Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 138977 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Frida Rustiani
Bandung : Akatiga, 1996
305.562 FRI u
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Wachidin Widjaja
"Ketidakpastian lingkungan menuntut perusahaan untuk senantiasa menyesuaikan diri (adaptabel) terhadap perubahan lingkungan; terutama bagi perusahaan kecil dan menengah yang memiliki keterbatasan sumber daya. Pada perusahaan kecil dan menengah, upaya menyesuajkan diri merupakan cerminan sikap pimpinan atau pengusahanya.
Penelitian ini mengkaji pengaruh modal sosial yang terbentuk dari interaksi sosial antar pengusaha di dalam suatu distrik industrial horisontal terhadap pengembangan sikap adaptabilitas stratejik. Pengaruh tcrsebut dilihat dari liga dimensi modal sosial (keterikatan struktural, keterbukaan hubungan, dan kebersamaan kognitif yang terjadi secara tidak langsung, yaitu melalui perilaku berwirausaha dan pertukaran sosial pengetahuan. Selain itu, penelitian ini mengkaji efek moderasi persepsi pengusaha terhadap ketidakpastian lingkungan atas hubungan antara perilaku berwirausaha dan pertukaran sosial pengetahuan terhadap sikap adaptabilitas stratejik.
Dengan partisipasi 201 responden pengusaha kecil dan menengah pada distrik industrial logam di Tegal, Jawa Tengah terungkap bahwa perilaku berwirausaha dan pertukaran sosial pengetahuan (perilaku paradoks) berpengaruh terhadap pengembangan sikap adaptabilitas stratejik. Namun, hanya keterikatan struktural yang berpengaruh terhadap perilaku berwirausaha dan hanya keterbukaan hubungan yang berpengaruh terhadap pertukaran sosial pengetahuan.
Dari temuan tersebut, peneliti menduga adanya efek koeksistensi ikatan yang kuat dan ikatan yang lemah terhadap pengembangan perilaku paradoks. Dugaan ini perlu ditindaklanjuti dalam penelitian di masa mendatang.

Various uncertainties require any company to be adaptable to any possible environmental changes, and this will be even more so for the smaller companies which have limited resources and facing various constraints. That ability of smaller companies to continually adjust to their changing environment to a large extent reflects, as well as a reflection of, the attitude of their managers or the owners.
This research investigates the impact of social capital which results from social interaction within a horizontal industrial district on the attitude-related aspects of strategic adaptability. Such foreseen impacts are studied from three dimensions of social capital (namely structural embeddedness, relational embeddedness, and cognitive embeddedness) which occurs indirectly through entrepreneurial behavior and social exchange of knowledge. Besides, this research also explores the moderation effect from the perception of entrepreneurs toward uncertainty on the influences between entrepreneurial behavior and social exchange of knowledge to their strategic adaptability.
With the participation from 201 respondents, taken from metal industrial district in Tegal Regency, Central lava, this study reveals that entrepreneurial behavior and social exchange of knowledge, which are paradoxical in nature, have the influences on the attitude-related aspects of strategic adaptability. However, surprisingly enough, only structural embeddedness has the signiticant influence on entrepreneurial behavior, and only relational embeddedness has the disproportionately sizable impact on the social exchange of knowledge.
In view of such findings, apparently there is simultaneous influence from the coexistence between strong ties and weak ties on paradoxical entrepreneurial behavior, Further research to this direction is needed and worth taking in the future.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
D873
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Yuniarti
"Penelitian ini bertujuan mendapatkan usulan kebijakan sustainable manufacturing menggunakan cluster analysis method dan gap analysis berdasarkan variabel yang mencerminkan indikator sustainable manufacturing pada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pada Sentra Industri Logam di Kabupaten Tegal. Indikator tersebut meliputi indikator kepedulian lingkungan, pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, kemajuan teknologi dan kemampuan manajemen. Pengklasteran menghasilkan cluster growth dan cluster mature. Rekomendasi kebijakan yang dihasilkan adalah pemberian insentif, penerapan punishment, pengembangan infrastruktur yang sustainable di kawasan industri, membangun sistem informasi industri hijau melalui pembentukan kelompok usaha dan pemberian kesempatan kelompok untuk berperan aktif, peningkatan kemampuan inovasi teknologi, melibatkan peran aktif lembaga pendidikan dan penelitian serta pengembangan, sosialisasi program dan pelatihan produksi bersih dan Standar Nasional Indonesia (SNI).

This research aims to suggestions of sustainable manufacturing policy, using cluster analysis method and gap analysis, based on selected variables that reflect indicators sustainable manufacturing at Small Medium Enterprises (SMEs) on Metal Industrial District in Regency of Tegal. This indicators include indicators of economic growth, social well-being, technological advance, performance management and environmental stewardship. The clustering produces cluster growth and cluster mature. According to the characteristic of the cluster, the resulting recommendations of policy is the provisions of incentives, applications of punishment, development of a sustainable infrastructure in industrial areas, building a green industrial information system through the establishment of business groups and giving the group the opportunity to play an active role, increasing the ability of technological innovation, involving the active role of educational institutions and research and development, socialization programs and trainning about cleaner production and National Indonesia Standar (SNI)."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
T35604
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noegroho Andy Handojo
"Industri dikelompokan menjadi industri hulu atau industri
dasar, industri hilir atau aneka industri dan industri kecil.
Dari pengelompokan industri tersebut, industri logam termasuk
dalam kelompok industri hulu atau industri dasar. Industri
logam sebagai salah satu jenis industri hulu mempunyai nilai
tambah yang cukup tinggi dan juga merupakan penghasil barang
modal Kegiatan industri di Kotamadya Tegal mengalami laju
pertumbuhan yang relatif pesat, yang pengembangannya secara
intensif dan terarah diprioritaskan pada
1. Industri mesin dan logam dasar;
2. Industri dan peralatan pertanian;
3. Aneka industri;
4. Industri kecil dan kerajinan.
Dengan begitu industri logam mendapatan prioritas utama dalam
pengembangan industri di Kotamadya Tegal.
Sehubungan dengan latar belakang tersebut, maka permasalahan
Yang dikemukakan dalam penelitian mi adalah
1. Di maria saja lokasi industri logam dan bagaimana
perkembangannya pada kurun waktu 1984-1994 ?
2. Bagaimana pengaruh kegiatan industri tersebut terhadap
taraf hidup masyarakat ?
Dalam penelitian mi variabel-variabel yang diteliti adalah
kegiatan sektor informal di sekitar lokasi industri logam,
penyerapan tenaga kerja, tingkat pendidikan, tingkat
pendapatan dan kualitas rumah permanen. Unit analisis yang
digunakan adalah Kelurahan. Metode analisis yang digunakan
untuk menjawab permasalahan tersebut adalah korelasi peta dan
korelasi statistik.
Kesinipulan dari penelitian adalah lokasi industri logam pada tahun 1984 terdapat pada 12 kelurahan. Sedang pada tahun 1994
1okasinvahnva bertambah di Ke] häñ Kaligangsa
Pmbangan industri logam yang paling tinggi terdapit di
Kelurahan Kejambon Sedarigkan pengaruhn ya terhadap taraf
hdüp rnasyarakat dilihat dari vaniabel-variabel yang ditelIti
adaláh timbulnya usaha sektor informal di sekitar lokasi
thdüstni logam, adanya penyerapán tenaga keria, tingkat
pendidikan yang tingiun€iik dapat terserap dalam kegiatati
indixstri logam, dari segi pendapatan jenis industri 'ogam
meèindàn suku cadang kendaraan bermotor mempunyai pendapa€an
t'rtinggi dan pendapatan t.ersebut meningkatkan kemampuan
rirasyarakat untuk memiliki rumah permanen.
Taraf hidup masyarakat yang ada cenderung lebih baik di
wjlayah yang rnempunyai ,jenis industri logam mesin dan suku
cadang kendaraan bermotor"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1996
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Irfan Ridwan Maksum
"Penelitian ini membandingkan antara praktik pengelolaan air irigasi tertier di Kabupaten dan Kota Tegal dengan model Dharma Tirta, Subak di Kabupaten Jembrana Bali, dan di Hulu Langat, Malaysia. Oleh karena analisis perbandingan menuntut harus dipenuhinya prinsip-prinsip ketepatan dalam membandingkan antarobyek, maka ketiga lokasi mencerminkan kesederajatan tingkatan, yakni pada tingkatan kedua dalam sistem pemerintahan. Penelitian ini tidak mempersoalkan bentuk negara, sehingga walaupun Hulu Langat tepat di bawah Negara Bagian Selangor, yang seharusnya secara normatif berbanding dengan Provinsi di Indonesia; dalam penelitian ini disejajarkan dengan Kabupaten/Kota ditilik dari luas wilayah dan keseluruhan jenjang pemerintahan di Malaysia. Pendekatan verstehen menjadi kerangka umum metodologis karya ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan tipe deskriptif. Teknik penggalian data dilakukan dengan triangulasi-eklektik. Di samping itu, berbagai key informan diperlukan dalam penelitian karya ini dengan teknik analisis multilevel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga praktik bukanlah ejawantah dari desentralisasi fungsional walaupun di Indonesia potensial mengarah ke dalam praktik desentralisasi fungsional, sedangkan di Malaysia sepenuhnya sentralisasi melalui aparatus dekonsentrasi dengan karakter masing-masing. Praktik desentralisasi di Indonesia khususnya di bidang irigasi, baru menyangkut desentralisasi territorial, sedangkan desentralisasi fungsional tidak dipraktikkan meskipun wacana akademik dan potensi serta kebutuhan akan adanya lembaga yang merupakan perwujudan desentralisasi fungsional sudah muncul. Di tingkatan mikro menunjukkan terdapatnya kegagalan dalam pengelolaan urusan irigasi tersier khususnya dan urusan irigasi pada umumnya. Kegagalan tersebut juga didorong oleh kondisi makro persoalan distribusi urusan sektor irigasi yang berpaku pada desentralisasi teritorial semata. Pemerintah perlu membenahi organisasi pengairan di level grassroots dalam kerangka peningkatan kinerja pertanian dan pengelolaan sumberdaya air secara holistik bahkan sampai terciptanya regime irigasi lokal. Perubahan pasal 18 UUD 1945 agar lebih tegas kembali memasukkan konsep desentralisasi fungsional yang pernah digunakan pada 1920-an oleh Hindia Belanda.

This research compared tertiary irrigation management in the Municipality and Regency of Tegal, the Regency of Jembrana, and the Regency of Hulu Langat Selangor Malaysia. Malaysia has been developing water board at National and State Level. Although the two countries differed in governmental arrangements, the locus used in this research experienced the same level of governments. Verstehen has been as a general framework of this research approach. Qualitative and descriptive were the method of this research. Data are gathered using eclectic-triangulation methods and analyzed with multilevel tools. This research concluded that the tertiary irrigation in those three locus in Indonesia were not established based on functional decentralization, eventhough it has potential to do so. It is different from Malaysia which is fully centralized through deconcentration. Only the teritorial decentralization is the basic of tertiary irrigation management in Indonesia. Functional decentralization is not being practiced in tertiary irrigation management both in Indonesia and Malaysia. Empirically, Government should improve the performance of irrigation organization at the grassroot level in order to increase the whole agricultural performance which creating special local regime in the irrigation management. Furthermore, amandment to the constitution of 18th article should induce the concept of functional decentralization that was practiced in Indonesian local government system in 1920."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2006
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Ridwan Maksum
"Pengelolaan air irigasi berhubungan erat dengan sistem pemerintahan yang dikembangkan di suatu negara. Di Belanda dikenal melalui waterschappen yang pengernbangannya didasari oleh mekanisme desentralisasi fungsional. Di negara berkembang, menurut pakar-pakar pemerintahan daerah hampir dirancukan oleh konsep delegasi seperii diakui oleh Cheema, Rondinelli dan Nellis.
Di negara-negara maju seperti Belanda, Jepang, USA, dan Jerman pengembangan praktek lembaga semaoam ini ditandai oleh sifat-sifat otonom yang sejajar dengan pemerintah daerah dalam konstelasi sistem administrasi negaranya Lembaga ini bersifat khusus dan otonom di tingkat lokal mengerjakan fungsi yang spesifik. Baik di negara Kesatuan maupun negara Federal terdapat lembaga tersebut. Lembaga ini pertanda sebagai kompleksnya sistem administrasi negara dimana persoalan sosial-ekonomi masyarakat tidak melulu diselesaikan oleh tingkatan pemerintahan yang selama ini dikenal, melainkan dapat dikernbangkan Iembaga khusus yang otonom tersebut.
Penelitian ini membandingkan antara praktek pengelolaan air irigasi tertier di Kabupaten dan Kota Tegal dengan model Dharma Tirta, Subak di Kabupaten Jembrana Bali, serta di Hulu Langat Malaysia. Alasan mengangkat ketiganya adalah sama-sama menangani persoalan air irigasi. Malaysia telah lama mengembangkan dewan sumberdaya air di tingkat Nasional dan Negara Bagian. Oleh karena analisis perbandingan menuntut harus dipenuhinya prinsip-prinsip ketepatan dalam membandingkan antar obyek, maka ketiga lokasi mencerminkan kesederajatan tingkatan, yakni pada tingkatan kedua dalam sistem pemerintahan. Penelitian ini tidak mempersoalkan bentuk negara, sehingga walaupun Hulu Langat tepat di bawah Negara Bagian Selangor, yang seharusnya seoara normatif berbanding dengan Provinsi di Indonesia; dalam penelitian ini disejajarkan dengan Kabupatenf Kota ditilik dari luas wilayah dan keseluruhan jenjang pemerintahan di Malaysia.
Pendekatan verstehen menjadi kerangka umum metodologis karya ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan tipe deskriptif. Teknik penggalian data dilakukan dengan triangulasi-eklektik. Disamping itu, berbagai key informan diperlukan dalam penelitian karya ini dengan teknik analisis multilevel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga praktek bukanlah ejawantah dari desentralisasi fungsional walaupun di Indonesia potensial mengaran ke dalam praktek desentralisasi fungsional, sedangkan di Malaysia sepenunnya sentralisasi melalui aparatus dekonsentrasi dengan karakter masing-masing Praktek desentralisasi di Indonesia khususnya di bidang irigasi, baru menyangkut desentralisasi territorial, sedangkan desentralisasi fungsional tidak dipraktekkan meskipun wacana akademik dan potensi serta kebutuhan akan adanya lembaga yang merupakan perwujudan desentralisasi fungsional sudah muncul. Di tingkatan mikro menunjukkan terdapatnya kegagalan dalam pengelolaan urusan irigasi tersier khususnya dan urusan irigasi pada umumnya. Kegagalan tersebut juga didorong oleh kondisi makro persoalan distribusi urusan sektor irigasi yang berpaku pada desentralisasi teritorial semata. Sementara itu, pengaturan kawasan khusus pada level makro pun tidak terkait dengan fungsi irigasi. Hal ini disebabkan oleh adanya daya dukung ekonomi politik yang rendah dari sektor irigasi pada umumnya dan irigasi tersier pada khususnya.
Implikasi akademik dan praktis dari penelitian ini adalah bahwa konsep desentralisasi dan pemerintahan daerah dalam wacana akademik Indonesia khususnya memerlukan pengembangan konsep desentralisasi fungsional secara komprehensif terkait konstruksi adminisrasi negara. Kuatnya wacana desentralisasi teritorial menjadi penyebab konstruksi distribusi urusan irigasi hanya berpaku pada model distnbusi pada lingkup desentralisasi teritorial.
Selanjutnya perlu dilakukan penelilian mengenai daya jangkau organisasi ingasi Subak dan dharma tirta, disamping penelitian-penelitian terhadap perlunya mengotonomikan organisasi tersebut pada jenjang yang cukup radikal yang menempatkan petani sebagai bagian dalam proses pengisian struktur politik terlepas dari pemerintahan daerah yang selama ini ada. Penelitian mengenai dampak (ekstmalitas) organisasi pengelola irigasi perlu dilakukan bersamaan dengan uji kepentingan atau nilai strategis kelembagan tersebut bagi masyarakat. Kajian terhadap sektor Iain pun memungkinkan untuk dilakukan.
Terhadap aras empirik, Pemerintah perlu membenahi organisasi pengairan di level grassroots dalam kerangka peningkatan kinerja pertanian serta pengelolaan sumberdaya air secara holistik bahkan sampai terciptanya regime irigasi lokal. Perubahan pasal 18 UUD 1945 agar Iebih tegas kembali memasukkan konsep desentralisasi fungsional yang pernah digunakan pada 1920-an oleh Hindia Belanda diperlukan dalam kerangka kepentingan kemajuan sektor pertanian sebagai sektor yang sangat tergantung kepada urusan irigasi di Indonesia.

Irrigation management closely relates to the distribution of functions among levels of government. It also has a hierarchical system from primary to tertiary level of cannal. The jurisdiction of the irrigation management creates a territory which does not always be symmetric with the administrative governmental area. This nature of irrigation implies an ambiguity of some existing institutions for tertiary water irrigation management at the grassroot level in term of decentralization and local govemment in Indonesia.
In the Netherlands, there are waterschappens instititution which have been established based on functional decentralization for managing irrigation. In the developing countries, functional decentralization has been mis-interpreted by delegation concept according to Cheema, Rondinelli and Nellis_ Functional decentralization in developed countries such as Netherland, Japan, USA, and Germany, are indicated by the existence of autonomous body in the local level. This institution is specific in the nature according to the function should be carried out.
Within both the Unitary state and the Federal state, the aformentioned institution can be established to retiect the complexity of the state. It shows that social and economic problems can be managed not only by local government based on territorial decentralization as ordinary local public body, but also by local institution based on functional decentraiization mechanism as special local public body.
This research compared tertiary irrigation management in the Municipality and Regency of Tegal, the Regency of Jembrana, and the Regency of Hulu Langat Selangor Malaysia. Malaysia has been developing water board at National and State Level. Although the two countries differed in govemmental arrangements, the locus used in this research experienced the same level of governments.
Verstehen has been as a general framework of this research approach. Qualitative and descriptive were the method of this research. Data are gathered using eclectic-triangulation methods and analyzed with multilevel tools.
This research concluded that the tertiary irrigation in those three locus in Indonesia were not established based on functional decentralization, eventhough it has potential to do so. It is different from Malaysia which is fully centralized through deooncentration. Only the teritorial decentralization is the basic of tertiary irrigation management in indonesia. Functional decentralization is not being practiced in tertiary irrigation management both in Indonesia and Malaysia.
At the micro level, it is showed that there are some failures in tertiary irrigation management. These failures were results from macro level condition on distribution of functions among levels of govemment that were being developed just based on territorial decentralization concept. This condition created a weak tertiary irrigation institution. Meanwhile, special territory which developed according the law number 32 of 2004 on Local Governance does not relate to irrigation function- lt happened because of low political economic capabilities of irrigation sector, especially in tertiary irrigation level.
There are some academic and practical implications of this research. First, the discourse on decentralization and local government in Indonesia should be developed towards the concept of functional decentralization. Strong discourse on territorial decentralization an sich caused the distribution of functions among levels of government limited to this model distribution of functions in Indonesian local govemment.
Second, advanced research for analyzing tapering of Subak or Dharma Tirta should be conducted, rather than research that analyze the urgency of this organization's autonomy to radical stage which place the farmer as a part of political structure. Future research on irrigation management should be conducted with regards to its positive as well as negative externalities.
Empirically, Government should improve the performance of irrigation organization at the grassroot level in order to increase the whole agricultural performance which creating special local regime in the irrigation management. Furthermore, amandment to the constitution of 18th article should induce the concept of functional decentralization that was practiced in Indonesian local government system in 1920."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D805
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurbaitissalami
Depok: Universitas Indonesia, 2005
S33888
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cholida Sofi
"Kota dan Kabupaten Tegal, yang memiliki topografi bervariasi dan lokasi yang strategis, memiliki banyak variasi objek wisata. Banyaknya variasi objek wisata di daerah ini memicu pergerakan wisatawan untuk menuju beberapa objek wisata yang ada. Penelitian ini bertujuan menganalisis pola pergerakan wisatawan serta mengetahui hubungan pola pergerakan wisatawan berdasarkan faktor kondisi fisik dan non-fisiknya. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif keruangan dan korelasi chi-square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pergerakan wisatawan tipe single pattern merupakan pergerakan dominan yang terdapat di dataran rendah dan tidak memiliki pergerakan yang luas jika dibandingkan tipe multiple pattern karena hanya mengunjungi satu objek wisata tujuan utama. Pola pergerakan single point banyak terdapat di dataran rendah dan pegunungan, yang merupakan objek wisata yang sudah terkenal dan memiliki fasilitas dan aksesibilitas baik. Sedangkan pola pergerakan tipe multiple pattern menunjukkan pergerakan wisatawan ke berbagai arah di bentuk medan yang bervariasi yaitu dataran rendah, pegunungan ke dataran rendah, pegunungan ke dataran tinggi, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan tipe multiple pattern seperti tipe base site, chaining loop, dan stopover mengunjungi banyak objek wisata. Pergerakan yang dilakukan oleh wisatawan mempertimbangkan faktor fisik bentuk medan dan non-fisik jarak antar objek wisata, aksesibilitas, dan fasilitas objek wisata.

Tegal, which has a varied topography and strategic location, has many tourist attractions. The large number of attractions made the movement of travellers to go to some attractions. This research aims to analyze the tourists movement patterns and the correlation with the physical and non physical factors. The methods used are spatial analysis and descriptive statistics using chi square correlation. The results showed that tourists rsquo movement single pattern type is dominant on the lowland and doesn 39 t have a wide movement compared to multiple pattern type since single pattern type only visit one main attraction. The tourists movement single pattern type are happening in the lowlands and mountains, which are have famous tourist attractions, good facilities, and accessibility as well. Meanwhile, the tourists movement multiple patterns type showed the tourists rsquo movements varied in different form field, such as lowlands, mountains to lowlands, mountains to highlands, etc. This is because multiple patterns type such as base site, chaining loop, and stopover visited many tourist attractions. The movement is done by considering physical factors form field and non physical factors distance between attractions, accessibilities, and facilities.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S67701
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Pada tahun 2008 angka kriminalitas Kabupaten Tegal mencapai 238 kasus,
sehingga kriminalitas di Kabupaten Tegal memerlukan kajian kriminalitas secara
khusus. Kajian kriminalitas di Kabupaten Tegal dengan pendekatan keruangan
memberikan informasi pola wilayah kriminalitas. Analisis yang digunakan yaitu
analisis deskriptif dengan mengaitkan antara kriminalitas dengan kepadatan
penduduk, jumlah keluarga prasejahtera, dan kerapatan jaringan jalan. Wilayah
yang tinggi angka kriminalitasnya terdapat di Wilayah hukum Polsek Slawi
dimana cenderung memiliki kepadatan penduduk tinggi jumlah keluarga
prasejahtera rendah, kerapatan jaringan jalan tinggi. Jenis kejahatan yang dominan
di Wilayah tersebut adalah kelompok pencurian, di lingkungan kerja, pada kuartal
II, pada jam malam hari. Semakin tinggi kepadatan penduduk, dan kerapatan
jaringan jalan di suatu wilayah maka semakin tinggi angka kriminalitas di wilayah
tersebut begitu pula sebaliknya. Semakin tinggi jumlah keluarga prasejahtera di
suatu wilayah maka semakin rendah angka kriminalitasnya begitu pula sebaliknya."
Universitas Indonesia, 2010
S34165
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>