Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 990 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Andy Lesmana
"ABSTRAK
Latar Belakang. Penegakan diagnosis DVT akut ekstremitas bawah dengan sarana diagnostik yang ada termasuk venous duplex ultrasonography VDUS masih terkendala biaya, waktu dan tenaga operator. Penelitian ini bertujuan menilai efektivitas skor Wells, kadar D-Dimer atau skor kombinasi keduanya dibandingkan dengan VDUS dalam mendeteksi kasus-kasus DVT akut ekstremitas bawah.Metode. Dilakukan studi diagnostik dengan desain cross-sectional yang dilakukan di Divisi Bedah Vaskular dan Endovaskular Departemen Ilmu Bedah FKUI-RSCM pada semua pasien dewasa dengan dugaan DVT akut ekstremitas bawah yang dikonsultasikan ke Divisi Bedah Vaskular RSCM yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan VDUS pada periode Januari 2014 ndash; Desember 2015 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sumber data diambil dari rekam medik data sekunder . Analisis data berupa uji diagnostik dan diuji dengan SPSS version 17.0 for WindowsHasil. Studi melibatkan 85 orang. Didapatkan kejadian DVT akut ekstremitas bawah sebesar 65,88 . Sensitivitas dan nilai duga negatif tertinggi 100.00 didapatkan pada skor kombinasi II dan IV. Sedangkan spesifisitas tertinggi 89,66 dan nilai duga positif tertinggi 92,68 diperoleh pada skor kombinasi III. Skor dengan nilai diagnostik berimbang sensitivitas 87,50 ; spesifisitas 72,41 dijumpai pada skor Wells 3 level I.Simpulan. Skor Wells dan VDUS memiliki efektivitas sebanding dalam deteksi kasus-kasus kecurigaan DVT akut ekstremitas bawah.

ABSTRACT
Introduction. The diagnosis of acute lower extremity DVT with available resources including VDUS was still costly, time consuming and power consumng. The purpose of this study was to evaluate effectivity of Wells score, D Dimer and combination of both compared with VDUS in detecting lower extremity DVT. Methods. This was a cross sectional diagnostic study that was carried out at Vascular and Endovascular Surgery Division of Surgery Department of FKUI RSCM between by enrolling all adult patients with suspected acute DVT of lower extremity that was consulted to Vascular Surgery Division and confirmed with VDUS study between January 2014 and December 2015 that meet inclusion and exclusion criteria. Data source was taken from medical record. Data analysis in the form of diagnostic study was performed with SPSS version 17.0 for WindowsResult. The study enrolled 85 subjects, of which 65,88 was found to have acute lower extremity DVT. The highest sensitivity and negative predictive value 100,00 was discovered in combination score II and IV. The combination score III had the highest specificity 89,66 and positive predictive value 92,68 . Whereas the most balanced diagnostic study score was the Wells score 3 Level I with sensitivity 87,50 and specificity 72,41 . Conclusion. Wells score and VDUS were equally effective in detection of lower extremity acute DVT cases. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"We would like to thank all four authors for their thoughtful responses to our paper and the assemblage it describes. In some cases those comments confirmed things we had thought already, but in others they surprised us, confronting us with ideas that we had never previously considered. Collectively this has made us think hard about future research possibilities."
300 ANT 89 (346) 2015
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Herwandar Sastrasupena
"Latar Belakang: Luka bakar listrik berpotensi untuk menjadi penyebab terjadinya gagal multiorgan dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Kombinasi antara luka bakar pada kulit yang luas serta kerusakan organ dalam menyebabkan meningkatnya kebutuhan cairan akibat banyaknya cairan yang hilang. Kerusakan pada jantung dan otot dapat menyebabkan myoglobulinuria. Myoglobin menyebabkan obsruksi dan vasokontriksi serta mebyebabkan gagal ginjal. Resusitasi cairan menggunakan metode parkland dan titrasi diharapkan dapat merehidrasi, mengembalikan fungsi ginjal serta mencegah komplikasi pada ginjal akibat myoglobin pada urin. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi angka kejadian gagal ginjal pada pasien luka bakar listrik yang di resusitasi dengan formula parkland dan titrasi.
Metode: Penelitian ini merupakan studi retrospektif pada pasien luka bakar listrik yang dirawat di Unit Luka Bakar RSCM Jakarta dari Januari 2010 hingga Januari 2014. Data yang dikumpulkan meliputi identitas, jumlah cairan saat resusitasi 24 jam pertama, nilai kreatinin hari pertama dan ketiga, warna urin, riwayat gagal ginjal, waktu kejadian dan kedatangan pasien ke RS dan luas luka bakar. Kami bagi menjadi dua kelompok, kelompok AKI dan non-AKI dengan menggunakan kriteria RIFLE. Dilakukan penghitungan Parkland Score pada masing-masing kelompok dan dibandingkan menggunakan analisa t-test.
Hasil: Terdapat 49 pasien luka bakar listrik yang memenuhi kriteria inklusi. 36 pasien datang dengan myoglobulinuria. 64.8% (n=24) pasien tidak mengalami gagal ginjal tapi 35.1% mengalami gagal ginjal (n=13). Pada metode T Test didapatkan hasil bermakna antara penggunaan parkland score dengan angka kejadian gagal ginjal (P<0.05). variable lainnya seperti umur, waktu keterlambatan, berat badan serta luas luka bakar tidak memberikan hasil yang bermakna. Tidak adanya hubungan bermakna antara hemoglobinuria dengan kejadian gagal ginjal.
kesimpulan: Resusitasi cairan yang adekuat sangat penting dalam manajeman dini luka bakar. Formula parkland sudah banyak digunakan sebagai dasar perhitungan cairan resusitasi. Terdapat hasil yang bermakna pada hubungan antara pemberian cairan menggunakan formula parland dan titrasi dengan angka kejadian gagal ginjal. Study ini membuktikan bahwa pemberian cairan berdasarkan formula parkland dan titrasi dapat menurunkan angka kejadian gagal ginjal pada luka bakar listrik. Myoglobulinuria sendiri tidak menunjukkan hubungan dengan angka kejadian gagal ginjal akut, kemungkinan disebabkan karena myoglobulinuria sendiri hanya merupakan salah satu faktor penyebab gagal gagal ginjal pada luka bakar listrik.

Background: Electrical burn injury has potential cause of multisystem injury with high morbidity and mortality. The combination of extensive burns and significant internal injury in cases of severe high voltage electrical injury leads to increase fluid requirements due to fluid extravasation and ongoing fluid losses, Cardiac complication and muscle destruction that cause myoglobinuria. Myoglobin causes renal obstruction and intrarenal vasoconstriction and could result in acute kidney injury. Fluid resuscitation using parkland titration method is applied to rehidrate, restore renal function and prevent further damage caused by myoglobin. The study aimed to evaluate the incidence of Acute Kidney Injury related to the first 24 hour fluid resuscitation using the parkland formula and titration method in electrical burn injury.
Method: This is a retrospective cohort design, recruited from medical records in Cipto Mangunkusumo Hospital from january 2010 to january 2014. Data will be collected at baseline and after resuscitation. Patients information included age, time of refferal, cause of burn, resuscitation fluid , urine production, urine colour, serum creatinin level at day 1-3. We divide all electrical burn injury patients into two group, AKI (Acute Kidney Injury) group and non-AKI group, using RIFLE classification. Then we compare the fluid resuscitation using Parkland score within two group. We also compare other risk factor contributing AKI in electrical burn injury including delayed time characteristic.
Results: A total of 49 patiens of electrical burn injury mets the study inculsion criteria, 36 patients presented with myoglobulinuria during admission to the hospital. 64.8% (n=24) did not have AKI while 35.1% had AKI (n=13). Independent T test showed significant differences between parkland score and the occurence of Acute Kidney Injury (P < 0,05). Other variables such as age, delayed time, weight and percentage of burn did not show any significant differences related to acute kidney injury. The presence of hemoglobinuria supposed to increase the number of acute kidney injury but in contrary it did not have significance result related to acute kidney injury (P>0.05).
Conclusions: Adequate resuscitation is essential in a succesful early burn management.. Parkland formula had been used widely as guidelines for fluid resuscitation. There is a significant result relating th use of parkland formula with titration and acute kidney injury. This study confimed that administering resuscitation fluid according to the parkland formula and maintaning the hidration using titration method could decreased the number of acute kidney injury. Clearly, Myoglobinurea alone can not be held accountable as predictor of an acute kidney injury, it is only one of several causes of acute kidney injury.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ya`kub, Syaikh Muhammad Husain
Jakarta: Hikmah, 2006
297.122 5 YAK kt
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ganjar Darmayekti
Jakarta: Elex Media Komputindo, 2008
005.3 GAN t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Aji Subakti
"Latar belakang : Intervensi koroner perkutan primer (IKPP) telah berhasil menurunkan mortalitas dan morbiditas pada pasien Infark Miokard Akut Dengan Elevasi Segmen ST (IMA EST), namun masih tingginya kejadian gagal jantung pada pasien yang berhasil bertahan hidup menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Pencegahan remodeling melalui jalur inhibisi metalloproteinase (MMPs) merupakan target terapi dari doksisiklin. Biomarker fibrosis miokard pada proses remodeling adalah Soluble suppression of tumorigenicity-2 (sST2). Efek doksisiklin terhadap kadar ST2 pada pasien IMA EST yang dilakukan IKPP belum diketahui.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek doksisiklin terhadap penurunan kadar ST2 sebagai biomarker pasca IKPP.
Metode: Pada pasien IMA-EST sesuai dengan kriteria inklusi yang menjalani IKPP dimasukkan kedalam populasi penelitian dengan metode acak ganda tersamar. Dilakukan pemeriksaan laboratorium ST2 sebelum tindakan IKPP dan 24 jam paska tindakan IKPP.Subyek penelitian akan mengkonsumsi kapsul penelitian A atau B, sebanyak dua kali sehari selama 7 hari. Parameter ekokardiografi diukur pada 24 jam pertama setelah tindakan IKPP dan pada hari kelima atau sebelum pulang dari rumah sakit dan dilakukan pencatatan kejadian kematian, lama rawat, dan gagal jantung selama perawatan.
Hasil: Terdapat 94 subyek yang dianalisa pada studi ini. Pemberian doksisiklin dibanding placebo tidak terbukti bermakna dalam menurunkan ST2 pada jam ke 24. Terdapat perbedaan bermakna yang baik pada insiden gagal jantung kelompok kontrol dengan ST2 > 35 ng/ml dan ST2 < 35 ng/ml dengan nilai p = 0,007. Terdapat peningkatan nilai ejeksi fraksi bermakna dibandingkan kelompok kontrol (4,5±10,4 vs 0,3±10,3 %, p = 0,05) dengan rerata peningkatan sebesar 4,2 (95% IK 0,04-8,46) %.
Kesimpulan : Doksisiklin sebagai agen anti remodeling tidak terbukti menurunkan kadar ST2 secara bermakna pada pasien IMA EST yang dilakukan IKPP

Background : Primary percutaneous coronary intervention (PPCI) has succeeded in reducing mortality and morbidity in patients with Acute Myocardial Infarction With the new ST Segment Elevation (STEMI), but the high incidence of heart failure in patients who have survived causes increased morbidity and mortality. Prevention of remodeling through the metalloproteinase inhibition pathway (MMPs) is the therapeutic target of doxycycline. Biomarker of myocardial fibrosis in the remodeling process are soluble suppression of tumorigenicity-2 (sST2). The effect of doxycycline on ST2 levels in STEMI patients performed by PPCI is unknown.
Objective : To determine the effect of doxycycline on decreasing ST2 levels as a biomarker after PPCI.
Methods: STEMI patients according to the inclusion criteria who underwent PPCI were included by double randomized control trial method. ST2 laboratory is carried out before PPCI and 24 hours after PPCI. The subject will consume capsules A or B,twice a day for 7 days. Echocardiographic parameters were measured in the first 24 hours after PPCI and on the fifth day or before discharge from the hospital. The incidence of death, length of stay, and heart failure during hospitalization were recorded.
Results: There were 94 subjects analyzed in this study. The Doxycycline compared to the placebo was not proven in decreasing ST2 at 24 hours. There was higher incidence of heart failure related to ST2 > 35 ng / ml than ST2 <35 ng / ml with p = 0.007. There wasimprovementejection fraction among control group (4.5 ± 10.4 vs 0.3 ± 10.3%, p = 0.05) with an increase in the mean of 4.2 (95% CI 0.04-8 , 46)%.
Conclusion : Doxycycline as an anti-remodeling agent was not proven to reduce ST2 levels in STEMI patients after PPCI
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59204
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sabrina Sutanto
"Infark Miokard Akut, satu subkelas dari Sindrom Koroner Akut, terjadi bila ada obstruksi total arteri koroner. Terapi reperfusi yang tepat waktu seperti primary angioplasty bersama dengan stratifikasi risiko diperlukan untuk mencapai prognosis yang lebih baik, yaitu ditunjukkan oleh trombolisis akhir pada aliran infark miokard (TIMI). Leukosit sangat berkorelasi dengan proses inflamasi dan dengan demikian memberikan peluang untuk menjadi prediktor yang berbiaya rendah dan efektif untuk final TIMI flow. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah tingkat leukosit saat admisi dapat dihubungkan dengan final TIMI flow agar bisa dilakukan penatalaksanaan yang lebih spesifik dan agresif agar mengarah pada prognosis yang lebih baik. Penelitian ini merupakan studi cross-sectional analitik yang menganalisa data pasien yang mencakup final TIMI flow, tingkat leukosit saat admisi dan variable lain seperti gula darah saat admisi dan kadar kreatinin. Terdapat 3,704 sampel yang dianalisis dari registri Jakarta Acute Coronary syndrome (JAC) menggunakan program SPSS. Tingkat leukosit saat admisi berhubungan dengan final TIMI flow pada pasien dengan infark miokard yang sudah melakukan tindakan primary angioplasty. Terdapat hubungan statistik antara tingkat leukosit saat admisi dan final TIMI flow pada pasien (p=0.002) Terdapat hubungan bermakna antara tingkat leukosit saat admisi dengan final TIMI flow setelah dilakukan primary angioplasty pada pasien STEMI, di mana tingkat leukosit <13020/μl dikaitkan dengan aliran TIMI yang lebih baik. Hasil ini menunjukan bahwa tingkat leukosit dapat digunakan sebagai alat bedside yang murah untuk menilai prognosis pasien.

Acute Myocardial Infarction, a subclass of Acute Coronary Syndrome, happens when there is total coronary artery obstruction. A timely reperfusion therapy by primary angioplasty along with risk stratification is needed to achieve a better prognosis denoted by the final thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) flow. Leukocytes are strongly correlated with the inflammation process and thus present an opportunity to be a low cost and effective predictor of final TIMI flow. This research aims to see whether leukocyte level on admission can be associated with final TIMI flow in order to make a more specific and aggressive management that leads to better prognosis. The research is an analytical cross-sectional study that analyzes patient's data including final TIMI flow, leukocyte level on admission and other variables such as admission blood glucose and creatinine level. There are 3,704 samples analyzed from the Jakarta Acute Coronary syndrome (JAC) registry using the SPSS program.Admission leukocyte levels are associated with final TIMI flow of STEMI patients that has been treated with primary angioplasty. There is a statistical significance between admission leukocyte level and final TIMI flow of patients (p=0.002). There is a significant association between leukocyte level of patients on admission and final TIMI flow after primary angioplasty in STEMI patients, in which a leukocyte level of <13020/μl is associated with a better TIMI flow. This shows leukocyte level can be used as an inexpensive bedside tool to assess a patient's prognosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Leroy Leon Leopold Lasanudin
"Sindrom koroner akut (SKA) merupakan kondisi ketidakseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan oksigen pada otot jantung yang disebabkan oleh obstruksi arteri koroner. Elevasi segmen-ST infark miokard (STEMI) akut terjadi ketika pasien dengan SKA mengalami oklusi total pada pembuluh arteri koroner. Penanganan utama untuk pasien dengan STEMI adalah terapi reperfusi menggunakan angioplasti primer. Thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) flow grade merupakan metode penilaian aliran darah, dimana TIMI 0 flow menandakan tidak adanya perfusi dan TIMI 3 flow menandakan perfusi lengkap. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan prediktor klinis pasien yang berhubungan dengan TIMI flow akhir 3. Penelitian ini merupakan studi cross-sectional analitik yang dilaksanakan melalui pengumpulan data karakteristik klinis pasien STEMI dan TIMI flow akhir dari Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC) Registry. Sampel penelitian melibatkan 3706 pasien STEMI yang diobati dengan angioplasti primer antara Februari 1, 2011 dan Agustus 31, 2019. Data dianalisis menggunakan IBM SPSS versi 20. TIMI flow akhir 3 berhubungan dengan durasi antara gejala awal dan terapi reperfusi ≤6 jam (p<0.001) dan dislipidemia (p = 0.008). Sedangkan, TIMI flow akhir <3 berhubungan dengan infark miokard pada dinding anterior jantung (p = 0.03) dan kadar kreatinin dalam darah di atas 1.2 mg/dl (p = 0.03). Durasi antara gejala awal dan terapi reperfusi yang lebih dini (≤6 jam) merupakan prediktor klinis terkuat untuk TIMI flow akhir 3.

Acute coronary syndrome (ACS) is an imbalance between oxygen supply and demand of the heart muscle due to an obstruction in the coronary artery. Acute ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI) occurs when a patient with ACS has a complete coronary artery occlusion. The main treatment for patients with STEMI is reperfusion therapy using primary angioplasty. Thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) flow grade is a method of measuring blood flow, where TIMI 0 flow indicates no perfusion and TIMI 3 flow indicates complete perfusion. This study is aimed to determine which clinical predictors are associated with final TIMI 3 flow. This is an analytical, cross-sectional study which was conducted through data collection of STEMI patients’ clinical characteristics and final TIMI flow from the Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC) Registry. The study samples include 3706 STEMI patients who were treated with primary angioplasty between February 1, 2011 and August 31, 2019. The data was analyzed using IBM SPSS version 20. Final TIMI 3 flow is associated with the duration between symptom onset and reperfusion therapy of ≤6 hours (p<0.001) and dyslipidemia (p = 0.008). Meanwhile, final TIMI <3 flow is associated with anterior wall myocardial infarction (p = 0.03) and creatinine level above 1.2 mg/dl (p = 0.03). An earlier duration between symptom onset and reperfusion therapy (≤6 hours) is the strongest clinical predictor of final TIMI 3 flow."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>