Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 51783 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Tia Febrianti
"Infeksi Chlamydia trachomatis (CT) genital merupakan penyebab infeksi menular seksual (IMS) terbanyak baik di negara industri, maupun di negara berkembang. Prevalensi infeksi ini bervariasi bergantung pada faktor risiko, kelompok populasi yang diteliti, dan metode pemeriksaan yang digunakan. Penelitian meta-analisis di tahun 2005 melaporkan bahwa prevalensi infeksi CT berkisar antara 3,3% hingga 21,5%.5 Prevalensi infeksi CT pada wanita risiko tinggi meningkat 8 kali lipat dibandingkan dengan wanita risiko rendah. Penelitian tahun 2001 di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Mufya Jaya mendapatkan angka kejadian infeksi CT adalah 31,1% dengan metode probe DNA PACE 2® dan 27,8% dengan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) Chlamydiazime®. Data tahun 2004 hingga 2005 di PSKW Mulya Jaya berdasarkan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear (PMN) tanpa ditemukan penyebab spesifik dengan pewarnaan gram, menunjukkan bahwa insidens infeksi genital nonspesifik sebesar 11,1%. Morbiditas dan komplikasi infeksi CT mempengaruhi kesehatan reproduksi wanita akan menimbulkan masalah ekonomi dan psikososial yang serius. Penyakit ini pada wanita dapat menimbulkan gejala uretritis, servisitis, dan penyakit radang panggul (PRP). Selanjutnya dapat terjadi nyeri panggul kronis, kehamilan ektopik, serta infertilitas. Di Amerika Serikat diperkirakan terdapat Iebih dari 4 juta kasus Baru infeksi CT setiap tahun dan akibatnya 50.000 wanita mengalami infertilitas. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi CT dapat menderita konjungtivitis dan/atau pneumonia. Selain itu, infeksi CT juga meningkatkan risiko terkena infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan menderita kanker serviks.
Umumnya infeksi CT bersifat asimtomatik pada 75-85% wanita dan pada 50-90% pria, sehingga penderita tidak mencari pengobatan. Individu terinfeksi CT yang asimtomatik merupakan sumber penuiaran di masyarakat, khususnya wanita penjaja seks (WPS) yang berganti-ganti pasangan seksual. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan uji diagnostik infeksi CT terhadap semua wanita seksual aktif usia <20 tahun; wanita baik usia 20-24 tahun, maupun usia >24 tahun dengan salah satu faktor risiko sebagai berikut: tidak selalu menggunakan kondom, atau mempunyai pasangan seks baru, atau memiliki pasangan seks >1 selama 3 bulan terakhir; serta wanita hamil. Skrining CT pada kelompok wanita risiko tinggi efektif menurunkan insidens infeksi CT dan risiko terjadinya sekuele jangka panjang. Dengan demikian, diperLukan uji diagnostik untuk deteksi infeksi CT yang cepat dan sederhana, sehingga dapat diberikan pengobatan yang tepat serta efektif pada kunjungan pertama guna mencegah transmisi dan komplikasi penyakit lebih lanjut."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58475
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adek Liza Sahara
"Karsinogenesis serviks tidak hanya terkait dengan infeksi human papillomavirus (HPV), tetapi juga terkait dengan berbagai faktor risiko, termasuk infeksi C.trachomatis dan Mycoplasma spp., U. Urealyticum, dan U. parvum. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan infeksi Chlamydia trachomatis, Mycoplasma spp., U.urealyticum, dan U.parvum sebagai faktor risiko infeksi HPV pada kasus kanker serviks. Penelitian ini menggunakan desain casecontrol dengan 68 sampel yang dikumpulkan dari pasien yang dirawat di 5 Klinik di Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia, dari Juli-November 2014. Dari 68 pasien, 22 pasien positif HPV high-risk (hrHPV) dengan kanker serviks(kelompok kasus)dan 46 pasien negatif HPV non kanker serviks (kelompok kontrol). Deteksi HPV menggunakan Roche Linear Array HPV Test Kit, sementara deteksi bakteri menggunakan Real Time PCR kualitatif dan kuantitatif. Terdapat perbedaan bermakna rata-rata usia 8 tahun ([p = <0,0001]) antara kelompok kanker serviks (46 tahun) dan kelompok kontrol (38 tahun). Tidak ada hubungan yang bermakna antara infeksi C. trachomatis dan Mycoplasma spp., U. urealyticum, dan U. parvum dengan HPV secara kualitatif. Namun, terdapat hubungan bermakna secara kuantitatif pada jumlah DNA relatif Mycoplasma spp.pada kelompok kasus dibandingkan kelompok kontrol (p = 0,028).

This study aimed to determined the association of infection Chlamydia trachomatis, Mycoplasma spp., Ureaplasma urealyticum and U. Parvum with HPV in cervical cancer cases.This study used a case-control design with 68 samples collected from patients treated in 5 gynecologic centers in Makassar, South Sulawesi, Indonesia, between July-November 2014. Of 68 patients, 22 were the high-risk HPV (hrHPV) positive patients (case group) with cervical cancer and 46 were the HPV negative patients (control group) with non cervical cancer. HPVs were detected and typed by Roche Linear Array HPV Test Kit, while bacteria were detected by qualitaitive and quantitative real time PCR assays.There was a significant difference of mean age (8 years old [p= <0.0001]) between the cervical cancer group (46 years) and control group (38 years). There was no significant association of C. trachomatis and Mycoplasma spp., U. Urealyticum, and U. parvum qualitatively with HPV. However, we found a significant association of relative DNA quantity of Mycoplasma spp. in the case group with the control group (p=0.028).There were the significant difference of mean age and the significant association of relative DNA quantity of Mycoplasma spp. between the case and control groups. In the future study, it is important to understand the role of the factors in increasing the risk for cervical cancer disease."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Melita Arviany
"Belakangan ini, Trichomonas vaginalis, salah satu etiologi infeksi menular seksual tersering, ditemukan berperan sebagai indikator untuk agen etiologi lainnya, termasuk Chlamydia trachomatis. Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu apakah terdapat hubungan bermakna antara infeksi Trichomonas vaginalis dengan Chlamydia trachomatis pada pekerja seks komersial di Kuningan, Jawa Barat sehingga pemeriksaan infeksi Trichomonas vaginalis dapat dijadikan sebagai indikator untuk infeksi Chlamydia trachomatis dan faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh terhadap kedua infeksi tersebut. Penelitian dengan desain cross sectional ini dilakukan pada 265 sampel. Dengan uji chi square didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara infeksi Trichomonas vaginalis dengan Chlamydia trachomatis (p=0,213). Maka, dapat dikatakan bahwa infeksi Trichomonas vaginalis tidak dapat dijadikan indikator untuk infeksi Chlamydia trachomatis. Faktor tingkat pendidikan (p=0,161) dan jenis kontrasepsi (p=0,878) ditemukan tidak memiliki hubungan bermakna dengan kedua infeksi tersebut. Sebaliknya, dengan faktor usia ditemukan bermakna (p=0,004). Maka, dapat disimpulkan bahwa pada PSK dengan tingkat pendidikan dan jenis kontrasepsi apapun kedua infeksi ini dapat terjadi, sedangkan ada kelompok usia tertentu yang lebih rentan untuk terinfeksi.

Lately, Trichomonas vaginalis, one of the most common sexual transmitted disease etiologic agent, is found as an indicator for the others, including Chlamydia trachomatis. This study aims to understand the relationship between Trichomonas vaginalis and Chlamydia trachomatis infections in commercial sex workers in Kuningan, Jawa BaratsoTrichomonas vaginalis infection examination can be used as an indicator for Chlamydia trachomatis infection and which factors influencing both of the infections. This cross sectionalstudy was being done in 265 samples. With chi square test it can be concluded that there is no significant relationship between Trichomonas vaginalis and Chlamydia trachomatis infections (p=0.213). Hence, Trichomonas vaginalis infection can't be used as an indicator for Chlamydia trachomatis infection. Education level (p=0.161) and contraception method (p=0.878) showed no significant relationship with these two infections. In contrast, age factor did (p=0.004). Therefore, in commercial sex workers of any education level and contraception method these two infections can occur, meanwhile there is a specific age group in which these two infections more likely to occur.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardhia
"Cervical cancer remains the second most common cancer in women worldwide, include Indonesia. HPV persistence is known as the main cause of cervical precancer and cancer, but it has been postulated that HPV persistence is implicated by sexually transmitted diseases as risk factor such as C. trachomatis, M. hominis, U. urealyticum dan U. parvum. There is no data showing the prevalance of C. trachomatis, M. hominis, U. urealyticum dan U. parvum infection in abnormal cervical cytology in Indonesia, therefor this study was conducted to determine whether there is association between C. trachomatis, M. hominis, U. urealyticum and U. parvum coinfection in abnormal cervical cytology. Liquid based cytology and duplex PCR was used to determined cytology abnormality and the infection. 59 specimens was collected and divided into 14 specimens with cervical cytology abnormality and 45 specimens with normal cervical cytology. Statistical analysis shown association between U. urealyticum infection and HPV p 0,017 and no association between C. trachomatis, M. hominis, and U. parvum infection with p value 0,203, 0,266 and 0,089 respectively. Furthermore, there were no association between C. trachomatis, M. hominis, U. urealyticum and U. parvum coinfection in abnormal cervical cytology by statistical analysis p 0,417, 0,682, 0,682 and 0,689.

Kanker serviks merupakan kanker yang menduduki urutan ke-dua dari keganasan pada wanita di dunia, termasuk di Indonesia. Kejadian lesi prakanker dan kanker serviks diketahui tidak hanya disebabkan oleh infeksi persisten HPV sebagai penyebab utama, namun melibatkan faktor risiko lain salah satunya adanya agen infeksi penyakit menular seksual selain HPV seperti C. trachomatis, M. hominis, U. urealyticum dan U. parvum. Data mengenai infeksi bakteri terhadap wanita dengan lesi prakanker serviks di Indonesia belum ada. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan infeksi C. trachomatis, M. hominis, U. urealyticum dan U. parvum dengan sitologi serviks abnormal pada wanita dengan HPV positif. Metode pemeriksaan sitologi serviks dengan menggunakan LBC dan deteksi bakteri menggunakan PCR dupleks. Dari total 59 spesimen didapatkan 14 dengan sitologi serviks abnormal dan 45 dengan sitologi serviks normal. Hasil analisa hubungan infeksi C. trachomatis, M. hominis, U. urealyticum dan U. parvum dan infeksi HPV adalah p 0,203, 0,266, 0,017 dan 0,089. Hubungan infeksi C. trachomatis, M. hominis, U. urealyticum dan U. parvum dengan HPV positif pada sitologi serviks abnormal adalah 0,417, 0,682, 0,682 dan 0,689. Berdasarkan uji statistik terdapat hubungan antara infeksi U. urealyticum dan HPV, serta tidak didapatkan hubungan bermakna antara infeksi bakteri dengan HPV positif pada sitologi serviks abnormal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57670
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eustachius Hagni Wardoyo
"Latar belakang : Angka kejadian infeksi menular seksual (IMS) dengan pengeluaran duh genital di Indonesia didasarkan pada modalitas diagnosis yang masih terbatas. Survey IMS di kota besar pada kelompok resiko tinggi secara periodik memberikan gambaran infeksi klamidia dan gonore yang dominan. Perubahan patogenesis infeksi klamidia dan gonore yang disebabkan karakteristik demografik, perilaku seks dan pengobatan sendiri menyebabkan diagnosis pendekatan sindrom tidak lagi akurat.
Tujuan : Mengembangkan sistem deteksi C. trachomatis dan N. gonorrhoeae menggunakan PCR dupleks pada penderita IMS dengan pengeluaran duh genital.
Metode : Penelitian dilakukan dalam 3 tahap. Tahap I adalah tahap optimasi terhadap suhu dan waktu annealing, konsentrasi primer, waktu sentrifugasi dan volume elusi akhir. Tahap II merupakan uji spesifisitas pemeriksaan terhadap bakteri lain dan ambang deteksi dupleks PCR dan tahap III adalah aplikasi PCR dupleks terhadap spesimen klinik.
Hasil : Hasil optimasi yang didapatkan adalah sebagai berikut: suhu annealing 54°C, waktu annealing 60 detik, konsentrasi baik primer CTR dan CTF masing-masing 0,7μM sedangkan konsentrasi baik primer NGR dan NGF masing-masing 0,5μM, waktu sentrifugasi 10 menit dan volume elusi 60 μl. Ambang deteksi DNA terendah untuk C. trachomatis adalah 0,927 pg/reaksi PCR dan untuk N. gonorrhoeae adalah 1,19 pg/reaksi PCR. PCR dupleks terhadap 23 spesimen endoserviks memberikan hasil pita yang sesuai untuk C. trachomatis sebanyak 10 kasus (43,5%) dan pita yang sesuai untuk N. gonorrhoeae sebanyak 10 kasus (43,5%) dengan 4 kasus koinfeksi. PCR dupleks pada 18 swab uretra laki-laki memberikan hasil pita yang sesuai untuk C. trachomatis sebanyak 1 kasus (0,5%) dan pita yang sesuai untuk N. gonorrhoeae sebanyak 12 kasus (66,7%). Pemeriksaan PCR dupleks terhadap N. gonorrhoeae memiliki sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif berturut-turut 100%, 61,9%, 20%, dan 100% pada spesimen endoserviks dan 75%, 40%, 50%, dan 66,67% pada spesimen uretra pria. PCR dupleks terhadap C. trachomatis dibandingkan uji deteksi antigen klamidia memiliki hasil positif lebih banyak baik pada spesimen swab endoserviks maupun uretra pria (10:3 dan 1:0).

Background : The incidence of sexually transmitted infections (STIs) with discharge in Indonesia is based on limited diagnostic modalities. STIs survey periodically in large cities of Indonesia to high-risk groups provide dominant pattern of C. trachomatis and N. gonorrheae infection. Pathogenesis change of C. trachomatis and N. gonorrheae infection due to demographic characteristic, sexual and self-medication behavior may reflect routine syndromic approach diagnostic is no longer accurate.
Objective : To develop detection system of C. trachomatis and N. gonorrhoeae using duplex PCR assay to genital discharge in patient with sexual transmitted infection.
Methods : Three steps research were done. Firstly was PCR assay optimalization to annealing time and temperature, primer concentration, centrifugation time and elution volume. Secondly, specificity test and thirdly duplex PCR assay application to clinical specimen.
Results : Duplex PCR assay optimalization gave results as follow: annealing temperature was 54°C, annealing time was 60 detik, C. trachomatis primer concentration both reverse and forward were 0,7μM and N. gonorrhoeae primer concentration both reverse and forward were 0,5μM, centrifugation time was 10 minutes and elution volume elusi 60 μl. Detection limit of duplex PCR to C. trachomatis was 0.927 pg / PCR reaction, and N. gonorrhoeae was 1,19 pg / PCR reaction. Duplex PCR application to 23 endocervical swab which corresponds to C. trachomatis were 10 cases (43.5%) and corresponds to N. gonorrhoeae were 10 cases (43.5%), with 4 coinfection cases. Duplex PCR to 18 male urethral swab which corresponds to C. trachomatis was 1 case (0.5%) and that corresponds to N. gonorrhoeae were 12 cases (66.7%). Duplex PCR to detect N. gonorrhoeae had sensitivity, specificity, positive predictive value and negative predictive value of 100%, 61.9%, 20%, and 100% in endocervical specimens, respectively and 75%, 40%, 50%, and 66.67%, in male urethral specimens respectively. Duplex PCR to detect C. trachomatis was compared with chlamydial antigen detection test were show positive results higher both in endocervical and male urethral specimens (10:3 and 1:0).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T33094
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suksmagita Pratidina
"Chlamydia trachomatis (CT) merupakan bakteri penyebab infeksi menular seksual (IMS) yang paling sering terjadi, dengan perkiraan angka kejadian 50 juta kasus per tahun di seluruh dunia. Lebih dari 3 juta kasus baru dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1995. Hal ini membuat infeksi CT tidak hanya sebagai penyakit infeksi menular seksual (IMS) terbanyak, tetapi juga penyakit infeksi tersering di Amerika Serikat. Penelitian meta-analisis di tahun 2005 melaporkan bahwa prevalensi infeksi CT berkisar antara 3,3% hingga 21,5%.
Terdapat 2 Cara transmisi infeksi CT yaitu secara horizontal dan vertikal. Infeksi horizontal umumnya terjadi melalui hubungan seksual lewat vagina dan anus tanpa pelindung, sedangkan infeksi vertikal terjadi saat proses kelahiran. Meskipun infeksi Iebih sering terjadi pada genital dan konjungtiva, temyata permukaan mukosa faring, uretra dan rektum juga merupakan lokasi kolonisasi CT. Hubungan orogenital awalnya tidak dipikirkan sebagai jalur transmisi CT, sehingga pemeriksaan skrining rutin untilk infeksi CT faring belum dianjurkan pada pedoman di Amerika Serikat dan Inggris. Namun dengan semakin banyaknya praktek fellatio dan jarangnya penggunaan kondom, kemungkinan transmisi CT pada orofaring dapat terjadi. Chlamydia trachomatis sering merupakan penyebab infeksi anorektum (proktitis akut) yang ditularkan secara seksual, khususnya pada populasi men who have sex with men (MSM) yang melakukan hubungan seksual lewat rektum tanpa perlindungan kondom.
Selain MSM, waria juga merupakan kelompok risiko tinggi yang rentan terhadap infeksi tersebut. Waria memiliki jumlah pasangan seksual Iebih banyak dibandingkan dengan kelompok risiko tinggi lain (penjaja seks wanita dan MSM), Iebih banyak bekerja menjajakan seks demi uang, memiliki pendapatan paling rendah, banyak yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Waria adalah istilah yang hanya digunakan di Indonesia, yaitu singkatan dari wanita-pria. Walaupun hingga saat ini belum ada data yang akurat mengenai jumlah populasi waria di Jakarta, namun menurut data yang didapat diperkirakan sekitar 8000 orang yang bermukim di Jakarta dan sekitarnya. Pasangan seksual waria adalah laki-laki heteroseksual, waria tidak pernah berhubungan seksual dengan sesama waria atau dengan laki-laki homoseksual. Waria melakukan hubungan seksual secara orogenital dan anogenital reseptif dan memiliki perilaku seksual yang sangat berisiko." Banyak waria di Jakarta terlibat dalam hubungan seks komersial lewat oral dan anal reseptif tanpa pelindung/kondom. Masalah perilaku seksual tersebut merupakan pintu masuk bagi penularan IMS pada kelompok waria. Meskipun perilaku ini meningkatkan risiko untuk terkena IMS dan HIV, sangat sedikit data yang ada mengenai prevalensi infeksi ini berikut perilaku seksualnya. Pada kelompok ini angka prevalensi panting untuk diketahui karena prevalensi 1MS merupakan salah satu indikator yang memberi gambaran prevalensi infeksi HIV/AIDS.
Sebagian besar individu yang terinfeksi CT bersifat asimtomatik, sehingga merupakan sumber penyebaran infeksi yang potensial. Guna mencegah penyebaran infeksi, perlu diperhatikan diagnosis dini berdasarkan tes laboratorik yang akurat dan pengobatan yang efektif. Hingga tahun 80-an, diagnosis infeksi CT hanya berdasarkan pada isolasi organisme dengan kultur jaringan. Meskipun kultur masih merupakan baku emas untuk pemeriksaan CT, teknik ini membutuhkan pengambilan spesimen yang teliti dan kondisi transpor yang ketat. Selain itu pemeriksaan kultur belum distandarisasi dan dapat terjadi variasi hasil antar laboratorium. Uji nonkultur untuk deteksi CT pertama kali diperkenalkan sekitar tahun 80-an dan perkembangannya sangat baik karena tidak membutuhkan organisme hidup, sehingga mengatasi masalah pengambilan dan transportasi spesimen yang berhubungan dengan metode kultur."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18013
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lindayani Halim
"Latar belakang. Chlamydia trachomatis (CT) merupakan bakteri penyebab infeksi menular seksual (IMS) yang tersebar luas di berbagai negara. Insidens infeksi CT yang rendah pada populasi umum, karena infeksi ini sering bersifat asimtomatik sehingga kurang diperhatikan. Infeksi CT berpengaruh pada organ reproduksi manusia, namun peran CT pada infertilitas laki-laki masih kontroversial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi kepositivan CT yang diperiksa dengan teknik polymerase chain reaction (PCR) pada semen lakilaki pasangan infertil dan hubungannya dengan konsentrasi serta motilitas sperma.
Metode. Desain penelitian ini bersifat deskriptif-analitik dengan rancangan studi potong lintang. Berdasarkan perhitungan, sampel minimal penelitian ini sebesar 97 orang.
Hasil. Berdasarkan pemeriksaan PCR, tidak didapatkan SP yang mengandung CT pada cairan semennya. Penelitian ini mendapatkan 54 dari 100 SP (54,0%) mengalami gangguan sperma, yaitu gangguan konsentrasi, motilitas, atau keduanya. Sebanyak 41 dari 100 (41,0%) SP mengalami gangguan konsentrasi sperma dan 46 dari 100 SP (46,0%) mengalami gangguan motilitas sperma.
Kesimpulan. Tidak ditemukan C. trachomatis pada cairan semen semua SP. Hubungan kepositivan C. trahomatis dengan konsentrasi dan motilitas sperma pada penelitian ini tidak dapat dinilai karena hasil PCR CT yang negatif pada semua SP. Chlamydia trachomatis bukan merupakan penyebab infertilias laki-laki pada penelitian ini.

Background. Chlamydia trachomatis (CT) infection is the most common sexually transmitted infection and has a worldwide distribution. The reported of incidence rates of genital CT infections in the population likely are an underestimate because of the highly asymptomatic nature of the pathogen. Chlamydia trachomatis infection influences human reproductive organs, but the role of this infection in male infertility is discussed controversial. This study ascertained the proportion of CT infections by polymerase chain reaction (PCR) in semen from male partners of infertile couples and its correlation with sperm concentration and motility.
Methode. This study was descriptive-analytic with cross sectional design. Based on sample calculation, minimal sample acquired for this study was 97 subjects.
Result. Of the 100 male partners of infertile couples in the study, none were positive for CT. Sperm concentration or motility were abnormal in 54% of the 100 evaluated semen specimens. Sperm concentration and sperm motility were abnormal in 41% and 46% of the 100 evaluated semen specimens.
Conclusions. Chlamydia trachomatis was found in none of th e male partners of the infertile couples. Correlation between the detection of CT in semen and sperm concentration and motility could not be analyzed because no semen samples were positive for CT. Chlamydia trachomatis was not the underlying cause of men infertility in this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raditya Dewangga
"Infeksi Trichomonas vaginalis masih menjadi masalah pada wanita yang aktif secara seksual, terutama pada pekerja seks komersial yang sering berganti pasangan. Trichomoniasis yang bersamaan dengan infeksi Chlamydia trachomatis akan menambah beban penyakit dan menimbulkan komplikasi lebih banyak. Penggunaan kontrasepsi untuk mencegah infeksi pada orang yang aktif secara seksual, terutama pekerja seks komersial masih menuai kontroversi mengenai keefektivitasannya.
Pada studi ini, peneliti meneliti perbedaan proporsi infeksi Chlamydia trachomatis antara kelompok infeksi Trichomonas vaginalis positif dengan kelompok Trichomonas vaginalis negatif pada pekerja seks komersial di daerah Indramayu, Jawa Barat serta kaitannya dengan jenis kontrasepsi yang dipakai. Sebanyak 216 pekerja seks komersial di Indramayu pada data sekunder dari Departemen Parasitologi diteliti dengan desain studi cross-sectional.
Analisis uji Chi-square menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi infeksi Chlamydia trachomatis yang bermakna antara kelompok infeksi Trichomonas vaginalis positif dengan kelompok Trichomonas vaginalis negatif p=0,484 . Jenis kontrasepsi juga tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap infeksi Trichomonas vaginalis p=0,653 , infeksi Chlamydia trahomatis p=0,195 , serta koinfeksi Trichomonas vaginalis dan Chlamydia trachomatis p=0,213.
Dapat disimpulkan, tidak ada hubungan yang bermakna antara infeksi Trichomonas vaginalis dan Chlamydia trachomatis pada pekerja seks komersial di Indramayu. Tidak ditemukan pula hubungan antara jenis kontrasepsi yang digunakan oleh pekerja seks komersial dengan infeksi Trichomonas vaginalis, Chlamydia trachomatis, dan koinfeksi kedua parasit tersebut.

Infection caused by Trichomonas vaginalis is still an ongoing problem for sexually active women, especially female sex workers who change partners frequently. Trichomoniasis occurring simultaneously with the infection of Chlamydia trachomatis will further worsen the disease and cause many more complication to appear. The usage of contraception in order to prevent infection toward sexually active women is still controversial regarding its effectiveness.
This research aims to identify the difference in proportion of Chlamydia trachomatis infection between positive Trichomonas vaginalis group and negative Trichomonas vaginalis group on female sex workers in Indramayu, Jawa Barat and its relation with used contraception method. A cross sectional study is conducted using secondary data of 216 female sex workers in Indramayu, obtained from Department of Parasitology FMUI.
Chi square analysis suggests no significant proportion difference in Chlamydia trachomatis infection between positive Trichomonas vaginalis group and negative Trichomonas vaginalis group p 0,484. There are also no significant associations between used contraception method with Trichomonas vaginalis infection p 0,653 , Chlamydia trachomatis infection p 0,195 , and Trichomonas vaginalis with Chlamydia trachomatis coinfection p 0,213.
In conclusion, there is no significant association between Trichomonas vaginalis and Chlamydia trachomatis infection among female sex workers in Indramayu. Moreover, there is no significant association between contraception method used by female sex workers with Trichomonas vaginalis infection, Chlamydia trachomatis infection, and both of the parasite infection.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70373
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oentoeng Soeradi
"ABSTRAK
Ledakan penduduk di dunia menunjukkan perlunya bahan-bahan kontrasepsi baru dan efektif, dengan efek samping yang minimum dan dapat memberikan proteksi yang efektif. Pada saat ini bahan kontrasepsi yang dianggap paling efektif dan luas penggunaannya adalah hormon steroid. Untuk mengantisipasi maksud tersebut di atas, maka beberapa usaha telah dilakukan oleh peneliti terdahulu untuk memperoleh bahan kontrasepsi pria khususnya, dari tanaman sebagai sumber yang potensial.
Tujuan penelitian ini ialah untuk mengevaluasi, apakah pemberian ekstrak buah paria dapat mereduksi atau menurunkan tingkat vertilitas mencit jantan strain AJ, sebagai satu model kontrasepsi pada pria.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dilakukan suatu penelitian sebagai berikut :
Tiga puluh ekor mencit dewasa, berat antara 18-20 g, dibagi secara acak menjadi 5 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 6 ekor mencit. Empat mencit pertama dari tiap kelompok, masing-masing diberi ekstrak buah paria 800, 850, 900, dan 950 mg/kg berat badan secara oral. Sisanya 2 ekor mencit digunakan sebagai kontrol perlakuan yang diberi 1% larutan CMC (Corboxy methyl celullose).
Semua perlakuan diberikan tiap hari sebanyak 0,5 ml selama 40 hari atau satu siklus spermatogenesis. Setelah perlakuan 40 hari selesai, semua mencit jantan dikawinkan dengan mencit betina (1:1) selama 5 hari. Setelah itu, mencit jantan dipisahkan dan selanjutnya dimatikan, sedangkan yang betina dibiarkan hidup sampai melahirkan. Testes dan vas deferens diambil dari mencit jantan yang dimatikan tadi. Parameter yang dianalisis dalam penelitian ini adalah berat badan dan berat testes, kontrasi sperma (diambil dari vas deferens), viabilitas sperma, dan jumlah anak yang dilahirkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat badan dan berat testes tidak dipengaruhi oleh ekstrak buah paria. Tetapi, analisis varians memperlihatkan bahwa terjadi suatu penurunan konsentrasi sperma yang cukup bermakna pada dosis ekstrak 850, 900, 950 mg/kg bb, sedangkan pada dosis 800 mg/kg bb tidak dipengaruhi. Suatu hasil yang penting dalam penelitian ini ialah suatu reduksi jumlah anak yang terjadi pada kelompok perlakuan, di mana 2 dari 5 ulangan mencit betina atau 40% terjadi pada dosis 800, 850, dan 900 mg/kg bb tidak hamil; sedangkan pada 950 mg/kg bb, 3 dari 5 ulangan mencit betina atau 60% tidak mengalami kehamilan. Diduga bahwa penurunan jumlah kelahiran erat kaitannya dengan penurunan konsentrasi sperma atau penurunan kapasitas/kemampuan sperma didalam epididimis.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, diperlukan penelitian lebih lanjut, untuk memperoleh dosis ekstrak buah paria yang lebih efektif, yang dapat menghilangkan kapasitas sperma epididimis, sehingga kemampuan fertilisasi pun hilang. Jika dosis efektif ekstrak buah aaria telah menjadi kenyataan, maka diharapkan tidak terjadi kelahiran baru.

ABSTRACT
Effects Of Momordica Charantia L. Fruit Extract On Tile Fertility Of Adult Male Mice: A Model Of Contraceptive In Man The world population explosion has pointed out the need for new and effective contraceptive agents, having a minimum of side effects and giving a maximum protective effect. To date, the most effective and widely used contraceptives have been steroids; but these are not without side effects. Efforts have already been done by previous investigators to find potential value of plants as sources of male contraceptive agents.
The aim of this research is to evaluate whether treatment with M.charantia L. fruit extract can reduce significantly the fertility of adult male mice as a model of contraceptive in man.
To achieve this goal, a research has been carried out as follows. Thirty adult male mice (AJ strain), 18-20 g body weight were divided randomly into 5 groups of 6 mice each. The first 4 mice of each group were treated respectively with 800 mg, 850 mg, 900 mg, and 950 mg/kg body weight/day/mouse orally of paria fruit extract. The remaining 2 mice served as treated control fed with 1% CMC (carboxy methyl cellulose) and untreated control, respectively.
The treatment was given every day to 0,5 ml for 40 days or one cycle of spermatogenesis. After 40 days of treatment, all male mice were mated to adult fertile female mice (1:1) for 5 days. Afterward the male mice were separated and sacrificed, while all female mice were kept until giving birth. Testes and vas deferens were taken from sacrificed male mice. The analyzed parameters in this study were the body and testicle weight, sperm density (taken from vas deferens), sperm viability, and the number of offspring.
The results presented show that no significant effect of paria fruit extract on body weight and testicle weight. However, analysis of variance showed a significant decrease in the sperm density at 850, 900, and 950 mg/kg bb, while at 800 mg/kg bb the sperm density was not affected by the paria extract. The important finding in the present work is a reduction of offspring belonging to treated groups, in which two of five female mice or 40% at dose levels of 800, 350, 900 mg/kg/ day respectively, were failed to become pregnant, while at 950 mg/kg/ day of paria extract three of five female mice or 60% were found with-out offspring. The reduction in litter size is probably associated with a decrease in the number of sperm density or sperm capacity in the epididymis.
These results indicate that the mechanism of action of the paria fruit extract might be via a direct effect at epididymal/vas deferens sites by acting as spermatoxic agent on mature sperm. Based on the pre-sent results, further studies are needed to find more effective dose of paria fruit extract which can omit sperm capasity (acting at the post-testicular level) and its respons in non-human primates."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>