Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174963 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Wahyu Hartono
"Bahan kimia telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Manfaatnya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat berkaitan dengan pengendalian penyakit, peningkatan produktivitas pertanian, ekstraksi berbagai bahan mineral di pertambangan, keperluan untuk rumah tangga dan sebagainya.
Bahan kimia menimbulkan keterbahayaan pada lingkungan kerja dan pekerja itu sendiri. Oleh karena itu, pengelolaan dan pengamanan bahan kimia, harus dilakukan untuk melindungi pekerja dari efek yang merugikan. Pekerja harus mendapatkan perlindungan dari dampak yang diakibatkan oleh bahanbahan kimia di tempat kerja.
Laboratorium merupakan suatu tempat dimana banyak dilakukan kegiatan yang menggunakan bahan-bahan kimia. Potensi bahaya yang ditimbulkan antara lain bersifat toksik atau beracun, iritan, karsinogenik, korosif, mudah terbakar dan meledak.
Untuk mengetahui paparan bahan kimia di ternpat kerja, dalam hal ini merkuri, penulis melakukan penelitian dengan obyek penelitian adalah pekerja di Balai Laboratorium Kesehatan Bandar Lampung. Pengukuran kadar merkuri menggunakan spektrofotometri serapan atom, dengan spesimen yang diambil adalah rambut pekerja.
Hubungan paparan merkuri dengan kadar merkuri pada rambut pekerja laboratorium melibatkan variabel lamanya masa kerja, umur pekerja dan kadar merkuri diudara ruang kerja. Kadar merkuri pada rambut pekerja, dibandingkan dengan rata-rata tertinggi kadar merkuri di rambut pads komunitas yang dikeluarkan oleh WHO, yaitu sebesar 2,0 ppm.
Dari sejumlah 49 orang pekerja laboratorium, yang memenuhi kriteria sebagai sampel hanya 45 orang, dimana yang bekerja dibagian teknis sebanyak 29 orang, sedangkan yang bekerja dibagian non teknis sebanyak 16 orang.
Diperoleh hasil pengukuran kadar merkuri di udara ruang kerja laboratorium masih dibawah nilai ambang batas ( NAB ), tetapi paparan yang terus menerus akan mengakibatkan akumulasi merkuri didalam tubuh, walaupun konsentrasinya dibawah nilai ambang batas.
Hasil analisis bivariat terhadap variabel lamanya masa kerja, umur pekerja dan kadar merkuri diudara ruang kerja bagian teknis didapatkan hubungan yang signifikan antara variabel tersebut dengan kadar merkuri pada rambut pekerja.
Pada hasil akhir dari analisis regresi multivariate tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara variabel dependent dan independent Hal ini disebabkan karena ukuran sampel yang kecil dan distribusi data penelitian yang tidak normal.

Chemicals agent can not be separated with human's life. The benefit of the materials is to increase public's welfare especially that is related to disease control, agricultural productivity, mineral extract in mining, household's necessity and so on.
Chemicals agent may endanger the workers, work environment_ Therefore, materials' management and safety must be carried out for the sake of workers' protection from side effect. The workers need to be protected from the effects that cause by the materials in their work places.
Laboratory is a place where many activities using chemicals agent are conducted. Harmful potentials are caused by toxic agents, irritant, carcinogenic, corrosive chemicals, flammable and explosives substances.
To know the exposured of chemical materials in the work places, especially mercury, the writer conducted a research where the laboratory personnel of Bandar Lampung Health Laboratory were the object of the research. The measurement of the mercury level was by using Atomic Absorption Spectrophotometry, and the specimen materials taken were personnel's hair.
The relationship of mercury's exposure to the level of mercury within the laboratory's personnel hair involved length of work variable, personnel's age and level of mercury within the air in the working room. Mercury's level within the and level of mercury within the air in the working room. Mercury's level within the workers' hair were compared with the highest average mercury level within the hair in the community, that issued by WHO is 2.0 part per million.
From 49 laboratory's personnel, those fulfill the sample's criteria were 45, who 29 of them worked in technical section, and 16 others worked in non-technical section.
The obtained result from the measurement of mercury level in the working room at the laboratory remained below Threshold Limit Value (TLV). However, continual mercury's exposure may result mercury accumulation within the body, though its concentration was below the TLV.
The result of bivariat analysis from the variables of length of work, workers' age, and mercury level within the air in the technical section working room showed that there was a significant relationship between the variables and mercury level within workers' hair.
On the final result from multivariate regression analysis, not be obtained fairly significant relationship between dependent and independent variables. This problems caused by sample size was so small and spreading for data was not proportional.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T12702
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqiyah
"Merkuri merupakan salah satu bahan berbahaya dan beracun dalam bentuk logam berat yang persisten dan bersifat bioakumulatif dalam ekosistem sehingga menyebabkan ancaman khusus bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Salah satu biomarker jangka panjang untuk mengukur merkuri dalam tubuh adalah rambut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status pekerjaan dengan keracunan merkuri di wilayah pertambangan emas skala kecil (PESK) Desa Mangkualam dan Kramatjaya Kec. Cimanggu Kab. Pandeglang tahun 2018. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain cross-sectional dengan variabel utama status pekerjaan responden dengan kadar merkuri dalam rambut masyarakat dan variabel lain yaitu umur, jarak tempat tinggal, frekuensi konsumsi ikan, buah, dan sayur. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan quota sampling dengan responden sebanyak 43 orang di masing-masing desa. Data penelitian ini merupakan data sekunder dari institusi Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Jakarta melalui wawancara terpimpin dan pemeriksaan kadar merkuri dalam rambut di laboratorium. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat dengan uji chi-square serta uji korelasi Spearman. Hasil penelitian menggunakan uji chi-square menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara status pekerjaan dengan kadar merkuri dalam rambut (p=0,001 OR=4,825). Hasil analisis uji korelasi Spearman menyatakan tidak terdapat hubungan antara variabel umur dengan kadar merkuri dalam rambut (p=0,715), frekuensi konsumsi buah dengan kadar merkuri dalam rambut (p=0,201), frekuensi konsumsi sayur kadar merkuri dalam rambut (p=2,07), akan tetapi terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara frekuensi konsumsi ikan dengan kadar merkuri dalam rambut (p=0,000 R=0,720). Hasil analisis uji chi-square menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan antara responden yang bertempat tinggal dengan jarak ≤ 261 meter maupun jarak >261 meter dari pengolahan emas dengan kadar merkuri dalam rambut (p=0,472).

Mercury is one of the hazardous and toxic element in the form of persistent and bioaccumulative heavy silvery-white metal in the ecosystem, which causes particular threat to human and environmental health. One of the long term biomarkers to assess mercury inside the body is hair. This study aimed at determining relation between employment status and mercury intoxication of the population by artisanal small-scale gold mining (ASGM) in Mangkualam and Kramatjaya Villages, Cimanggu, Pandeglang in the year of 2018. This study was an analytic observational study employing cross-sectional design with the main variable of residents employment status with hair mercury levels. Other variables measured were age, residence distance, frequent consumption of fish, fruits, and vegetables. The sampling technique was carried out by quota sampling with total of 43 respondents in each village. This study used secondary data obtained from the Jakarta Institute of Environmental Health and Disease Control (BBTKLPP). The data was collected by guided interviews and examinations of mercury levels in hair in the laboratory. The data analysis was conducted by univariate and bivariate with chi-square test and Spearman correlation test. The chi-square test found that there was statistically significant correlation between employment status and mercury levels in hair (p=0,001 OR=4,825). From the Spearman correlation test, it was found that no correlation was obtained between age as a variable and mercury levels in hair (p=0,715), frequency of fruits consumption and mercury levels in hair (p=0,201), frequency of vegetables consumption and mercury levels in hair (p=2,07). However, there was a statistically significant correlation between frequency of fish consumption and mercury levels in hair (p=0,000 R=0,720). The chi-square analysis test found that no significant difference was obtained between respondents whose residence ≤ 261 meter and >261 meter from the artisanal small scale gold mining with mercury levels in hair (p=0,472)."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dina Nityamukti Ananda
"ABSTRAK
Untuk mempertahankan intimacy dalam perkawinan, dibutuhkan adanya
trust diantara pasangan. Pada zaman moderen terutama di kota besar, trust akan
hadir melalui kebebasan dan kesetaraan, termasuk kebebasan dan kesetaraan
dalam peran sosial suami isteri. Dengan latar belakang tersebut peneliti ingin
mengetahui apakan subyek dengan ideologi peran jenis kelamin yang liberal
memiliki intimacy yang lebih tinggi dibandingkan subek dengan ideologi peran
jenis kelamin tradisional.
Peneliti mengambil sampel pasutri minimal berusia 20 tahun yang tinggal
di Jakarta. Penelitian ini menggunakan metode non-random sampling, dengan
teknik incidental sampling. Pengumpul data yang digunakan adalah kuesioner
intimacy dan kuesioner ideologi peran jenis kelamin, yang keduanya berupa skala
tipe Likert. Hasil penelitian diperoleh dengan mengkorelasikan variabel intimacy
dan ideologi peran jenis kelamin dengan menggunakan teknik Pearson Product
Moment yang ada pada program SPSS 10.0
Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa ternyata tidak ada hubungan
yang signifikan antara ideologi peran jenis kelamin dengan intimacy. Dengan
demikian, individu yang memiliki ideologi peran jenis kelamin liberal belum tentu
memiliki intimacy yang lebih tinggi dibandingkan individu dengan ideologi peran
jenis kelamin tradisional.
Peneliti menyarankan, pada penelitian selanjutnya mengenai intimacy,
agar dicari dugaan yang lebih kuat tentang apa yang berpengaruh terhadap
intimacy."
2001
S3046
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mawardi
"Dalam susunan kristal terdapat gaya-gaya antar atom yang menyusunya. Diketahui bahwa pada temperatur T atom-atom mempunyai tenaga gerak sebesar f x kT/2, dimana f adalah dera jat kebebasannya. Namun demikian atom-atom dalam susunan ini tidak bebas bergerak akibat adanya gaya dalam tersebut. Dalam menganalisa fenomena ini para ahli mengasumsikan bahwa susunan atom-atom dalam benda padat antara satu atom dengan lainnya terkait oleh pegas ( spring ), sehingga atom-atom yang menyusun kristal selalu bergetar/bervibrasi terhadap posisi kesetimbangannya. Lebih lan jut di kembangkan bahwa vibrasi atom-atom ini tidaklah bebas bervibrasi dengan frekwensi sendiri-sendiri, melainkan berupa getaran kolektif yang dalam fisika zat padat disebut sebagai phonon.
Adanya gaya-dalam ( internal spring force ) pada benda padat tersebut dan getaran atom disekitar posisi kesetimbangannya menunjukkan adanya konstanta elastik dalam benda padat.
Pada tesis ini di selidik besarnya tensor konstanta elastik kristal Germanium dengan melihat kurva dispersi phonon menggunakan teknik hamburan neutron inelastik dengan menggunakan peralatan " Triple Axis Spectrometer ". Dengan mengetahui besarnya konstanta elastik ini dapat ditentukan tetapan makroskopik modulus Young dari bahan Germanium tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cucu Cakrawati
"Berkembangnya sektor industri di negara kita, selain memberikan dampak positif juga memberikan dampak negatif terutama terhadap lingkungan berupa pencemaran air karena merkuri. Salah satu kota yang berpotensi mengalami pencemaran air adalah Kota Pontianak. Hal ini disebabkan antara lain karena Kota Pontianak merupakan salah satu lokasi penambangan emas.
Polutan merkuri di Pulau Kalimantan diperkirakan sebesar 61 ton setiap tahunnya untuk kegiatan penambangan emas skala kecil dan berdasarkan hasil penelitian dari Universitas Tanjungpura pada Bulan Agustus 2000 diketahui bahwa kandungan merkuri di sepanjang Sungai Kapuas dan anak-anak sungainya, serta pada biota sungai (beberapa jenis ikan), dan pada contoh air PDAM telah melebihi ambang batas. Pencemaran tersebut perlu ditangani serius karena Sungai Kapuas sampai saat ini berfungsi sebagai bahan baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Pontianak.
Penelitian bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai besarnya pajanan merkuri dalam rambut masyarakat Kota Pontianak. Disamping itu untuk mempelajari hubungan karakteristik responden (umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan lama tinggal) serta kebiasaan makan ikan dengan kadar merkuri dalam rambut.
Penelitian ini merupakan analisis data sekunder dari hasil studi Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat dan Direktorat Penyehatan Air Ditjen P2M & PL tahun 2000, dengan rancangan Cross Sectional, populasi adalah masyarakat Kota Pontianak pelanggan PDAM. Sampel adalah kepala keluarga / anggota keluarga; umur minimal 15 tahun; tinggal minimal 1 tahun: bersedia diambil sampel rambut dan urin yang diambil dengan metode klaster sebanvak 240 responden.
Hasil penelitian menunjukan rata-rata kadar merkuri dalam rambut responden 0,9512 µg,/g (95% CI: 0,4534-1,4490), median 0,2900 µg/g, modus 0,00: µg/g, kadar merkuri terendah 0,00 µg/g dan tertinggi 52,57 µg/g. Sebaran kadar merkuri dalam rambut vaitu sebanvak 79 orang mempunyai kadar merkuri antara 0,00-0,09 µg/g 26 orang > 1,47 µg/g, dan sisanya adalah 0,10-1,30 µg/g.
Pada kelompok usia 25 - 34 tahun mempunyai proporsi masyarakat yang rambutnya mengandung merkuri lebih besar dibandingkan dengan kelompok umur lainnya. Responden yang frekuensi makan ikan setiap hari memiliki proporsi masyarakat yang rambutuva mengandung merkuri lebih besar dibandingkan dengan kelompok frekuensi makan ikan lainnva. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin, pekerjaan, dan lama tinggal di Pontianak dengan kadar merkuri dalam rambut.
Melihat kecenderungan peningkatan pencemaran air karena merkuri, maka perlu ditingkatkan kerjasama Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat dengan sektor terkait, melakukan sosialisi / penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya akibat pencemaran merkuri, pemeriksaan kadar merkuri secara berkala baik pada air sungai dan ikannya maupun hasil laut, perlu teknologi altematif yang lebih tepat.
Perlu dilakukan penelitian yang serupa pada ?kelompok risiko tinggi? yang dilengkapi dengan mengetahui banvaknya ikan yang dikonsumsi setiap hari (beral) serta pemeriksaan kadar merkuri yang terkandung didalamnva. Metoda lain adalah dengan cara melakukan pemeriksaan kadar merkuri dalam rambut responden sentimeter per sentimeter karena setiap sentimeter helai rambut dapat disamakan dengan kira-kira 1 bulan pemajanan.

The development of industrial sector in Indonesia, beside its positive impacts, also generates negative impacts on environment such as mercury pollution in water. Pontianak City is one potential area to be polluted by mercury because, among others, Pontianak City is gold mining location.
Mercury as pollutant in Kalimantan Island was predicted to be present as many as 61 tones each year for small-scale gold mining activity. Study by Tanjungpura University in August 2000 indicated that mercury level along the Kapuas River and its small canals, and in river biotic (several types of fish), as well as in PDAM (Local Office of Drinking Water) water supply had exceeded the accepted limit. This pollution needs to be seriously handled because Kapuas River is main water provider for PDAM of Pontianak City.
This study aims to obtain information on the magnitude of mercury exposure measured in hair mercury level among community of Pontianak City and to understand the relationship between respondent's characteristics (age, sex, working status/job, and length of stay) and fish eating habit with hair mercury level. This study was secondary data analysis from the primary study by Health Office of West Kalimantan and Directorate of Water Hygiene year 2000, employed a cross-sectional design, with community members subscribed to PDAM as population. 240 sample was chosen using cluster method, head/member of a family, minimum age of 15 years old, stay at least 1 year, and willing to participate in hair and urine tests.
The results showed that the average mercury level in hair was 0.9512 µg/g (95 % Cl: 0,4534-1,4490), median 0.2900 µg/g, the lowest mercury level was 0.00 µg/g and the highest was 52.57µg/g. The distribution of hair mercury level was 79 respondents had 0,00-0,09 µg/g, 26 respondents had > 1,47 µg/g and the rest had 0,10-1,30 µg/g mercury level.
The age group of 25-34 years old had greater proportion of respondents with higher level of hair mercury compared to other age ranges. Respondents who eat fish daily had higher proportion of high hair mercury level compared to other frequency of fish eating.
There is no relationship between sex, working status / job, and length of stay in Pontianak with hair mercury level.
Observing the increasing trend of water mercury pollution, the collaboration between Health Office of West Kalimantan and other related sectors needs to be improved, as to provide socialization / education to the community members on the dangers of mercury pollution, routine mercury level check both in the river and fish:, and needs more appropriate alternative technology.
There is a need to conduct similar research among "the high risk group" including the documentation on how many fish eaten daily (in weight) as well as checking its mercury content. Other method is by examining mercury level in hair centimeter by centimeter because each centimeter of hair shaft equals to a month exposure.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T1233
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arlha
"Latar belakang: Alopesia androgenetik (AAG) adalah kebotakan rambut yang paling umum, ditandai dengan miniaturisasi progresif tanpa jaringan parut pada pria, akibat kerentanan terhadap hormon androgen. Penyakit ini terjadi secara multifaktorial, dari faktor genetik, lingkungan dan hormon androgen. Penyakit ini menyebabkan gangguan kosmetik yang mempengaruhi kualitas hidup dan rasa percaya diri. Hingga saat ini belum ada data mengenai kadar ferritin serum dan rambut pada pria dengan AAG yang dibandingkan dengan kelompok non-alopesia dan dikaitkan dengan densitas dan diameter rambut. Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan kadar feritin serum dan besi total rambut pada populasi AAG dan non-alopesia.

Metode: Penelitian ini merupakan suatu studi analitik observasional potong lintang antara dua kelompok. 33 pria dengan diagnosis alopesia androgenetik dan 33 pria tanpa alopesia androgenetik diikutsertakan dalam penelitian ini. Diagnosis alopesia androgenetik ditegakkan secara klinis. Kadar feritin serum dan total besi rambut pasien dibandingkan antara dua kelompok dan dikorelasikan dengan dengan diameter dan densitas rambut.

Hasil: Sebanyak 66 SP mengikuti penelitian dengan median usia 37-38 tahun. Feritin serum dan besi total rambut pada kelompok alopesia androgenetik lebih tinggi dibandingkan kelompok non-alopesia. Median 232 ng/mL, dan 222 ng/mL,  Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p = 0,758). Kadar besi total pada kelompok AAG lebih rendah dibandingkan non-alopesia. (22,65 ng/mL dan 39,67 ng/mL, p= 0,102). Terdapat korelasi positif lemah pada kelompok alopesia androgenetik derajat < 4 terhadap diameter rambut.

Kesimpulan: Kadar serum feritin dan besi total rambut pada pria non-alopesia lebih tinggi dibandingkan pria dengan alopesia androgenetik, namun tidak bermakna secara statistik.


Background: Androgenetic alopecia (AGA) is the most common nonscarring hair loss disorder in men due to susceptibility to testosterone. AGA is amultifactorial disease, due to genetic, hormonal and environmental influence. AGA causes cosmetic disturbances that affects confidence and quality of life. In women, it has been proven correlation between low ferritin serum and AGA occurrences, however not many studies have proven likewise in men. Till now, not many data provides sufficient correlation between ferritin levels and hair iron concentration in men with control group, associated with hair diameter and density. This study aims to compare the differences of serum ferritin and hair iron content between two populations.

Method: This is a cross-sectional analysis of two groups, 33 AGA men and 33 men without AGA were included in this study. Serum ferritin and hair level of iron were measured. Diagnosis of AGA was made clinically. Difference of serum ferritin and hair level of iron was analyzed and correlated with hair diameter and density.

Result: 66 men were included in this study. Median age was 37-38 year-old. Ferritin serum (232 ng/mL) and hair iron (39,67 ng/mL) was slightly higher in control group as compared to alopecia androgenetic group (ferritin 222 ng/mL and hair iron 22,65 ng/mL), but there was no statistically significant result (p = 0,758 and p = 0,102). Hair iron level correlates weakly positive with hair diameter in subgroup analysis.

Conclusion: Serum ferritin and hair iron level in non-alopecia population is higher compared to alopecia androgenetic men, but statistically insignificant"

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iman Surahman
"Penelitian analisis kadar merkuri dalam rambut dengan gangguan fungsi sistem saraf pusat bagi pekerja pertambangan emas, dilakukan untuk dapat memberikan referensi terkait dampak penggunaan merkuri dan penanggulangannya bagi kesehatan masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional dengan menganalisis data sekunder dari Kementerian Kesehatan terhadap 119 sampel.
Hasil pengukuran kadar merkuri dalam rambut pekerja, didapatkan 77,9% berada diatas normal, angka Nilai Indeks Pajanan Biologi yang dipersyarakatkan ≤ 3μg/g (ACGIH, 2005). Analisis kadar merkuri dalam rambut dengan gangguan fungsi sistem saraf pusat, secara perhitungan statistik menunjukan tidak ada hubungan signifikan, namun pekerja dengan kadar merkuri tinggi berisiko 3,12 kali,CI 95% (0,67 - 14,36) terhadap gangguan fungsi sistem saraf pusat. Analisis berbagai faktor konfounding, yaitu: Lama paparan, konsumsi sayur-buah, konsumsi ikan, penggunaan pestisida dan atau insektisida dan kebiasaan merokok, berdasarkan perhitungan statistik, hanya penggunaan pestisida secara konstan mempunyai hubungan diantara keduanya dan berisiko 3,97 kali, CI 95% (1,51 - 10,43) terhadap gangguan fungsi sistem saraf pusat.
Hasil analisis multivariat, didapatkan responden dengan kadar merkuri dalam rambut tinggi, mempunyai risiko 2,82 kali lebih besar dengan CI 95% (0,595-13,379) untuk mengalami gangguan fungsi sistem saraf pusat setelah dikontrol variabel penggunaan pestisida. Pencegahan dan pengendalian dampak kesehatan akibat penggunaan merkuri perlu melibatkan berbagai pihak baik pemerintah, swasta dan masyarakat, melalui program eliminasi, subtitusi, pengendalian teknis dan administrasi.

Research into the analysis of mercury levels in hair with impaired central nervous system function for gold mining workers, was conducted to provide a reference to the impact of mercury use and its prevention for public health. The method in this research use cross sectional design. This research used secondary data from Ministry of Health, with 119 miners as samples.
The results of the measurement of mercury in the hair of workers, obtained 77.9% above normal, Biology Exposure Index value ≤ 3μg / g (ACGIH, 2005). Analysis of mercury levels in the hair with impaired function of the central nervous system, the statistical calculation showed no significant relationship, but workers with high mercury levels risked 3.12 times, 95% CI (0.67 - 14.36) against impaired functioning of the nervous system center. Analysis of various confounding factors, namely: Length of exposure, consumption of fruits, fish consumption, pesticide and or insecticide use and smoking habits, based on statistical calculations, only the use of pesticides has a constant relationship between them and 3.97 times risk, 95% (1.51 - 10.43) against impaired functioning of the central nervous system.
The result of multivariate analysis, obtained by respondent with high mercury in hair, had 2.82 times greater risk with 95% CI (0,595-13,379) for impaired function of central nervous system after controlled variable of pesticide usage. Prevention and control of health impacts due to the use of mercury should involve various parties, government, private and public, through elimination, substitution, technical and administrative control programs.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
T48558
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Raafi Wibisana
"Interaksi mangsa dan pemangsa merupakan suatu interaksi yang umum terjadi di suatu ekosistem. Banyak biota laut meningkatkan kemampuan bertahan hidupnya dengan mengembangkan perlindungan fisik, perilaku, dan kimiawi agar tidak termakan. Perlindungan kimiawi merupakan bentuk adaptasi yang paling tinggi digunakan dalam biota laut, salah satunya alga. Alga dari spesies Bryopsis sp. mengembangkan metabolit sekunder berupa kahalalida F sebagai adaptasi antipredator dari herbivora. Namun, siput laut dari spesies Elysia ornata dapat memakan alga dengan mentolerin metabolit sekunder alga dan diakumulasi senyawa tersebut untuk keperluan perlindungan kimiawinya. Belum ada penelitan mengenai hubungan pemangsa dan mangsa antara Elysia ornata dan Bryopsis sp. yang ditemukan pada perairan Pulau Rambut. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan mangsa dan pemangsa dengan membandingkan profil metabolit sekunder antara Elysia ornata dengan Bryopsis sp di perairan Pulau Rambut. Profil metabolit sekunder diperoleh melalui tahapan ekstraksi yang dilakukan dengan maserasi sampel yang telah dihaluskan menggunakan metanol 96%. Selanjutnya, diuapkan menggunakan rotary evaporator dan dikeringkan menggunakan oven. Kemudian, ditimbang beratnya hingga mendapatkan berat ekstrak kasar yang konstan. Ekstrak sampel yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan instrument High Pressure Liquid Chromatography untuk memperoleh profil metabolit sekunder dalam bentuk peak. Hasil kromatogram sampel Elysia ornata dibandingkan dengan sampel Bryopsis sp. Terdapat 12 common peak yang bisa ditemukan pada Elysia ornata dan Bryopsis sp. sehingga terdapat 12 senyawa metabolit sekunder berbeda yang diakumulasi oleh Elysia ornata dari mangsanya. Hal tersebut dapat menjelaskan bahwa terdapat hubungan mangsa dan pemanga antara Elysia ornata dan Bryopsis sp.

The interaction of prey and predators is a common interaction in an ecosystem. Many marine biotas enhance their survival by developing physical, behavioral, and chemical protection against the predator. Chemical protection is the most widely used form of adaptation in marine biota, one of which is algae. Algae of the species Bryopsis sp. developed a secondary metabolite in the form of kahalalides F as an adaptation antipredator of herbivores. However, sea slugs of the species Elysia ornata can feed on algae by tolerating algal secondary metabolites and accumulate these compounds for their chemical protection purposes. There has been no research on the predator-prey relationship between Elysia ornata and Bryopsis sp. found in the waters of Rambut Island. This study aims to examine the relationship between prey and predators by comparing the secondary metabolite profiles between Elysia ornata and Bryopsis sp. in the waters of Rambut Island. The secondary metabolite profile was obtained through extraction which was carried out by maceration of the mashed sample using 96% methanol. Furthermore, it is evaporated using a rotary evaporator and dried using an oven. Then, it was weighed to get a constant weight of the crude extract. The sample extract obtained was then analyzed using a High Pressure Liquid Chromatography instrument to obtain a secondary metabolite profile in the form of a peak. The chromatogram results of Elysia ornata samples were compared with Bryopsis sp. There are 12 common peaks that can be found in Elysia ornata and Bryopsis sp. Thus, there are 12 different secondary metabolites that accumulates in Elysia ornata from it’s prey. This can explain that there is a prey and predator relationship between Elysia ornata and Bryopsis sp."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>