Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 32402 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
"The heat and energy transfer around a cluster of traditional Balinese buildings is extremely
complicated and difficult to determine by modeling an isolated building (eg. via symmetry conditions).
Full scale models of traditional buildings have been investigated by using numerical method based on the
finite element method to assess the facts of roof type on heat and energy transfer. A standard k-e model
is adopted with low values of k and e combined with multi-blocks grids, in order to reduce the over-
estimation of the production term of the turbulent kinetic energy in standard k-s turbulence models.
"
Jurnal Teknologi, Vol. 15 (3) September 2001: 270-279, 2001
JUTE-15-3-Sep2001-270
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Wanda Lalita Basuki
"Penataan ruang merupakan upaya aktif manusia dalam membina hubungan dengan lingkungan hidup, yaitu dengan mengubah lingkungan alam menjedi lingkungan budaya dengan tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya yang kompleks. Sehubungan dengan kenyataan itu, Rapoport (1977) mengajukan tiga pertanyaan umum, yaitu 1) bagaimana manusia membentuk lingkungan binaan yang spesifik, 2) bagaimana lingkungan binaan tersebut memberi pengaruh pada manusia, dan 3) bagaimana bentuk-bentuk interaksi timbal baiik antara manusia dan lingkungan. Tata ruang permukiman tradisional Bali merupakan wujud adaptasi aktif terhadap lingkungan hidup dengan pola pemanfaatan ruang-ruang permukiman yang diiandasi filosoti agama Hindu Baii dan falsafah budaya setempat yang menghargai tinggi keseimbangan (equilibrium). Tata ruang tradisional sebagai wadah kehidupan tidak bebas dari pengaruh modernisasi, termasuk perkembangan teknoiogi dan masuknya nilai-nilai budaya baru. Kecenderungan masyarakat Bail untuk mempertahankan niiai-nilai keseimbangan budaya dalam menata ruang permukiman tradisional yang justru. merupakan daya tarik pariwisata, menjadi hal yang melatarbelakangi peneiitian ini.

Spatial arrangement is a human effort in building their relations with the environment actively, changing it to be a cultural environment, to fulltill their complicated needs. According to that fact, Rapoport (1977) proposed three general questions, 1) how do people shape their environment?, 2) how and to what extent does the physical environment affect people??, 3) how do people and environment act in this two-way interaction? Spatial arrangement in the traditional Balinese settlement was an active adaptation toward the environment based on the spatial settlement pattem. their heritage, the Hindu Bali religious, and the vemaoular culture philosophy which highly appreciated the equilibrium. Traditional spatial arrangement as an ordered for the living environment was not free from the modernization influences, included technology and the new culture values. Tendency to conserve the equilibrium culture values in spatial arrangement of the traditional Balinese settlement which exactly will be attractived for tourism, was the main reason for this study."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T10849
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistyawati
"ABSTRAK
Penelitian ini mengarahkan perhatian pada masalah perubahan kebudayaan, terutama melihat perubahan yang terjadi pada arsitektur rumah tinggal tradisional Bali.
Kita mengetahui bahwa kebudayaan suatu masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Pengertian perubahan kebudayaan dalam kajian ini adalah suatu proses pergeseran, berupa pengurangan, atau penambahan unsur-unsur sistem budaya karena adanya penyesuaian dengan kondisi lingkungan. Ini dapat terjadi karena adanya dinamika dalam masyarakat itu sendiri, dan karena interaksi dengan pendukung kebudayaan lain. Hal ini berlaku dan terwujud pula pada Masyarakat Bali yang banyak dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang selalu berubah, karena daerah tersebut cukup banyak dikunjungi wisatawan. Sehubungan dengan perubahan itu, penelitian ini terfokuskan pada arsitektur rumah tinggal tradisionalnya. Arsitektur merupakan salah satu wujud budaya yang memuat unsur-unsur sistem budaya. Arsitektur tradisional Bali amat terkait dengan sistem budayanya seperti unsur kepercayaan, pengetahuan, nilai, aturan, dan norma.
Beberapa pakar berpendapat bahwa kebudayaan Bali telah banyak berubah, perubahan itu telah sampai kepada hal-hal yang amat mendasar misalnya perubahan pada sistem nilainya. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa walaupun gelombang pengaruh luar yang begitu besar melanda budaya Bali, tetapi pengikisan budaya yang dikhawatirkan itu tidak terjadi. Hubungan dengan dunia luar itu malahan menyebabkan mereka semakin bergairah mencari dan mempertahankan identitasnya. Perbedaan pandangan inilah yang merupakan salah satu faktor yang mendorong penulis untuk meneliti masalah seperti berikut ini.
Masalah pokok penelitian ini telah dirumuskan dalam beberapa pertanyaan (research questions). Apakah wujud arsitektur rumah tinggal tradisional Bali di Desa Adat Kuta telah mengalami perubahan yang cukup berarti? Apakah perubahan itu terjadi pada keseluruhan unit bangunan atau hanya pada unit tertentu saja. Kalau telah terjadi perubahan, faktor-faktor apa yang telah mempengaruhinya. Apakah perubahan arsitektur itu disebabkan oleh perubahan sistem budaya secara mendasar ?
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pola perubahan dan faktor yang mempengaruhi wujud arsitektur rumah tinggal tradisional Bali. Variabel yang dipakai adalah variabel tergantung dan variabel bebas. Variabel tergantung pada arsitektur rumah tinggal tradisional Bali adalah penentuan pola dan orientasi, bentuk dan struktur, bahan, ukuran, fungsi, upacara, nilai sakral dan nilai profan, konsultasi dengan ahli dan sembilan pendaerahan. Variabel bebas terdiri dari pendidikan, mata pencaharian, tingkat kekayaan dan luas pekarangan.
Untuk menunjang masalah di atas, penulis berpangkal pada hipotesis berikut ini. Perubahan pada wujud arsitektur rumah tinggal tradisional Bali dipengaruhi oleh perubahan sistem budayanya. Namun perubahan pada arsitektur itu tidak selalu sejalan dengan perubahan sistem budaya. Perubahan arsitektur rumah tinggal tradisional Bali hanya terjadi pada unit-unit tertentu saja. Faktor pendidikan, mata pencaharian, tingkat kakayaan dan luas pekarangan berpengaruh terhadap perubahan arsitektur rumah tinggal tradisional Bali.
Lokasi penelitian adalah Desa Adat Kuta dengan melihat tiga banjar dengan ciri-ciri tersendiri yaitu dekat pantai, pusat desa dan dekat pertanian. Pengambilan sampel dengan cara sistematik sebanyak 103 responden. Data dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara berstruktur, wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Data dianalisis secara deskriptif, dan uji Chi-Square (X2).
Penelitian ini memperoleh beberapa temuan. Wujud arsitektur rumah tinggal tradisional Bali umumnya sudah mengalami perubahan pada tingkat sedang. Berbagai aspek arsitektur mengalami perubahan mulai dari tingkat besar sampai tingkat kecil. Urutan tingkat perubahan itu mulai dari bahan bangunan, alat ukur, bentuk dan struktur, sembilan pendaerahan (Nava sanga), konsultasi dengan ahli (Tri pramana), nilai sakral dan nilai profan (Tri loka), fungsi, pola dan orientasi dan upacara. Unit bangunan yang mengalami perubahan seperti lumbung (jineng), ruang tidur kakek nenek (bale dangin), ruang tidur bujang (bale daub), dapur (paon), ruang tidur gadis (bale data), tempat upacara dan menerima tamu (bale delod), pintu gerbang (pemesuan), tempat sembahyang (meraian). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan sistem budaya pada masyarakat Desa Adat Kuta lebih lambat daripada perubahan wujud atau benda budayanya. Perubahan tingkat pendidikan, jenis mata pencaharian, tingkat kekayaan dan luas pekarangan tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan arsitektur rumah tinggal tradisional Bali. Namun jika dilihat dari aspek tertentu maka faktor pendidikan berpengaruh nyata terhadap aspek konsultasi dengan ahli (Tri pramana) dan aspek upacara. Tingkat kekayaan berpengaruh nyata terhadap aspek konsultasi, sedang luas pekarangan berpengaruh nyata terhadap aspek konsultasi.
Berbagai alternatif yang mungkin menunjang kelestarian wujud budaya arsitektur rumah tinggal tradisional Bali adalah pembinaan masyarakat. Dalam pelestarian arsitektur rumah tinggal tradisional Bali tidak perlu dibedakan tingkat pendidikan, jenis mata pencaharian, tingkat kekayaan dan luas pekarangan yang ditempati.
Berdasarkan temuan penelitian, kasus Bali bisa dijadikan model untuk meneliti, menyimak atau mengelola masyarakat daerah lain yang berkaitan dengan kepariwisataan.

ABSTRACT
The members of tourist coming to Bali are increasing every year. The tranquil atmosphere, the unique culture ingrained in the Balinese way of life, the white sandy beaches and of course the excellent facilities for staying, made Bali extremely attractive for travelers who either travel for pleasure or intend to combine both business and pleasure.
The relatively small size of the island is also very convenient for those who do not have much time for leisure, but are anxious to know more about other people's culture. In less than a day's sweep, with a car, one can cover almost the entire island and see that is worth seeing. It is true that tourists bring about prosperity. But with the arrival of tourist inevitably, come along ideas about life and living.
The question now arises: To what extend do these foreign ideas affect the Balinese way of life, attitudes and traditionally accepted values?
Some scholars suggested that tourism has shaken Balinese tradition to its very foundation. Changes are already there and quite obvious for every one to see. Other scholars disagreed, commenting that in spite of assaults by tourism, Bali tradition stood its ground on its solid foundation. This second group of scholars voiced the opinion the Balinese tradition and culture are almost unblemished, and is fully capable of protecting its from foreign influence.
It is in the wake of these two opposing views that this research in this thesis has been carried out. The investigation was focused on the village of Kuta, which is most frequented by foreign tourist, who are not prepared to stay in luxury hotels. They rather stay in the homes of the villagers. It is here that foreigners mixed deeply with the natives and so where exchange of ideas are expected most to occur.
The author does not pretend that she will come up with a clear-cut answer to the question of change. But if the investigation is carried out well, it is expected that it will throw some light into the problems of change in attitudes and values, which will ultimately manifest in the changes in the physical environment of the village.
The result of the investigation clearly showed that minor changes did take place, especially in the functions of the element of the Balinese home in Kuta, which is obviously due to outside influence and education.
As might have been know, a Balinese home consists of two parts. One part is the family temple and the other is the family quaters. Both parts are found on one yard surrounded by a wall. The family quater consists of six buildings, where each building is assigned a special function. One building functions as the sleeping quater of the head of the family, another building where the girls of the family spend the nights, then you have the quater for the boys; further there is the building where the family receive guests and carry out ceremonies; then there is the kitchen and finally the barn where the harvest and farming tools are stored.
With greater involvement of the villagers in Kuta with tourism more and more farmers transformed their homes into inns by altering the architectural style of the buildings to suit new demands. Separate rooms have to be constructed, complete with bath and rest rooms in order to guarantee privacy for the guests. Needless to say, that all these modifications resulted in changes in many different ways to the traditional Balinese home, because the former traditional farmer is now an innkeeper.
Changes in the style and architecture of the Balinese home come together with progress. Nobody can prevent progress from changing society. Changes that come too fast, may put society off balance, and so will cause disturbances. May the changes that take place in Balinese society do not create instabilities.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhiya Syakara
"Tari merupakan salah satu perwujudan ruang yang memanfaatkan gerak tubuh sebagai media utamanya. Seni penyampaian komunikasi melalui gerak tubuh manusia itulah yang menjadi wujud bahasa keruangan tari yang dinamis. Kosmos (semesta) adalah wujud ruang tanpa batas; ruang bagi bumi, ruang bagi pulau, ruang bagi bangunan, ruang bagi manusia. Kosmologi Bali mempercayai bahwa perwujudan semesta terdiri dari unsur dualitas makrokosmos dan mikrokosmos. Tubuh yang hadir dalam ruang skala besar (makrokosmos) adalah aktor dari ruang skala kecil (mikrokosmos). Dualitas makro-mikro terwujud karena adanya keterlibatan spiritual, yakni Dewa Siwa sebagai penjaga keharmonisan semesta. Tari kreasi Siwa Nataraja adalah pencerminan dari tarian kosmis konsep dwi tunggal Dewa Siwa sekaligus Nrtyamurti (kekuatan nari dan menata tari) tergabung menjadi sosok yang mewujudkan keseimbangan semesta. Studi kasus Tari Siwa Nataraja dikaji dengan pengetahuan akan tubuh, ruang, dan waktu penari tradisional Bali yang terjadi dalam keselarasan spiritual dan kosmologi Bali. Hasil dari studi kasus ini memperlihatkan bahwa adanya kehadiran ruang kosmologi tradisional Bali dalam wujud ruang tari tradisional Bali.

Dance is a manifestation of space that uses body movement as its main medium. The art of communicating through human body movements is the form of dance’s spatial language. Cosmos (universe) is a form of infinite space; space for earth, space for islands, space for buildings, space for humans. Balinese cosmology believes that the universe contains the duality of macrocosmos and microcosmos. Human bodies that exist in a large-scale space (macrocosmos) are actors from a small-scale space (microcosmos). The duality of macro-micro is involved by the spiritual existence, namely, Lord Shiva, as the guardian of the harmony of the universe. The traditional dance “Siwa Nataraja'' reflects the dual concept of Lord Shiva’s cosmic dance as well as Nrtyamurti (the power of dancing and arranging dance) combined into a figure that embodies the balance of the universe. This Siwa Nataraja Dance case study is approached with the knowledge of human body, space, and time within traditional Balinese dancers that is in tune with the spiritual and Balinese cosmology concept. Results of this case study show that there is the existence of the traditional Balinese cosmology concept within the form of Balinese traditional dance’s space."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.M. Moerdowo
Jakarta: Balai Pustaka, 1983
709.04 MOE r
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nandy Setiadi Djaya Putra
"Tujuan dari laporan praktik keinsiyuran pengaplikasian kegiatan K3LL, KEI dan profesionalisme di dalam pelaksanaan Praktik Keinsiyuran lampau pada proyek pembangunan gedung I-CELL FTUI, sehingga hasil identifikasi tersebut juga dapat digunakan sebagai pengalaman dan pembelajaran saat diaplikasikan di PK yang lain di masa mendatang dan diharapkan dapat meningkatkan kesadaran para insiyur, termasuk pemilik atau pengelola bangunan, pengembang, pemerintah, dan masyarakat umum, tentang pentingnya mengadopsi konsep green building, memahami manfaat dan dampak positif dari pembangunan berkelanjutan serta dapat menginspirasi orang untuk mengambil tindakan yang lebih berkelanjutan dalam lingkungan. Pada proses Pembangunan Gedung I-CELL FTUI ini etika insinyur sangat penting dalam memastikan bahwa pembangunan gedung hijau tidak hanya memenuhi tujuan berkelanjutan tetapi juga memenuhi standar moral dan etika profesi. Pentingnya aspek K3LL dalam pembangunan gedung I-CELL FTUI adalah untuk menciptakan bangunan yang tidak hanya berkelanjutan secara lingkungan, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan dan keselamatan penghuninya. Kompetensi bidang keilmuan yang dimiliki penulis digunakan atau diaplikasikan melalui proses Manajemen Pembangunan Gedung I-CELL FTUI, Penentuan parameter desain Gedung Hijau dan Desain Termal pada Gedung I-CELL FTUI agar dapat menghemat pemanfaatan energy dan mendapatkan kenyamanan termal. Kebutuhan akan ruang laboratorium Pendidikan yang terintegrasi dengan mengusung konsep berkelanjutan telah diwujudkan melalui selesainnya dan beroperasinya gedung i-CELL FTUI tepat waktu sehingga berhasil mewujudkan rencana strategis FTUI 2018-2020. Gedung I-CELL FTUI ini telah berhasil meraih sertifikat EDGE tingkat advanced certified dengan raihan 22% energy savings, 34% water savings, and 42% embodied energy savings in materials dan pengahargaan Subroto serta Asean Energy Award sebagai Gedung hemat energi, menunjukkan tujuan dari pembanguan gedung hijau sudah berhasil dicapai.

The purpose of the report on the implementation of safety, health, and environmental activities (K3LL, KEI, and professionalism) in the past Safety and Environmental Practices at the I-CELL FTUI building construction project is to use the identified results as an experience and learning when applied to other projects in the future. It is expected to raise awareness among engineers, building owners or managers, developers, government officials, and the general public about the importance of adopting green building concepts. Understanding the benefits and positive impacts of sustainable development is emphasized, with the hope of inspiring people to take more sustainable actions in their environment. In the process of constructing the I-CELL FTUI building, engineer ethics are crucial to ensure that the green building not only meets sustainable goals but also complies with moral standards and professional ethics. The significance of K3LL aspects in the construction of the I-CELL FTUI building is to create a structure that is not only environmentally sustainable but also prioritizes the well-being and safety of its occupants. The author's expertise in the field is applied through the Management of the I-CELL FTUI Building Construction process, determining parameters for Green Building design and Thermal Design in the I-CELL FTUI building to conserve energy utilization and achieve thermal comfort. The need for an Education laboratory space integrated with a sustainable concept has been realized through the timely completion and operation of the I-CELL FTUI building, successfully realizing the FTUI 2018-2020 strategic plan. The I-CELL FTUI building has achieved advanced EDGE certification with a 22% energy savings, 34% water savings, and 42% embodied energy savings in materials. It has also received the Subroto Award and the Asean Energy Award as an energy-efficient building, indicating the successful achievement of the goals of constructing a green building."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Taylor, Richard S.
London: Robert Hale, 1991
743.84 TAY d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Alexandra Widyanareswari
"Jumlah mikroba di udara dalam ruangan merupakan salah satu indikator kualitas udara dalam ruangan. Kualitas udara dalam ruangan sering kali terabaikan, padahal manusia menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam ruangan. Pentingnya menjaga kualitas udara dalam ruangan terkait dengan kenyamanan lingkungan kerja dan kesehatan pemakai ruangan. Gangguan kesehatan yang dapat terjadi terutama pada daerah tubuh atau organ tubuh yang kontak langsung dengan udara, seperti mata, kulit, hidung, saluran pernapasan. Adanya gangguan kesehatan dan kenyamanan lingkungan akan berpengaruh terhadap kinerja dari tiap orang. Ada empat faktor yang perlu diperhatikan untuk menjaga kualitas udara dalam ruangan yaitu faktor bangunan, pemilihan perabot yang digunakan dalam ruangan tersebut, peran manusia dan kondisi udara di sekitar bangunan. Penelitian dilakukan di gedung perkuliahan A dan K, FTUI. Pemilihan kedua gedung ini berdasarkan adanya perbedaan waktu pembangunan dan pengoperasian. Analisis dilakukan dengan melihat apakah ada perbedaan jumlah mikroba di udara dalam ruangan yang signifikan antara gedung perkuliahan A dan K, FTUI. Selain itu juga dilihat jumlah mikroba maksimum dan minimum di gedung tersebut serta perbandingan jumlah mikroba di udara dengan standard dan hasil penelitian lain. Dari hasil pengukuran jumlah mikroba di dalam ruang kelas, selanjutnya akan dilihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi udara di ruang tersebut. Faktor-faktor tersebut antara lain suhu dan kelembaban, material dan furniture yang digunakan, ventilasi bangunan, perawatan dan pemeliharaan yang dilakukan serta adanya pengaruh udara luar terhadap kualitas udara dalam ruangan. Perbaikan kualitas udara dalam ruangan dapat dilakukan dengan pengaturan jadwal pemeliharaan dan perawatan, pengecekan kebocoran pada sistem perpipaan dan air conditioner, serta pengaturan posisi kelas terhadap orientasi bangunan.

The number of microbes in the indoor air is one of indoor air quality indicators. Indoor air quality is often neglected, whereas human spend most of their time indoor. Importance of maintaining indoor air quality influenced the convenience of the user work environment and health of the room. Health problems can occur especially in the body or organs having direct contact with air, such as eyes, skin, nose, respiratory tract. The disruption of health and comfort of the environment will affect the performance of each person. There were four factors that need to be considered for maintaining indoor air quality such as building factor, the selection of furniture in the room, human influence and condition of the air around buildings. This research conducted in the campus building A and K, Engineering Faculty, University of Indonesia. The two building was selected because of the time difference in construction and operation. The analysis is done by observing whether there are significant differences in the number of microbes in indoor air between campus building A and K, University of Indonesia. In addition, maximum and minimum number of microbes found in the building and compared the number of microbes in the air with the standard and the results of other studies. From the number of microbes in the classroom, the factors that influence the air in that classroom will be analyzed. These factors are temperature and humidity, materials and furniture in the building, building ventilation, service and maintenance performed as well as the influence of outside air to indoor air quality. Indoor air quality improvements can be done by arranging maintenance schedules, checking leaks on piping systems and air conditioner, and redesigning the class position in the building."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
S50480
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>