Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 49518 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Pusat Penelitian Pranata Pembangunan Universitas Indonesia , 1986
339.2 STU
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hutapea, Godfrid Rolan Tumbur
"Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui adakah pengaruh yang positif dan signifikan antara faktor pendidikan, faktor pengalaman kerja, faktor frekuensi kerja dan faktor jam kerja terhadap faktor pendapatan pekerja sektor bisnis informal di wilayah Kotamadya Jakarta Timur.
Mengacu dari tujuan penelitian tersebut diperoleh, bahwa faktor pendidikan ternyata tidak dapat diangkat ke permukaan sebagai salah satu pertimbangan ukuran kemampuan kerja sektor bisnis informal untuk wilayah Kotamadya Jakarta Timur. Hal tersebut didasari atas pertimbangan faktor pendidikan formal pada saat ini belum mampu memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pendapatan pekerja sektor bisnis informal, namun faktor pengalaman kerja melalui proses pemagangan maupun pengalaman kerja disektor formal yang banyak membantu menggantikan jenjang pendidikan.
Faktor pengalaman kerja ternyata mampu memberikan pengaruh yang positif dan kuat terhadap faktor pendapatan. Hal tersebut didasari pertimbangan, semakin tinggi pengalaman kerja, baik pada sektor formal maupun proses pemagangan pada sektor informal maka semakin banyak informasi bisnis yang mereka ketahui. Dengan demikian sangat menunjang keberadaan pekerja sektor bisnis informal untuk meraih pendapatan yang lebih baik.
Faktor frekuensi kerja juga memperlihatkan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap faktor pendapatan. Hal itu didasari pertimbangan, bahwa pada umumnya mereka bekerja didominasi dengan tingkat kehadiran yang relatif tinggi, berkaitan dengan faktor tuntutan ekonomi keluarga dan adanya daya tarik di lokasi tujuan memaksakan mereka harus dapat bekerja setiap hari. Dengan konsep dominasi tersebut mampu menunjukan, bahwa faktor frekuensi kerja mampu mencerminkan pendapatan yang lebih baik.
Hal yang sama dapat dibuktikan dengan faktor jam kerja, ternyata berpengaruh positif dan signifikan terhadap faktor pendapatan. Hal itu dilandasi pertimbangan masih adanya peluang yang dapat diraih hingga larut malam, maka memaksakan pekerja bekerja dengan jam kerja yang relatif tinggi dalam sehari. Upaya untuk meraih kemampuan kerja dalam konteks meraih pendapatan pada sektor bisnis informal dewasa ini, ternyata sangat ditentukan oleh faktor pengalaman kerja, frekuensi kerja dan jam kerja sebesar 87%."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T2462
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Murtiningsih
"Evaluasi pendapatan tenaga kerja pada sektor industri garmen dengan lamanya jam kerja perharinya. Dengan adanya penambahan jam kerja yang dilakukan oleh tenaga kerja, jam kerja yang dilakukan oleh tenaga kerja telah dapat meningkatkan pendapatan mereka.
Peningkatan jam kerja tenaga kerja pada sektor industri garmen ini telah dapat meningkatkan pendapatan mereka, ini berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan pada tabel 5 dan tabel 6.
Berdasarkan analisis statistik yang dilakukan dengan koefisien korelasi, hubungan kenaikan pcndapatan dan peningkatan jam kerja ini hanya 16,07% dan pengujian kapasitas terhadap koefisien korelasi ini ditolak karena tb < t005/2 (b) atau 0,064 < 2,306. Untuk kapasitas yang diterima tenaga kerja dapat diterima karena to> ta/2(529) atau 7,5504 > 1,960.
Jadi dapat disimpulkan peningkatan jam kerja yang dilakukan tenaga kerja pada sektor industri garmen ini telah dapat meningkatkan pendapatan tenaga kerja."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1998
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Sigalingging, Dosman
"Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang berlandaskan pada UU Nomor 32 tahun 2004 telah membawa perubahan yang sangat mendasar bagi peiaksanaan pemerintah dari sentralisasi menjadi desentralisasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah, sehingga kepala daerah dan Wakil kepala daerah mempunyai kewajiban memajukan dan mengembangkan daya saing daerah. Sebagai konsekuensinya daerah diberikan keleluasaan untuk mengatur kepentingan masyarakat daerah setempat menurut prakarsa dan aspirasi sendiri. Saiah satu Implemetasi pelaksanaannya otonomi tersebut adalah Pencanangan program Tapanuli Growth oleh Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah Tabun 2001 dengan rencana detail pembangunan Kabupaten Tapanuli Tengah dalam lingkup kawasan barat Sumatera Utara, serta menjadikan Tapteng sebagai pusat HUB (Pusat Koleksi dan Distribusi ) dari wilayah hinteriandnya.
Tapanuli Growth melaksanakan pembangunan di beberapa sektor yaitu pembangunan pelabuhan laut, pengembangan wilayah, pembangunan sarana jalan, pembangunan pembangkit listrik, dan pembangunan bandara udara Pinang Sari serta pembangunan sektor lainnya. Pembangunan ini pada dasarnya untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan daya saing daerahlwilayah, namun dapat menimbulkan efek lain terhadap kehidupan masyarakat seperti persaingan hidup yang lebih ketat, hilangnya budaya tolong menolong pada kehidupan sehari-hart serta dapat menimbulkan terciptanya masyarakat yang termarginal bagi masyarakat lokal akibat pertumbuhan pembangunan yang pesat.
Akibat hal-hal diatas, penulis melakukan penelitian terhadap salah satu aspek pembangunan dalam tapanuli Growth yaitu hubungan antara pembangunan pelabuhan laut dan pengembangan wilayah terhadap peningkatan pendapatan masyarakat dan ketahanan wilayah. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan koefisian korelasinya, apakah sangat kuat, kuat, cukup kuat ,iemah atau sangat Iemah antar variabel-variabel tersebut.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey dengan menggunakan kuosioner untuk menjaring persepsi aparat pemerintahan daerah, tokoh masyarakat dan masyarakat Kabupaten Tapanuli Tengah sebanyak 60 orang sebagai responden. Di camping itu untuk mengumpulkan data digunakan juga teknik observasi. Sampel penelitian ditentukan dengan teknik random sampling. Data dianalisis menggunakan metode statistik korelasi dan regresi sederhana serta regresi berganda dengan bantuan SPSS.
Hasil penelitian menemukan pertama, terdapat hubungan yang positif dan sedang dan berpengaruh signifikan antara pembangunan pelabuhan laut (XI) dan pengembangan wilayah (X2) secara bersama-sama terhadap peningkatan pendapatan masyarakat (Y) yang artinya pecan pelabuhan taut dan pengembangan wilayah terhadap peninkatan pendapatan masyarakat sangat berpengaruh, ini terlihat dari koefisien deterrnentasi korelasi maka terdapat 16,8 % variasi nilai dari peningkatan pendapatan masyarakat disebabkan oleh pengaruh pembangunan pelabuhan laut dan pengembangan wilayah di Kabupaten Tapanuli Tengah. Kedua, terdapat hubungan yang positif dan Iemah serta tidak berpengaruh signifikan antara pembangunan pelabuhan taut (X1) dan pengembangan wilayah (X2) secara bersama-sama terhadap ketahanan daerah (Y), ini terlihat dari koefisien determinasi korelasinya (r2) = 0,145 maka terdapat 14,5 % variasi nilai ketahanan daerah disebabkan oleh pengaruh pembangunan pelabuhan taut dan pengembangan wilayah di Kabupaten Tapanuli Tengah, sedangkan sisanya ditentukan oleh variabel lain. Maka Program Tapanuli growth yang membangun pelabuhan taut dan mengembangkan wilayah Tapanuli Tengah sudah tepat untuk meniingkatkan pendapatan masyarakat, namun untuk peningkatan katahanan daerah belum mempunyai pengaruh yang signifikan dan masih memerlukan peran pemerintahan pusat.

Conducting local autonomy based on Acts Number 32 in 2004 has changed the system from centralization to decentralization with its goal is to enhance society?s prosperity, public service and ability to compete inter territories. As the consequence, each territory has the right to manage its society interest based on its idea and aspiration.
One of the ways to implements the autonomy is launching the Tapanuli Growth Programmed by local authority in Central Tapanuli in 2001 with Central Tapanuli as the center of distribution and collection of its hinterland.
Central Tapanuli has carried out development in several sectors such as harbor, territory, road infrastructure, electricity power, Pinang Sari aerodrome and other sectors. Basically these development are to improve society's prosperity and ability to compete inter territories, even though it can makes impact on society's life such as arising marginalized society because of rapid development.
Because of what mentioned above, writer did research on one of the aspects of development from Tapanuli Growth which is the relationship between the development of harbor and the development of territory to enhancing society's income and local defense. This research is to determine correlation coefficient which is very strong, strong, strong enough, weak or very weak.
Method of the research uses survey method through questioner in getting perception of local authority and society leaders. Besides, in getting data uses observation technique. Sample of research is determined by random sampling technique. Data analysis uses correlation statistic method and simple regression also double regression with SPSS.
The result of method shows firstly there is the strong enough relationship and direct influence between the development of harbor and the development of territory to enhancing society's income, it means the role of harbor and territory development to enhancing society's income is very strong which is reflected from correlation coefficient (r) = 0,168 or 16,8 % enhancing society's income caused by influence of harbor and territory development of harbor and territory to local defense which is reflected from (r) = 0,145 or 14,5 % local defense caused by influence of harbor and territory development in Central Tapanuli. From the result of research, we can conclude that Tapanuli Growth Programmed which develops harbor and territory of Central Tapanuli is the right way to enhance society's income even though to enhance local defense still doesn't have significant influence and still need the role of central government."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20752
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Cattle have a prominent role and prospective market opportunity because the livestock is a main source for national meat production.In some places ,cattle are raised integratedly with crops which is known as integrated crops and cattle....."
JUPEPEP
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Fauzan
"Peningkatan indeks kebahagiaan Indonesia di dalam negeri dalam 1 dekade terakhir berbanding terbalik dengan peringkat kebahagiaan Indonesia di dunia yang terus menurun. Beberapa studi telah mencoba mengidentifikasi faktor apa yang paling berpengaruh kepada kebahagiaan, dan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kebahagiaan adalah relative income. Tetapi, seiring berjalannya waktu, relative income juga menimbulkan perdebatan di banyak studi. Di Indonesia sendiri, studi relative income tidak terlalu banyak sehingga pengaruh relative income dengan kebahagiaan di Indonesia tidak banyak dibahas. Pada penelitian ini, penulis mencoba menganalisa hubungan relative income dengan kebahagiaan di Indonesia. Ada dua model yang digunakan yaitu model 1 dimana relative income didapatkan dengan survei self-assessment dan model 2 dimana relative income dihitung menggunakan pembagian antara income dengan predicted income. Hasil dari kedua model berbeda yaitu pada model 1, relative income mempengaruhi kebahagiaan. Sedangkan pada model 2, relative income tidak mempengaruhi kebahagiaan. Selain itu, hasil dari kedua model sama-sama menunjukkan bahwa absolute income sangat mempengaruhi kebahagiaan di Indonesia.

The increase in Indonesia's happiness index domestically over the past decade appears to be inversely related to Indonesia's declining global happiness rankings. Numerous studies have endeavored to identify the factors most influential in determining happiness, with relative income emerging as a significant contributor. However, over time, relative income has become a subject of debate in various studies. In Indonesia, there has been a relatively limited number of studies on relative income, resulting in a lack of discussions regarding its impact on happiness in the country. In this research, the author seeks to analyze the relationship between relative income and happiness in Indonesia. Two models are employed: Model 1, wherein relative income is obtained through self-assessment surveys, and Model 2, wherein relative income is calculated by dividing income by predicted income. The outcomes of the two models are different; in Model 1, relative income influences happiness, while in Model 2, relative income does not exhibit a significant impact on happiness. Furthermore, both models indicate that absolute income significantly influences happiness in Indonesia."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayu Winarti
"Penerimaan negara dari pajak sangat diharapkan bagi Indonesia, terlebih lagi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2001 ditargetkan sebesar 70 % dari seluruh penerimaan. Posisi ini menggantikan pinjaman luar negeri yang selama ini mendominasi sumber penerimaan dalam APBN. Oleh karena itu segala upaya untuk mencapai target tersebut harus diusahakan untuk menjamin keamanan APBN.
Upaya untuk mengoptimalkan penerimaan pajak yang umum dikenal adalah intensifikasi dan eksensifikasi. Mengingat kondisi perekonomian Indonesia yang belum pulih dari krisis moneter dan untuk mewujudkan sistim perpajakan yang adil, dimana semua Wajib Pajak yang berpenghasilan sama harus dikenakan pajak yang sama, maka penulis berusaha melakukan penelitian yang mendiskripsikan pelaksanaan ekstensifikasi wajib pajak penghasilan dengan studi kasus pada Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Tamansari.
Dari hasil penelitian dapat diperoleh gambaran bahwa ekstensifikasi Wajib Pajak Penghasilan sudah dilaksanakan dengan beberapa kegiatan diantaranya penyisiran, pemanfaatan data internal, pemanfaatan data eksternal dan kerjasama dengan instansi lain. Sekalipun jumlah Wajib Pajak berhasil ditingkatkan tetapi tidak secara langsung dapat meningkatkan penerimaan negara karena banyak faktor lain yang mempengaruhi misalnya kondisi perekonomian yang belum pulih sehingga banyak Wajib pajak yang kehilangan penghasilan, kondisi politik yang kurang kondusif dan kerjasama dengan instansi lain yang belum baik. Oleh karena itu ekstensifikasi yang dilakukan harus ditindak lanjuti dengan intensifikasi.
Untuk meningkatkan kinerja maka dipaparkan bagaimana National Tax Administration Jepang memberikan pelayanan kepada Wajib Pajak melalui public relation yang baik dan sosialisasi yang terus menerus untuk meningkatkan kesadaran Wajib Pajak akan kewajiban Perpajakannya. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T9802
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Rasin
"Tesis ini menganalisis kesesuaian Pajak Penghasilan Badan Sektor Perikanan dengan prinsip-prinsip perpajakan "revenue adequacy" dan "equity" dengan suatu studi kasus pada 6 (enam) perusahaan perikanan. Penelitian dalam tesis ini dilakukan secara diskriptif analitis dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa studi lapangan dan wawancara mendalam.
Hasil penelitian menunjukkan sistem perpajakan yang bersifat skedular (antara lain pemotongan PPh final atas jasa giro dan deposito) menguntungkan 6 (enam) perusahaan yang bergerak di sektor perikanan yang menjadi objek penelitian ini, karena hampir setiap tahun perusahaan-perusahaan tersebut memperoleh penghasilan diatas Rp 50.000.000. Seharusnya atas penghasilan tersebut dikenakan tarif sebesar 30 % (tarif lapisan ke tiga dan tertinggi Undang-undang PPh 1994).
Ditinjau dari segi "revenue productivity", pemotongan PPh final ini tidak memenuhi azas tersebut karena para Wajib Pajak itu memikul beban pajak yang lebih rendah dari jumlah beban pajak yang seharusnya terhutang berdasarkan tarif umum.
Dilihat dari sudut pandang azas keadilan, meskipun tarif PPh final menguntungkan bagi enam perusahaan perikanan yang menjadi objek penelitian ini, namun bagi perusahaan lain yang memperoleh jumlah tambahan kemampuan ekonomi veto yang sama besarnya yang tidak dikenakan tarif final akan memikul beban pajak yang lebih besar. Dengan demikian sistem pemotongan PPh final tersebut kurang selaras dengan azas keadilan.
Untuk memenuhi azas "revenue productivity" dan azas "equity", pemotongan PPh tersebut sebaiknya tidak bersifat final melainkan diperlakukan sebagai pembayaran pendahuluan (advance payment) yang akan dijadikan sebagai kredit pajak."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T9210
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahfudz
"ABSTRAK
Ikhtisar Pendapatan Daerah menurut UU No. 5 / 1974 dan menurut UU No. 22/1999.
Pada saat penyusunan thesis ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sedang membahas Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974. Berikut ini dipaparkan secara singkat mengenai komponen-komponen Pendapatan Daerah menurut undang-undang lama dan undang-undang yang baru.
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Bab III mengenai daerah otonomi, Bagian Ketigabelas mengenai Keuangan Daerah, Paragrap 1 mengenai Pendapatan Daerah, Pasal 55. Sumber Pendapatan Daerah adalah :
a. Pendapatan Asli Daerah sendiri, yang terdiri dari
1. Hasil pajak daerah
2. Hasil retribusi daerah
3. Hasil perusahaan daerah
4. Lain-lain usaha daerah yang sah
b. Pendapatan berasal dari pemberian pemerintah yang terdiri dari :
1. Sumbangan dari pemerintah
2. Sumbangan-sumbangan lain, yang di atur dengan peraturan perundang-undangan.
c. Lain-lain pendapatan yang sah.
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, Bab III mengenai Keuangan Daerah, pasal 79.
Sumber Pendapatan Daerah terdiri atas :
a. Pendapatan Asli Daerah, yaitu :
Hasil pajak daerah ;
Hasil retribusi daerah;
Hasil perusahaan milik Daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan ;
Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
b. Dana perimbangan
c. Pinjaman daerah
d. Lain-lain-lain pendapatan daerah yang sah.
KERANGKA TULISAN
Masalah otonomi daerah, dewasa ini sedang banyak dibicarakan. Hal ini tidak terlepas dari keinginan rakyat diberbagai daerah untuk segera mendapatkan otonomi seluas-luasnya dan dalam rangka memberdayakan DPRD. Aspirasi ini telah ditanggapi oleh wakil rakyat kita yang ada di pusat yang terbukti pada Sidang Istimewa (SI) MPR-RI bulan Nopember 1998, para wakil rakyat berhasil membuahkan tujuh buah TAP MPR-RI yang sangat panting bagi masa depan bangsa Indonesia. Salah satunya TAP MPR-RI No. XV/MPR/1998 mengenai penyelenggaraan otonomi daerah. Sesuai dengan undang-undang Nomor 5 tahun 1975, pemberian otonomi ini dititik beratkan kepada pemerintah daerah tingkat II.
Otonomi daerah yang dititik beratkan kepada pemerintah daerah tingkat II, mensyaratkan adanya dukungan personil, peralatan dan pembiayaan yang cukup memadai untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan yang telah diserahkan kepadanya. Tersedianya keuangan yang memadai untuk membiayai pembangunan menjadi kata kunci bagi berhasilnya pembangunan daerah tingkat II, kendatipun dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia, kemandirian keuangan daerah tampaknya tidak diartikan bahwa setiap tingkat pemerintahan daerah otonom harus dapat membiayai seluruh keperluan dari PAD."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosdiana
"Penelitian mengenai evaluasi implementasi kebijakan PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh pemerintah bagi PNS atas penghasilan yang dibebankan kepada keuangan negara pada Departemen Keuangan dan pengaruh faktor komunikasi dan kecenderungan pelaksana terhadap kepatuhan bendahara pengeluaran dalam implementasi kebijakan tersebut.
Penelitian ini dilakukan pada satuan kerja di Departemen Keuangan di Jakarta. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survai yang bersifat evaluasi dengan sampel sebanyak 56 bendahara pengeluaran dan menggunakan analisis korelasional.
Implernentasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang diambil oleh individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan sebelumnya. Keberhasilan implementasi kebijakan PPh Pasal 21 atas PNS diukur dari tingkat kepatuhan bendahara pengeluaran dalam melaksanakan kewajiban perpajakan atas pembayaran penghasilan kepada PNS yang dibebankan kepada keuangan negara. Dengan mengevaluasi kebijakan pada saat diimplementasikan dapat diketahui apakah tindakan administrator program, staf dan pelaku lainnya telah sesuai dengan standar dan prosedur yang ditentukan. Kepatuhan bendahara pengeluaran dipengaruhi oleh faktor komunikasi dan kecenderungan pelaksana. Salah satu fungsi komunikasi adalah untuk memberikan informasi mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan. Kecenderungan pelaksana adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis. Dalam penentuan kebijakan perpajakan hendaknya didasarkan pada azas-azas pemungutan perpajakan antara lain keadilan dan kesederhanaan administrasi. Azas keadilan dimaksudkan adalah pajak harus adil dan merata dikenakan kepada orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar pajak tersebut dan sesuai dengan manfaat yang diterimanya. Pembebanan pajak adil apabila setiap wajib pajak menyumbangkan suatu jumlah untuk dipakai guna pengeluaran pemerintah sebanding dengan pengeluarannya. Kesederhanaan administrasi adalah bahwa ketentuan pajak hendaknya mudah dipahami baik oleh wajib pajak maupun oleh fiskus.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pelaksanaan kebijakan PPh Pasal 21 atas penghasilan PNS yang ditanggung oleh pemerintah belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan. Tingkat kepatuhan yang rendah terutama pada penentuan dan dasar waktu penentuan tanggungan, dan penggunaan besaran PTKP yang berlaku. Penyebab bendahara pengeluaran patuh atau tidak patuh terhadap ketentuanketentuan yang ditetapkan disebabkan karena pertama, bendahara pengeluaran tidak mengetahui ketentuan yang ada dan kedua, bendahara pengeluaran mengetahui ketentuan yang ada, tetapi sebagian melaksanakan dan sebagian lagi tidak melaksanakannya. Pengaruh komunikasi dan kecenderungan bendahara pengeluaran secara simultan terhadap kepatuhan sebesar rX1X2Y=0,480 (cukup kuat), artinya bahwa komunikasi berupa sosialisasi oleh DJP dengan menggunakan berbagai media atau diktat yang dilakukan oleh BPPK, kemampuan petugas penyuluh pajak/diklat serta koordinasi dengan instansi terkait dan kecenderungan bendahara pengeluaran (meliputi pengetahuan dan keterampilan, persepsi terhadap sistem insentif dan reward serta perilaku pelaksana) berpengaruh cukup kuat dan positif terhadap kepatuhan bendahara pengeluaran. Dari hasil uji F diperoleh kesimpulan bahwa pengaruh komunikasi terhadap kepatuhan bendahara pengeluaran adalah signifikan. Besarnya kontribusi komunikasi dan kecenderungan bendahara pengeluaran terhadap kepatuhan adalah sebesar 23,04% dan sebanyak 76,96 % disebabkan oleh faktor fain misalnya sumber dana, struktur birokrasi, dan sebagainya.
Berdasarkan hasil penelitian diatas disarankan (1) penyuluhan atau sosialisasi DJP disarankan agar lebih intensif ke bendahara pengeluaran/instansi pemerintah karena potensi pajak yang berasal dari APBN cukup besar; (2) untuk memenuhi prinsip keadilan, pajak yang terutang alas pembayaran gaji PNS tidak lagi ditanggung oleh pemerintah sehingga dana tersebut dapat dialihkan untuk befanja negara lainnya misalnya pengadaan barang dan jasa publik. Jika afasan untuk menanggung pajak karena penghasilan yang lidak memadai seharusnya telah tercermin dalam Personal Exemption (PTKP); (3) dalam menentukan jenis kebijakan pajak, pemerintah harus mempertimbangkan kemudahan administrasi. Dalam hubungan dengan kebijakan pemerintah untuk menanggung PPh yang terutang otas pembayaran gaji PNS, sebaiknya dikenakan PPh secara final. Selain mudah dalarn pelaksanaan dan pengawasannya, PNS selaku wajib pajak tidak perlu memperhitungkan dalam SPT tahunan serta masalah keadilan yang biasanya terjadi akibat pelaksanaan PPh final tidak relevan lagi karena pada akhirnya pajak yang terutang ditanggung pemerintah sehingga tidak berpengaruh terhadap penghasilan neto PNS.

There are two objectives of this research. First, we evaluated the implementation of PPh Pasal 21 (Income Tax Article 21) policy declared by the government. Second, we analyzed the effect of the communication and the disposition of expenditure treasures factors to the compliance of expenditure treasurer in accordance with the policy. The object of the policy is on the income of public servants, which is burdened to the public finance of Ministry of Finance.
The research was conducted at the work units of Ministry of Finance in Jakarta. The method used is survey that is by evaluating 56 samples of expenditure treasurers and analyzing their correlation.
Implementation of policy as actions gotten by individual (or groups) of government or private directed to achieve purposes had been determined in previous policy decision. The success of implementation of Income Tax Article 21 policy of public servant may be measured from compliance level of expenditure treasures in implementing tax obligation for payment income to public servant which is burdened to public finance. Evaluating policy in the time of implementing, it may be known whether administrator action of program, staff and other actors had been suitable with standard and procedure determined. The compliance of expenditure treasures is influenced by communication and disposition of implementers. The functions of commmunication are for giving information regarding how implement any policy. Disposition implementers are altitude and characteristic owned by implementers such as commitment, honesty, and democratic behavior. In determining tax policy, it should be based on levying principles such as equity and Administrative simplicity. Equity is the subjects of every state ought to contribute towards the support of the government, as nearly possible, proportion to their respective abilities; that is, in proportion to the revenue which they respectively enjoy under the protection of the state. Administrative simplicity is that tax regulation should be understood by tax payer or liscus easily.
The research shows that the Income Tax Article 21 policy implementation on public servant income had not been fully implemented according to the rules. The low level of compliance is found especially on the determination of the amount and the time base of the responsibility as well as the income taxes exemption (PTKP). The reasons why the officers do not comply the rules are, first, they don't know the rules, and second, they know the rules but some just ignore them. It is found that the effect of the communication and the disposition of expenditure treasures factors on the compliance is rX1X2Y=0.480 (strong enough), which means that the communication in the form of socialization by Directorate General of Tax through publication in the media or training held by BPPK, instruction capability of the tax/trainer officers, coordination with related institution, and tendency of the expenditure treasures (which includes the knowledge, skills, and perceptions on the incentive systems, reward, and public servant behaviors) affect the compliance of expenditure treasures strongly and positively. The F test shows that the effect of communication on the compliance is significant. The communication and the tendency of the officers affect the compliance by 23A%, where the rest is caused by other factors, such as the fund sources and the structure of bureaucracies.
Based on the research, we proposed a number of suggestions. First, the instruction or socialization of Directorate General of Tax should be more intensively directed to the expenditure treasurers/government institution since the potential taxing from state budget is relatively high. Second, the implementation of the policy need to meet the justice principle, i.e. the tax liabilities of public servants payroll should not be borne by the government. Therefore, those funds can be transferred to other expenditures, such as the procurement of public goods and services. Moreover, if there is a reason of bearing the tax despite the inadequate income, the criteria should be clearly defined. In the last two years, the government has completed the formulation income taxes exemption (PTKP), as such the tax liabilities only apply for the higher income of public servants and high officers. The reason to bear the taxes on public servants' small income should be reflected on Personal Exemption (PTKP). Third, in order to determine the kind of tax policies, the government should consider the simplification of the administration. In accordance with the government policies to bear the payable income taxes on public servants payroll, the final income tax should be implemented. Besides it is easy to be executed and maintained, the public servants as the taxpayers do not need to account their income in the SPT and the justice problem that is usually happened on final income tax implementation would not be a relevant matter since the taxes owed is borne by government. Therefore, it would not affect the net income of the public servants.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22187
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>