Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160994 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Remigius Dewa
[place of publication not identified]: [publiser not identified], 1995
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Johannes Emmed Madjid Prijoharjono
"This article discusses the relevance of applying the concepts of source of origin and system of precedence, that provide legitimacy for the Mosalaki of Lio in their construction and production as well as reproduction of power in everyday life, especially in their traditional political system. The data analyzed in this article is the result of fieldwork undertaken in the villages of Nggela and Tenda, District of Wolojita, the Regency of Ende Lio, Flores, with qualitative methods, specifically through the techniques of in-depth interviews and participant observation. The Mosalakis, as a matter of a fact, dominate the traditional political system as rulers of adat and adat land. Their practices of power are manifested mainly in ritual activities and the management of traditional land rights. The legitimated rights are transmitted through patrilineal descent, and is based upon source of origin and system of precedence, that are embeded in Lio culture."
[Place of publication not identified]: [Publisher not identified], 2012
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tarsisius Florentinus Sio Sewa
"Interaksi antaretnis dan antarbudaya adalah realitas sosial yang tidak dapat dihindari terlebih di era globalisasi dewasa ini. Interaksi yang tidak dikelola secara baik dapat menimbulkan konflik dan ketidakseimbangan relasi. Interaksi yang tidak sehat dapat saja terjadi oleh karena stereotype, prejudice dan sikap etnosentrisme. Padahal interaksi yang baik menuntut adanya saling keterbukaan, saling pengertian dan upaya untuk masuk dan beradaptasi dengan budaya lain.
Hal yang sama dapat saja terjadi dalam interaksi antara etnis Ende dan Lio dengan etnis Cina dan Padang di Kota Ende, yang menjadi subyek penelitian Tesis ini. Dengan menggunakan paradigma konstruktivis dan pendekatan komunikasi antarbudaya, penulis menjelajahi realitas "communicative-style" ke-empat kelompok etnis yang saling berinteraksi, termasuk latarbelakang sosio-budaya, sosio-ekonomi dan sosio-religius yang mempengaruhinya.
Untuk memahami pola komunikasi dari mereka yang berinteraksi, penelitian tersebut secara khusus menyoroti enam ( 6 ) elemen Communicative-style Barnlund yang relevant 1) tema pembicaraan, 2) bentuk interaksi, 3) tatacara berkomunikasi, 4) cara merespons, 5) penyingkapan diri, dan 6) emphaty.
Etnis Ende, dengan karakter ekstrovert: banyak berbicara, bicara dengan suara keras dan emosi yang kadang tak terkendali, tidak sulit berinteraksi terutama dengan etnis Padang dan Lio. Mereka cenderung lebih dekat dengan etnis Padang karena kesamaan agama dan etnis Lio karena hubungan darah dan adat serta bahasa dan budaya yang relatif hampir sama. Berhadapan dengan Etnis Lio dan Padang, mereka dapat berbicara apa saja, mulai dari obrolan santai, obrolan serius, penyingkapan diri dan bahkan dengan etnis Lio sampai kepada tingkat emphaty. Sementara itu, interaksinya dengan etnis Cina masih sebatas tegur-sapa dan transaksi jual-beli. Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh medan interaksi yang terbatas antara keduanya.
Dengan karakter yang relatif lebih tenang, santun, ramah dan terbuka, etnis Lio dengan mudah dapat berinteraksi dengan etnis Padang, Cina dan Ende. Dalam interaksi di antara mereka, tampak bahwa etnis Cina cenderung lebih dekat dengan etnis Lio karena kesamaan agama dan karena medan interaksi yang cukup luas. Walaupun jarang ada emphaty dan penyingkapan diri; namun tegur-sapa, basa-basi, obrolan santai dan kadangkala obrolan serius, sering menjadi bagian dari komunikasi dan interaksi di antara mereka.
Meminjam istilah Norton dengan sembilan (9) "Communication characteristic"-nya, etnis Ende lebih banyak memperlihatkan perilaku: dominant, dramatic, contentious dan animated; dibandingkan dengan etnis Lio yang cenderung bersikap: relaxed, attentive, open dan Friendly. Sementara itu, etnis Cina cenderung berperilaku: Relaxed, Friendly, attentive khusus dengan etnis Lio dan dramatic, khusus dalam mempromosi barang dagangannya. Sedangkan etnis Padang sering menunjukkan perilaku yang Relaxed, Friendly dan kadangkala attentive khusus dalam interaksinya dengan etnis Ende.
Pemahaman yang baik tentang communicative-style akan membantu mereka yang berinteraksi untuk dapat "menempatkan diri" sebagai subyek yang trampil dan kompeten dalam berkomunikasi antarbudaya. Dengan demikian, keanekaan budaya yang tampak dalam keanekaan cara orang berkomunikasi, tidak menjadi halangan bagi terciptanya iklim komunikasi yang baik; tetapi sebaliknya, menyadarkan orang menerima perbedaan yang ada sebagai "kondisi terberi" guna saling melengkapi dan menyempurnakan demi "bonum commune" (kebaikan bersama). Karena kebaikan bersama adalah impian semua manusia, siapapun dia dan dari mana asalnya!

Interethnic and intercultural interaction is a social reality which can not be avoided, especially at the era of globalization, nowadays. Unmanaged interaction will bring conflict and unbalanced relation. Unhealthy interaction would be caused by stereotype, prejudice and ethnocentrism among communication participants. It could be concluded that a pleasant interethnic and intercultural interaction required openness, a deep insight and require effort to put our self in the other culture and also to adapt with that culture.
The same assumption may apply in communication and interaction between Endenese, Lionese and Chinese, Padangnesse in Ende, which is the subject of this Thesis research. By using Constructivism paradigm and intercultural communication approach, the researcher try to explore "communicative-style" of those four ethnics in their interaction including the influence of social-cultural, social-economic and social-religious background.
To understand the behavior of the communication participants, this research reflects six (6) elements of Barnlund's Communicative-Style: The Topics people prefer to discuss, their favorite forms of interaction ritual, repartee, self disclosure and the depth of involvement they demand of each other.
Endenese with their extrovert characters: speaks frequently, interrupts and un-controls conversations, speaks in a loud voice, have no difficulties to interact with the Padangnese and Lionese. They tend go closer with the Padangnese because of similarities in social-religious factor; and with the Lionese because of family and customary relationships, resembling in similar language and culture. With them, Endenese can cover various topics of conversation, beginning with a short conversation, serious-talk, self-disclosure and than empathy. Their interaction with the Chinese still restricted to small-talks and subjects related to trading. This fact is influenced by their restricted interactions-setting.
Lionese with their relaxed character: calm, simple, modest, friendly and open, can interact with Padangnese, Chinese and Endenese, easily. The Chinese tends go closer with the Lionese because of similarities in social religious factors and their interactions-setting is broad enough. Although, in daily interaction they seldom display empathy and self disclosure; but small-talks, a short conversation and serious-talk occasionally, often can be a part of their communication and interaction.
Based on Nortons technical-term and his nine (9) communication-characteristics, Endenese much more display these communication traits: dominant, dramatic, contentious and animated; comparing with Lionese which is relaxed, attentive, open and friendly. The Chinese tend to be relaxed, friendly, attentive, especially with the Lionese and dramatic especially in promoting their trading goods. Padangnese often are relaxed, friendly and sometimes attentive, especially with the Endenese.
A good understanding about communicative-style and its influencing factors would help the communication participants: Endenese, Lionese, Chinese and Padangnese, to "put themselves" as "competent-subject" in intercultural communication and interaction. Therefore, the variety of cultures that appear on the diversity communicative-styles, should not become a constraint to develop a good communication-climate; but on the other hand should make someone more aware of the importance of accepting differences with honesty and sincerity, to reach "bonumcommune". Because "bonum-commune" is a vision of all mankind, whoever and wherever they come!
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7073
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jatmiko
"ABSTRAK
Cekungan Soa adalah sebuah dataran rendah berbentuk lembah yang terjadi
karena letusan gunungapi purba pada Kala Pliosen sehingga membentuk kaldera. Pada
masa selanjutnya (Kala Pleistosen), kondisi cekungan berubah menjadi sebuah danau
besar dengan lingkungan yang subur, schingga telah mengundang berbagai makhluk
hidup (manusia dan binatang) datang dan menghuni di sekitar lingkungan danau tersebut.
Berdasarkan bukti-bukti temuan artefak dan ekofak yang didapatkan dalam penelitian,
kehidupan purba di wilayah ini diduga telah berlangsung sejak Kala Pleistosen Bawah -
awal Pleistosen Tengah (Morwood dkk, 1999)
Cekungan Soa yang mempunyai luas sekitar 35 x 22 km dan terletak sekitar 15
kilometer di timur laut kota Bajawa (ibukota Kabupaten Ngada, Flores Tengah) ini
memperlihatkan bentang alam yang khas terbuka, mengingatkan kita pada lingkungan
umum kehidupan Homo erectus. Kobatuwa yang menjadi fokus penelitian ini merupakan
salah satu bagian/lokasi dari sejumlah situs di wilayah Cekungan Soa dan teriftak di Desa
Piga, Kecamatan Soa, Kabupaten Ngada (Flores Tengah), Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT). Secara astronomis, posisi situs berada pada koordinat 08° 41° 17,4 " LS dan 121° 05' 16,4 " BT, serta berada pada ketinggian 325 meter di atas permukaan laut.
Secara geomorfologis, wilayah Soa merupakan sebuah cekungan yang dikelilingi
oleh dataran tinggi dan gunung api serta sebaran bukit-bukit kecil dan lembah-lembah
terjal yang di bagian tengahnya ditoreh oleh aliran sungai Ae Sisa yang mengalir arah
timur laut - barat daya (Suminto dkk, 1998). Secara stratigrafis, susunan batuan yang tersingkap di Cekungan Soa (dari tua ke muda) adalah sebagai berikut: Formasi Olakile, Formasi Olabula, Batugamping Gero, dan batuan Gunungapi Resen (Hartono, 1961).
Cekungan So tampil pertama kali dalam studi prasejarah berawal pada tahun
1960-an ketika Th. Verhoeven melakukan penelitian di wilayah ini dan menemukan
berbagai artefak batu di Situs Mata Menge, Boa Lesa, dan Lembah Menge. Berdasarkan
penemuannya yang berasosiasi dengan fosil Stegodon, Verhoeven menduga pembuat
artefak ini adalah manusia purba Homo erectus dan berasal dari kurun waktu sekitar
750.000 tahun lalu (Verhoeven, 1968). Hasil-hasil penelitian sejauh ini semakin mengkonfirmasikan hipotesis Verhoeven. Wilayah Cekungan Soa dalam kenyataan merupakan kompleks situs purba yang kaya akan artefak dan fosil fauna. Walaupun belum menemukan sisa manusianya, namun penemuan himpunan artefak dan fosil-fosil fauna (antara lain Stegodon, buaya, komodo, kura-kura darat, dan sejenis tikus besar) di berbagai situs di Cekungan Soa sudah diperkuat dengan data pertanggalan absolut, sehingga dapat diketahui umurnya secara pasti. Dengan demikian, hal ini semakin memastikan bahwa Homo erectus telah mendiami Cekungan Soa pada kurun waktu antara 900.000 - 700.000 tahun yang lalu (Morwood dkk, 1999).
Di wilayah Cekungan So in telah ditemukan sebanyak 12 lokasi/situs yang
mengandung temuan alat-alat bat Paleolitik yang berasosiasi dengan fosil-fosil tulang vertebrata. Temuan alat-alat batu yang berasosiasi dengan fosil-fosil tulang Stegodon dari hasil penelitian di Situs Kobatuwa secara nyata merupakan data yang sangat penting dan signifikan dalam perkembangan penelitian di wilayah Cekungan Soa. Dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya, temuan alat-alat batu yang didapatkan umumnya
hanya berupa alat serpih, namun dalam perkembangan penelitian belakangan ini ternyata alat-alat masif mulai banyak ditemukan. Hal ini sangat penting artinya, karena alat-alat
masif (seperti kapak perimbas dan penetak) yang selama ini diduga oleh para ahli
merupakan produk budaya manusia purba Homo erectus, sekarang telah banyak
dibuktikan keberadaannya di Situs Kobatuwa. Keberadaan alat-alat batu tersebut semakin
memperkuat bukti bahwa di wilayah Cekungan Soa (khususnya di Situs Kobatuwa)
pernah menjadi ajang aktivitas manusia masa lalu pada kurun waktu yang sangat tua
(Kala Pleistosen).
Melalui kailan arkeologi keruangan, tesis berjudul 'Pola Pemanfaatan Sumber
Daya Lingkungan Pada Kala Pleistosen di Situs Kobatuwa: Kajian Arkeologi Ruang
Skala Meso' ini diharapkan dapat mengungkapkan kehidupan masa lalu di Situs
Kobatuwa dan Cekungan Soa pada khususnya, terutama berkaitan dengan aspek
pemanfaatan sumber daya lingkungan di sekitar wilayah ini.

ABSTRACT
Soa Basin is a valley-shaped plain, which was formed by the eruption of an ancient volcano during the Pliocene period that created a caldera. In the next period, the Pleistocene, it turned into a big lake with lush environment, so that it tempted various
living creatures (both humans and animals) to come and inhabited the area arround the
lake. Based on the artifacts and ecofacts found at the site, life at this area has been going on since the Lower Pleistocene - Early Middle Pleistocene (Morwood et al, 1999).
The 35 x 22 km Soa Basin is located 15 km northeast of Bajawa (the capital of
Nada Regency, Central Flores). It has a unique open landscape that reminds us of the typical environment of Homo erectus. Kobatuwa, which is the focus of this research, is part of the sites within the Soa Basin area that is located at Piga Village, Soa District,
Nada Regency (Central Flores) in East Nusa Tenggara Province. Astronomically the site is situates at 08° 41° 17.4" Southern latitude and 121° 05' 16.4" Eastern hemisphere, and it is 325 m above sea level.
In terms of geomorphology, the So is a sunken area surrounded by highlands and
volcanoes, as well as small hills and steep valleys, which are cut in the middle by Ae Sisa River that flows in northeast southwest direction (Saminto et al, 1998).
Stratigraphically, the rock formations found at Soa Basin (from the old to the younger ones) are successively: Olakile, Ola Bula, Gero Limestone, and Recent Volcanic rocks (Hartono, 1961).
The Soa Basin was first introduced in the prehistoric studies in 1960s when Th.
Verhoeven carried out investigations at this arca and found some lithic artefacts at Mata
menge Site, Boa Lesa, and Lembahmenge sites. Based on the finds, which are associated with Stegodon fossils, Verhoeven assumed that the makers of those artifacts were Homo erectus that lived 750,000 years ago (Verhoeven, 1968). Results of investigations thus far further confirm Verhoevens hypothesis. In reality the Soa Basin area is a complex of
ancient sites rich in artifacts and fossils of fauna (among others Stegodon, crocodiles,
komodo lizards, land tortoises, and a species of big rats) at various sites within the Soa Basin area - which are supported by absolute dating - have enabled us to know their exact age. This confirms that Homo erectus had inhabited the So Basin 900,000 700,000 years ago (Morwood et al, 1999).
We have found 12 locations/sites that bear Palacolithic tools in association with
fossils of vertebrates bones. The discovery of lithic tools, which are associated with
fossils of Stegodon bones, at Kobatuwa Site is clearly an important and significant data in the development of researches at So Basin area. During previous investigations, the lithic tools found are mostly flakes, but eventually massive tool began to be found. This is important because massive tools, such as choppers and chopping tools, which have
long been thought bu experts to be the cultural products of Homo erectus, now exist at
the site of Kobatuwa. It proves that the Soa Basin - especially Kobatuwa Site - was once
a place where humans did their activities in the very old period (the Pleistocene.
By using the spatial archaeology study, this tesis the Pattern of Utilization of Natural Sources at the Site of Kobatuwa, Central Flores: Study of Meso-scale Spatial Archaeology' is hoped to be able to reveal the life at Kobatuwa Site and Soa Basin in particular, especially in relation to the aspect of utilization of natural sources around this area."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008
T39928
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Moch Andri W.P.
Yogyakarta: Kepel Pess, 2017
390.1 MOC p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Remigius Dewa
[place of publication not identified]: [publiser not identified], 1993
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Luntungan, Joyce J.A.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T36407
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tatat Sutarman Abdullah
Jakarta: Penebar Swadaya, 1996
526.9 TAT s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Adham Aditianto Rifky
"ABSTRAK
Situs Gresik Kota yang terletak di Kabupaten Gresik, Propinsi Jawa Timur, merupakan sebuah situs kota pelabuhan yang telah diokupasi semenjak paruh kedua abad XIV Masehi. Tetapi struktur fisik yang masih tersisa hingga kini di situs tersebut, kebanyakan berupa bangunan-bangunan peninggalan masa kolonial Belanda. Diantara banyak jenis bangunan masa kolonial yang terdapat di situs ini, bangunan hunian tampak mendominasi persebaran jenis bangunannya. Padatnya persebaran bangunan hunian di situs ini, tentunya memiliki dampak terhadap pendaya gunaan lahan bangunan di situs tersebut, hal ini dapat terlihat dari banyaknya bangunan yang berukuran kecil dan bertingkat di situs tersebut. Persebaran dari bangunan-bangunan hunian tersebut yang terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu, dapat diasumsikan berorientasi pada suatu kebutuhan. Karakter dari Situs Gresik Kota sebagai sebuah situs kota perdagangan yang terletak di pesisir, menyebabkan timbulnya asumsi lebih lanjut bahwa persebaran tersebut dilatari oleh kebutuhan akan kedekatan dengan pusat perekonomian, dalam hal ini pelabuhan serta pasar. Dengan berlandaskan asumsi diatas, maka dilakukanlah penelitian terhadap tingkat efisiensi pemanfaatan lahan bangunan dan persebaran dari bangunan-bangunan hunian di situs ini. Kesulitan dalam mengungkapkan nilai kronologis dari data penelitian ini, menyebabkan dilakukan tahapan justifikasi data dengan melakukakan perbandingan gaya bangunan terhadap bangunan_bangunan yang memiliki data kronologi pendirian dan basil penelitian-penelitian terdahulu terhadap bangunan-bangunan kolonial di Indonesia. Landasan dari tahapan ini adalah UURI No: 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, terutama pasal 1 ayat la. Data-data dari penelitian ini lalu dianalisis dengan menggunakan metode analisis bentuk, metode analisis tingkat efisiensi penggunaan lahan bangunan dan metode analisis hubungan tetangga terdekat serta analisis visual terhadap persebaran fitur berdasarkan pada sebuah peta persebaran fitur di situs ini.Setelah melampaui tahapan analisis-analisis tersebut, didapat kesimpulan bahwa bangunan- bangunan hunian di situs ini memiliki tingkat efisiensi pemanfaatan lahan bangunan yang cukup baik, karena umumnya memiliki denah yang sederhana, serta telah melakukan pemanfaatan lahan secara vertikal. Persebaran bangunan-bangunan hunian di situs ini, pada umumnya berorientasi terhadap jaringan jalan baik jalan primer maupun jalan sekunder, hal ini dibuktikan dengan adanya pola persebaran bangunan yang teratur.

"
1996
S11823
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>