Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 83336 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Fitria Noor
"Otonomi Daerah sejak Tahun 200 l diterapkan, dengan perubahan paradigma Pembangunan yang ditujukan kepada penguatan sumber daya Iokal, demokratisasi dan kemandirian masyarakat Kebijakan ini temyata menimbulkan berbagai permasalahan diseputar penerapannya. Salah satu permasalahan tersebut adalah mengenai Tarik Menarik Kewenangan Di Bidang Perizinan antara Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah.
Tulisan ini merupakan analisa sederhana dari basil penehtian mengenat permsalahan tersebut dengan mengidentifikasi wujud, penyebab dan beberapa implikasi tarik menarik kewenangan tersebut dan pemecahan pennasalahan tersebut melalul rekomendasi. Dengan menggunakan metode kua1itatif deskriptif.
Tulisan ini mencoba menggambarkan secara singkat dari hasil temuan penelitian antata lain mengenai wujudnya ada1ah Tumpang tindih kewenangan, keridakjelasan kewenangan dan adanya campur tangan Pemerintah Propinsi kepada urusan rumah tangga Kabupaten. Adapun Penyebab dari permasalahan ini antara lain, beragamnya pemahaman desentrahsasi pada semua tingkat Pemerintah, tidak adanya kesesuaian antara regulasi otonomi daerah dan teknis serta tidak adanya konsitiasi kelernbagaan daerah mengenai kewenangan tersebut.
Berdasarkan kondisi empirik: yang terjadi di lapangan friksi mengenai pengaturan kewenangan itu juga dipicu dari kepentingan masing masing itu tentu saja dari keinginan baik (good will) kedua pihak yang bertikai dan di mediasi oleh pemerintah pusat.
Bagian akhir tesis menyampaikan pula anallsa sederhana mengenai Good Forestry Governance yang dapat bersinergi dengan Otonomi daerah itu sendiri. Merupakan sumbang pemikiran bagi daerah terhadap berbagai konflik kepentingan yang terjadi sepanjang penerapan otonomi daerah."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T5039
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Wahju Satrio Utomo
"ABSTRAK
Menjelang Abad 21 dan milenium ke-3 mendatang, Bangsa Indonesia dihadapkan pada perubahan lingkungan strategis yang sangat dinamis, baik pada tatanan global maupun regional. Menjawab tantangan perubahan tersebut menjadi suatu tuntutan dan kebutuhan untuk menata ulang peran pemerintah guna mewujudkan pemerintahan yang demokratis, transparan dan akuntabel serta melakukan reformasi dibidang administrasi publik. Penetapan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah satu wujud dari pada upaya penataan kembali peran pemerintah. Dihadapkan pada kondisi saat ini, khususnya di bidang transportasi dimana kewenangan pemerintah pusat sangat dominan, maka dapat diperkirakan bahwa pelaksanaan otonomi daerah dibidang transportasi akan menghadapi berbagai kendala yang cukup substansial, utamanya setelah dilakukan penataan kewenangan yang akan menimbulkan berbagai dampak di berbagai aspek seperti aspek kelembagaan, sumber daya manusia, dan aspek ketatalaksanaan. Dari berbagai fenomena yang diungkapkan, maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:
Bagaimana penataan otonomi di seluruh sektor transportasi agar sejalan dengan otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab, sebagaimana disyaratkan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang pemerintahan daerah.
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan metodologi kualitatif dan didukung data primer serta data sekunder. Lokus penelitian di lingkungan kantor pusat Departemen Perhubungan dan sebagai responden adalah para pejabat yang berkompeten dengan obyek penelitian.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, ditemukenali adanya faktor-faktor yang mempengaruhi otonomi di sektor transportasi antara lain, Pertama : aspek penataan kewenangan, belum lengkapnya inventarisasi kewenangan dan kurang memadainya pedoman untuk penataan kewenangan, kedua : aspek penataan kelembagaan, belum dilakukannya analisa beban kerja terhadap hasil penataan kewenangan dan belum adanya pedoman penataan kelembagaan yang memadai. Ketiga : aspek penataan sumber daya manusia, belum jelasnya arah kebijakan penataan sumber daya manusia, belum dilakukan kajian mengenai penataan sumber daya manusia termasuk dampak dari mutasi pegawai ke daerah. Keempat : aspek ketatalaksanaan, belum lengkapnya standar pelayananlteknis untuk seluruh jenis pelayanan disektor transportasi, serta belum disusunnya pola hubungan kerja antara pemerintah pusat dengan daerah otonom;
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas direkomendasikan untuk ditempuh langkah-langkah antara lain, Pertama : menyusun perencanaan dan skenario penataan kewenangan, kelembagaan, sumber daya manusia, dan ketatalaksanaan, dengan kejelasan target waktu, sasaran dan penanggung jawab, dan kedua : merumuskan mekanisme hubungan kerja antara pemerintah pusat dengan daerah otonom, menyusun berbagai standar yang diperlukan dan menyempurnakan sistem transportasi nasional dan sistem transportasi wilayah.

ABSTRACT
Factors Affecting Autonomy In Transportation SectorPrior to the 21st century and the next 3rd millenium, Indonesians are challenged by a very dynamic change of strategic environment, both from regional and world - wide sphere. This includes transferring the challenge into demand or needs to rearrange the role of government, in order to create a democratic, transparent and accountable government as well as to carry-on public administration reform. The establishment of the Law number 22 year 1999 on Local Government, known as The Law of autonomy is one effort to restructuring the role of government.
It could be predicted that the implementation of autonomy, in general and in transportation sector, in particular, the central government will face various substantial handicaps. They will emerge especially after the restructuring of government role has been done, and this will in turn, cause some effects on various aspects such as institution aspect, human resources aspect, and management management aspect. Based on aforementioned phenomena, this research focuses on: " How to manage autonomy in transportation sector which get into a line with the whole autonomy, down to earth, and fully liable, as required by the Law number 22 Year 1999 on Local Government ".
This research relies on a descriptive observation using qualitative methodology and supported by primary and secondary data. The locus of this observation is the office of the Ministry of Communications, with the relevant officers as respondents.
According to the observation, there are some factors affecting autonomy in transportation sector, among others are: First, authority management aspect; incomplete authority stock - taking, lack of guidelines to manage the authority. Second, institutional arrangement aspect; the absence of work load analysis and lack of appropriate guidance for authority. Third, human resource management aspect; vague direction of human resource management policy, and absence of human resource management study, including impacts of employee's mutation to regional offices, and Fourth, management aspects; lack of technical service standard for all kind of services in transport sector, and obscure pattern of work relationship between central and local government.
Based on the above reasons, it is recommended to take the following measure: First, to set up a plan and scenario for the arrangement of authority, institution, human resources, management with clear target of time, objectives and responsible persons; and second, to formulate work relationship mechanism between central and local government, to set up various standards needed and to improve national and regional transportation system.

"
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robertus Verico
"Sektor kehutanan adalah salah satu sumber bagi penerimaan pendapatan daerah. Oleh sebab itu pengelolaan hutan haruslah dilakukan secara lestari agar kesinambungan dari hasil hutan dapat tetap terjaga. Pengelolaan hutan meliputi kegiatan yaitu memanfaatkan, merehabilitasi dan melindungi hutan. Dari kegiatan pemanfaatan hutan tersebut akan diperoleh pendapatan sektor kehutanan bagi daerah sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 yaitu yang berasal dari bagi hasil antara pusat dengan daerah berupa PSDH dan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh peningkatan pendapatan daerah yang berasal dari sektor kehutanan dapat dilihat melalui pengelolaan hutan yang telah dilaksanakan. Penelitian ini bersifat deskriptif dimana menggambarkan menurut apa adanya keadaan nyata pada saat penelitian mengenai pengelolaan hutan dalam meningkatkan pendapatan daerah di Kabupaten Kotawaringin Timur.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan tehnik pengumpulan data dilakukan dengan Cara pengumpulan data primer melalui wawancara tak terstruktur dengan menanyakan langsung kepada aparatur pemerintah baik di provinsi maupun kabupaten dan para nara sumber yang ada sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui pencatatan langsung di instansi-instansi pemerintah, studi berbagai dokumen dan literatur yang ada.
Teknik analisa data yang dilakukan yaitu analisa data kualitatif berdasarkan hasil pengamatan, wawancara dan dokumen yang diolah secara tabulasi dan kemudian dilakukan analisa data meliputi aspek sosial, ekonomi dan budaya.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengelolaan hutan dalam meningkatkan pendapatan daerah di Kabupaten Kotawaringin Timur belum berjalan dengan baik. lni disebabkan:
  1. Pengelolaan hutan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur dalam memanfaatkan hutan menemui hambatan berupa ketidaksiapan masyarakat setempat, Rehabilitasi lahan hanya 30% yang dilakukan justru kerusakan hutan yang meningkat sebesar 10% setiap tahunnya, kegiatan perlindungan hutan belum dapat mencegah kayu-kayu ilegal yang berasal dari kegiatan ilegal logging selain itu perlindungan hutan masih belum dapat mencegah terjadinya kebakaran hutan.
  2. Penerimaan PSDH sektor kehutanan tahun 1999-2002 mengalami penurunan 20% setiap tahunnya.
  3. Penerimaan PAD sektor kehutanan melalui Perda Nomor 14 Tahun 2000 memiliki banvak kelemahan yang justru menimbulkan terjadinya penurunan pendapatan bagi daerah serta peluang bagi ilegal logging dan praktek KKN.
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
  1. Meningkatkan kembali rehabilitasi terhadap hutan-hutan yang telah rusak disamping meningkatkan perlindungan hutan dengan memberikan sanksi yang lebih tegas terhadap para pelanggar agar penerimaan daerah dari hasil hutan dapat meningkat.
  2. Mencabut Perda Nomor 14 Tahun 2000 Kabupaten Kotawaringin Timur.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T9593
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gigir Wicaksono
"ABSTRAK
Perlu disadari bahwa pembangunan nasional, termasuk sektor energi dan sumber daya mineral, merupakan proses tanpa henti (never-ending process) yang perlu dijaga kesinambungan dan arahnya menuju sasaran utama, yaitu mendukung dan berkontribusi demi terwujudnya Tujuan Nasional (masyarakat adil, makmur dan sejahtera) sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, pendekatan Lima Pilar Program Pembangunan tsb masih sahih (valid) dan retevan dalam pembangunan sektor energi dan sumber daya mineral untuk kurun waktu 5 (Lima) tahun ke depan. Dalam Program Kerja pemerintah dalam 100 Hari Pertama dibagi atas 3 (tiga) subsektor utama, yaitu migas, ketenagalistrikan, dan mineral. Dalam hal ini penulis lebih memfokuskan pembahasan kepada program mineral yang didalamnya termasuk pertambangan umum. Kaitannya Usaha pemerintah di dalam meningkatnya investasi di bidang pertambangan umum seperti Batubara merupakan upaya strategis didalam pembangunan ekonomi diantaranya dengan merencanakan kembali pelaksanaan investasi di subsektor mineral yang melibatkan 13 (tigabelas) perusahaan pertambangan bahan mineral di 9 provinsi. Beberapa program lainnya yang mempunyai kaitannya dengan Otonomi Daerah adalah pemerintah berupaya menyelesaikan pembangunan 9 (sembilan) pabrik briket batubara yang berlokasi di Sumatera Barat, Bengkulu, Bangka, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Setatan, Jawa Barat, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai upaya diversifikasi energi dalam mengantisipasi penghapusan subsidi harga BBM dan kelangkaan BBM untuk menggerakan pembangkit tenaga tistrik. Kebijakan diatas tidak terlepas dari UU Otonomi Daerah yang menginginkan adanya peningkatan PAD Daerah yang diharapkan dapat menyerap tenaga kerja langsung sekitar 32 ribu orang sehingga pada gilirannya akan dapat mensejahterakan masyarakat daerah itu sendiri. Untuk merealisasikan pembangunan ekonomi tersebut pemerintah perlu merencanakan roadmap Pertambangan Umum kepada pemerintah daerah, sehingga perlu adanya sosialisasi terhadap pemahaman UU Otonomi Daerah yang berkaitan dengan rencana pemerintah pusat. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasat 33 ayat (2) dan (3) bahwa sumber daya (kekayaan) alam dalam hal ini pertambangan umum dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kebijakan pemanfaatan sumber daya mineral sebetumnya tebih berorientasi pada kekuasaan Negara sehingga menciptakan kebijakan yang sentralistis dan monopolistis. Sejak era reformasi dan sesuai Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Daerah diberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab untuk mengelola secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan somber daya nasional yang berkeadiian. Di samping itu penyeLenggaraan Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. "
2007
T 17040
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Situmorang, Charles Edward
"Peningkatan Gas-gas Rumah Kaca (GRK) akibat kegiatan manusia alamiah dapat menyebabkan perubahan iklim bumi yang memberi pengaruh merugikan pada lingkungan hidup dan kehidupan manusia.
Peranan konsentrasi GRK yang stabil di atmosfir mempunyai arti yang sangat penting bagi keberlanjutan kehidupan di bumi, di mana adanya GRK khususnya CO2. dan CH4 yang berlebihan akan dapat meningkatkan panas bumi, dengan meningkatnya panas bumi akan dapat menyebabkan naiknya permukaan air laut. Bila hal ini terjadi maka akan dapat mengancam kehidupan negara kita sebagai negara kepulauan dimana pemukiman, pertanian dan lain-lainnya berada di kawasan pesisir.
Indonesia mempunyai peranan strategis dalam struktur iklim geografis dunia karena sebagai negara tropis equator yang mempunyai hutan tropis basah terbesar kedua di dunia dan negara kepulauan yang memiliki laut terluas di dunia mempunyai fungsi sebagai penyerap GRK yang besar.
Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk :
1. Mendapatkan suatu cara prakiraan rosot dan emisi C02 di sektor kehutanan sesuai kondisi hutan tropis Indonesia.
2. Mendapatkan suatu model komputer untuk meramalkan rosot dan emisi C02 di masa mendatang sesuai dengan kondisi hutan Indonesia.
3. Mendapatkan suatu pilihan mitigasi untuk memperoleh net C02 yang lebih besar di sektor kehutanan.
Dari permasalahan tersebut, hipotesa yang diajukan adalah :
1. Ada kecenderungan Total rosot C02 dan Total emisi C02 meningkat akibat kegiatan manusia dan alam.
2. Peningkatan net C02 di sektor kehutanan lebih besar, bila dilakukan minimisasi emisi C02.
Metode.
Untuk menghitung besar Rosot CO2. dan Emisi C02 di Sektor Kehutanan dipakai model diagram alir Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dengan teknik pengambilan sampel lnventori, sementara untuk meramalkan besar rosot CO2 dan emisi C02 tersebut dipakai model komputer Program Powersim yang dimodifikasi dari diagram alir model IPCC (1995) tersebut di atas.
Hasil Inventori
Perhitungan Rosot dan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dipakai dengan metode IPCC (1995) di Sektor Kehutanan dengan tahun basis 1990 yang membagi 3 (tiga) kegiatan yaitu: 1. Perubahan stok biomassa dan hutan; 2. Konversi hutan dan alang-alang; 3. Pengelolaan lahan yang diabaikan.
1. Perubahan Stok Biomassa dan Hutan
Hasil perhitungan Rosot CO2. dan Emisi CO2 diperoleh emisi sebesar 1.569.519,73 kiloton CO2. (kt. C02).
Pemisahan (sequestration) CO2 dari pertumbuhan kembali hutan produksi dan konversi pada tahun 1990 sebesar 93% dipisahkan dan dan hutan tanaman industri hanya 4%, dengan demikian hutan dapat merupakan rosot CO2. Dalam studi ini, biomassa yang dipakai sebagai kayu bakar diasumsikan 10% dari produksi biomassa hutan tanaman, 15% dan produksi hutan produksi dan konversi serta 15% dari produksi hutan bakau.
Jumlah biomassa untuk kayu bakar yang sebesar 10% tersebut adalah 2.541,12 kilo ton (kt).
Selanjutnya, komsumsi kayu untuk kegunaan lainnya pada tahun 1990 sebanyak 22.632,25 kt, jika ditambahkan dengan komsumsi kayu bakar= 2.541,12+ 22.632,25 kt= 25.173,37 kt, sedang kayu yang diambil dari penebangan hutaan sekitar 24.726,13 kt, jadi total komsumsi kayu dari Stok= 447,24 kt atau total komsumsi kayu- total kayu tebangan, jadi Pemisahan Karbon= 428.050,84 kt yang ekivalen dengan 428.050,84 x 44/12 kt CO2= 1.569.51,73 kt CO2.
2. Konversi Hutan dan Alang-alang
Hasil inventori untuk konversi hutan Alang-alang diperoleh sebesar 1055,16 Kha.
Emisi CO2 dari Pembakaran hutan alang-alang, Proses pembusukan dan Pelepasan karbon tanah, untuk jati dan non jati, kebanyakan biomassanya dibakar di luar hutan (umumnya dipakai sebagai bahan bakar kayu) besarnya sekitar 24.726,13 kiloton karbon (kt.C) dan Pembakaran di dalam hutan 2.541,12 kt.C. Bila digabungkan keseluruhan maka komsumsi kayu bakar sekitar 24.726,13+ 2.541,12= 27.267,25 kt.C.
Menurut survei Departemen Kehutanan tahun 1977, komsumsi rerata kayu bakar= 0,81 m3/tahun/orang, jika massa jenis kayu bakar= 0,45 t/m3. Maka dengan populasi Indonesia yang berjumlah sekitar 180 juta jiwa, total konsumsi kayu bakar- 0,81x 0,45x 180.000.000= 65.610 kt. Bila ditaksir komsumsi kayu bakar dalam perhitungan ini sebesar 27.267,25 kt, maka berarti sekitar 42% atau 7.267,251 65.610 x 100%= 42%.
Total karbon yang dilepas dari pembakaran biomassa di luar dan di dalam hutan sekitar 10.014,08 kt.C dan 21.048,25 kt.C . Selanjutnya karbon yang dilepaskan dari proses pembusukan dihitung sebesar 16.617 kt.C dan dart tanah sekitar 21.776,62 kt.C. Jadi total karbon yang dilepaskan dari hutan alang-alang yang dikonversi sekitar 69456,94 kt.C atau ekivalen dengan 69456,94 x 44112 = 254676,87 kt. CO2.
Di dalam perhitungan Karbon yang dilepaskan dari tanah, diasumsikan bahwa kandungan karbon tanah 1,7% dan semua jenis tanah adalah tanah mineral. Kenyataannya ada tanah hutan yang mempunyai tipe tanah gambut sekitar 50- 60%.
3. Pengelolaan Lahan yang Diabaikan
Perhitungan pengambilan karbon oleh pohon pada program afforestration lebih besar daripada reforestration yaitu, sebesar 19,66 kt.C/tahun untuk program afforestration dan 16,59 kt.C/tahun untuk program reforestration.
Pengambilan karbon dari biomassa permukaan tanah pada program afforestration dan lahan yang diabaikan di bawah 18 tahun atau sekitar 3 (tiga) kali dari reforestration yang terjadi. Total pengambilan karbon dari lahan yang diabaikan sekitar 78.722,05 kt atau ekivalen dengan 78.722,05 x 44112 kt. CO2= 228.830,85 kt. CO2.
Dalam analisis ini, laju pertumbuhan tahunan biomassa di atas permukaan tanah untuk afforestration diasumsikan sama dengan laju pertumbuhan Acacia Spp. dan untuk reforestration sama dengan laju pertumbuhan Pinus Spp. Hal ini dimotivasi dari spesies yang dominan di hutan tersebut.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa hutan Indonesia berpotensi sebagai rosot CO2. Total pengambilan karbon sekitar 437.388,55 Gg yang ekivalen dengan 1.603 juta ton CO2.
Dengan memodefikasi diagram alir model IPCC (1995) dibentuk model komputer Program Powersim, kernudian dilakukan simulasi model dengan memakai data hasil inventori model IPCC dengan tujuan untuk meramalkan besar Rosot CO2. dan Emisi CO2. di masa mendatang dan menentukan pilihan mitigasi untuk memperoleh Net CO2 yang lebih besar.
Di dalam model ini Net CO2 dipengaruhi 2 (dua) variabel utama yaitu, Rosot CO2 dan Emisi CO2, jadi untuk memperoleh Net CO2 yang besar ada 2 (dua) pilihan yaitu Maksimasi Rosot CO2 dan Minimisasi Emisi CO2.
Kesimpulan
1. Ada kecenderungan Rosot C02 dsn Emisi C02 meningkat akibat kegiatan manusia di sektor kehutanan
2 .Net C02 diperoleh lebih besar, bila dilakukan Minimisasi Emisi C02, sehingga pilihan mitigasi diperoleh dengan minimisasi C02
Hal ini dipilih karena dengan pelipatgandaan data yang sama dari besaran yang sensitip mempengaruhi Rosot dan Emisi diperoleh Net CO2 yang besar pada minimisasi Emisi CO2.
Daftar Pustaka: 44 (1960 - 1996 )

Mitigation Option in the Forestry Sector Based on Model SimulationHuman/ natural activities have substantially increased Greenhouse gases (GHGs) which leads to changes in the earths climate, rendering adverse effects on the environmental and human life.
The role of stable GHGs concentration in the atmosphere is important to sustain life on the earth, the presence of GHGs, especially excessive CO2 and CH4 concentrations will increase heat on the earth. This increase in global warming will cause the sea level to rise. Should this happen it would threaten our country. Being an archipelago nation, therefore human settlements, agriculture, etc are on the coastal zone.
Indonesia has a strategic role in global geographic climate structure because as a nation on the equatorial tropics, possessing the second largest tropical rain forests in the world as well as the archipelago country with the largest ocean in the world that has the potential function of huge GHGs uptake.
Based on the facts above, this study is intended to:
1. Find estimates of CO2 emissions and sinks in the forests sector by condition for Indonesian tropic forest
2. Find a computer model to forecast CO2 emissions and sinks by condition Indonesian tropical forest
3. Find a mitigation option in the forestry sector.
The hypothesis proposed in this research included:
1. The total CO2 emissions and sinks are increasing due to human activities
2. The net increase of CO2 in the forestry sector, is greater when the CO2 minimized emission as a mitigation option.
3.Find a mitigation option in the forestry sector.
Methodology:
To calculate the CO2 sinks and emissions in the forestry sector, the method used is the flow diagram intergovernmental Panel on Climate Change (IPPC) by inventory sampling technique. While to forecast the magnitude of CO2 sinks and emissions the computer model by powersim program with modifications of IPCC model flow diagram (1995) was used.
Result of Inventory
Calculation of GHGs emission and removal, the IPCC method was used (1995) at the Forestry Sector with 1990 as basis and was classified into 3 (three) activities namely: 1. Change in Forest and Other Woody Biomass Stocks; 2. Forest and Grassland Conversion; 3. Abandonment of Managed land.
1. Change in Forest and Other Woody Biomass Stocks
The results of GHGs emission and removals calculation, an emission of about 1,569,519.73 kt. CO2 was obtained. Sequestered CO2 from production and conversion forests regrowth in 1990 was about 93% while that sequestered by industrial forest plantation was only 4%. Thus the role of these forests as a sinks of CO2 is very significant.
In this study, biomass used for fuel wood was assumed to be 10% of plantation forest biomass production, 15% of the produce of production and conversion forests and 15% of mangrove biomass production. It was found that the total fuel wood consumption was 2,541.12 kt, about 10% of the total biomass consumption.
Furthermore, wood consumption for commercial purposes in 1990 was found to be 22,632.25 kt. If it were added to fuel wood consumption, total wood consumption would be 25,173.37 It Thus, the net C-removal was about 428,050.84 kt, which is equivalent to 428,050.84 x 44/12 kt. C02= 1,569, 519.73 kt. CO2.
2. Forest and Grassland Conversion
Results of the inventory analysis forforest and grassland conversion were about 1,055 Kha.
The GHGs released due to forest and grassland conversion were from burning activities, decay processes and released. soil carbon. For Tectona grandis and Non Tectona grandis, most of the biomass were burnt off-site while for others were burnt on-site. The total biomass burnt off-site (commonly used for fuel) was about 24,726.13 kt. If it is combined with the fuel wood consumption mentioned, the total fuel wood consumption would be 27,267.25 kt.
A survey conducted by Departemen Kehutanan (1977) found that the average fuel wood consumption was about 0.8 m3lcaplyear. if the mass of fuel wood type in question is assumed to be 0.45 tonfm3 and the Indonesian population were 180 millions, thus the total fuel wood consumption would be 65,610 kt (180,000,000 * 0.81 * 0.45). Since the estimated fuel wood consumption in this study was 27,267.25 kt, therefore the percentage of Indonesian population who use wood as the source of fuel would be about 42% or (27,267.25/65,610 x 100%) 42%.
The total C-released from on-site and off-site burning were about 21,049.25 and 10,104.08 kt respectively.
Furthermore, C-released due to decomposition process was 16,617 kt, while that from soil was 21,776.62 kt. Thus the total C-released due to forest and grassland conversion was about 254,676.87 kt CO2.
In the calculations of soil carbon released, it was assumed that carbon content of soil was the same for all sites, i.e, 1. % and all soil types were mineral soils. In fact, some of the forests are also found to be peat soils about 50- 60%.
3. Abandoned Management of land.
The calculation of carbon uptake by trees in afforestration program is higher than that by trees in reforestation, namely about 19.66 and 16.59 kt.C/year, respectively. Ground/ Land surface biomass carbon uptake in the afforestration program of abandoned land over the previous 18 years was about three times of that occurring in the reforestation. In total, carbon uptake from abandoned land was about 78,772.05 kt, equivalent to 78,772.05 x 44112 kt. C02= 228,83.85 kt.C02
In this analysis, the annual rate of ground surface biomass growth for afforestration was assumed to be the same as the annual growth rate of Acacia spp. and for reforestation it was assumed to be the same as Pinus.spp. This was motivated by the dominant species in the forest.
The results of this study indicated that Indonesian forests are potential as sink for CO2. Total C-uptake was about 437,338.55 Gg, which is equivalent to 1,603 million ton CO2.
By modifying the IPCC (1995) flow diagram hence, powersim program computer models were build up. The objective in doing so is to predict the magnitude of CO2 sinks and emissions in the future and to determine mitigation options to obtain a much greater net CO2.
In these models, net CO2 is influenced by two main variables namely CO2 sinks and CO2 emissions, so that to obtain maximum net CO2 there are two options, namely maximize CO2 sinks or minimize CO2 emissions.
Conclusion:
1. The total CO2 emissions and sinks are increasing by human activities in the forestry sector
2. Based on the simulation models, maximum net CO2 is . obtained by minimizing CO2 emissions. So that the mitigation option is obtained by minimizing CO2 emissions.
This was chosen because by minimizing CO2 emissions option with doubling the same data from sensitive magnitude in fluencing sinks to maximizing net CO2 by minimizing CO2 emissions.
Total References : 45 ( 1960 - 1996 )
"
Depok: Program Pascasarjana. Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.A.W. Widjaja,1940-
Jakarta: Rineka Cipta, 1998
352.14 WID p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
I Ketut Surajaya
Depok: FISIP UI Press, 2006
352 IKE o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>