Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 157740 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Juri Ardiantoro
"Penelitian ini secara umum berusaha menggambarkan dan menganalisis konteks perubahan politik Indonesia, khususnya pemilu yang diselenggarakan tahun 1999. Secara khusus penelitian ini menganalisis hubungan-hubungan dinamik dalam Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahun 1999, yang menyangkut unsur-unsur negara dengan aktor-aktor dan struktur-struktur politik lain dalam penyelenggaraan pemilu di era transisi.
Penelitian mencakup empat isu utama yang tercermin dalam tujuan penelitian, yakni: (1) Pemilu'99 dalam konteks transisi politik Indonesia; (2) kelembagaan penyelenggara Pemilu di Indonesia, khususnya KPU Pemilu 1999; (3) bekerjanya unsur-unsur negara dalam struktur kelembagaan dan kinerja KPU Pemilu 1999; dan (4) peranan politik demokratik KPU'99 dalam meletakan landasan yang kokoh bagi pembaharuan (reformasi) kelembagaan politik di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mendasarkan pada paradigma konstruktivisme. Sedangkan Iandasan teoritiknya menggunakan teori dialektika agensi-struktur dalam teori strukturasi Anthony Giddens. Dan, metode pengumpulan data yang digunakan adalah mengkombinasikan metode wawancara mendalam, studi dokumentasi dan observasi.
Penelitian ini berhasil mengajukan dun kesimpulan utama, yaitu kesimpulan praktik politik dan teoretik. Kesimpulan praktik secara umum menggambarkan bahwa perubahan politik (menuju demokrasi) selalu menghasilkan polarisasi kekuatan-kekuatan politik, baik di tingkat negara maupun di akar rumput (grass roots). Pada konteks yang lebih lanjut, perubahan ini tentu saja menyulut terjadinya ketegangan, konflik, dan tarik menarik kepentingan antara aktor-aktor politik yang bermain.
Pada lingkup yang lebih mikro di KPU, polarisasi politik tidak saja bersumber dari latar belakang ideologi, kultur dan sikap politik masa Ialu aktor-aktor tersebut. Oleh karena di era transisi politik ini terjadi ketidakpastian mengenai apa yang akan terbentuk dan terlembagakan, maka, polarisasi kekuatan politik jug bersumber dad usaha-usaha memperebutkan peluang sekaligus mengukuhkan pengaruhnya pads konstruksi politik yang akan terbentuk nantinya. Cara yang ditempuh antara lain terlibat dalam mempengaruhi pembuatan dan implementasi segala perangkat aturan. Karena, peraturan-peraturan yang akan muncul akan sangat menentukkan sumber sumber mana yang secara sah boleh dikerahkan ke arena individual dan politik, serta pelaku-pelaku mana yang diperkenankan masuk dan terlibat.
Apa yang terjadi di KPU adalah cerminan bagaimana masing-masing aktor itu menggunakan legitimasi dan kebenaran yang dimilikinya untuk memainkan peranan politik tersebut. Akibatnya, aturan yang di satu sisi memberikan dasar legitimasi bagi keberadaan dan kinerja KPU, tetapi pada sisi yang lain telah menyumbang berbagai kontroversi dan kontradiksi politik.
Pada saat negara menjadi bagian yang ikut bennain dalam pertarungan tersebut yang lebih paralel dengan arus utama (mainstream) politik publik justeru gagal meyakinkan sebagian besar politisi di KPU untuk mengambil sikap dan tindakan politik yang sejalan. Sebabnya, negara tidak sepenuhnya mampu mengontrol dinamika politik yang ada dengan sumber-sumber alokatif maupun kekuatan ototritatif dan kapasitas organisasionalnya di satu sisi, sementara itu,di pihak negara pun kekuatannya terfragmentasi, tidak utuh. Sementara pada saat yang sama, para aktor di KPU justru dengan bebasnya memainkan dan menginterpretasikan kepentingannya.
Sedangkan kesimpulan teoretik dalam penelitian ini dapat menggambarkan temuan-temuan teoretik yang pads dasarnya konfirmasi atau penguatan terhadap "kebenaran" teori tersebut. Namun demikian, modifikasi atas beroperasinya teori ini juga nampak.
Tidak adanya dominasi baik antara agen-agen politik yang bertarung, maupun struktur-struktur politik yang tersedia dan diproduksi di KPU selama penyelenggaraari Pemilu'99 membuktikan bahwa Giddens dalam hal ini besar: determinasi terhadap proses sosial (politik), bukan terletak pads salah satunya, tetapi keduanya saling mengandaikan. Sehingga kekuasaan atau power yang dapat terbentuk, diraih atau dikuasai juga terbukti pada sejauhmana para pelaku (actor) politik itu menguasai dan memproduksi struktur-struktur (baik legitimasi, dominatif, maupun signifikansi) yang ada.
Dengan memahami dinamika di KPU, apa yang disebut relasi agensi-struktur sangatlah bersifat relatif. Artinya, apa yang disebut agensi pada beberapa kasus dapat bertindak sebagai struktur; demikian juga sebaliknya. Bahkan pada saat ia bertindak pada salah satunya, dalam waktu yang bersamaan dapat secara otomatik bertindak atas yang lainnya. Agensi, termasuk negara juga seringkali bukanlah sebuah entitas yang tunggal, namun terfragmentasi sedemikian rupa, demikian juga sebaliknya.
Path pain-inilah peneliti kemudian mengajukan kritik terhadap teori Giddens. Sesungguhnya relasi agensi-struktur bukan saja bersifat komplementer sehingga dikatakan struktur dapat memediasi (mediating) tindakan agensi, tetapi masing-masing sesungguhnya saling melekatkan (embeddeding). Penyamaan aktor dalam praktik-praktik sosial tidaklah dapat diterima sepenuhnya, karena, seringkali diantara aktor- aktor itu menegasikan aktor lain (yang lebih rendah "strata"), terutama menyangkut keputusan atau kebijakan. Selain itu, teori ini belum juga memberikan penjelasan lebih detail mengenai praktik-praktik politik yang tidak tunggal atas isu yang sama, pads ruang (space) dan waktu (time) yang sama pula; padahal baik ruang maupun waktu menurutnya bukanlah arena atau panggung atau tindakan melainkan unsur konstitutif dan pengorganisasian."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, [2003;2003, 2003]
T209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Zaini
"Sejak Mei 1998, bangsa Indonesia mengalami perubahan politik yang biasa dikenal dengan sebutan reformasi. Reformasi, tentu saja dikaitkan dengan usaha untuk melakukan perubahan menuju sistem politik yang demokratis, baik nasional maupun lokal. Tentu saja perubahan-perubahan yang terjadi akan membawa implikasi yang sangat luas terhadap kehidupan politik nasional. Salah satu yang paling menonjol adalah perubahan sistem kepartaian, dari sistem tiga partai menjadi sistem banyak partai. Kemenangan PDI Perjuangan pada pemilihan umum 1999 di kab. Serang, menarik untuk dikaji tentang variabel-variabel yang menyebabkan partai Islam kurang mendapat respon positif dari pemilih muslim.
Fenomena tersebut dirumuskan dalam bentuk pertanyaan: bagaimana pandangan masyarakat terhadap hubungan agama dan politik, bagaimana pandangan masyarakat tentang pelaksanaan pemilihan umum 1999, dan mengapa partai politik Islam kurang mendapat dukungan suara pada pemilihan umum 1999 di kabupaten Serang.
Tesis ini membatasi masalah di sekitar pelaksanaan Pemilihan Umum 1999. Penelitian ini berlokasi di kabupaten Serang, dengan sampel empat kecamatan, yaitu kecamatan Petir, Cikeusal, Pamarayan, dan Cikande. Sedangkan penentuan responden digunakan teknik sampling, yaitu area random sampling. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan didukung oleh teori-teori kepustakaan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka, angket, wawancara, observasi, sedangkan analisis data menggunakan pendekatan kualitatif.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa pemilihan umum 1999 dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh bangsa dan negara Indonesia saat ini. Meskipun masih diliputi oleh berbagai kekurangan, masalah, dan penyimpangan dalam pelaksanaannya, pemilihan umum 1999 dinilai oleh banyak pihak lebih demokratis dan memenuhi syarat sebagai free and fair election.
Kemenangan PDI Perjuangan pada pemilihan umum 1999 menunjukkan bahwa penggunaan isu-isu agama untuk dimanipulasi bagi kepentingan politik sudah tidak mempan lagi. Hasil ini membuktikan bahwa PDI Perjuangan justru mendapat dukungan yang signifikan dari umat Islam sebagai pemilih mayoritas di kabupaten Serang."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10256
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairul Fahmi
Jakarta : Rajawali, 2011
324 KHA p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Toip Heriyanto
"Pemilihan umum yang telah dilaksanakan pada tahun 2004, sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (1) W Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, dinyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Dalam sistem itu para pemilih diharuskan untuk memilih dua tanda gambar, yaitu tanda gambar partai politik dan tanda gambar orang sebagai calon anggota legislatif Selain itu, dalam sistem pemilihan umum proporsional ini, diatur juga mengenai asas yang dipergunakan yaitu asas langsung, umum, bebas dan rahasia (Luber) dan asas jujur dan adil (Jurdil). Dengan penggunaan sistem pemilihan yang proporsional dan penggunaan asas Luber dan Jurdil, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah :
1. Apakah pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD itu telah-benar dilaksanakan secara langsung, dalam arti rakyat memilih secara langsung anggota DPR dan DPRD sesuai dengan yang diinginkan atau sesuai dengan kehendak hati nuraninya tanpa perantara ?
2. Seberapa besar sebenarnya peran partai politik dalam proses penentuan para caleg dan caleg terpilih untuk menjadi anggota DPR ? Dan, apakah ada hubungannya antara peran partai politik dalam proses penentuan para caleg dan caleg terpilih tersebut dengan penerapan sistem pemilihan umumnya itu sendiri ?"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T19787
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zuliansyah
"Penelitian ini berfokus pada pemenuhan hak memilih anggota TNI dan Polri dalam pemilihan umum. Anggota TNI dan POLRI dilarang memilih dalam pemilihan umum, sementara UUD 45 menjamin hak untuk memilih dalam pemilihan umum bagi semua warga negara Indonesia (yang sudah berusia 18 tahun atau lebih) dan dalam prinsip hak asasi manusia, hak memilih merupakan hak setiap individu sebagai warga negara. Berdasarkan hal tersebut, timbul pertanyaan sebagai berikut: (a) Mengapa terjadi pelarangan hak untuk memilih dan dipilih bagi anggota TNI dan Polri? (b) Bagaimana persepsi masyarakat terhadap hak memilih anggota TNI dan Polri dalam pemilihan umum?, (c) Bagaimana persepsi anggota TNI dan Polri dalam menyikapi hak memilih mereka? (d) Bagaimana Hak memilih anggota TNI dan Polri dalam perspektif hak asasi manusia?, dan (e) Apa yang sepatutnya dilakukan oleh DPR dan pemerintah dalam pemenuhan hak memilih bagi anggota TNI dan Polri pada pemilihan umum?
Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan historis dan deskriptif,, dilakukukan dengan penelitian pustaka dan penelitian lapangan. Informan berasal dari anggota TNI, Polri dan masyarakat sipil, sedangkan narasumber dipilih dari dari kalangan TNI dan Polri, peneliti, akademisi, anggota DPR, dan praktisi hak asasi manusia. Janis data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Dengan menggunakan purposive sampling dan wawancara terfokus.
Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa: a) Pembatasan hak memilih bagi anggota TNI dan Polri dalam pemilihan terjadi mulai pemilu ke-2, yaitu pemilu tahun 1971, pemilu 1977, pemilu 1982, pemilu 1987, pemilu 1992, pemilu 1997 dan pemilu 1999, sebagai konsekuensi atas diangkatnya perwakilan TNI dan Polri dalam legislatif; b) Persepsi masyarakat dan persepsi anggota TNI dan Polri terhadap hak memilih anggota TNI dan Pohi beragam, ada yang setuju dan ada yang tidak setuju dengan berbagai argumen; c) Dalam perspektif hak asasi manusia bahwa hak memilih anggota TNI dan Polri adalah hak asasi individu TNI dan Polri sebagai warga negara yang harus diberikan. Pembatasan hak memilih bagi anggota TNI dan Polri bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan UUD 45. Hasil penelitian menyarankan bahwa: a) Perlu merevisi undang-undang yang membatasi hak memilih bagi anggota TNI dan Polri dan menyiapkan mekanismelperaturan pelaksananya; b) Perlu mempercepat proses reformasi TNI dan Polri; c) Perlu regulasi tegas untuk mencegah pemanfaatan hierarki komando yang mengarahkan orientasi politik anggota TNI.; dan d) perlu diberikan pendidikan politik, demokrasi, hukum dan hak asasi menusia yang balk kepada anggota TNI dan Polri.

General elections as a tool for community to provide their political rights to vote and elected which conducted in a direct, general, free, and secret manner. As arranged in article 22E paragraph (1) of National Constitution 1945, article 43 paragraphs (1), (2) and (3) of Human Rights Law 1999, article 25 of International Covenant Civil and Political Rights (ICCPR). The right to vote and elected as a rights for Indonesia citizens without any discrimination, according to regulation in article 27 paragraph (1) and article 281 paragraph (2) of National Constitution 1945. Although, in Indonesia has law which limitate the right to vote for military and police officials as follows: article 145 of Law No. 12 Year 2003 on General Elections for House of Representative and Regional People's Representative Council, article 102 of Law No. 23 Year 2003 on Regional Government, article 28 paragraph 2 of Law No. 2 Year 2002 of Indonesia Police, article 39 paragraph 4 Law No. 34 Year 2004 on Indonesia Military. Based on that, hoisted questions as follows: (a) why it has restrictions on the right to vote for military and police officials? (b) how the community perceptions on the right to vote for military and police officials? (c) how the military and police officials perceptions in order to response their right to vote? (d) how the right to vote for military and police officials in human rights perspective? (e) what should House of Representative perform as legislative agency and government as executive agency in regulate of the right to vote for military and police officials in general elections?
This research has using qualitative descriptive type which conducted by library and field research. The informants are from military officials, police officials and civil community, subsequently the resources elected from military, police, researchers, academicians, house of representative members, and human rights practitioners. The type of data which used is composed from secondary and primary data which obtained by using sampling purposive and focus interview.
According to this research could be summarized that: a) Limitations of the right vote for military and police officials in general election started from second general elections in 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 and 2004. That limitations as consequence on elected as House of Representative members from military and police officials; b) a variety of community perception on the right to vote for military and police officials, there are some agree and disagree with many reasons; c) diverse military and police view on the right to vote, there are some agree and disagree with many reasons; d) in human rights perspective that the right to vote for military and police officials as individual rights also a citizens that have to given. The limitations of the right to vote for military and police officials aligned with article 22E paragraph (2), article 27 paragraph (1), article 28 paragraph (1) and article 281 paragraph (1) of National Constitution 1945, article 43 paragraph (1), (2) and (3) of Human Rights Law No. 39 Year 1999, and article 25 of 1CCPR. Therefore, it needed efforts to response the right to vote for military and police officials are: a) the right to vote for military and police officials should arranged immediately in a policy which prepared by government; b) to process shortly of military and police reforms and to prepare clear and legal regulations; c) to put attention on welfare from military and police officials; d) should have stern regulations to prevent using of commando hierarchy which deliver to the political orientation for military and police officials; e) to give a good political, democracy, legal and human rights education for military and police officials.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20698
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahsanul Minan
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang penerapan asas opovov dan proporsionalitas dalam
penghitungan suara dan perolehan kursi pada Pemilu Anggota DPR RI Tahun
2009. Penelitian ini sangat menarik karena metode penghitungan suara pada
Pemilu tahun 2009 memiliki perbedaan yang mendasar dibandingkan dengan
pemilu sebelumnya, dengan mengintrodusir penghitungan kursi dalam 4 tahap
dengan tujuan untuk mencapai proporsionalitas hasil pemilu. Di sisi lain, hingga
saat ini belum terdapat penelitian dari sisi hukum dan politik mengenai hal ini.
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Kajian dilakukan dengan
melacak penerapan asas opovov dan proporsionalitas terhadap norma dalam UU
Pemilu, Peraturan KPU, Putusan MA mengenai uji materiil terhadap Peraturan
KPU, dan Putusan MK terkait pengujian undang-undang Pemilu, serta melakukan
kajian perbandingan terhadap sistem pemilu di Denmark yang juga menerapkan
sistem pemilu proporsional.
Hasil penelitian menemukan bahwa alih-alih menghasilkan proporsionalitas,
metode penghitungan suara tersebut justru menghasilkan terlanggarnya asas
opovov dan menyebabkan munculnya disproporsionalitas, terutama dalam
penghitungan tahap ketiga. Hasil penelitian ini menyarankan penggunaan
modified proportional systems untuk mendorong tercapainya hasil pemilu yang
proporsional, dengan membagi kursi DPR RI menjadi 2 bagian yakni kursi
konstituensi, dan kursi kompensasi. Kursi konstituensi diperebutkan di tingkat
dapil, sedangkan kursi kompensasi diperebutkan di tingkat nasional.

ABSTRACT
This thesis focuses on the application of the one person one vote one velue
(opovov) and proportionality principles at the votes counting and seats
distribution systems in the 2009 General Election. This study is very interesting
because the method of vote counting in the election of 2009 had a fundamental
difference compared with previous elections, which introduced seats distribution
systems into 4 stages with the aim of achieving proportionality of election results.
On the other hand, there has been no legal and political study on this.
This is a normative legal study. It done by tracking the implementation of the
opovov and proportionality principles and norms in the election law, KPU
regulation, the Supreme Court Decision regarding judicial review of the KPU
Regulation, and the Constitutional Court's decision related to constitutional review
on the respective election law, and also comparative studies of the electoral
system in Denmark which is also implementing the proportional system.
The results found that instead of generating proportionality, the counting method
would result in violation of the principle of opovov, and led to the disproportional
result, especially in the third stage. Results of this study suggest the use of
modified proportional systems to encourage the achievement of the proportional
election results, by dividing the House of Representatives seats into 2 parts
namely the constituency seat and the compensation seats. The constituency seats
contested at the level of constituencies, while the compensation seats contested at
the national level."
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35726
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Kuncoro
"Tesis ini menguraikan tentang proses politik di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) saat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum (Pemilu) yang melibatkan sembilan fraksi partai politik hasil Pemilu 2009, yakni Partai Demokrat, Partai Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Gerakan Indonesia Raya, dan Partai Hati Nurani Rakyat.
Permasalahannya adalah bagaimanakah proses tarik menarik kepentingan politik antarfraksi tersebut yang menghasilkan konflik dan konsensus, khususnya terkait dengan empat isu krusial yakni sistem pemilu, alokasi kursi per daerah pemilihan, ambang batas parlemen, dan metode penghitungan suara menjadi kursi. Setelah dilakukan lobi politik intensif antara Pimpinan DPR-RI dan Pimpinan Fraksi akhirnya isu sistem pemilu dan alokasi kursi per daerah pemilihan pengambilan keputusannya dilakukan secara musyawarah mufakat sehingga tercapai konsensus, sedangkan isu ambang batas parlemen dan metode penghitungan suara menjadi kursi pengambilan keputusannya dilakukan dengan pemungutan suara.
Teori yang digunakan adalah Teori Konflik dari Maurice Duverger, Teori Konsensus dari Maswadi Rauf, Teori Sistem Pemilu dari Ben Reilly, Andrew Reynolds dan Miriam Budiardjo, Teori Partai Politik dari Miriam Budiardjo, Sigmund Nuemann dan Alan Ware serta Teori Perwakilan dari Hanna Fenichel Pitkin, Miriam Budiardjo dan Bintan R. Saragih. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik analisa deskriptif analitis dan wawancara mendalam dengan anggota fraksi yang terlibat dalam proses politik tersebut.
Hasil temuan penelitian ini menunjukkan bahwa konflik antarfraksi politik dalam pembahasan RUU Pemilu di DPR-RI tidak mengindikasikan adanya perjuangan ideologi politik, tetapi lebih dimotivasi oleh orientasi dan kepentingan politik praktis semata-mata yang bersifat pragmatis dalam rangka meraih kekuasaan secara demokratis melalui rekayasa UU Pemilu yang kompromistis. Teori Konflik (sebagian), Teori Konsensus, Teori Sistem Pemilu, Teori Partai Politik, dan Teori Perwakilan berimplikasi positif terhadap konflik dan konsensus antarfraksi dalam pembahasan RUU Pemilu di DPR-RI.

This thesis discusses about the political process in the House of Representatives of the Republic of Indonesia (DPR-RI) during the discussion of Election Bill, which involved nine factions of political parties from 2009 Election: Partai Demokrat (Democratic Party), Partai Golongan Karya (Working Group Party), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Indonesian Democratic Party-Struggle), Partai Keadilan Sejahtera (Prosperous Justice Party), Partai Amanat Nasional (National Mandate Party), Partai Persatuan Pembangunan (United Development Party), Partai Kebangkitan Bangsa (National Awakening Party), Partai Gerakan Indonesia Raya (Great Indonesian Movement Party), and Partai Hati Nurani Rakyat (People's Conscience Party).
The problem was how the power interplay among these factions created conflict and consensus about four crucial issues: election system, allocation of seats for each electoral district, parliamentary threshold, and method of turning votes to seats. After an intensive political lobbying between the chairman of the House and the factions’ leader, the decision on election system and allocation of seats was made by deliberation, while the decision on parliamentary threshold and method of turning votes was reached by voting.
The theories applied in this study are Conflict Theory by Maurice Duverger, Consensus Theory by Maswadi Rauf, Election System Theory by Ben Reilly, Andrew Reynolds and Miriam Budiardjo, Political Party Theory by Miriam Budiardjo, Sigmund Nuemann and Alan Ware, and Representation Theory by Hanna Fenichel Pitkin, Miriam Budiardjo and Bintan R. Saragih. This is a qualitative study with descriptive analytical techniques and deep interviews with the factions’ members involved in that political process.
The findings of this study show that the conflict among factions in the discussion of Election Bill in the House of Representatives was not driven by a struggle for certain political ideologies, but by pragmatic, practical, political orientations and interests to gain power democratically through a compromising election bill scheme. Conflict Theory (in part), Consensus Theory, Election System Theory, Political Party Theory, and Representation Theory had a positive implication in the conflict and consensus occurring in the discussion of Election Bill in the House of Representatives of Republic of Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T33302
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Habibi Kurniawan
"Salah satu aturan main yang harus dirumuskan didalam proses pelaksanaan pemilu yang demokratis adalah perumusan terkait mekanisme sistem pemilu beserta instrument- instrumen kepemiluannya. Sistem pemilu adalah instrument teknis pelaksanaan pemilu yang digunakan untuk menentukan keterpilihan suatu partai politik atau calon anggota legislatif didalam proses transisi kekuasaan. Di Indonesia, dari masa ke-masa terkait mekanisme sistem pemilu menjadi perdebatan didalam proses perumusan Undang- Undang Pemilu. Peristiwa ini-pun terjadi didalam proses pembahasan UU No 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD terkait empat isu krusial yani sistem pemilu, ambang batas parlemen (parliamentary treshold), alokasi kursi ke dapil dan metode konversi suara menjadi kursi. Sikap PDI Perjuangan mengenai pembahasan sistem pemilu merupakan kepentingan dari keberadaan partai politik sebagai peserta pemilu didalam proses perebutan kekuasaan secara konstitusional dan berdasar atas pengalaman dan sejarah kepesertaannya didalam proses pemilu di Indonesia.
Teori yang digunakan didalam penelitian ini adalah teori sistem pemilu Arend Lijphart, teori model kebijakan partai politik Hans Deiter Klingeman, teori ideologi Terrence Ball, teori elit dan teori konsensus dan konflik Maswadi Rauf dan Maurice Duverger. Penelitian in menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian ini akan menggunakan dua teknik pengumpulan data, yakni data yang diperoleh dari wawancara yang akan digunakan sebagai sumber data primer dan studi kepustakaan (literature review) yang digunakan sebagai sumber data sekunder.
Kesimpulan penelitian bahwa sebagai sebuah proses politik, Fraksi PDI Perjuangan memiliki alasan atas kepentingan politik terkait empat isu krusial didalam pembahasan UU No 8/2012 Tentang Pemilu. Kepentingan politik yang dioperasionalkan dari pemahaman ideologis partai dalam proses tarik menarik kepentingan politik (political-interplay) didalam proses pembuatan undang-undang Pemilu No 8 Tahun 2012. Akan tetapi, keputusan yang diambil berdasarkan kompromi merupakan keputusan yang moderat untuk diambil diantara banyaknya perbedaan di antara fraksi-fraksi.
Implikasi teoritis menunjukkan bahwa pendekatan model kebijakan partai politik didalam prosedur negara demokratis, pendekatan elit dan konsensus politik telah memberikan implikasi positif terhadap proses pengambilan keputusan pembahasan Undang-Undang No 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD.

Among the rules that must be formulated in the process of a democratic election is one involving the mechanisms of an electoral system and its associated instruments. The electoral system is implemented as a technical instrument to determine the desirability of a political party or legislative candidate in the process of their transition to power. In the Republic of Indonesia, from time to time there has been considerable debate over the mechanisms of an electoral system during the process of formulating its Election Laws. Such a debate had then ensued during the discussion of Law No. 8 of 2012 on the Election of Members of DPR, DPD and DPRD, involving four crucial issues: the election system, parliamentary threshold, the allocation of seats to the constituencies and conversion methods of votes into seats. On that, the Indonesian Democratic Party of Struggle made a political stance that had been within the interest of political parties in their constitutional struggle for power, based on contesting history and experience in the election process of Indonesia.
The fundamental theories used in this study include Arend Lijphart's theory on the electoral system, Hans Deiter Klingeman's theory on the policy models of political parties, Terrence Ball's theory on ideology and Maswadi Rauf & Maurice Duverger's theories on the elite, consensus and conflicts. This study utilized qualitiative methods of research in its two techniques of data collection. Data obtained from interviews were used as the primary source, while literature references were used as the secondary source.
This study concluded that as a political process, factions in the Indonesian Democratic Party of Struggle had reasons within their political interest involving the four crucial issues in the discusssion of Law No 8/2012 on Elections. In the political process, Indonesia Democratic Party of Struggle implied the ideological platform. Although a decision was ultimately reached based on compromise, it had been moderacy taken from the various differences between factions of the political parties.
Theoretical implications show that in the procedures of a democratic country, the approaches of policy models of political parties, elite and political consensus gave positive implications for the decision making process in the discussion of Law No. 8 of 2012 on DPR, DPD and DPRD Elections.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T38966
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ganjar Pranowo
"Sejak Pemilu 1955 sampai dengan Pemilu 2009, perdebatan tentang keikutsertaan partai politik sebagai bagian dari penyelenggara pemilu sudah menjadi perdebatan dikalangan partai politik di DPR. Dalam pembahasan Revisi Undang-Undang No 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, persoalan independensi penyelenggara pemilu inipun muncul. Fraksi PAN, fraksi PD dan Pemerintah pada awalnya menolak usulan fraksi-fraksi lain di DPR untuk memasukkan unsur partai politik sebagai bagian komisioner Penyelenggara Pemilu. Trauma atas fenomena kasus Pansus DPT pemilu 2009 dan Panja Mafia Pemilu di DPR memberikan indikasi bahwa kredibilitas dan integritas Penyelenggara Pemilu periode 2009 belum optimal. Akhirnya, didalam proses pengambil keputusan akhir di DPR terkait independesi KPU, fraksi PAN, fraksi PD dan Pemerintah mengubah sikap politiknya untuk mengikuti keinginan fraksi-fraksi lain di DPR. Mengapa fraksi PAN, fraksi PD dan Pemerintah akhirnya merubah sikap politiknya?
Teori yang digunakan didalam penelitian ini adalah teori demokrasi dan pemilu Juan Linz, Larry Diamond, dan Seymour Martin Lipset, teori kebijakan partai politik Hans Deiter Klingeman, teori elit Getano Mosca dan Robert Putnam, dan teori konsensus dan konflik Maswadi Rauf dan Maurice Duverger. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian ini menggunakan dua teknik pengumpulan data, yakni data yang diperoleh dari wawancara yang digunakan sebagai sumber data primer dan studi kepustakaan (literature review) yang digunakan sebagai sumber data sekunder.
Kesimpulan penelitian bahwa sebagai sebuah proses politik, maka keputusan yang diambil berdasarkan kompromi merupakan keputusan yang paling moderat yang dapat diambil diantara banyaknya perbedaan di antara fraksi-fraksi termasuk Pemerintah. Oleh karena itu keputusan yang diambil merupakan keputusan yang demokratis sebagaimana tesis Hans Deiter Klingeman bahwa prosedur yang demokratis semestinya menghasilkan kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan kehendak rakyat luas. Implikasi teoritis menunjukkan bahwa pendekatan konsensus politik, kebijakan partai politik didalam prosedur negara demokratis dan pendekatan elit telah memberikan implikasi positif terhadap proses pengambilan keputusan pembahasan Revisi UU No 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.

Since general election 1955 to 2009, the discussion of involvement of political parties as part of Electoral Commission Bodies have appeared among policy makers. In Discussion Revision Act No 22 Year 2007 about Electoral Commission, one of crussial debate among parliament members is wheter or not the Electoral Commission must be independent. Political stance of the fraction of National Mandate Party, the fraction of Democrat Party, and the goverment rejected other fractions idea to involve political party members as part of Electoral Commission members. Finally, case of “DPT 2009 and Panja Mafia Pemilu 2009” realized the credibility and integrity of Electoral Commission wasn’t good. Therefore, the final decision of the fraction of National Mandate Party, the fraction of Democrat Party, and the government have changed to deal with other parties. Why did they change their political stance?
The research theories are general election and democracy by Juan Linz, Larry Diamond and Seymour Martin Lipset, political party decision by Hans Deiter Klingeman, elite by Getano Mosca and Robert Putnam, consensus and conflict by Maswadi Rauf and Maurice Duverger. This research used qualitative method and two kind of collecting data methodology, such as interview that will used as primary data and literature review as secondary data.
The conclusion of this research, the policy decision making process was decided by compromise among political fraction and government that finally become a moderate solution. Therefore, the decision that has been made is democratic decision stated by Hans Deiter Klingeman thesis, that democratic procedure will result decision which are relevant with general will. Empirical theory implied political consensus, model of political party of decision making process and elite theory influenced within policy making process of revision Act No 22 Year 2007 About Electoral Commission.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T38969
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saifullah Ma`shum
Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2001
324.6 SAI k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>