Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 109954 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Awaludin Apriyanto
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor apa saja yang diperkirakan mempengaruhi keputusan pekerja di Kawasan Timur Indonesia (KTI) untuk memilih daerah tujuan migrasi. Faktor faktor tersebut adalah faktor-faktor individu seperti jenis kelamin, status perkawinan, umur, pendidikan, dan upah/gaji. Serta faktor-faktor sosial dan ekonomi daerah asal dan tujuan, seperti Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), Produk Domeslik Regional Bruto (PDRB) per kapita dan Upah Minimum Propinsi (UMP).
Tehnik yang digunakan untuk menganalisis masalah yang ingin dipelajari adalah Model Logistik Multinomial. Model ini digunakan karena variabel tak bebas dari permasalahan yang dihadapi, yaitu pilihan daerah tujuan migrasi adalah kategorik dan kategorinya lebih dari dua. Ada lima kategori pilihan daerah tujuan migrasi pekerja migran di KTI, yaitu migrasi antar KTI, ke Jawa-Bali, ke Sumatra, ke Kalimantan dan ke Sulawesi.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data mentah (raw data) dari SP 2000-Modul Kependudukan untuk data tingkat individu. Sedangkan untuk data tingkat wilayah (kontekstual) diambil dari data sekunder beberapa instansi yang telah dipublikasikan.
Dari sebanyak 22 847 pekerja migran yang keluar dari KTI, maka yang proporsi terbesar adalah yang menuju ke Jawa-Bali (52.5 persen), kemudian Sulawesi (19.0) persen, antar KTI (12.5 persen), ke Kalimantan (8.3 persen) dan Sumatra (7.7 persen).
Jika dirinci menurut variabel individu (Jenis kelamin, status perkawinan, umur, pendidikan, dan upah/gaji) maka pekerja migran terbesar bermigrasi ke Jawa-Bali dibandingkan dengan daerah tujuan lain.
Dari hasil estimasi, temyata seluruh variabel individu dan variabel wilayah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap proporsi relatif. Untuk variabelvariabel wilayah seperti PDRB, TPAK, dan UMP menunjukkan semakin besar rasio PDRB, TPAK, dan UMP semakin besar kecenderungan pekerja migran dan KTI melakukan migrasi ke daerah tujuan Jawa-Bali, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi dibanding ke daerah tujuan antar KTI."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T179
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muchtar Wisnu Wardoyo
"Pendahuluan
Salah satu Propinsi di Indonesia yang paling menonjol perkembangannya adalah DKI Jakarta, baik dari segi fisik maupun penduduknya. Perkembangan DKI Jakarta dapat dilihat dari perkembangan maupun pertumbuhan penduduknya khususnya berdasarkan sensus penduduk tahun 1970, 1980 dan SUPAS 1985 penduduk DKI Jakarta telah mencapai 4,6 juta, 6,5 juta dan 7,9 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan masing-masing sebesar 4,5 persen, 3,4 persen, dan 4,0 persen.
Sedangkan menurut Alatas dan Tursilaningsih (1988) angka pertumbuhan untuk DKI Jakarta sebesar 3,93 persen, baik untuk tahun 1971-1980 maupun untuk tahun 1980-1985.
"
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasballah M. Saad
Jakarta: Komnas Ham, 2005
306.361 HAS p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Umar Wahyu Widodo
"Di Indonesia diperkirakan menjelang talmn 2000 belum dapat terhindar dari permasalahan penduduk berikut aspek-aspek yang terkait didalamnya dan sekaligus berfungsi sebagai pilar untuk mencapai kestabilan politik maupun ekonomi. Jika permasalahan ini ditempatkan dalam suatu kerangka pembangunan dari negara yang sedang berkembang ternyata masih banyak kegiatan ekonomi yang tergantiung pada keadaan penduduk seperti halnya masalah kemiskinan, rendahnya tingkat upah pekerja, penyerapan tenaga kerja di sektor .formal dan yang lebih penting semakin rendahnya kualitas sumber daya manusia dalam arti luas.
Kenyataan menunjukkan bahwa mobilitas penduduk terkonsentrasi di. kota besar terutama di DKI Jakarta yang merupakan pusat pemerintahan yang sarat dengan fasilitas umum serta fasilitas sosial sehingga menjadikan Jakarta sebagai pusat industri, pusat perdagangan dan juga merupakan pusat kebudayaan. Kondisi yang demikian akan membawa dampak berkembangnya sektor informal yang semakin luas diberbagai lingkup kegiatan ekonomi yang merupakan daya tarik bagi penduduk di kota kecil untuk melakukan migrasi yang secara bertahap semakin meningkat jumlahnya.
Propinsi Jawa Timur merupakan propinsi pengirim terbesar kedua setelah propinsi Jawa Tengah, sedangkan DKI Jakarta masih merupakan wilayah yang relatif mempunyai prosentase migran netto tertinggi di Indonesia Menitik beratkan mengenai keadaan di kedua wilayah tersebut dipandang cukup menarik untuk ditelaah secara mendalam mengenai determinant sosial ekonomi peluang migran asal Jawa Timur untuk memperoleh pekerjaaan pada sektor formal-informal di DKI Jakarta dan untuk selanjutnya dari hasil kajian tersebut akan dapat menjelaskan pekerjaan migran secara jelas berikut latar belakang sosial ekonominya.
Secara umum dapat diungkapkan bahwa dalam kurun waktu 25 tahun sejak 1960 jumlah penduduk DKI Jakarta mengalami peningkatan 2,6 kali lipat. Dengan demikian laju pertumbuhan penduduk relatif sangat cepat yang disebabkan karena faktor daya tarik yang sangat kuat di DKI Jakarta seperti, pusat pemerintahan, perkembangan perekonomian yang cukup pesat dan peluang dalam menciptakan kesempatan kerja yang cukup besar dan kesemuanya tersebut merupakan faktor yang sangat potensial terjadinya migrasi masuk.
Kondisi migran asal Jawa Timur di DKI Jakarta dilihat dari segi pendidikan tampak sangat bervariasi antara migran yang berpedidikan rendah dengan migran yang berpendidikan tinggi. Bagi migran yang berpendidikan rendah didorong oleh kemauan untuk mendapatkan pekerjaan demi kelangsungan hidup yang layak, sedangkan bagi migran yang berpendidikan tinggi mempunyai motivasi untuk meningkatkan keadaan sosial ekonominya yang lebih tinggi dibandingkan ditempat asal.
Pola migran dilihat dari status kawin, bagi migran asal Jawa Timur menunjukkan pola yang cukup berimbang antara yang kawin dan belum kawin. Namun demikian untuk migran yang berstatus belum kawin dapat dikatakan relatif cukup besar hampir mendekati 50 % hal ini menunjukkan bahwa motivasi utama dari migran asal Jawa Timur untuk melakukan migrasi adalah untuk mendapatkan pekerjaan. Jika dilihat dari jenis kelamin maka untuk migran perempuan relatif lebih banyak dibandingkan dengan migran laki-laki meskipun perbedaan tersebut dipandang kurang berarti. Kenyataan ini diduga bahwa migran perempuan merupakan pekerja informal untuk kelompok menengah kebawah dengan suatu motivasi untuk memperoleh pekerjaan.
Pola migran asal Jawa Timur berdasarkan karakteristik sosio demografi tidak secara keseluruhan mengikuti pola migran secara umum di DKI Jakarta, sehingga banyak bertentangan dengan beberapa pendapat maupun temuan secara umum, disebutkan bahwa ciri dari migran mayoritas adalah : berusia muda, tingkat pendidikan relatif tinggi status belum kawin dan jenis kelamin adalah laki-laki.
Hasil analisa menunjukkan bahwa migran berasal dari Jawa Timur pada kelompok umur muda dan pada umumnya justru bekerja di sektor formal yang berstatus belum kawin dan tingkat pendidikan terkonsentrasi pada tamat SD kebawah. Pada kelompok umur tua hampir keseluruhan bekerja pada sektor informal baik migran yang berpendidikan rendah maupun migran yang berpendidikan tinggi SLTA keatas .Karakteristik yang sangat berbeda jika dikaitkan dengan status kawin maka bagi migran pada kelompok umur ini yang bekerja pada sektor formal pada umumnya berstatus sudah kawin dan yang bekerja pada sektor informal berstatus belum kawin.
Berdasarkan hasil analisa dengan menggunakan model regresi berganda dilakukan dengan 2 model ialah model -1 dan model -1A. Hasil analisa menunjukkan bahwa untuk model I -A tidak dapat digunakan mengingat tidak satupun variabel yang dimasukkan mempunyai nilai yang significant, sehingga model -1 merupakan model yang terpilih. Dari model terpilih terlihat variabel yang significant adalah UI kelompok umur 10-19 tahun dengan menggunakan nilai a = 0,05 maka (Pr < Chi = 0,0589 ) dan variabel selanjutnya yang terlihat signifikan adalah U2 kelompok umur 20-29 tahun dengan menggunakan nilai a = 0,05 maka (Pr < Chi = 0,0070 ) dan variabel selanjutnya adalah PD I kelompok pendidikan tamat SD kebawah dengan menggunakan nilai a yang sama maka ( Pr < Chi = 0,0043 ), sehingga variabel yang dibahas dalam analisa ini adalah variabel yang signifikan.
Migran asal Jawa Timur berdasarkan analisa yang tertuang dalam model -1 dapat diungkapkan bahwa untuk kelompok umur 10-19 tahun yang sudah kawin dan tingkat pendidikannya semakin tinggi, kecil peluangnya untuk bekerja disektor' informal dibandingkan dengan migran yang berstatus belum kawin. Sebaliknya bagi migran pada kelompok umur tersebut dengan status belum kawin dan semakin tinggi tingkat pendidikannya mempunyai peluang yang cukup besar untuk masuk ke sektor formal dibandingkan dengan migran yang berstatus kawin.
Pada kelompok umur 20- 29 tahun yang berstatus kawin semakin tinggi pendidikannya akan semakin kecil peluangnya untuk bekerja disektor informal dibandingkan dengan migran yang berstatus belum kawin. Untuk migran yang berasal Dari Jawa Timur pada kelompok umur ini terlihat peluangnya yang cukup besar adalah masuk ke sektor formal jika migran tersebut berstatus belum kawin.
Bagi migran yang mempunyai pendidikan tamat SD kebawah semakin tua umurnya dan berstatus sudah kawin mempunyai peluang yang cukup besar untuk memasuki sektor informal, jika migran pada kelompok ini berstatus belum kawin dengan tingkat pendidikan yang relatif sama maka peluangnya untuk masuk kesektor informal relatif kecil, sehingga ada kecenderungan untuk masuk ke sektor formal."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendri Alizar
"Meskipun usia serikat pekerja di Indonesia sudah hampir 100 tahun namun sampai saat mi masih lemah clan beluni menjadi kekuatan yang handal dalam memperjuangkan aspirasi clan kesejahteraan pekerja Diratifikasinya Konvensi ILO No 87 Tahun 1948 pada tahun 1998 telah membawa perubahan mendasar clan menimbulkan paradigma baru dalam hubungan industrial di tanah air Hal mm ditandai dengan berdirinya 37 federasm serikat pekerja 56 serikat pekerja BUMN clan ratusan serikat pekerja perusahaan swasta nasional (data sampam akhir tahun 2000) Namun secara substantif sampam saat mi belum memberikan perubahan berarti terhadap kehidupan buruh.
Penelitian mm dilakukan dengan memakai data sekunder dan primer Data sekunder clan BPS clan Depnaker dengan metode analisa kuantitatif menggunakan teknik statistik sederhana Data primer mengambml kasus di JABOTABEK dengan 60 responden yang bersifat trmpartit yaitu pekerja/serikat pekerja pengusaha clan pemermntah dengan memakai analisa kualitatif Sampel yang dipilih untuk pekerja/buruh clan pengusaha adalsh perusahaan yang sudah ada serikat pekerja/buruhnya ada KKB dan bersifat padat karya sedangkan untuk pejabat yaitu yang terkait dengan ketenagakerjaan Sebagam data pendukung dilakukan pula diskusi kelonipok secara mendalam dengan 80 pekerja/buruh clan berbagai perusahaan di empat lokasi di JABOTABEK.
Dan analisis yang dilakukan baik yang didasarkan atas tulisan atau lmteratur maupun temuan di lapangan menunjukkan bahwa lemahnya gerakan serikat pekerja di Indonesia secara umum di pengaruhi antara lain kondisi ketenagakerjaan yang tidak seimbang yaitu besarnya jumlah angkatan kerja tmnggmnya angka pengangguran tingkat SMTA kebawah clan kondisi ekonomi makro yang menurun Faktor lain perjuangan serikat pekerja cenderung bersifat partial kurang terkoordinasi clan komprehensif serta Iebih banyak melakukan aktivitas politik clan pada kegiatan pokoknya Sebab latnnya serikat pekerja di satukan dalam wadah tunggal.
Temuan di lapangan menunjukkan meskipun pada beberapa perusahaan dampak positif serikat pekerja plural telah dirasakan pekerja namun masalah yang dihadapi pekerja juga masih banyak Dampak positif serikat pekerja plural antara lain meningkatnya keinginan para pekerja/buruh untuk mendirikan serikat pekerja mendorong serikat pekerja yang ada lebih aktif melakukan kegiatan serta mendorong kenaikan upah clan kesejahteraan pekerja/buruh pelaksanaan KKB clan produktivitas serta mendorong tumbuhnya demokrasi industrial dan fungsi lembaga bipartit Masalah yang dihadapi ialah tekananhintimidasi kepada pekerja/buruh agar tidak mendirikan serikat pekerja tekanan agar tidak melakukan aksi-aksi massal sistem kerja kontrak clan sub kontrak yang banyak dilakukan perusahaan menjadikan UMR sebagai upah standar clan pembayaran upah di bawah UMR serta disiplin clan eksploitasi tenaga buruh secara berlebihan."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2001
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hardius Usman
"Keberadaan pekerja anak-anak banyak mendapat perhatian berbagai pihak. Disamping dianggap melanggar hak-hak anak, juga dikuatirkan bekerja dapat menimbulkan dampak buruk bagi perkembangan anak. Akan tetapi, bagi Indonesia melarang anak-anak bekerja bukanlah tindakan rasional, mengingat keadaan sosial ekonomi Indonesia. Sekalipun demikian, pekerja anak harus dikurangi secara bertahap yang didasarkan pada skala prioritas. Untuk membuat skala prioritas ini dibutuhkan pengkajian dari berbagai aspek.
Berdasarkan hal tersebut, maka tesis ini mencoba untuk meneliti beberapa permasalahan pekerja anak, sehingga dapat memberi rekomendasi guna pembuatan prioritas dalam rangka mengurangi pekerja anak.
Tesis ini mempunyai beberapa fokus pembahasan, yaitu melihat kondisi pekerja anak-anak, mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya pekerja anak-anak, dan melihat karakteristik pekerja anak yang mengalami eksploitasi. Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber pads Survei Sosial Nasional (Susenas) KOR tahun 2000. Oleh karena keterbatasan informasi pada sumber data maka pekerja anak-anak dibatasi untuk penduduk yang berusia 10-14 tahun saja. Sedang metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis inferensial dengan membuat model regresi logistik. Variabel babas yang digunakan dalam pembuatan model adalah daerah tempat tinggal, lapangan usaha kepala rumahtangga (KRT), status pekerjaan KRT, pendidikan KRT, jenis kelamin KRT, rata-rata pengeluaran rumahtangga per kapita per bulan, dan jenis kelamin anak.
Analisis situasi yang digunakan untuk melihat kondisi pekerja anak-anak memberikan beberapa hasil, yaitu: sebagian besar pekerja anak-anak tinggal di daerah pedesaan, dan bekerja di sektor pertanian, dengan status sebagai pekerja keluarga/tak dibayar. Sedang berdasarkan jenis kelamin, persentase anak laki-laki yang menjadi pekerja ternyata lebih tinggi dibanding anak perempuan.
Berdasarkan model regresi logistik, terlihat adanya kecenderungan semakin rendah rata rata pengeluaran rumahtangga per kapita per bulan, maka akan semakin tinggi resiko anak-anak untuk bekerja. Karakteristik kepala rumahtangga, yaitu: pendidikan, lapangan usaha, status pekerjaan, dan jenis kelamin, juga mempunyai pengaruh yang mengakibatkan timbulnya pekerja anak-anak, Disamping itu, daerah tempat tinggal, dan jenis kelamin anak juga ikut mempengaruhi timbulnya pekerja anak-anak.
Pekerja anak-anak yang mengalami eksploitasi berdasarkan kriteria akses ke pendidikan, jam kerja, dan upah/gaji menunjukan kondisi yang memprihatinkan. Semua propinsi di Indonesia ternyata terdapat anak-anak yang mengalami eksploitasi tersebut. Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, Bali, Sulawesi Utara, merupakan propinsi-propinsi yang perlu mendapat perhatian dalam masalah eksploitasi pekerja anak-anak."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2002
T9562
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurlina Tarmizi
"Tesis ini bertujuan untuk mempelajari dampak mutu modal manusia terhadap penghasilan khususnya dampak pendidikan terhadap penghasilan. Mengungkapkan manfaat yang diperoleh akibat dari migrasi yang dilakukan oleh tenaga kerja, serta mengidentifikasi beberapa faktor sosial ekonomi yang diperkirakan mempunyai dampak terhadap penghasilan. Telaah yang dilakukan terutama telaah pada pekerja migran. Pekerja non migran juga dianalisis dalam studi ini, sebagai pembanding.
Fokus pengamatan terhadap pekerja migran, tidak terlepas dari kerangka pemikiran yang dikembangkan oleh Sjaastad (dalam Husin, 1978) dan Davanso (1980), yang menyatakan bahwa problema migrasi sebagai alokasi sumber daya, di mana migrasi pekerja dianggap sebagai suatu investasi, yang akan memberikan keuntungan.
Investasi dalam modal manusia menurut Becker {1980) dan Ananta (1986), dilakukan melalui investasi dibidang pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Variabel kesehatan dan keamanan berkorelasi positif dengan pendidikan (Ananta, 1988). Oleh sebab itu pengaruh kesehatan dan keamanan pada penghasilan telah termasuk oleh koefisien pendidikan. Dan hendaknya koefisien variabel pendidikan di_lihat sebagai dampak pendidikan yang sudah dipengaruhi oleh variabel kesehatan dan keamanan, pada penghasilan. Namun, sangat lebih baik jika ketiga variabel tersebut dapat dimasukkan ke dalam analisa. Selain variabel pendidikan, variabel sosek dan demografi juga mempengaruhi penghasilan.
Secara empirik, kerangka pemikiran dan teoritik kemudian diperinci kedalam hubungan antar peubah, peubah bebas dan peubahpeubah tak bebas. Variabel yang diperhatikan sebagai peubah bebas adalah pendidikan, status migran, jenis kelamin, jam kerja, status perkawinan, sektor pekerjaan, tempat tinggal, dan usia. Sedangkan penghasilan sebagai peubah tak bebas.
Metode analisis yang digunakan adalah statistik deskriptif dan statistik inferensial. Analisa dengan statistik inferensial dengan menggunakan statistika Regresi Ganda. Hasil yang diperoleh dari analisis data adalah sebagai berikut: Tidak terdapat perbedaan penghasilan antara migran dan non migran. Perbedaan penghasilan antara migran dan non migran bukan bukan karena status migrannya, tetapi karena faktor pendidikan, jenis kelamin, tempat tinggal, usia, jam kerja dan status perkawinan.
Hasil temuan lain menampakkan ada kaitan erat antara pendidikan, penghasilan dan usia. Seseorang berpendidikan lebih tinggi ketika baru memasuki lapangan usaha mempunyai penghasilan yang lebih rendah daripada seseorang dengan tingkat pendidikan dibawahnya. Tampak sekali pada saat ini peran lama bekerja yang mencerminkan pengalaman kerja, lebih dominan menentukan penghasilan daripada peran pendidikan. Pendidikan baru menampakkan perannya setelah melewati titik (usia) keseimbangan tertentu.
Titik kessimbangan antara yang tidak tamat SD ke bawah dengan yang tamat SD dicapai pada usia 19,42 tahun dan antara yang tamat SD dengan-tamat SMTP pada usia 28,30 tahun. Sesudah melewati titik keseimbangan ini, baru mareka yang berpendidikan lebih tinggi mempunyai penghasilan yang lebih besar daripada mereka yang berpendidikan lebih rendah. Keadaan seperti ini hanya berlaku untuk jenjang pendidikan tidak tamat SD ke bawah dengan tamat SD, dan antara tamat SD dan tamat SMTP. Sedangkan antara yang tamat SMTP dan tamat SMTA ke atas tidak terdapat titik keseimbangan. Penghasilan yang tamat SMTA he atas selalu lebih besar daripada tamat SMTP. Beda penghasilan antara yang tamat SMTP dan yang tamat SMTA ke atas untuk setiap usia berapapun selalu menunjukkan jumlah yang sama.
Lebih lanjut, dengan hanya memperhatikan variabel usia, pendidikan dan penghasilan, dan setelah mengasumsikan variabel lainnya ceteris paribus, dapat diketahui hubungan antara usia dengan penghasilan berbentuk parabolis. Titik maksimum usia dengan penghasilan pada usia 59,43 tahun untuk pendidikan tidak tamat SD ke bawah, 71,41 tahun untuk tamat SD, dan usia 52,79 tahun untuk tamat SMTP dan tamat SMTA. Hasil temuan ini sejalan dengan hukum diminishing marginal returns. Bahwa tambahan usia pada mulanya menaikkan penghasilan, dan setelah melewati usia tertentu tambahan penghasilan secara absolut menurun dengan meningkatnya usia. Temuan ini juga sesuai dengan hasil analisa deskriptif yang menyatakan penghasilan mencapai maksimal ketika seseorang mencapai usia antara 50 sampai 59 tahun.
Hasil temuan juga memperlihatkan asosiasi jam kerja dan penghasilan berbentuk parabolis. Jam kerja maksimum 73,16 jam per bulan atau 13,28 jam per minggu. Artinya seseorang akan mencapai penghasilan Maksimal jika ia bekerja 18,28 jam per minggu.
Menarik sekali bahwa mereka yang bekerja kurang dari 35 jamn hanya sedikit sekali yang mengatakan bersedia menerima pekerjaan lagi. Bahkan mereka yang bekerja dengan jam ekrja panjang yang lebih banyak dari kelompok dari atas. Untuk kasus kedua ini, faktor penghasilan rendah diduga sebagai penyebabnya. Untuk kasus pertama mereka diduga bekerja dengan jam kerja pendek dan tidak bersedia menerima pekerjaan lagi karena mereka menganggap penghasilan yang diterima sudah cukup besar.
Seperti dapat diduga, pengahsilan laki-laki lebih besar daripada penghasilkan perempuan. Hasil teman ini sama dengan teuan pada analisa deskriptif. Penelusuran atas data yang ada, perbedaan penghasilan antara laki-laki dan perempuan seperti diatas adalah karena faktor pendidikan dan spesialisasi, pada akhirnya akan berpengaruh pada penghasilan pekerja perempuan. dapat di terima. Dalam amsyarakat kita, pendapat bahwa wanita merupakan sosok pribadi yang feminine, makhluk lemah, pengasuh anak masih di terima dalam banyak kalangan masyarakat kita. Faktor lain adanya diskriminasi seksual dalam pekerjaan. masih banyak terjadi. Untuk jabatan yang sama, perempuan dituntut ijazah yang lebih tinggi daripada seorang laki-laki. Faktor ini menyebabkan ketinggi daripada seorang laki-laki. Faktor ini menyebabkan kebanyakan pekerja perempuan kurang dapat bersaing di pasar kerja.
Dari Hasil temuan juga memperlihatkan bahwa penghasilan mereka yang bekerja di sektor formal lebih besar daripada yang bekerja di sektor informal. Hasil temuan memperlihatkan pula bahwa buakn hanya sektor pekerjaan yang menentukan besar kecilnya pengahasilan seseorang akan tetapi faktor-faktor pendidikan. Mereka yang bekerja di sektor informal tapi berpendidikan lebih tinggi mempunyai penghasilan yang lebih besar daripada mereka yang bekerja di sektor formal tapi berpendidikan lebih rendah."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1990
T9077
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maki Mizuno
"Penelitian ini menyoroti masalah ketenagakerjaan pada sektor industri di perkotaan. Pada umumnya di negara-negara sedang berkembang industrialisasi dikatakan belum berpengaruh positif terhadap situasi kesempatan kerja di pedesaan dan belum berhasil mengatasi masalah ke sempatan kerja di perkotaan. Untuk mengatasi masalah ini telah diper hatikan peranan sektor informal maupun industri kecil sebagai katup pengaman dalam penciptaan kesempatan kerja maupun dan segi perkembang an ekonomi secara keseluruhan. Tujuan penelitian ini justru untuk mem pelajari masalah ketenagakerjaan pada usaha kecil pada sektor informal di bidang industri kecil.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep "pattern variabels" yang dikemukakan oleh Talcott Parsons. Pada khusus nya pola "universalism" dan "particularism" serta pola "specifity" dan "diffuseness" yang digunakan. Pola "universalism" dan "particulatism" menyangkut jenis tenaga kerja, dengan kata lain pola "universalism" berciri tidak adanya ikatan daerah, atau ikatan daerah sebagai standar penerimaan tenaga kerja, dan pola "particularism" berciri adanya ikatan darah atau ikatan daerah. Sedangkan pola "specifity" dan "diffuseness" menyangkut hubungan sosial antara pengusaha dan pekerja di perusahaan nya, dengan kata lain pola "specifity" berciri adanya keterbatasan hu bungan pengusaha dan pekerja di luar kewajiban pekerjaan, dan pola "diffuseness" berdiri tidak adanya keterbatasan semacam itu.
Di sini perhatian disoroti pada perusahaan di bidang usaha tempe dan usaha tahu, karena kedua usaha tersebut ada di mana-mana di pulau Jawa dan termasuk dalam usaha kecil. Sementara itu metodologi yang digunakan adalah i) pengumpnlan data kuantitatif, dengan disusun daftar populasi, dipilih sampel dengan Simple Random Sampling Techni que, dilakukan wawancara sistematis, dan dianalisis berdasarkan sta tistik non-parametrik, dan ii) pengumpulan data kualitatif melalui pengumpulan data sekunder, pengamatan, dan wawancara non-sistematis.
Kesimpulan yang ditarik dari penelitian ini adalah skala unit usaha berhubungan dengan jenis tenaga kerja, tetapi tidak berhubungan dengan hubungan sosial antara pengusaha dan pekerja. Pada usaha tahu, unit usaha berskala besar cenderung berpola "universalista" dan unit usaha berskala kecil cenderung berpola "particularism". Sebaliknya pada usaha tempe unit usaha berskala kecil cenderung berpola "universalista" dan unit usaha berskala besar cenderung berpola "particularism". Per bedaan ini mungkin disebabkan kecilnya perbedaan skala unit usaha pada usaha tempe dan adanya sistem setoran yang dapat mengerjakan pekerja tanpa membayar upah pada usaba tempe. Sedangkan huhungan sosial antara pengusaha dan pekerja ternyata berhuhungan dengan tingkat pendidikan pengusaha. Pengusaha yang relatif berpendidikan tinggi cenderung membantu pekerja dan melakukan banyak kegiatan yang tidak menyangkut pekerjaan. Sehiugga mungkin pengusaha yang relatif berpendidikan tinggi menyadari hak dan kewajiban pekerja dan memperhatikan keadaan pekerja.
Selain itu terdapat beberapa penemuan yang menarik, yaitu: i) terdapat pengelompokan menurut daerah asal, dan pengusaha yang ber asal dari luar Jakarta cenderung menganggap kehidupan di Jakarta hanya sementara dan ingin kembali lagi ke desa. ii) pengusaha tempe maupun pengusaha tahu pada umumnya mendapat keterampilan melalui pengalaman kerja di Jakarta. Kebanyakan mereka mempunyai pengalaman kerja sebagai pekerja selama beberapa tahun di Jakarta sambil belajar keterampilan, dan akhirnya mandiri dan memiliki usaha sendiri. iii) pekerja pada usaha tempe dan pada usaha tahu secara keseluruhan 45 % pekerja keluarga, 13 % pekerja yang berasal dari satu daerah dengan pengusaha, dan 42 % pekerja yang tidak ada ikatan darah maupun ikatan daerah dengan pengusaha. Pada umumnya proporsi pekerja yang berasal dari satu daerah dengan pengusaha lebih tinggi pada usaha tempe, dan proporsi pekerja yang tidak ada ikatan darah maupun ikatan daerah lebih tinggi pada usaha tahu. iv) keadaan ekonomi cukup berbeda antara usaha tempe dan usaha tahu karena ciri-ciri hasil produk yang dimilikinya. Diferensiasi skala unit usaba dan segi tenaga kerja, jumlah produksi, jumlah keuntungan, dan modal lebih besar pacto usaha tahu. v) sebagian besar pengusaha tempe maupun pengusaha tahu mempunyai rasa puas yang positif terhadap usahanya, meskipun tidak menginginkan anak-anak mereka melanjutkan usaha bapaknya dan mengharapkan anak-anak mereka mendapat pekerjaan yang lebih baik dan lebih terhormat, seperti ABRI, pegawai negeri dan guru."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riesa Anandya Elfitra
"Keterbatasan lahan permukiman dan pertumbuhan jumlah penduduk di Provinsi DKI Jakarta mendorong adanya penyediaan rumah melalui pembangunan hunian vertikal. Pemerintah menjanjikan pembangunan rumah susun, rumah sakit, dan bus khusus untuk kaum buruh dan pekerja. Kementerian Perumahan Rakyat bekerja sama dengan PT. Kawasan Berikat Nusantara (Persero) berencana membangun rusunawa di lingkungan PT. KBN yang ditujukan khusus untuk buruh. Harga sewa yang ditetapkan nantinya diharapkan sesuai dengan kemampuan buruh selaku calon penghuni. Kemampuan dapat ditinjau dari kemampuan membayar secara rasional dalam membayar biaya sewa tempat tinggalnya selama ini (Abillity to Pay-ATP) maupun kemampuan berdasarkan persepsi kelompok sasaran penghuni rusunawa (Willingness to Pay-WTP).
Penelitian ini mencoba mengestimasi nilai ATP dan WTP buruh terhadap sewa rusunawa, mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai ATP dan nilai WTP dan mengkaji faktor yang mempengaruhi kesediaan buruh untuk tinggal dan membayar sewa rusunawa. Metode yang digunakan untuk mengestimasi nilai ATP adalah menggunakan analisis statistik deskriptif, sedangkan estimasi nilai WTP dengan menggunakan Contingent Valuation Method (CVM). Untuk memperoleh faktor yang mempengaruhi besarnya nilai ATP dan WTP digunakan metode analisis regresi linier berganda. Sedangkan untuk memperoleh faktor yang mempengaruhi kesediaan buruh untuk tinggal dan membayar sewa rusunawa digunakan metode analisis regresi logit.
Berdasarkan hasil perhitungan nilai ATP dan WTP buruh terhadap sewa rusunawa, diperoleh nilai ATP sebesar Rp. 335.050 per bulan dan nilai WTP sebesar Rp. 287.654 per bulan. Dengan menggunakan analisis regresi berganda, diperoleh faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai ATP buruh terhadap sewa rusunawa adalah jumlah tanggungan dan pendapatan per bulan. Faktorfaktor yang mempengaruhi kesediaan buruh untuk tinggal dan membayar sewa rusunawa adalah lama tinggal buruh di tempat tinggal saat ini. Besarnya nilai WTP buruh terhadap sewa rusunawa dipengaruhi oleh jumlah tanggungan, pendapatan per bulan, dan jarak tempat tinggal ke tempat kerja.

Limited area settlement and population growth in DKI Jakarta Province stimulate the development of vertical housing. Government pledge to develop vertical housing (flats), hospital, and transportation particularly for workers (labor). Ministry of Housing cooperate with PT. Kawasan Berikat Nusantara (Persero) planned to develop rent vertical housing for labor in PT. KBN area. The fix rental cost is expected appropriate with worker's ability as prospective resident. Ability can be reviewed from ability to pay of current rental cost (Ability to Pay) nor ability based on perceptions of vertical housing target group (Willingness to Pay).
The research is trying to estimate the ATP and WTP's value of labor to pay rental cost of vertical housing, to analyze influencing factors of ATP and WTP's value, and to analyze influencing factors of WTP's labor to pay rental cost of vertical housing. To estimate ATP and WTP's value of labor to pay rental cost of vertical housing is used descriptive statistics and Contingent Valuation Method (CVM). In analyzing influencing factors of ATP and WTP's value is used multiple regression analysis. Logit regression analysis is used to analyze influencing factors of WTP's labor to pay rental cost of vertical housing.
Based on estimation of ATP and WTP's value of labor to pay rental cost of vertical housing, the value of ATP is Rp. 335.050 per month and the value of WTP is Rp. 287.654 per month. By using multiple regression analysis, it concludes that influencing factor of ATP's value of labor to pay rental cost of vertical housing a WTre number of dependents and income. Some factors influencing the willingness to pay of labor to pay rent of vertical housing are length of stay in current residence. P's value of labor to pay rental cost of vertical housing are influenced by number of dependents, income, and distance from home to workplace.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T42162
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harvarindo , 1999,
R 344.01 Ind p
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>