Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5733 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
cover
cover
cover
cover
Findra Setianingrum
"Infeksi saluran napas bawah merupakan salah satu infeksi penyebab kematian terbesar di dunia. Seiring dengan banyaknya kasus infeksi saluran napas bawah maka pemakaian antibiotik untuk mengatasinya pun semakin meluas, diantara antibiotik tersebut ialah siprofloksasin Oleh karena itu pola kepekaan bakteri, dalam hal ini bakteri gram negatif, perlu diketahui guna menjaga agar terapi yang diberikan pada pasien efektif dan tepat guna. Terlebih lagi, Laboratorium Mikrobiologi Klinik (LMK) Departemen Mikrobiologi FKUI merupakan laboratorium yang menerima spesimen dari banyak rumah sakit di Jakarta termasuk Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang merupakan rumah sakit rujukan nasional di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder isolat sputum tahun 2000-2005 di LMK FKUI yang mengandung bakteri gram negatif kemudian diuji sensitivitasnya terhadap siprofloksasin.
Metode penelitian yang digunakan ialah cross sectional. Hasilnya terdapat 2744 isolat bakteri gram negatif dengan tiga bakteri terbanyak yaitu Klebsiella pneumoniae ss pneumonia, Pseudomonas aeruginosa, dan Enterobacter aerogenes. Ketiga bakteri tersebut mengalami penurunan sensitivitasnya terhadap siprofloksasin (K. pneumoniae ss pneumonia: 79.90% ?³ 62.86%, Pseudomonas aeruginosa: 73.68% ?³ 52.20% dan Enterobacter aerogenes: 79.03% ?³ 61.36% ). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi penentu kebijakan di rumah sakit, klinisi, dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam penanganan kasus infeksi di Indonesia.

Lower respiratory tract infection (LRTI) is one of the biggest cause of death related to infections around the world. The spread of LRTI followed by the wide use of antibiotics, included ciprofloxacin. For that reason, bacterial sensitivity pattern, in this case gram negative bacteria, is important to be knew to get the effective therapy for patients. Moreover, Clinical Microbiology Laboratory FKUI is references of many hospitals in Jakarta include Ciptomangunkusomo Hospital (RSCM) which is national reference hospital. This research use secunder data from sputum isolates contain bacteria gram negative that entered to LMK Department of Microbiology FKUI in from 2000 until 2005. Then, the isolates is examined for their sensitivity pattern against ciprofloxacin.
The research metode for this research is cross sectional. The result of this research, there is 2744 isolates that contain bacteria gram negatives. The most common bacterias are Klebsiella pneumoniae ss pneumonia, Pseudomonas aeruginosa, and Enterobacter aerogenes. The sensitivity against ciprofloxacin in these three bacteria are decrease (K. pneumoniae ss pneumonia: 79.90% ?³ 62.86%, Pseudomonas aeruginosa: 73.68% ?³ 52.20% and Enterobacter aerogenes: 79.03% ?³ 61.36% ). This result could be used for further evaluation for stake holder in hospital, physician, and others that involved in control infection diseases in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Tablet moxifloxacin 400 mg telah dipasarkan di Indonesia untuk beberapa indikasi, yaitu bronkitis kronik eksaserbasi akut, pneumonia didapat di komunitas, dan sinusitis bakterial akut. Untuk menilai keamanan dan tolerabilitas moxifloxacin, dilakukan survei pasca pemasaran pada tahun 2001 yang melibatkan 589 dokter. Selain itu, dinilai pula efikasi kliniknya, baik oleh dokter maupun pasien, dengan menggunakan total skor 6 gejala yang berskala 0-12. Seluruhnya, diperoleh 1715 pasien dengan sinusitis akut, pneumonia didapat di komunitas, bronkitis kronik eksaserbasi akut dan infeksi lainnya yang diobati dengan moxifloxacin oral 400 mg sekali sehari. Sebanyak 151 (8,8%) pasien melaporkan efek samping dan 5 (0.29%) pasien mengalami efek samping serius, yang dianggap berhubungan dengan terapi moxifloxacin. Efek samping tersering adalah mual (4.96%), pusing (1.52%), muntah (0.64%), sakit kepala (0,47%), dan lemah (0,47%). Duapuluh tiga (1,34%) pasien menghentikan terapi akibat efek samping. Toleransi terhadap terapi dinilai sangat baik oleh 647 (37,7%) dan baik oleh 919 (53,6%) pasien. Berdasarkan penilaian klinis oleh dokter, 57,7% pasien dinyatakan sembuh dan 39.9% dinyatakan membaik di akhir terapi. Rerata skor gejala total, sebagaimana dinilai oleh pasien, turun dari 6,43 pada hari pertama menjadi 2,76 pada hari ketiga. Secara umum, 95.3% pasien merasa lebih baik setelah mendapat moxifloxacin dan 97,6% pasien memberikan kesan baik terhadap terapi moxifloxacin. Sebagai kesimpulan, survei pasca pemasaran ini menunjukkan bahwa pengobatan infeksi saluran napas oleh bakteri, terutama bronkitis, pneumonia komunitas dan sinusitis, dengan moxifloxacin 400 mg sekali sehari aman dan dapat ditoleransi dengan baik, dan juga bahwa moxifloxacin sangat efektif untuk pengobatan infeksi ini dengan perbaikan gejala yang cepat. (Med J Indones 2004; 14: 11-19)

Moxifloxacin 400 mg tablet has been marketed in Indonesia for several indications, i.e. acute exacerbation of chronic bronchitis (AECB), community-acquired pneumonia (CAP), and acute bacterial sinusitis (ABS). To assess the safety and tolerability of moxifloxacin, a post-marketing surveillance study was conducted in the year 2001 involving 589 physicians. Clinical efficacy was also evaluated, both by physicians and patients, using a 6-symptom total score, which was scaled 0-12. A total of 1715 patients with acute sinusitis, CAP, AECB, and other infections were treated with oral moxifloxacin 400 mg once daily. There were 151 (8.8%) patients with adverse events (AEs) and 5 (0.29%) patients with serious adverse events (SAEs) that were considered related to moxifloxacin treatment. The most common adverse reactions were nausea (4.96%), dizziness (1.52 %), vomiting (0.64%), headache (0.47%), and weakness (0.47%). Twenty three (1.34%) patients discontinued treatment due to adverse events. Tolerance to treatment was rated very good and good by 647 (37.7%) and 919 (53.6%) of patients, respectively. Based on physicians? clinical assessment, 57.7% of patients were cured and 39.9% were improved at the end of treatment. Mean total symptom score, as assessed by the patients, decreased from 6.43 on day-1 to 2.76 on day-3. Totally, 95.3% of patients felt better after receiving moxifloxacin and 97.6% of patients had good impression on moxifloxacin treatment. In conclusion, treatment of respiratory tract infections, mainly AECB, CAP and ABS, with moxifloxacin 400 mg once daily in this post-marketing surveillance was shown to be safe and well tolerated. Moxifloxacin was also shown to be highly effective in the treatment of these infections with rapid improvement of symptoms. (Med J Indones 2004; 14: 11-19)"
Medical Journal of Indonesia, 14 (1) January March 2005: 11-19, 2005
MJIN-14-1-JanMar2005-11
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Madeleine Ramdhani Jasin
"Latar Belakang: Induksi sputum merupakan metode alternatif untuk mendapatkan spesimen dari saluran respiratori bawah yang bersifat semi-invasif. Induksi sputum belum menjadi pemeriksaan standar pada anak, padahal sputum merupakan spesimen yang baik untuk berbagai pemeriksaan penunjang, misalnya pulasan sitologi dan biakan bakteri. Keberhasilan induksi sputum dalam mendapatkan spesimen dari saluran respiratori bawah pada anak masih diragukan. Tujuan: Mengetahui keberhasilan induksi sputum dalam mendapatkan spesimen dari saluran respiratori bawah pada anak dengan infeksi saluran respiratori bawah, toleransi induksi sputum, dan pola biakan dari spesimen sputum yang didapatkan. Metode: Penelitian potong lintang deskriptif pada subjek anak berusia 1 bulan hingga 18 tahun dengan infeksi respiratori bawah yang dipilih secara konsekutif. Subjek menjalani induksi sputum. Sputum diperiksa jumlah sel makrofag alveolar, kadar protein surfaktan A (SP-A), serta biakan bakteri aerob, atau pulasan bakteri tahan asam dan biakan M. tuberculosis. Hasil: Empat puluh orang subjek berpartisipasi dalam penelitian ini, induksi sputum berhasil dilakukan pada seluruh subjek. Usia termuda 2 bulan dan tertua 16 tahun 7 bulan. Sebagian besar subjek (27 dari 40 orang) didiagnosis dengan tuberkulosis, diikuti pneumonia dan bronkiolitis. Median durasi induksi sputum 45 menit, dan sebagian besar volume 3 atau 4 mL. Efek samping berupa perdarahan hidung (40%) dan muntah (2,5%). Jumlah sel makrofag alveolar lebih dari 5 buah ditemukan pada 97,5% subjek. Sementara, SP-A diperiksa pada 30 spesimen dan SP-A dideteksi pada seluruh spesimen dengan median 264,528 pg/mL. Pulasan bakteri tahan asam negatif pada seluruh subjek yang diperiksa, sementara biakan M. tuberculosis positif pada 1 dari 27 (3%) subjek. Biakan bakteri aerob positif pada 5 dari 13 (38,5%) orang subjek. Simpulan: Induksi sputum memiliki keberhasilan yang baik untuk mendapatkan spesimen dari saluran respiratori bawah pada anak dan aman dilakukan. Spesimen sputum yang diperoleh secara induksi memiliki hasil positif biakan bakteri aerob yang cukup baik.
Background: Sputum induction is an alternative method to obtain specimen from lower respiratory tract. Although sputum is a good specimen for various examination such as cytology and microbiological culture, sputum induction is not a standard method in children. The efficacy of sputum induction to obtain specimen from lower respiratory tract in children is unclear. Objective: To identify the efficacy of sputum induction to obtain specimen from lower respiratory tract in children with lower respiratory tract infection. Also, to identify side effects of sputum induction and the result of microbiological culture. Design: A cross sectional study was performed in children from age 1 month old to 18 years old with lower respiratory tract infection, consecutively. Subject underwent sputum induction, and specimens were examined for number of alveolar macrophage cell, surfactant protein A (SP-A) concentration, also aerobic microbial culture, or acid-fast bacili smear and M. tuberculosis culture. Result: Forty subjects participated in this study, and sputum induction was succesfully performed in all subjects. Youngest subject was 2 months old, while the eldest was 16 years 7 months old. Most subjects (27 of 40) were diagnosed with tuberculosis, followed by pneumonia and bronchiolitis. Median duration of sputum induction was 45 minutes, and majority of volume was 3 or 4 mL. Side effects were nose bleeds (40%) and vomiting (3%). Macrophage alveolar more than 5 cells in one specimen was found in 97.5% subjects. Laboratory examination for SP-A was performed in 30 subjects? specimens, and SP-A was detected in all examined specimens with median concentration 264.528 pg/mL. Culture for M. tuberculosis was positive in 1 of 27 subjects (3%), while acid fast bacili smear was negative in all examined subjects. Aerobic microbial culture was positive in 5 of 13 subjects (38.5%), Conclusions: Sputum induction has good efficacy in obtaining lower respiratory tract specimen and it is safe to perform in children. Specimen from sputum induction yields good positive result for aerobic microbial cultures."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>