medis. Uji statistik yang digunakan adalah uji univariat, chi-square, dan U Mann-Whitney. Ditemukan bahwa 100,0% subjek mengalami gangguan otonom yang terdistribusi dalam domain gastrointestinal (96,8%), urin (93,5%), termoregulasi (67,7%), seksual (51,6%), kardiovaskular (48,4%), dan pupil (12,9%). Ditemukan hubungan bermakna antara faktor usia ≥60 tahun dengan peningkatan gangguan urin, jenis kelamin laki-laki dengan peningkatan gangguan seksual, terapi levodopa dengan peningkatan gangguan gastrointestinal, dan terapi triheksifenidil dengan peningkatan gangguan pupil. Tidak ditemukan hubungan bermakna antara gangguan otonom dengan durasi dan keparahan penyakit Parkinson. Studi ini menyimpulkan bahwa gangguan otonom ditemukan pada seluruh subjek dengan penyakit Parkinson di RSCM dan dipengaruhi oleh faktor demografis dan klinis, khususnya usia, jenis kelamin, dan jenis terapi anti-Parkinson.

Autonomic dysfunctions in Parkinson’s disease are often undiagnosed or untreated and the current data regarding its profile is still limited in Indonesia despite it being more common and having more impact on their quality of life and mortality rate compared to motor symptoms of Parkinson’s disease. Therefore, research is needed on the profile and affecting factors of autonomic dysfunction in Parkinson’s disease patients using the SCOPA-AUT INA (Scale for Outcome in Parkinson`s Disease - Autonomic – Indonesian version) in RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). This cross-sectional study is done in RSCM from May 2021 to September 2022 with 31 Parkinson’s disease patients enrolled as subjects. The results are taken from interviews using the SCOPA-AUT INA questionnaire and from the subjects’ medical records. Univariable, chi-square test, and U Mann-Whitney statistical tests are used in data analysis. This study found that 100,0% of the subjects reported having autonomic dysfunctions categorized into gastrointestinal (96,8%), urinary (93,5%), termoregulatory (67,7%), sexual (51,6%), cardiovascular (48,4%), and pupillomotor (12,9%). There is a statistically significant correlation between subject age of 60 or above and increase in urinary dysfunction, male sex with increase in sexual dysfunction, levodopa therapy with increase in gastrointestinal dysfunction, and trihexyphenidyl therapy with increase in pupillomotor dysfunction. No correlation is found between autonomic dysfunctions and Parkinson’s disease duration or clinical staging. Autonomic dysfunctions are found in all of the Parkinson’s disease patients enrolled as subjects in this study and are affected by demographic and clinical characteristics, especially age, sex, and anti-Parkinson therapy."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Arasen
"ABSTRAK
Latar Belakang. Gangguan otonom merupakan gejala yang cukup sering dialami
oleh pasien Parkinson. Gangguan ini sudah dapat ditemukan sejak awal stadium
penyakit. Gangguan otonom meliputi gangguan gastrointestinal, urologi,
kardiovaskular, seksual dan termoregulasi. Untuk mendeteksi gangguan otonom
dapat digunakan kuesioner SCOPA-AUT (Scale for Outcomes in Parkinson’s
Disease for Autonomic Symptoms). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui gambaran gangguan otonom pada pasien Parkinson di Poliklinik
Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RSUPN Fatmawati.
Metode. Penelitian dilakukan dengan menggunakan desain potong lintang.
Pengumpulan data dilakukan pada bulan April hingga Juni 2012.
Hasil. Sebanyak 54 subyek penelitian yang terdiri dari 33 (61,1%) pria dan 21
(38,9 %) wanita diikutsertakan dalam penelitian ini. Pasien Parkinson pada
penelitian ini berusia antara 45-79 tahun. Sebagian besar pasien memiliki durasi
sakit kurang dari 5 tahun (63%), stadium Hoehn & Yahr 1-2 (63%) dan memakai
terapi kombinasi levodopa dengan agonis dopamin (79,6%). Gangguan otonom
didapatkan pada seluruh subyek penelitian. Gangguan otonom yang paling sering
dialami pasien Parkinson adalah masalah urologi berupa nokturia (79,6%) dan
urinary frequency (57,3%), serta masalah gastrointestinal yaitu sialorea (51,9%)
dan mengejan kuat saat buang air besar (50%) Tidak ada pasien yang mengalami
inkontinensia feses atau jatuh pingsan.
Kesimpulan. Seluruh pasien Parkinson pada penelitian ini mengalami gangguan
otonom. Telah diketahui proporsi gangguan otonom pada pasien Parkinson di
Poliklinik Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RSUPN Fatmawati.

ABSTRACT
Background. Autonomic symptoms are quite often reported by Parkinson’s
disease patients. These symptomps are found already in early stage of disease.
Autonomic symptomps comprise gastrointestinal, urinary, cardiovascular, sexual
and thermoregulation symptomps. SCOPA-AUT (Scale for Outcomes in
Parkinson’s Disease for Autonomic Symptoms) questionnaire can detect
autonomic dysfunctions. The purpose of this study is to obtain profile of
autonomic symptomps in Parkinson’s disease patients in neurology clinic in
RSUPN Cipto Mangunkusumo and RSUPN Fatmawati.
Methods: a cross sectional study was conducted between April and June 2012
Results: A total of 54 patients, i.e. 33 (61,1%) man and 21 (38,9 %) woman, were
recruited in this study. The age of patients was between 45 and 79 years. Most
patients have illness duration less than 5 years (63%), Hoehn & Yahr stage 1-2
(63%) and use combination therapy (levodopa with dopamine agonist) (79,6%).
Autonomic symptoms are complained by all patients. Most frequent autonomic
symptomps reported by Parkinson’s disease patients are nocturia (79,6%), urinary
frequency (57,3%), sialorea (51,9%) and strain hard when pass stools (50%).
There are no patients who complained involuntary loss of stools or fainted.
Conclusion. All Parkinson’s disease patients in this study reported autonomic
symtomps. Autonomic symptomps profile has been known in Parkinson’s disease
patients in neurology clinic in RSUPN Cipto Mangunkusumo and RSUPN
Fatmawati"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Alyaa Salma Ghozali
"Pengetahuan mengenai PD memainkan peran penting dalam mempengaruhi sikap pengasuh. Diketahui bersama bahwa meningkatkan taraf pengetahuan dapat membantu pengasuh mengatasi beban tertentu yang berkaitan dengan perawatan Pasien PD. Penelitian ini membahas tentang mengidentifikasi hubungan antara pengetahuan dan perilaku di antara para perawat pasien PD. Delapan belas sampel diambil dari Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Setiap individu telah diwawancara melalui panggilan suara dan pembagian kuesioner. Di awal pengambilan survei, pihak yang diwawancara diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan biodata pengasuh dan informasi pasien; usia, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, hubungan dengan pasien, stadium PD Hoehn & Yahr, dan tanggal diagnosis PD. Diikuti dengan 10 pertanyaan benar atau salah tentang pengetahuan dasar PD dan diakhiri dengan 10 pertanyaan empat-skala Likert yang mencakup sikap dari para perawat pasien PD. Secara keseluruhan, para pengasuh mendapatkan hasil yang cukup tinggi (> 40%) di kedua kuesioner yang telah diberikan. Tidak ada signifikansi statistik dalam kaitannya dengan hubungan antara pengetahuan dan sikap. Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan sikap pengasuh. Namun, hal itu bertentangan dengan penelitian lain. Perbedaannya mungkin karena ukuran sampel. Diperlukan studi lebih lanjut untuk mengidentifikasi hubungan dan dampak Pendidikan.

Knowledge may play an important role in influencing the caregivers’ attitudes and the overall quality of care towards PD patients. It was known that improving knowledge can help caregivers overcome certain burdens, relative to PD care. This study identifies and discusses the relationship between knowledge and the attitude amongst caregivers of PD patients in RSCM. 18 samples were collected from Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital. Individuals were interviewed with a questionnaire via voice call. Caregivers were initially asked for their biodata and patient’s information; age, gender, occupation, education level, relationship to the patient, patient’s Hoehn & Yahr PD stage, and date of onset PD diagnosis. Afterward, they have given 10 true or false questions about basic PD knowledge and 10 four-point Likert Scale questions that covered the attitudes of the caregivers. Caregivers overall mostly achieved “moderate-high” (>40%) levels from both attitude and knowledge questionnaires given. It was found that there no statistical significance in the relationship between knowledge and attitude (p=0.316). The study shows that there is no significant relationship between knowledge and attitude of caregivers. The distinction may be due to the sample size. Further studies in regards to identifying the relationship and well the impact of education are needed."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatia Marwa Nastitie
"Penyakit Parkinson atau yang biasa disebut PD merupakan gangguan pada sistem koordinasi gerakan manusia yang ditandai dengan gejala motorik dan non-motorik. Pada stadium lanjut PD, diagnosis klinis cukup jelas dalam pendeteksian. Namun, pada tahap awal, ketika gejala masih belum terlihat dengan jelas, diagnosis menjadi sulit dan terkadang pasien tetap tidak terdiagnosis atau bahkan salah diagnosis. Penelitian ini berfokus pada identifikasi faktor-faktor yang dapat menjadi gejala awal PD berdasarkan gangguan aktivitas keseharian dan gangguan perilaku tidur Rapid Eye Movement. Penelitian ini juga membahas klasifikasi penderita PD stadium awal menggunakan model klasifikasi statistika Classification tree beserta penanganan masalah missing value yang terjadi pada data PD. Faktor penting berdasarkan model Classification Tree adalah tremor, dress difficulty, speech difficulty, skor gangguan perilaku tidur REM, dan usia. Diperoleh model classification tree dengan melakukan proses penanganan missing value menggunakan metode K-Nearest Neighbour. Model tersebut memberikan nilai akurasi sebesar 86.5%, sensitivitas sebesar 80%, spesifisitas sebesar 91.57% dan AUC sebesar 0.858.

Parkinson’s Disease or commonly known as PD is a disorder in human movement coordinator system that are characterized by motoric and non-motoric symptoms. At the late stage of PD, clinical diagnosis is relatively easy to detect because the symptoms are clear-cut. However, when the symptoms are often incomplete or subtle, in the initial stage, diagnosis becomes difficult and sometimes subject still remain undiagnosed or even misdiagnosed. This research focuses on identifying factors in early stage PD based on patient daily activities and rapid eye movement sleeping behaviour disorder (RBD). Data analysis was conducted using classification tree method, to classify early stage PD patients or healthy control patients. Missing values were handled with k-Nearest Neighbour (kNN) method. The results were satisfactory, with the classification accuracy of 86.5%, sensitivity 80%, specificity 91.57% and AUC 0.858. It is also found that tremor, dressing difficulty, speech difficulty, RBD questionnaire score, and age are important in differentiating early stage PD from the healthy control."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Banon Sukoandari
"Latar Belakang
Meningkatnya pertumbuhan populasi usia lanjut, mengharuskan untuk memberikan perhatian besar kepada penyakit degeneratif atau penyakit dengan awitan usia lanjut. Penyakit Parkinson merupakan salah satu penyakit degeneratif tersebut.
Obyektif
Menyediakan data dasar penderita penyakit Parkinson sesuai pokok-pokok pada SPTPP (Skala Penilaian Terpadu Penyakit Parkinson)
Metoda
Merupakan penelitian deskriptif cross sectional dengan subyek penderita penyakit Parkinson yang berobat ke poliklinik saraf RSCM, dalam kurun waktu Oktober-Desember 2005. Pengolahan data dengan menggunakan SPSS versi 10.0
Hasil Penelitian
Terdapat 42 subyek yang masuk kriteria inklusi, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan yang hampir sama (1,03:1), rata-rata berusia 63,62 tahun (stand dev 10,95), sebagian besar tidal( bekerja dan tinggal bersama keluarga. Usia awitan sakit rata-rata 57,55 tahun (stan dev 9,92) dengan durasi sakit rata-rata 6,10 tahun (stand dev 5,23). Levodopa dan antikolinergik merupakan obat anti Parkinson yang paling banyak dipergunakan oleh subyek (97,63% dan 80,97%), yaitu dalam bentuk kombinasi keduanya.
Rata-rata hasil pemeriksaan SPTPP adalah skor sub skala I 2,98 (stand dev 2,77), skor sub skala II 14,10 (stand dev 9,76), skor sub skala III 17,93 (stand dev 11,02), sub skala IV 3,02 (stand dev 3,27). Rata-rata derajat keparahan subyek adalah stadium 2,417 menurut skala Hoehn-Yahr, dan-rata-rata skala Schwab-England adalah 71,43% (stand dev 22,59)
Gejala kardinal terbanyak pada subyek adalah rigiditas dan bradikinesia; sedangkan subyek dengan skala schwab-England rendah memiliki skor instabilitas postural dan bradikinesia yang tinggi. Gejala motorik yang berhubungan dengan terapi yang terbanyak adalah freezing, diikuti fluktuasi klinis dan distonia. Gangguan mentasi-intelektual merupakan gejala non motorik yang meiicolok pada subyek.
Aktifitas utama sehari-hari yang paling banyak terganggu adalah mengenakan baju dan berjalan. Mengenakan baju juga gangguan yang paling banyak memerlukan bantuan orang lain. Terdapat kecenderungan antara durasi sakit dan SPTPP; semakin lama durasi sakit semakin besar skor SPTPP dan Hoehn-Yahr serta semakin rendah skor Skala Schwab-England. Di samping itu terdapat pula kecenderungan antara basil pemeriksaan gejala motorik dan basil pemeriksaan kemampuan subyek.
Kesimpulan
Adanya trend bahwa semakin lama durasi sakit semakin berat gangguan mentasi, perilaku dan mood; semakin berat gejala motorik, semakin tinggi derajat keparahan serta semakin banyak komplikasi pengobatan. Semakin lama durasi saki! juga menunjukkan semakin berat ketidakmampuan melakukan aktifitas sehari-hari dan semakin besar ketergantungan pada orang lain. Terdapat trend bahwa semakin berat gejala motorik dan semakin parah derajat sakit semakin buruk fungsi subyek penelitian. Terdapat asumsi pada status gejala motorik yang sama, subyek menunjukkan fungsi aktifitas sehari-hari yang lebih buruk dibanding subyek penelitian lain di luar negeri.

Background
The increasing number of elderly people necessitates considerable attention to degenerative disease or late-age onset disease; Parkinson disease constitutes one of the degenerative disease
Objective
To provide basic data on Parkinson patients based on UPDRS (Unified Parkinson Disease Rating Scale = SPTPP Skala Penilaian Terpadu Penyakit Parkinson)
Method
A descriptive cross-sectional study that involved Parkinson patients that presented to the outpatient clinic of RSCM from October to December 2005. SPSS version 10,0 was used for the data processing
Result
42 subjects met the inclusion criteria with the almost similar ratio of male - female patients (1.03 : 1), with the mean age 63,62 (stand deviation 10.95) and most of them were unemployed and lived with their families. The mean morbid age was 57.55 (stand dev 9.92) with the mean morbid duration 6.10 years (stand dev 5.23), Levodopa and anticholinergic agent were the most common medicines taken by subjects (97.63% and 80.97%) in the combination therapy.
The mean result of UPDRS 1 SPTPP examination were sub-scale I score 2.98 (stand dev 2.77), sub-scale II score 14.10 (stand dev 9.76), sub-scale III score 17.93 (stand dev 11.02) and sub-scale IV score 3.02 (stand dev 3.27). The mean severity degree of the subjets was at stage 2.417 based on I-Ioehn-Yahr scale and the mean Schwab-England scale was 71.43% (stand dev 22.59)
The most frequently found cardinal symptom in the subjects were rididity and bradykinesia; whereas subjects with low Schwab-England scale had high postural instability and bradykinesia score. The most common motoric symptom found correlated with the therapy were freezing; clinical fluctuation and dystonia. Mental - intelectual disturbance was the most conspicuous non -- motorik symptom in subjets
The most disturbed daily activities were putting on clothing and walking. Putting on clothing was the activity that need most help from the most significant members of the family.
There was a trend between the morbid duration and UPDRS 1 SPTPP; the longer the morbid duration, the higher the SPTPP Hoehn-Yahr score were and the lower the Schwab-England scale was. In addition to that, there was a propensity between the motoric symptom assessment and the examination result of the subject's performance.
Conclusion
There was a trend thet showed the longer the morbid duration was, the more severe the mental, behavior and mood disturbances were; the more severe the motoric symptom, the higher the serety degree was as well as the higher need for the treatment of complications. The more prolonged morbid duration also revealed the more serious disability of conducting every day activities and the higher dependence on other people. There was propensity for the worse function of the trial subjects due to the more severe motoric symptom and higher degree of disease severity. There has been some assumption that at the same status of motoric symptom, the subjects showed worse function of daily activities compared with other trial subjects in other countries.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58750
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neni Junaeni
"Hemodialisis merupakan terapi pengganti fungsi ginjal terbanyak yang dijalani pasien gagal ginjal tahap akhir. Pasien yang menjalani terapi hemodialisis rutin seringkali memiliki kualitas tidur yang buruk. Kualitas tidur yang buruk pada pasien hemodialisis dapat menurunkan kualitas hidup, meningkatkan penyakit autoimun, infeksi dan risiko kardiovaskular yang pada akhirnya dapat juga meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Keluhan tidur pada pasien hemodialisis diduga karena efek dari hemodialisis dan progresifitas penyakit gagal ginjal itu sendiri. Terapi untuk mengatasi gangguan tidur dilakukan dengan metode sleep hygiene. Sleep hygiene merupakan modifikasi perilaku kesehatan atau membangun kebiasaan sebelum tidur yang mencakup aktivitas, waktu tidur dan lingkungan yang tenang dengan tujuan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas tidur. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi hubungan sleep hygiene dengan kualitas tidur pada pasien hemodialisis. Desain penelitian menggunakan cross sectional dengan consecutive sampling terhadap 106 responden yang menjalani hemodialisis rutin di Unit HD PJT RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan (p<0,05) antara sleep hygiene dengan kualitas tidur (p=0,046). Perawat perlu mengajarkan intervensi sleep hygiene secara terprogram beserta evaluasinya untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas tidur yang baik pada pasien hemodialisis.

Hemodialysis is the most common renal replacement therapy for end stage renal disease patients. These patients who undergoing regular hemodialysis often experience a poor of sleep quality. Poor sleep quality can reduce their quality of life, since increasing autoimmune diseases, infections and cardiovascular risks, ultimately can also increase morbidity and mortality. Sleep complaints in hemodialysis patients are thought to be due to the effects of hemodialysis and the progression of kidney failure itself. Therapy to treat sleep disorders is carried out using the sleep hygiene method. Sleep hygiene is a modification of health behavior or building habits before sleeping that include activities, sleep time and a calm environment to increase the quantity and quality of sleep. This study aims to identify the relationship between sleep hygiene and sleep quality in hemodialysis patients. The research design used is cross sectional with a consecutive sampling of 106 respondents undergoing regular hemodialysis at the PJT HD Unit, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Based on the research results, it shows that there was a significant relationship (p<0.05) between sleep hygiene and sleep quality (p=0,046). Therefore, nurses need to carry out and teach the patients sleep hygiene interventions and their evaluation to improve and maintain a good sleep quality in hemodialysis patients. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Astiny
"ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit Parkinson merupakan suatu kondisi neurodegeneratif kronik progresif dengan gejala motorik dan nonmotorik. Gejala nonmotorik yang paling sering ditemukan pada penyakit Parkinson adalah gangguan tidur dengan prevalensi sebanyak 65-95 . Scales for Outcome in Parkinson rsquo;s Disease Sleep SCOPA-SLEEP adalah kuesioner tidur yang terdiri dari skala nighttime scale NS , daytime scale DS , dan skala penilaian kualitas tidur. Kuesioner ini digunakan untuk menapis dan menilai derajat keparahan gangguan tidur pada penyakit Parkinson yang direkomendasikan oleh Movement Disorder Society MDS . Tujuan: Mendapatkan instrumen SCOPA-SLEEP versi bahasa Indonesia yang valid dan reliabel.Metode: Tiga puluh tujuh pasien penyakit Parkinson di Poliklinik Neurologi dan Geriatri Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang memenuhi kriteria inklusi diikutsertakan dalam penelitian potong lintang ini. Pasien mengisi kuesioner SCOPA-SLEEP sebanyak 2 kali dengan jarak waktu 1 minggu. Konsep yang digunakan untuk uji validitas SCOPA-SLEEP INA adalah validasi lintas budaya menurut metode World Health Organization WHO . Uji reliabilitas dinilai menggunakan nilai alpha Cronbach.Hasil: SCOPA-SLEEP INA telah melalui validasi lintas budaya menurut WHO dengan nilai koefisien korelasi Spearman berkisar antara 0,479-0,880 pada pemeriksaan pertama dan 0,359-0,899 pada retest. Nilai alpha Cronbach pada pemeriksaan pertama adalah 0,827 untuk skala NS dan 0,723 untuk skala DS. Pada retest nilai alpha Cronbach untuk skala NS adalah 0,853 dan 0,592 untuk skala DS. Kesimpulan: SCOPA-SLEEP INA valid dan reliabel untuk digunakan sebagai instrumen penapis dan penilai gangguan tidur pada penyakit Parkinson.

ABSTRACT
Background Parkinson rsquo s disease PD is a chronic progressive neurodegenerative disease with motor and non motor symptoms. Sleep disorders are the most common non motor symptoms in PD with prevalence of 65 95 . Scales for Outcome in Parkinson rsquo s Disease Sleep SCOPA SLEEP is a sleep questionnaire which consist of nighttime scale NS , daytime scale DS , and quality of sleep scale. It is recommended by Movement Disorder Society MDS to screen and assess the severity of sleep disorders in PD.Aim To gain a valid and reliable Indonesian version of SCOPA SLEEP instrument.Method Thirty seven PD patients in the Neurology and Geriatric clinic of Cipto Mangunkusumo hospital which fulfilled the inclusion criteria were included in this cross sectional study. These patients answered the SCOPA SLEEP twice with 1 week interval. The concept of validity study test of SCOPA SLEEP INA was transcultural validation based on World Health Organization WHO method. Reliability study test was assessed by Cronbach rsquo s alpha score.Results SCOPA SLEEP INA had transcultural validation based on WHO method with Spearman rsquo s correlation coefficient scores ranged from 0.479 to 0.880 in first test and 0.359 0.899 in the retest. Cronbach rsquo s alpha score in first test were 0.827 for NS scale and 0.723 for DS scale, respectively. In the retest, they were 0.853 for NS scale and 0.592 for DS scale, respectively.Conclusion SCOPA SLEEP INA is a valid and reliable instrument to be used as instrument in screening and assessing sleep disorders in PD."
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gestana Andru
"Latar Belakang. Gangguan tidur sering dijumpai pada penyakit autoimun seperti lupus eritematosus sistemik (LES). Tidur yang buruk berdampak pada kualitas hidup yang rendah serta eksaserbasi akut dari inflamasi akibat LES. Penelitian mengenai kualitas tidur yang buruk pada pasien LES serta faktor - faktor yang berhubungan di Indonesia masih terbatas.
Tujuan. Mengetahui proporsi kualitas tidur yang buruk pada pasien LES di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan.
Metode. Metode yang digunakan adalah studi potong lintang, melibatkan 166 subjek LES berusia minimal 18 tahun yang berobat ke poliklinik Alergi Imunologi RSCM sejak Januari 2019. Subjek mengisi secara mandiri kuesioner kualitas tidur menggunakan Pittsburgh Sleep Quality Index(PSQI) dan kuesioner gejala depresi dan ansietas menggunakan Hospital Anxiety Depression Scale(HADS). Skala nyeri dinilai mengggunakan Visual Analogue Scale(VAS), aktivitas penyakit LES dinilai menggunakan Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index 2000(SLEDAI-2K). Subjek menjalani pemeriksaan imbalans otonom yang dinilai menggunakan rasio Low Frequency/High Frequency (LF/HF) dari Heart Rate Variability(HRV), dan pemeriksaan kadar high sensitivity C-Reactive Protein(hs-CRP).Analisis bivariat menggunakan uji Chi Squaredan analisis multivariat menggunakan regresi logistik.
Hasil. Rerata untuk skor PSQI global pada 166 subjek sebesar 9,36 (3,61) dengan proporsi kualitas tidur buruk sebanyak 82,5%. Pada analisis bivariat didapatkan dua variabel dengan hubungan bermakna dengan kualitas tidur yang buruk yaitu gejala depresi (OR: 5,95; p: 0,03) dan gejala ansietas (OR: 2,44; p: 0,05). Regresi logistik tidak menunjukkan variabel dengan hubungan bermakna dengan kualitas tidur yang buruk.
Simpulan.Proporsi kualitas tidur buruk pada pasien LES sebesar 82,5%. Tidak terdapat faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur buruk pada LES.

Background. Sleep disturbances are often seen in systemic lupus erythematosus (SLE). Poor sleep will lead to poor quality of life and frequent exacerbations of SLE. However, studies about poor sleep quality in SLE patients as well as the contributing factors are limited.
Objectives. The aim of this study is to determine the proportion of poor sleep quality in SLE patients in Cipto Mangunkusumo National General Hospital (RSCM) and to assess its contributing factors.
Methods. This study used a cross sectional design involving 166 subjects of SLE patients from Immunology clinic since January 2019. The Pittsburgh Sleep Quality Index was used to assess sleep quality of subjects. Depression and anxiety symptoms was assesed using the Hospital Anxiety Depression Scale (HADS). Pain scale was assesed using Visual Analogue Scale (VAS) and SLE activity was assessed using Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index 2000 (SLEDAI-2K). Autonomic imbalance was assesed using Low Frequency/High Frequency(LF/HF) ratio from Heart Rate Variability(HRV), and subjects went through high sensitivity C-Reactive Protein(hs-CRP) test. Bivariate analysis using Chi Square test and multivariate analysis using logistic regression.
Result.The mean global score for the PSQI among 166 subjects was 9,36 (3,61). The proportion of poor sleep quality was 82.5%. There were two variables with significant association including depressive symptoms (OR 5.95; p 0.03) and anxiety symptoms (OR 2.44; p 0.05). There were no variable with significant association through logistic regression.
Conclusion. The proportion of poor sleep quality from SLE patients in RSCM was 82.5%. This study did not find any factors associated with poor sleep quality in SLE patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Octaviany
"Latar Belakang. Disfungsi otonom merupakan salah satu gejala penyakit parkinson yang sering ditemukan clan berpengaruh terhadap morbiditas dan mortalitas penderita penyakit parkinson. Disfungsi otonom memberikan gejala klinis yang seringkali tidak disadari penderita. Tujuan penelitian adalah mengetahui gambaran disfungsi otonom penyakit Parkinson menggunakan pemeriksaan Sympathetic Skin Response.
Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang deskriptif dengan populasi semua penderita penyakit parkinson yang memenuhi kriteria inklusi. Dilakukan pencatatan berupa identifikasi karakteristik penderita dan riwayat perjalanan penyakit, anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mencari gejala klinis-penyakit parkinsnn, gejala disfungsi otonom, jenis obat anti parkinson yang dipakai dan respon pengobatan . Diagnosis disfungsi otonom ditegakkan melalui pmeriksaan Sympathetic Skin Response (SSR). Data dianalisis menggunakan tes chi-square, fisher's exact dan t test dengan memakai program STATA.
Hasil. Pada penelitian ini didapatkan 34 pasien penyakit parkinson. Sebagian besar subyek berjenis kelamin pria (67,8%), dengan usia rata-rata 61.11+_10.01 tahun dan terbanyak pada kelompok usia 60-69 tahun ( 41.2%). Sebanyak 22 subyek (64.7%) mengalami gejala disfungsi otonom, dengan gejala yang tersering adalah disfagia (44%) ,diikuti gejala konstipasi (38.2%), dan hipersalivasi (35.3%). SSR abnormal dijumpai pada 23 subyek (67.6%). Rata-rata subyek dengan nilai SSR abnormal lebih tua dibandingkan dengan subyek dengan SSR normal. Rata-rata lama menderita parkinson untuk SSR abnormal adalah 6.52+_3.64 . Abnormalitas SSR dijumpai pada seluruh subyek yang menderita penyakit parkinson lima tahun atau lebih (p=0.0x4) dan pada semua subyek dalam periode non honeymoon (p=0.000). SSR cenderung abnormal dengan meningkatnya derajat keparahan penyakit berdasarkan skala Hoehn & Yahr. SSR abnormal lebih sexing ditemukan path subyek yang mengalami instabilitas postural clan subyek dengan skor bradikinesia, tremor dart rigiditas dari UPDRS yang lebih tinggi. Subyek yang mengalami gejala hipotensi postural simptomatik (p=0.023), konstipasi (p=0.402), hipersalivasi (p=0.043) dan disfagia (p=0.000) menunjukkan nilai SSR abnormal. Semua subyek yang mengalami dua (p-0.04) atau lebih gejala otonom (p=0,0001). Tiga subyek (13%) yang tidak mengalami gejala disfungsi otonon ternyata menunjukkan nilai SSR abnormal.
Kesimpulan. Disfungsi otonom penyakit parkinson ditemukan pada 67.6% penderita. SSR cenderung abnormal dengan meningkatnya derajat keparahan penyakit berdasarkan skala Hoehn & Yahr maupun berdasarkan skor UPDRS untuk tremor, rigiditas, bradikinesia dan stabilitas postural. Subyek yang mengalami gejala hipotensi postural simptomatik, konstipasi, hipersalivasi dan disfagia menunjukkan nilai SSR abnormal. Nilai SSR abnormal juga ditemukan pada semua subyek yang mengalami dua atau lebih gejala otonom.

Background. Autonomic dysfunction is one of the signs that is frequently found in PD, which influences the patient's morbidity and mortality. It also comprises some frequently neglected clinical manifestations.
Aim. The aim of this study is to review autonomic dysfunction in PD, using Sympathetic Skin Response test.
Methods. This is a descriptive cross-sectional study. Population of this study is PD patients that meet the inclusion criteria. Patient's characteristic was identified. History of illness was recorded and physical examination was done to indentify patient's signs and symptoms, autonomic dysfunctions, medications used, and the responses. Diagnosis of autonomic dysfunction was confirmed by using Sympathetic Skin Response (SSR) test. Chi-Square test, fisher's exact test, and t were used to analyze the data, using the STATA program.
Results. There were 34 PD patients identified. Most of the subjects are men (67,8%) with the mean age of 61,1+10,01 year-old and mostly within 60-90 year-old group age (41,2%). Twenty two subjects (64,7%) had autonomic dysfunction with the most presenting symptoms are dysphagia .04,8%), constipation (38,2%), and hypersalivation (35,3%). Abnormal SSR was found in 23 subjects (67,6%). Most subjects with abnormal SSR are older than subjects with normal SSR. The duration of PD in subjects with abnormal SSR is 6,52+3,64 years. Abnormal SSR was found in all subjects that have had PD for five years or more (p=0,004) and all subjects were in non-honeymoon period (p=0,000), SSR tends to be abnormal when the severity of the disease is higher, based on the Hoehn & Yahr scale. Abnormal SSR is more often found in subjects who suffer postural instability and whose IJPRDS score of bradikinesia, tremor, and rigidity is high. Subjects with symptomatic postural hypotension (p=0,023), constipation (p=0,002), hypersalivation (p=0,003) and dysphagia (p=0,000) show abnormal SSR. Every subject shows two or more autonomic symptoms (p=0,0001). Three subjects (13%) that didn't show autonomic dysfunction symptoms, however, had abnormal SSR
Conclusions. Autonomic dysfunction in PD was found in 67,6% subjects. SSR tends to be abnormal when the severity of the PD is high, based on the Hoehn & Yahr scale, UPRDS score of bradikinesia, tremor, and rigidity, and the presence of postural hypotension. Subjects with symptomatic postural hypotension, constipation, hypersalivation, and dysphagia show abnormal SSR. Abnormal SSR was also found in all subjects who had two or more autonomic symptoms.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>