Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 187938 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
"Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan "Mengapa
suku bangsa Batak Tuba lebih berhasil di bidang pendidikan
daripada suku bangaa Melayu?". Upaya untuk mengungkapkannya
adalah dengan mempelajari gambaran motivasi berprestasi,
dan keterkaitan antara pola pengasuhan dan motivasi
berprestasi pada kedua suku bangsa tersebut.
Motivasi berprestasi adalah kecenderungan dari diri
individu untuk mencapai prestasi secara optimal yang tampak
dari usaha yang gigih untuk mencapai keberhasilan dalam
segala aktifitas kehidupan dengan menggunakan suatu ukuran
keunggulan yaitu perbandingan dengan prestasi orang lain
atau standart tertentu. (McClelland, dalam Zimbardo,1985).
Motivasi berprestasi dipengaruhi oleh pola asuh yaitu
seperangkat sikap dan perilaku yang tertata, yang
diterapkan oleh orangtua dalam berinteraksi dengan anaknya
(Baumrind, dalam Achir,1990). Sementara itu pola pengasuhan
anak dipengaruhi oleh latar belakang etnografis yaitu
lingkungan hidup yang berupa habitat, pola menetap,
lingkungan sosial, sejarah, sistem mata pencaharian, sistem
kekerabatan, sistem kemasyaratan, sistem kepercayaan,
upacara keagamaan dan sebagainya. Karena itu, cara
pengasuhan anakpun berbeda-beda di berbagai masyarakat dan
kebudayaan. (Danandjaja,19B8).
Untuk menjawab permasalahan di atas, dilakukan
pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode wawancara
mendalam dan observasi tidak terlibat sebagai metode utama
dalam pengumpulan data. Subyek penelitian adalah orangtua
dan anak suku bangsa Batak Toba dan MeIayu, yang bertempat
tinggal di desa asalnya, yaitu suku bangsa Melayu di desa
Bogak, dan suku bangsa Batak Toba, di desa Parparean II.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suku bangsa
Batak Toba di desa Parparean II memiliki lingkungan
geografis berstruktur tanah gersang, sehingga tingkat
kesuburannya tergantung pada curah hujan, membuat
masyarakatnya tidak termanjakan oleh alam. Bermata
pencaharian sebagai petani, menariknya, penggarap sawah
mayoritas adalah perempuan.
Suku bangsa Batak Toba meletakkan nilai pendidikan
sebagai hal yang utama dalam kehidupan mereka. Hal ini
dilandasi oleh nilai-nilai filsafat hidup orang Batak Toba,
bahwa jalan menuju tercapainya kegayaan (hamoraon) dan
kehormatan ( hasangapon) adalah melalui pendidikan.
Dalam hal pola pengasuhan, cenderung bergaya
authoritative. Sekalipun demikian, gaya authoritarian tetap
masih ada berkaitan dengan keinginan agar anak bersikap
taat pada aturan agama dan orangtua. Pola pengasuhan ini
diikuti juga oleh sikap orangtua yang mendorong pencapaian
pendidikan anak berupa dukungan, kontrol dan kekuasaan.
Hal yang juga menarik, ternyata nilai kerja yang tinggi
dimiliki oleh Orangtua Batak Toba Berhasil dan Anak Batak
Toba Berhasil yang secara nyata diaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari guna merealisasikan pencapaian
keberhasilan pendidikan.
Sedangkan suku bangsa Melayu di desa Bogak, yaitu
sebuah desa pantai, mayoritas tinggal di rumah-rumah
panggung yang non permanen, berdinding kayu dan beratap
daun nipah atau seng. Mata pencaharian penduduk yang utama
adalah nelayan. Hal yang menonjol adalah banyaknya sarana
hiburan di desa ini.
Berbeda dengan daerah di tempat suku Batak Toba tinggal,
di daerah ini, pada pagi dan siang hari saat jam pelajaran
sekolah berlangsung, tampak banyak anak usia sekolah yang
tidak bersekolah dan. memilih bekerja sebagai "anak. itik"
yang berpenghasilan minimal sebesar Rp 20.000, dan
adakalanya mendapatkan Rp 100.000,- per harinya. Tergambar
bahwa anak mempunyai "nilai .ekonomis", dalam arti untuk
membantu penghasilan keluarga. Dengan demikian, dapat
dimaklumi bila pada akhirnya nilai pendidikan bukan menjadi
hal yang utama dalam. pandangan suku ini. Nilai kerjalah
yang dominan bagi suku bangsa Melayu."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T38532
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Elva
"Di Indonesia penduduk lanjut usia (usia 60 tahun ke atas) diperkirakan semakin meningkat. Meningkatnya populasi lanjut usia (lansia) ini perlu diurmuskan kebijakan dan program yang ditujukan pada lansia sehingga dapat berperan dalam pembangunan dan tidak menjadi beban bagi masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi lansia di Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010 yang dilakukan selama 2 bulan (Maret-April 2010). Data primer yang diambil berupa pengukuran data antropometri (tinggi badan berat badan) dan wawancara untuk data karakterisik lansia (umur, jenis kelamin, status perkawinan, pengetahuan gizi, riwayat sakit dan gangguan suasana hati), faktor sosial ( tingkat pendidikan, status pekerjaan, status tinggal, aktifitas sosial), dan pola hidup (aktifitas fisik, kebiasaan merokok dan konsumsi makanan yaitu asupan energi dan protein).
Desain penelitian menggunakan cross sectional dengan kriteria inklusi lansia yang berumur 60 ke atas dengan jumlah sampel sebanyak 254 responden. Analisis yang digunakan adalah chi square, odd ratio dan multivariat regresi multinomial. Proporsi lansia yang berstatus gizi kurang hampir sama (24% dan19,7%). Hasil analisis dengan menggunakan regresi multinomial didapatkan variabel yang secara statistik berhubungan dan faktor dominan dengan status gizi kurang adalah variabel gangguan suasana hati dengan nilai OR=6,9, sedangkan variabel dominan pada status gizi lebih adalah variabel kebiasaan merokok.

In Indonesia, the elderly population (aged 60 years and over) are expected to rise in amount. Increasing proportion of elderly people (older) is required to formulate elderly policies and programs so them can play a role in development and not be a burden for the society.
This objective study aimed to determine factors associated with the nutritional status of elderly in Porsea Subdistrict, Toba Samosir District, Year 2010, North Sumatra Province which conducted within two months (March-April 2010). The primary data were taken in the form of measurements of anthropometric data (height and weight) and interview data for parent characteristics (age, sex, marital status, nutritional knowledge, mood disorder, history of illness) education level, employment status, living status, social activity, physical activity, smoking habits, and food consumption (energy and protein intake).
The study using cross sectional design with the inclusion criteria aged 60 above with the total sample of 254 respondents aged above 60 year. Chi square, odd ratio and multivariate multinomial regression analysis were used. The proportions of elderly who suffered from under nutrition was almost the same with the ovenutrition (24% and 19,7% respectively).
Results of data analysis using multinomial regression showed mood disorder was significantly correlated and dominant factors on undernourished status with the p-value of OR = 6,9, while the smoking habits was the dominant factors on the overnutrition."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T30833
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990, c. 1986
643.095 ISI
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hasugian, Sukardi W.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2010
S3550
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Vorega Badalamenti
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S664
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Anggraeni
"Sebagian besar masyarakat menyampaikan pengetahuan etnobotani secara lisan sehingga banyak dari pengetahuan mereka tidak terdokumentasikan. Tingkat pengetahuan etnobotani dipengaruhi oleh umur pada masyarakat. Namun, beberapa penelitian menyatakan bahwa tingkat pengetahuan etnobotani tidak dipengaruhi oleh umur. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendekatan etnobotani untuk mendokumentasikan pengetahuan etnobotani dan mengetahui pengaruh umur pada masyarakat pada tingkat pengetahuan tersebut.
Penelitian dilakukan pada masyarakat subetnis Batak Toba di Desa Peadungdung, Sumatera Utara. Pengumpulan data etnobotani dan deskripsi desa dilakukan dengan metode wawancara terbuka dan semistruktural. Analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif, yaitu mengelompokkan spesies tumbuhan berdasarkan kategori guna dan pendekatan kuantitatif, yaitu analisis UVs, ICS dan LUVI.
Hasil penelitian menunjukkan 163 spesies tumbuhan berguna dimanfaatkan oleh masyarakat dan dikelompokkan berdasarkan kegunaan, yaitu bahan pangan (71 spesies), kayu bakar (25 spesies), teknologi lokal (18 spesies), obat-obatan (92 spesies), konstruksi bangunan (13 spesies), tali-temali 15 spesies), pakan ternak (20 spesies), kerajinan (11 spesies), simbol (21 spesies) dan berpotensi ekonomi (12 spesies). Arenga pinnata merupakan spesies tumbuhan dengan nilai kultural (ICS) dan nilai guna (UVs) tertinggi. Bahan pangan merupakan kategori guna dengan nilai kepentingan lokal (LUVI) tertinggi, yaitu 9,9%. Tingkat pengetahuan etnobotani terendah pada kelompok responden berumur 17--30 tahun.

Orally delivery about ethnobotanical knowledge cause the knowledge is not documented. The level of ethnobotanical knowledge in a society?s are different based on the age. However, some studies suggest that the level of ethnobotanical knowledge are not affected by age. Therefore, the ethnobotanical approach needs to documenting the ethnobotanical knowledge and identify the knowledge level of the local society about the use of plants.
The study was conducted in Batak Toba sub-ethnic society in Peadungdung rural, North Sumatera. This study used open interview and semi-structured interview. The data were analyzed qualitatively by categorizing plant species based on their use dan quantitatively by measuring ICS, UVs and LUVI.
The result show that 163 species of plant are used which are as food (71 species), fuelwood (25 species), local technology (18 species), medicines (92 species), the building materials (13 species), ropes (15 species), fodder (20 species), crafts (11 species), symbols (21 species) and economic potential (12 species). Arenga pinnata is the species with the highest value of ICS and UVs. Food is the most important use category because have the highest value of local interests (LUVI), that is 9,9%. The lowest level of ethnobotanical knowledge goes to 17--30 years-old respondent."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S44378
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Leofitri
"Laki-laki pada keluarga Batak Toba memiliki peran yang penting karena membawa marga keluarganya dan dituntut untuk memiliki prestasi yang tinggi. Penelitian ini dilakukan untuk melihat perbandingan motivasi berprestasi dan urutan kelahiran psikologis pada remaja laki-laki Batak Toba. Motivasi berprestasi diukur menggunakan Achievement Motives Scale-Revised (AMS-R) yang disusun oleh Lang & Fries (2006) menghasilkan skor motivasi berprestasi hope of success dan fear of failure. Urutan kelahiran psikologis akan menggunakan alat ukur White-Campbell Psychological Birth Order Inventory (PBOI) yang disusun oleh Campbell, White & Stewart (1991) menghasilkan kategorisasi skor urutan kelahiran yang dipersepsikan oleh individu di dalam keluarganya. Responden penelitian sebanyak 124 laki-laki bersuku Batak Toba dan berusia 18-24 tahun. Hasil penelitian ini adalah terdapat perbedaan motivasi berprestasi hope of success pada urutan kelahiran psikologis remaja laki-laki di keluarga Batak Toba. Kemudian, ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan motivasi berprestasi fear of failure pada urutan kelahiran psikologis remaja laki-laki di keluarga Batak Toba.

Male in Batak Toba’s family have an important role because they inherit the family name and demanded to have high achievements. This research is aimed to find comparisons of achievement motivation and psychological birth order in male adolescence of Batak Toba tribe. In this research, achievement motivation measured with Achievement Motives Scale-Revised (AMS-R) developed by Lang & Fries (2006), which will result achievement motivation score in hope of success and fear of failure. Next, the researcher measured the psychological birth order with White-Campbell Psychological Birth Order Inventory (PBOI) developed by Campbell, White & Stewart (1991) which will give the categorization of respondent’s birth order that perceived by the individual in his family. Respondents in this research are 124 male adolescence, aged 18-24 and have Batak Toba’s tribe. The research found that there are differences of achievement motivation hope of success in psychological birth order male adolescence Batak Toba’s tribe and there is no difference of achievement motivation fear of failure in psychological birth order male adolescence Batak Toba’s tribe."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S56210
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>