Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17415 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Etzioni, Amitai
Jakarta: UI-Press, 1985
302.3 ETZ o
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Etzioni, Amitai
Jakarta: UI-Press, 1985
302.3 Etz mt
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Etzioni, Amitai
Jakarta: UI-Press, 1982
658 ETZ o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Etzioni, Amitai
Jakarta: UI-Press, 1982
658 Etz o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Etzioni, Amitai
Jakarta: UI-Press, 1982
658 Etz o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Firman Shantyabudi
"Beberapa faktor seperti meningkatnya tuntutan masyarakat akan angkutan, tidak mencukupinya lapangan pekerjaan bagi sebagian anggota masyarakat, kurang mencukupinya angkutan umum yang tersedia baik dari segi jumlah maupun pelayanan, dan masih banyaknya lokasi-lokasi yang tidak terjangkau angkutan umum yang resmi serta masih terdapatnya silih pendapat tentang keberadaan ojek; melatar belakangi penulis untuk ingin lebih memahami masalah sosial tersebut.
Menulis tentang tukang ojek juga didorong oleh ketertarikan penulis, dimana keberadaan ojek tetap dibutuhkan walaupun di beberapa jalan tertentu telah tersedia angkutan yang resmi; sehingga menjadikan ojek secara normatif melanggar. Sesungguhnya keberadaan ojek menjadi pesaing bagi angkutan yang resmi maupun antar tukang ojek itu sendiri, karena ojek tidak diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
Mereka sehari-hari begitu aktif mengantar penumpang pada rute-rute angkutan resmi dengan memungut ongkos. Tidak seperti angkutan resmi pada umumnya, tidak terdapat kewajiban membayar pajak bagi ojek karena memungut biaya dari masyarakat. Adanya ketimpangan ini tidak mendorong terjadinya konflik antara tukang ojek dengan angkutan resmi lainnya. Hanya saja ojek tampak seringkali lebih menonjol dilapangan, karena mereka justru banyak menempati lokasi-lokasi yang dilarang untuk parkir. Apakah menjadi tukang ojek merupakan suatu pilihan profesi, atau karena kondisi tertentu orang memilih ojek sebagai salah satu alternatif yang sifatnya kontemporer?.
Dengan demikian, maka penulisan ini ingin mengkaji melalui konsep-konsep interaksi sosial dan teori pertukaran (yang juga melandasi terjadinya hubungan-hubungan sosial), bagaimana tukang ojek melakukan interaksi dengan pihak-pihak tertentu selama melakukan pekerjaannya. Penulisan ini ingin mengetahui dan memahami sekaligus menggambarkan adanya aturan-aturan yang dijadikan pedoman untuk memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapai serta adakah solidaritas yang tumbuh diantara mereka bila menghadapi ancaman.
Untuk menambah bobot dalam menganalisa gejala sosial yang diamati pada tukang ojek, maka juga dilakukan pandangan dari berbagai sudut pandang; khususnya yang menyangkut kerawanan-kerawanan yang menjadi potensi konflik dimana konflik-konflik yang muncul seringkali berkaitan erat dengan masalah keamanan dan ketertiban. Mengupayakan terpeliharanya keamanan dan ketertiban merupakan peran dari organisasi kepolisian.
Penulisan ini didasari atas hasil penelitian yang dilakukan melalui pendekatan kualitatif, dengan metode pengumpulan data; metode pengamatan dan wawancara; dimana hasilnya menunjukkan adanya pedoman berupa aturan-aturan tidak tertulis yang diyakini dan dipedomani dapat menjamin tercapainya tujuan para tukang ojek. Wujud solidaritas yang ada berupa tolong menolong antar sesama tukang ojek, maupun tindakan anarkis/pengeroyokan terhadap mereka yang melakukan kejahatan. Rasa solider tersebut terpelihara, karena beberapa alasan/latar belakang yang relatif sama diantaranya : warga Pekayon (Betawi), menghadapi ancaman yang sama dan pendidikan rendah.
Dengan memperoleh gambaran tentang tukang ojek ini, diharapkan akan dapat diperoleh pemikiran-pemikiran lain yang berkembang, baik bagi bidang akademis maupun teknis dilapangan; karena tidak dapat dipungkiri bahwa selama masih ada anggota masyarakat yang membutuhkan, maka ojek akan tetap ada."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T7077
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhil Shonhadji
"Desa Durian, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Pontianak, merupakan tipe desa berpenduduk multi suku bangsa yang banyak di antaranya hidup campur. Tidak sebagaimana yang terjadi di banyak tempat di Kalimantan Barat yang hubungan antar warga beragam suku bangsa sering menimbulkan pertikaian, bahkan kerusuhan antar suku bangsa, hubungan yang sama di desa ini menunjukkan kenyataan berbeda. Meski terdapat potensi pertikaian, namun dengan prinsip-prinsip sosial budaya yang berkembang selama ini, warga-warga suku bangsa yang 11 jenis itu telah mampu mempertahankan stabilitas hubungan dan suasana keakraban di antara mereka.
Dua hipotesis kerja dikemukakan dalam penelitian ini: (1) berlakunya pranata-pranata sosial umum lokal dalam mengatur interaksi sosial antar warga beragam suku bangsa merupakan penentu terhadap terselenggaranya stabilitas hubungan antar warga tersebut, betapapun terdapat kenyataan bahwa masing-masing kelompok warga suku bangsa itu memiliki pranata-pranatanya sendiri, dan di sisi lain terdapat ketidakseimbangan dalam pembagian sumber daya berharga dan langka di antara mereka; (2) berlakunya pranata-pranata sosial dalam mengatur interaksi sosial antar warga beragam suku bangsa dalam suasana-suasana yang dikemukakan tadi, merupakan akumulasi dari proses perjalanan sejarah dan yang ditopang oleh faktor kepemimpinan lokal.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya proses hubungan sosial antar warga beragam suku bangsa yang naik turun sejalan dengan perkembangan waktu. Sejak mula kedatangan secara bergelombang warga-warga beragam suku bangsa ke desa ini, di pertukaran abad lalu hingga sekurang-kurangnya dekade 1964-an, terdapat warna hubungan patron-klien amat kuat di antara warga-warga suku bangsa tertentu dan warga-warga suku bangsa yang lain. Warga-warga Bugis, Arab, Tionghoa, dan bahkan India dan Jepang, untuk rentang waktu tertentu, dikenal sebagai patron, pemilik kebun karet dan industri pengolahan karet amat potensial; sedang sebagai anak buah yang menjadi kuli dan karyawan terdiri dari warga-warga Madura, Jawa, Dayak, Banjar dan Sunda. Hubungan yang terjalin di antara kedua belah pihak selama itu, meski terdapat riak-riak ketidaknyamanan, khususnya di pihak klien, sehingga menimbulkan ungkapan-ungkapan stereotip tertentu, namun suasana keakraban yang mentradisi di antara mereka tampak telah menjadi realitas yang menyejarah. Muara dari saling hubungan tadi adalah terpolanya kedekatan hubungan dan bahkan saling ketergantungan antar kelompok-kelompok warga suku bangsa tertentu. Misalnya antara warga-warga Tionghoa-Dayak, Jawa dan Madura, Bugis-Madura, Dayak dan Jawa serta Arab-Madura dan Dayak. Pasangan-pasangan hubungan tadi bahkan telah mencapai kondisi sedemikian rupa, bahwa yang satu tidak bisa beraktivitas tanpa bantuan yang lain.
Memasuki dekade 1970-an, suasana hubungan antar warga beragam suku bangsa mulai mengalami perubahan. Pada tahun-tahun itu, terdapat gelombang kedatangan warga Madura dari daerah-daerah kerusuhan di pedalaman Kalimantan Barat, terutama dari daerah Sambas ke desa Sejak itu, apalagi industri karet sudah tidak lagi menjanjikan seperti tahun-tahun sebelunmya, bersamaan dengan "gangguan" yang dilakukan oknum-oknum Madura dalam soal tanah, maka terjadilah perubahan yang cukup signifikan dalam peta kepemilikan atas tanah di desa ini. Secara perlahan kampung-kampung yang dulunya merupakan pemukiman Bugis telah berubah menjadi pemukiman Madura, atau mayoritas Madura. Warga Bugis, begitu juga warga Tionghoa, mengalihkan perhatian untuk tinggal dan bermatapencaharian di Pontianak. Meski tidak sedikit di antara mereka masih mempertahankan kepemilikan kebun-kebun mereka di desa. Perubahan pun terlihat pads tumbuhnya bermacam usaha industri kecil dan menengah, seperti penggergajian kayu, keranjang, pengolahan saga, peternakan babi, angkutan sungai dan penanaman sayur. Hubungan yang dulu terakumulasi ke patron-klien, sejak tahun-tahun itu berkembang ke pola-pola hubungan pertemanan dan pertetanggaan. Kerja sama yang timbul dari hubungan tadi mulai merambah ke usaha pengolahan kebun, yakni dalam bentuk bagi hasil, numpang dan majek atau kontrak. Dalam pola kerja sama terakhir ini pun terlihat jelas adanya pola ketergantungan antara pasangan-pasangan suku bangsa yang telah disebutkan. Bedanya, warga Jawa tidak lagi masuk dalam kelompok-kelompok pasangan seperti telah disebutkan. Dalam pola hubungan itu tampak jelas bahwa warga Madura dikenal sebagai pemburu, atau pihak yang membutuhkan, tanah amat agresif. Kepada suku bangsa apa pun mereka berupaya menjalin hubungan demi kebutuhan atas tanah tadi, tidak terkecuali dengan warga Dayak.
Penelitian ini, dalam konteks kini, menemukan indikasi adanya persoalan kelangkaan dalam pembagian sumber daya lahan pekarangan dan kebun, kekuasaan di lembaga-lembaga kepemimpinan desa, kesempatan belajar dan bekerja yang dialami kelompok Madura. Jika kalangan warga suku-suku bangsa lain dalam pembagian tadi mengikuti pola plus minus dan saling melengkapi, namun tidak demikian yang dihadapi warga Madura yang akses mereka ke jenis-jenis sumber daya yang ada tampak jauh tertinggal. Kondisi demikian dimungkinkan menjadi faktor pendorong terhadap timbulnya tindak pencurian dan perampokan yang dilakukan, langsung atau tidak langsung, oleh banyak oknum Madura desa ini, sebagaimana hal itu dikeluhkan, kalau bukan dituduhkan, oleh warga-warga bukan Madura. Angka pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi dan tidak terimbangi oleh kualitas sumber daya manusia yang memadai, di samping pola hidup yang cenderung membatasi ke kelompok sendiri telah memberi pengaruh tersendiri terhadap persoalan yang dihadapi warga Madura.
Upaya bagi penanggulangan atas tindak kriminal tadi bukan tidak dilakukan, namun karena upaya tadi lebih bersifat prefentif dan tidak terkoordinasi, apalagi tidak mendapat dukungan dari pihak aparat keamanan, maka hingga kini upaya tersebut tidak atau belum menampakkan hasil. Akibat dari tindak kriminal tadi, maka stereotip dan prasangka buruk disertai cemooh terhadap oknum-oknum Madura dan kemudian ke keseluruhan suku Madura menjadi tak terelakkan.
Pengamatan seksama atas desa ini memperlihatkan, meski terdapat ketegangan, namun kekentalan hubungan kerja sama dan kebersamaan antar warga beragam suku bangsa merupakan fenomena tersendiri. Hubungan yang bersifat simbiosis dan bahkan amalgamasi merupakan kenyataan lazim yang sudah mentradisi. Kedekatan hubungan dan jalinan pergaulan antar warga beragam suku bangsa yang sudah berlangsung lebih dan seabad tampak telah menjadi tonggak tersendiri dalam menciptakan akar budaya kerja sama antar warga tersebut. Pranata-pranata sosial yang melandasi hubungan antar warga yang berkembang di desa ini pada kenyataannya telah mampu meredam ketegangan yang ada, sehingga tidak menimbulkan akibat yang tidak diinginkan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T7078
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Donny Budhi Utoyo
"Fenomena hacker dan hacking tidak bisa sekedar dikaji dari sudut pandang ilmu komputer saja. Sebagai makhluk individual dan makhluk sosial, seorang hacker tidak pernah lepas dari proses interaksi sosial dengan hacker lainnya. Interaksi antar hacker tersebut menggunakan sebuah sarana komunikasi berbasis Internet. Salah satu hal yang membuat hacker tertarik untuk menggunakan Internet adalah karena Internet memungkinkan setiap individu untuk berinteraksi dengan individu tanpa harus menunjukkan jati diri sebenamya (anonimitas). Interaksi sosial yang menggunakan Internet tersebut akan membentuk suatu kelompok sosial atau komunitas yang sifatnya maya. Pole komunikasi dalam kelompok hacker memiliki hubungan yang unik terhadap kegiatan hacking. Pergeseran makna terminologi hacker itu sendiri diakibatkan antara lain karena pengaruh industri hiburan dan media massa Amerika.
Responden hacker yang tergabung dalam suatu kelompok hacker tertentu dan menggunakan sarana komunikasi real-time, dapat membentuk sebuah kelompok sosial maya (komunitas maya). Komunitas maya tersebut diimplementasikan dalam bentuk sebuah chat room. Hacker yang tergabung dalam chat room tersebut akan memiliki kecenderungan lebih termotivasi melakukan hacking. Hacking tersebut dalam artian mengubah atau memodifikasi tampilan sebuah situs atau isi sebuah server. Secara kognitif, hacker tersebut akan belajar dan mengadopsi norma-norma kelompok hacker yang berlaku. Dengan melihat percakapan di rang maya publik atau membaca topik chat room IRC tentang keberhasilan seorang hacker, yang diikuti dengan pujian hacker lainnya, akan memberikan pemahaman tentang nilai sebuah aktifitas hacking. Kemudian secara afektif, mereka para hacker tersebut akan memuji rekan hacker yang lain dan menanyakan teknik teknik hacking yang digunakan. Kelompok hacker di sini akan dikategorisasi berdasarkan pads teori penyimpangan perilaku.
Penelitian ini memiliki implikasi praktis pada pemahaman masyarakat umum tentang pola interaksi hacker dan pemahaman lebih jauh tentang kelompok hacker yang intensif menggunakan IRC. Penelitian ini menegaskan kenyataan bahwa chat room merupakan cawan petri pertumbuhan hacker dan tempat yang memungkinkan terjadi proses pembelajaran dan motivasi kegiatan hacking. Matra tidak heran apabila aparat penegak hukum di manca negara telah memberikan perhatian khusus atas chat room hacker.
Penelitian ini memiliki implikasi akademis pada pemahaman tentang hacker dari sudut pandang komunikasi interpersonal dalam pembentukan kelompok sosial atau komunitas. Secara khusus penelitian ini akan berimplikasi pada pemahaman tentang teori self disclosure (membuka diri) yang dijelaskan melalui Johari Window. Konsepsi tentang "terbuka" dalam Johari Window jika ingin diimplementasikan pada komunitas maya, haruslah mengabaikan unsur-unsur kedekatan fisik, komunikasi face-to-face dan jati diri. Dalam komunitas maya, perwujudan diri diwakili dengan nickname, bahasa mimik muka diwakili dengan emoticon (smiley face) dan tingkah lake diwakili oleh simulasi aksi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T9502
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suyatmo
"Penulisan tentang kehidupan para wanita pemijat di Panti Pijat Kartika adalah untuk menunjukkan corak ataupun bentuk-bentuk hubungan sosial yang terdapat pada lingkunggan tempat dimana para wanita pemijat melakukan aktivitas dan pekerjaannya sehari-hari di Panti Pijat Kartika. Panti Pijat Kartika adalah sebuah tempat usaha yang memberikan jasa dan pelayanan pijat yang aktivitas dan pelayanannya oleh para wanita pemijat dan terletak di wilayah kawasan Mangga Besar Jakarta Barat. Para wanita pemijat di Panti Pijat Kartika merupakan bagian dari para individu yang ada di Panti Pijat Kartika, yang melakukan interaksi baik denggan para individu yang ada di Panti Pijat Kartika maupun dengan masyarakat setempat. Dimana dengan melakukan interaksi tersebut akan menciptakan bentuk-bentuk atau pola-pola hubungan sosial."
2000
T11068
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parsudi
"RINGKASAN PENELITIAN
Penelitian ini berawal dari pandangan untuk memberikan sumbangan pemikiran untuk mendukung program transmigrasi dalam pembangunan Nasional, terutama untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia pada para pembina transmigran dengan memberikan pembekalan pengetahuan psikologis, sosial dan budaya. Penelitian dalam bidang psikologi terhadap program transmigrasi ini menjadi penting karena di dalam program transmigrasi menyangkut pertemuan antar kelompok masyarakat, bangsa atau suku bangsa (kelompok etnik) baik antar transmigran itu sendiri maupun antar pembina transmigran dengan transmigran yang dibinanya, di mana dari interaksi itu "sering terjadi konflik ". Hal ini didukung dari kunjungan lapangan dan wawancara langsung dengan enam orang pejabat eselon II Departemen Transmigrasi dan PPH, mereka juga menyimpulkan bahwa masalah sosial memang dominan di lokasi transmigrasi, di mana adanya indikasi penolakan, perlakuan membedakan atau diskriminasi baik dari pembina transmigran maupun antar transmigrannya sendiri , dari adanya perilaku diskriminasi ringan sampai kepada diskriminasi berat yang sudah mengarah ke agresivitas. Menyadari akan hal ini, maka perlu dilakukan penelitian utntuk melihat sejauh mana kontak sosial, derajat kesarnaan, dan jarak sosial pada para pembina transmigran, untuk mengidentifikasi adanya prasangka yang bisa berakibat pada penolakan ataupun tindak diskriminasi terhadap transmigran yang dibinanya.
Hasil studi kepustakaan menyimpulkan bahwa diskriminasi bisa timbul karena adanya prasangka yang selanjutnya bisa membawa ke konsekuensi perilaku menghindar, memisahkan diri dari kelompok yang tidak disenangi, enggan untuk menolong sampai tindakan agresif yaitu merusak dan mengganggu kelompok lain. Timbulnya suatu prasangka dapat dilihat dari pendekatan sosial, pendekatan dinamika kepribadian, dan pendekatan kognitif. Dalam pendekatan sosial, maka faktor-faktor ketidaksamaan sosial, kompetisi .antar kelompok, stereotip dari institusi dan norma-norma merupakan faktor yang mengakibatkan adanya prasangka. Dalam pendekatan dinamika kepribadian maka prasangka bersumber dari adanya agresivitas, keadaan frustasi, dan kepribadian individu. Dalam pendekatan kognitif maka kategori sosial, atribusi dan kekeliruan dalam mempersepsi merupakan penyebab adanya prasangka. Dawes berpendapat instrumen yang biasa digunakan untuk mengukur prasangka ialah "skala jarak sosial" dari Bogardus, hal ini didukung pula oleh Deaux dan Wrightsman. Agar dapat memahami sejauh mana ada jarak sosial yang bisa memprediksikan terjadinya prasangka pada para pembina transmigran terhadap transmigran yang dibinanya, maka dalam penelitian ini digunakan instrumen pengukuran jarak sosial. Instrumen Skala Derajat Kesamaan dan Kontak Sosial di modifikasi dari instrumen penelitian Suwarsih Waniaen (1979) Stereotip Etnik di Dalam Suatu Bangsa Multietnik.
Kesimpulan yang didapat dari hasil analisis adalah bahwa para pembina transmigran mempunyai jarak sosial yang dekat terhadap suku bangsa Jawa, Sunda, dan Bali dan mempunyai jarak sosial yang jauh terhadap suku bangsa Maluku, Madura, dan Irian. Kesimpulan ini mempunyai konsistensi dengan kesimpulan yang didapat dari pengukuran derajat kesamaan. Bila dilihat dari kontak sosial pada 12 suku bangsa yang dinilai maka suku bangsa Jawa, Sunda, Batak, Minang, Lampung dan orang Jakarta mempunyai skor derajat kesamaan yang berbeda secara signifikan pada mereka yang memiliki kontak sosial tinggi dan kontak sosial rendah, selanjutnya variabel-variabel pemahaman bahasa, ada keluarga yang menikah dengan suku bangsa, hadir adat perkawinan orang dari suku bangsa lainnya, hadir adat kesenian orang dari suku bangsa lainnya, merupakan penyumbang yang menyebabkan terjadinya pengelompokan kontak sosial tinggi dan kontak sosial rendah. Melihat hasil temuan di atas bisa dsimpulkan bahwa pembina transmigran cenderung mempunyai prasangka terhadap transmigran yang dibinanya.
Berpedoman pada temuan, dimana adanya prasangka dari para pembina transmigran dikhawatirkan bisa mengarah kepada tindak diskriminasi yang dapat menimbulkan segala konsekuensi negatifnya, maka disarankan kepada Departemen Transmigrasidan PPH untuk menciptakan pra-kondisi melalui pembekalan masalah psikologi, sosial budaya pada pelatihan atau pendidikan kepada para pembina transmigran, memperbanyak frekuensi pertemuan dalam status kebersamaan, baik antara pembina transmigran terhadap transmigran yang dibinanya, maupun antara para kelompok transmigran itu sendiri terutama pada kelompok yang berbeda suku bangsa-nya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>