"Timor Timur merupakan suatu wilayah kolonial Portugal
selama beratus-ratus tahun sebelum tahun 1976. Pada tahun
1974 Pemerintah Portugal memberikan hak konsesi minyak dan
gas bumi di wilayah Timor Timur kepada Oceanic dan
Petrotimor yang adalah perusahaan Amerika. Kedua perusahaan
tersebut telah melakukan eksplorasi di Timor Timur sampai
tahun 1976 yang terhenti karena terjadi pergolakan di
wilayah tersebut. Pada tahun 1976 rakyat Timor Timur
menyatakan berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pernyataan penyatuan Timor Timur tersebut
kemudian diundangkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1976.
Sejak saat itulah Timor Timur menjadi provinsi kedua puluh
tujuh dari Indonesia. Integrasi Timor Timur ke dalam
Indonesia mengakibatkan Indonesia memiliki kekuasaan untuk
mengelola minyak dan gas bumi di Timor Timur, yang terdapat
dalam Perjanjian Celah Timor 1991 (Timor Gap Treaty). Hal
ini merupakan bukti tindakan negara yang sah dan diakui
oleh negara lain. Kerjasama kedua negara terus berlanjut
sampai pada saat Pemerintah Indonesia memberikan referendum
kepada rakyat Timor Timur pada tahun 1999 dan rakyat Timor
Timur menyatakan kemerdekaannya dan melepaskan diri dari
Republik Indonesia. Dengan demikian Indonesia secara
otomatis keluar dari Timor Gap Treaty. Setelah Indonesia
tidak memiliki kepentingan lagi atas Timor Timur, tahun
2004 Oceanic dan Petrotimor mengajukan gugatan perdata pada
Pengadilan Amerika dimana Indonesia, Pertamina dan BP Migas
menjadi Tergugat atas pengalihan hak konsesi di Celah
Timor. Dalam hal ini pihak Indonesia merupakan penguasa
yang sah pada waktu itu dan semua tindakan pemerintah
Indonesia adalah sesuai dengan act of state doctrine. Sebab
tindakan negara tersebut dilakukan di wilayah kedaulatan
Indonesia sendiri. Dalam perkara ini hakim menerima dalildalil
pihak Indonesia sebagai act of state doctrine
berdasarkan FSIA 1976."