Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116716 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Charles Ferdinand
"Penelitian ini berfokus pada analisis kebijakan luar negeri dan keamanan bersama Uni Eropa (Common Foreign and security Policy ) pada tahun 1997-1999. Secara lebih spesifik membahas respons entitas Uni Eropa (UE) terhadap dinamika perubahan lingkungan eksternal maupun internalnya, dengan menggunakan pendekatan sistem kebijakan luar negeri dan model constraints and opportunities.
Variabel independen dalam penelitian ini berasal dari lingkungan eksternal UE, yaitu_ kebijakan burden sharing AS ke UE, dan dari lingkungan internal UE adalah politik identitas Eropa. Keterhubungan logis antarvariabel diperlihatkan melalui pengaruh pemunculan serangkaian peluang dan hambatan yang berasal dari kedua variabel independen, terhadap variabel dependen. Dengan kata lain, kebijakan burden sharing AS-UE dan politik identitas Eropa diduga mempengaruhi pemunculan serangkaian peluang dan hambatan terhadap peningkatan peran internasional LTE pada tahun 1997-1999.
Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa peluang bagi peningkatan peran internasional UE muncul dari adanya interaksi antara kebijakan burden sharing AS-UE yang berjalan selaras dengan fenomena politik identitas UE, dan sama-sama dilandasi oleh pengembangan nilai-nilai peradaban Barat. Kedekatan secara kultural antara kedua entitas tersebut dalam peradaban Barat memungkinkan keduanya melakukan kerjasama yang cukup dalam, hingga hal ini merupakan peluang bagi UE untuk meningkatkan peran internasionalnya.
Di sisi lainnya, hambatan bagi peningkatan peran internasional UE disebabkan karena dari lingkungan eksternal UE terjadi kompetisi antara AS dan LIE, yang mana hal ini juga inheren dalam suatu kerjasama. Dari sisi internal UE, politik identitas UE dapat menjelaskan bagaimana UE sebagai bagian dari peradaban Barat harus berbenturan dengan persoalan identitas kultural.
Peluang dan hambatan di atas kemudian menyebabkan UE pada tahun 1997 harus melakukan reformasi institusional agar CFSP dapat diterapkan secara lebih efektif, dan dengan demikian akan dapat meningkatkan pula peran internasional UE. Perjanjian Amsterdam, menyepakati ditingkatkannya sarana untuk mencapai tujuan berupa peningkatan peran intemasional UE sebagai kolaborator kawasan, kepemimpinan, sekutu, dan promoter of security, mediator, dan independen."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meita Istianda
"Perubahan drastis yang dialami masyarakat dunia sebagai dampak dari berakhirnya perang dingin telah melahirkan inisiatif-inisiatif baru dalam mengupayakan sebuah tatanan dunia yang damai. Masyarakat Eropa merupakan salah satunya. Mereka merintis usaha tersebut melalui integrasi, tidak hanya di bidang ekonomi tetapi mencakup politik dan urusan dalam negeri, dalam rangka memperkuat kerjasama di antara mereka, melalui Perjanjian Maastricht.
Salah satu pilar dari Perjanjian Maastricht, Common Foreign Security Policy (CFSP) dijadikan pijakan untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Mekanisme dalam menjalankan CFSP untuk meraih cita-cita Uni Eropa memasukan unsur HAM dan demokratisasi sebagai prioritas utama yang tidak boleh ditinggalkan dalam menata hubungan dengan negara lain.
Hubungan Uni Eropa terhadap Indonesia pun tidak lepas dari prinsip-prinsip tersebut. Padahal di antara keduanya memiliki pandangan yang berbeda terhadap HAM Uni Eropa memandang HAM dari sudut hak-hak sipil dan politik, sedangkan Indonesia memandang dari sudut hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Di tengah-tengah kontroversi tersebut, kesalingtergantungan antara Uni Eropa dan Indonesia semakin menguat, dipicu oleh membaiknya situasi perekonomian di Asia Pasifik pada dekade 1990-an.
Tesis ini dibuat untuk mengetahui sejauh mana upaya kedua negara dalam mengelola hubungannya berdasarkan prinsip-prinsip mereka yang berbeda, dan ingin melihat apakah isu yang semakin mengglobal sejak Deklarasi Vienna dan Program Aksi ditandatangani oleh hampir seluruh negara di dunia, memiliki peranan sebagai penengah dalam mengimbangi perbedaan pemahaman terhadap HAM apakah isu tersebut berimplikasi terhadap perekonomian kedua negara."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T3059
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Apriyono
"Reunifikasi Jerman yang menandai berakhirnya era Perang Dingin yang memisahkan Eropa ke dalam blok Barat dengan blok Timur, memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan dalam struktur dunia internasional terutama di kawasan Eropa. Tidak lama kemudian diikuti dengan pecahnya Uni Soviet dan berimbas dengan jatuhnya rezim Komunis di negara - negara Eropa Tengah dan Timur, maka sistem sosialis komunis yang selama ini dianut mulai ditinggalkan oleh negara - negara di kawasan itu. Negara - negara yang secara geografis terletak di Eropa Tengah dan Timur mulai beralih menuju sistem demokrasi Barat dan ekonomi pasar. Akibatnya proses transformasi di kawasan tersebut mulai gencar dilakukan dengan intensif. Di Polandia, proses transformasi dengan cepat dan disertai adanya perubahan mendasar sistem ekonomi Polandia, yang mana sistem ekonomi terpusat diganti sistem ekonomi pasar. Adanya perubahan radikal itu mempunyai pengaruh terhadap perekonomian Polandia yang secara perlahan namun pasti tumbuh dan berkembang.
Jerman merupakan negara besar di Eropa serta menjadi salah satu pendiri Uni Eropa dan berbatasan langsung dengan Polandia di wilayah Eropa bagian Tengah memandang perlu untuk memberikan bantuan di segala bidang termasuk ekonomi kepada Polandia agar dapat berhasil dalam rangka melaksanakan proses transformasinya. Bantuan Jerman diperlukan dan berguna tidak hanya pada proses transformasi saja melainkan untuk membantu Polandia dalam memenuhi kriteria - kriteria yang ditetapkan oleh Dewan Eropa untuk menjadi anggota Uni Eropa. Jerman sangat berkepentingan akan keberhasilan Polandia dalam usaha - usaha itu dikarenakan hubungannya dengan Polandia mempunyai keterkaitan erat dengan sejarah masa lalunya.
Kebijakan luar negeri yang digariskan oleh Jerman sangat mendukung diberikannya bantuan terhadap Polandia baik moril maupun materil untuk mendukung segala upaya Polandia agar dapat menjadi anggota penuh Uni Eropa."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22338
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Megan Anglingsari Raritra Intanti
"

Nama                         : Megan Anglingsari Raritra Intanti

Program Studi             : Ilmu Hubungan Internasional

Judul                          : Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa

Pembimbing                : Dr. phil. Yandry Kurniawan

 

Kajian Analisis Kebijakan Luar Negeri atau FPA telah menjadi bidang studi independen dalam ilmu hubungan internasional sejak tahun 1950an. Fokus FPA terhadap proses pengambilan keputusan kebijakan luar negeri dianggap telah berhasil menjawab permasalahan studi HI yang cenderung menciptakan jarak antara politik domestik dan internasional. Menariknya, klaim bahwa FPA telah inklusif menuai kritik diantara cendekia Eropa, khususnya dalam pembahasan kebijakan luar negeri Uni Eropa. Maka dari itu, tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana literatur menempatkan kebijakan luar negeri Uni Eropa diantara kajian FPA. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, penulis menyusun 96 total temuan literatur dengan akreditasi internasional dalam empat kategori tema, yaitu: (1) konsep kebijakan luar negeri Uni Eropa; (2) institusionalisasi kebijakan luar negeri Uni Eropa; (3) Uni Eropa sebagai aktor; dan (4) lingkup kawasan kebijakan luar negeri Uni Eropa. Upaya tinjauan literatur menghasilkan beberapa temuan seperti konsensus, perdebatan, dan kesenjangan terkait topik ini. Selain itu, tulisan ini juga menelusuri tren tema literatur, persebaran penulis, serta tren persebaran paradigmatik. Berangkat dari kondisi tersebut, tulisan ini berhasil menyingkap fakta bahwa FPA belum menjadi perspektif yang umum digunakan dalam mengkaji kebijakan luar negeri Uni Eropa. Meskipun begitu, tulisan ini tidak menemukan literatur yang menolak keberadaan kebijakan luar negeri Uni Eropa. Tulisan ini akan ditutup dengan penjabaran sejumlah rekomendasi untuk penelitian selanjutnya yang meliputi perluasan paradigmatik khususnya FPA dan pendekatan kritis, serta topik-topik yang belum banyak terbahas tetapi cukup relevan dengan kondisi empirik kebijakan luar negeri Uni Eropa.

 

 

 

Kata kunci:

Analisis Kebijakan Luar Negeri, Uni Eropa, kebijakan luar negeri Uni Eropa, European Foreign Policy, hubungan eksternal Uni Eropa, EPC, CFSP

 


Name                        : Megan Anglingsari Raritra Intanti

Study Program           : International Relations

Title                          : European Union’s Foreign Policy

Counsellor                 : Dr. phil. Yandry Kurniawan

 

Foreign Policy Analysis or FPA has been developed as an independent field of international relations (IR) studies since the 1950s. FPA’s primary focus on foreign policy decision making processes is considered to have successfully answered IR studies problem which tends to create a gap between domestic and international politics. Interestingly, the claim that FPA has been inclusive drawn criticism among European scholars, particularly in the discussion of the EU's foreign policy. Therefore, this paper aims to explain how literature interpret EU’s foreign policy among FPA studies. In order to achieve this goal, the authors compiled 96 total international accreditation literature within four categories of themes, namely: (1) the concept of EU’s foreign policy; (2) institutionalization of EU’s foreign policy; (3) European Union as an actor; and (4) regional scope of the EU’s foreign policy. This literature review has resulted in several findings such as consensus, debates, and gaps related to this topic. In addition, this paper also traces the literature trend, distribution of authors’ origin, as well as the paradigmatic trend. Based on these conditions, this paper was successfully revealed the fact that FPA is not a mainstream perspective in studying EU’s foreign policy. Even so, this paper didn’t identify scholar that rejects the idea of EU’s foreign policy. This paper will conclude with some recommendations for further research including paradigmatic diversification, especially FPA and a critical approach, as well as topics that rarely discussed but are quite relevant to the empirical conditions of EU’s foreign policy.

 

 

 

Keywords:

Foreign Policy Analysis, European Union, European Foreign Policy, EU Foreign Policy, EU External Relations, EPC, CFSP

 

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ramadhanty Yusmar
"Tesis ini membahas mengenai aspek pertahanan dan keamanan dart kebijakan luar negeri AS terhadap Irak dengan fokus pada upaya pencegahan pengembangan Weapons of Mass Destruction atau yang dikenal dengan senjata pemusnah massal pada periode tahun 1991-2000.
Pada tesis ini penulis menggunakan negara sebagai unit analisa. Adapun yang menarik bagi penulis adalah mekanisme dan kebijakan AS terhadap pengembangan WMD Irak dan tanggapan masyarakat international atas mekanisme kebijakan AS tersebut yang berupa penggunaan kekuatan militer.
Secara konsisten, kebijakan AS terhadap Irak berfokus pada tiga area utama, yaitu : 1) upaya untuk menghadapi tantangan dari rezim Saddam Hussein yang menurut AS melanggar dasar HAM terhadap suku syiah dan kurdi. 2) masalah tantangan terhadap kebijakan AS pada sistem keamanan regional dan gelombang supplai minyak. 3) masalah tantangan AS pads upaya pencegahan pengembangan WMD yang dilakukan Irak. AS melihat potensi pengembangan WMD di Irak sebagai sebuah ancaman yang cukup serius. Irak dianggap AS sebagai salah satu negara yang memiliki potensi besar bagi pengembangan dan penggunaan WMD. Hal ini nampak dari kepemilikan Irak atas unsur-unsur yang berkaitan dengan pembuatan dan pengembangan WMDnya yang melebihi batas-batas yang ditentukan oleh aturan international.
Dalam upaya meneegah pengembangan WMD Irak ini, AS menggunakan media antara lain : sanksi ekonomi berupa penghentian ekspor minyak Irak dan isolasi diplomatik yang sejauh ini dianggap kurang efektif, sehingga kebijakan AS pun terus berkembang sampai pada penggunaan kekuatan militer yang dilakukan secara berkala.
Metode penelitian yang digunakan adalah desciptive research dengan memaparkan data-data yang ada dan menganalisa data-data tersebut melalui pendekatan kualitatif. Adapun kerangka pemikiran menggunakan pendapat antara lain dari Crabb, yang membagi kebijakan luar negeri menjadi dua elemen yaitu : tujuan nasional dan cara-cara mencapainya, teori Rosseau mengenai variabel yang mempengaruhi fondasi politik luar negeri, Kegley dan Wittkopft serta Holsti mengenai komponen kebijakan luar negeri. Ditambahkan dengan konsep Hartman dan Wendzel mengenai mengukur ancaman, Russet mengenai pengaruh belief system pada kebijakan luar negeri, serta teori propaganda yang dikemukakan oleh Qualter dan Young.
Hasil dari penulisan ini adalah bahwa upaya penggunaan kekuatan militer yang dilakukan AS terhadap Irak dalam isu WMD pada tiga fase kepemimpinannya yaitu: George Bush (senior), Clinton I dan Clinton II memiliki tingkat kesuksesan sebagai berikut penyerangan yang dilakukan AS dapat dikatakan sukses hanya pada tingkatan jangka pendek, yakni penggunaan kekuatan militer tersebut mampu membuat Irak berjanji untuk mau bekerja sama dengan UNSCOM dan mematuhi resolusi yang ditetapkan oleh PBB, walaupun kemudian Irak selalu mengingkari janjinya tersebut, namun untuk jangka panjang belum bisa dikatakan sukses, melihat tujuan AS yang utama adalah menurunkan rezim Saddam Hussein karena dianggap sebagai ujung dari hapusnya potensi WMD Irak.
Adapun tanggapan yang datang baik dari negara-negara besar maupun negara-negara tetangga Irak sendiri sedikit unik. Negara-negara tersebut berpedoman bahwa isu terpenting di Irak adalah bagaimana menghilangkan potensi ancaman WMD yang ada di Irak. Namun pada penggunaan kekuatan militer yang dilakukan AS secara berkala itu, membuat negara-negara tersebut merasa bahwa penggunaan kekuatan militer tersebut tidak membuahkan hasil yang sesungguhnya tetapi hanya merupakan usaha propaganda bagi pemenuhan kepentingan nasional AS sendiri, yaitu penurunan rezim Saddam Hussein dan penggunaan minyak di Irak."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10276
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wangke, Humphrey
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2020
303.482 WAN d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi Fitriyanti
"Tesis ini membahas politik luar negeri Amerika Serikat yang mengkaji use of force AS terhadap Afghanistan dalam upaya self-defense akibat serangan teroris 1 I September 2001, Analisisnya dilakukan berdasarkan Piagani PBB dan Resolusi Dewan Keamanan No. 1368 dan 1373 (2001) yang dikaitkan dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.
Unit analisa yang digunakan dalam tesis ini adalah negara (state) yang merupakan bagian dari perspektif Realis. Penulis tertarik pada persoalan serangan udara AS terhadap Afghanistan yang dilakukannya secara sepihak tanpa persetujuan dan perintah dari PBB sehingga AS dapat dikatakan melanggar Piagam PBB serta menyimpang dari Resolusi Dewan Keamanan No. 1368 dan 1373 (2001).
Kerangka berpikir dalam tesis ini berupa kerangka konseptual. Berdasarkan persoalan penelitian, maka konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep politik luar negeri, use of .force, self-defense, terorisme, serta pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Dengan demikian, tesis ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi dokumen.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa AS berupaya memperluas ruang lingkup perang terhadap terorisme yang tidak hanya ditujukan terhadap Afghanistan saja. Tujuan AS yang sebenarnya adalah mengubah bentuk pemerintahan suatu negara yang dianggapnya dapat membahayakan eksistensi AS sebagai kekuatan tunggal dalam sistem internasional serta yang dapat menghalangi kepentingan nasionalnya. Hal ini dilakukan AS melalui politik Inn negerinya yang semakin agresif, cenderung unilateral, dan bersifat impulsit
Use of.force AS terhadap Afghanistan hanyalah merupakan salah satu bagian dari strategi AS dalam rangka menegakkan demokrasi, pasar bebas, perdagangan bebas, dan sebagainya guna menginfiltrasi urusan dalam negeri anggota PBB yang dilakukan dengan memanfaatkan momentum 11 September.
Oleh karena itu, tujuan politik luar negeri AS melalui operasi militernya terhadap Afghanistan harus dapat dibedakan dengan jelas. Serangan yang dilakukan AS itu benarbenar bertujuan memerangi terorisme internasional ataukah untuk menggulingkan pemerintahan Taliban demi kepentingan nasional AS yang sebenarnya sama sekali tidak berkaitan dengan Tragedi 11 September 2001 .
Dalam hal ini, politik luar negeri AS cenderung memanfaatkan islilah self defense guna membenarkan use of ,force yang dilakukannya demi mengejar kepentingan nasionalnya terhadap suatu negara meskipun negara yang diserangnya tidak mengancam AS.
Kesimpulan ini berkaitan dengan fakta yang ada dalam kasus use of force AS terhadap Afghanistan. Walaupun dalam kenyataannya 14 dari 19 pelaku serangan 11 September yang tertangkap adalah warga negara Arab Saudi, AS justru menyerang Afghanistan. Padahal, teroris adalah nonstate actor sedangkan Afghanistan merupakan state actor.
Berdasarkan Piagam PBB, upaya self-defense hanya ditujukan terhadap aktor negara, yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lainnya. Sehingga, upaya self-defense AS sebagai respon atas serangan 11 September yang menimpanya seharusnya ditujukan terhadap Arab Saudi karena mayoritas pelaku yang berhasil ditangkap merupakan warga berkebangsaan Arab Saudi. Selain itu, dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1368 dan 1373 (2001) sama sekali tidak menyebutkan tentang Afghanistan, Taliban, maupun Al-Qaidah.
Tak ada satupun ketentuan dalam hukum internasional yang membenarkan serangan udara AS terhadap Afghanistan sehingga landasan hukum atas use of force AS terhadap Afghanistan sangat "kabur". Memang, meskipun penggunaan kekerasan oleh suatu negara terhadap negara lainnya sudah dilarang secara resntil oleh hukum internasional dan Piagam PBB, namun ada dua pengecualian scbagaimana yang terdapat dalam Pasul 51 dan 53 Piagam PBB.
Dalam haI ini, AS telah menyalahgunakan konsep right of self-defense untuk kepentingannya sehingga dapat disimpulkan bahwa politik luar negeri AS pasca 11 September 2001 yang berkaitan dengan serangan udaranya terhadap Afghanistan telah melanggar Pasal 2 ayat 1, ayat 3, ayat 4, dan ayat 7) Piagam PBB serta menyimpang dari Resolusi Dewan Keamanan No. 1368 dan 1373 (2001). Padahal, satu-satunya cara dalam upaya memelihara perdamaian dan keamanan internasional adalah melalui jalur hukum internasional, bukan dengan menggunakan kekerasan sebagai upaya balas dendam."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12374
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rossy Verona
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan luar negeri AS terhadap Jepang pada era pasca Perang Dingin, khususnya masa Clinton I, dengan memfokuskan pada aliansi keamanan AS-Jepang dan upaya AS mempertahankan komitmennya di kawasan Asia Pasifik. Dalam hal ini penulis menggunakan negara sebagai unit analisa. Tesis ini sangat menarik bagi penulis karena yang dianalisa adalah kebijakan dan perilaku politik AS dan Jepang - dua negara besar di dunia.
Kelangsungan aliansi AS-Jepang penting bagi kawasan. Dalam pandangan AS, aliansi keamanan AS-Jepang adalah kuat dan penting, namun untuk terus menjaga tercapainya kepentingan nasional bersama, aliansi tersebut harus terus berkembang. Khususnya untuk kawasan Asia Timur, AS mencari bentuk aliansi yang dapat terus menjadi insurance policy, yaitu menyediakan pertahanan bagi Jepang dan menjamin stabilitas di Asia Timur dan dapat bertindak sebagai investment policy yaitu dalam hal meningkatkan kontribusi bagi stabilitas regional dan keamanan global. Dalam kaitan ini, ada dua faktor yang mempengaruhi aliansi keamanan AS-Jepang yaitu perubahan pada lingkungan strategis kedua negara dan persepsi yang berbeda dalam berbagi beban, tanggung jawab dan kekuatan diantara mereka.
Pembahasan permasalahan ini dilakukan secara deskriptif-analitis dengan menggunakan berbagai kerangka pemikiran. Dengan menggunakan pendapat Hanrieder yang mengaitkan kebijakan luar negeri dengan sasaran yang hendak dicapai, teori Lentner mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi suatu kebijakan, pendapat Newsom mengenai cakupan politik Iuar negeri, pendekatan sistem politik Almond, teori Kegley dan Wittkopf dan Holsti mengenai komponen kebijakan luar negeri, teori yang dikemukakan oleh Rosenau mengenai variabel yang mempengaruhi formulasi politik luar negeri dan tujuan jangka panjang suatu politik luar negeri, pendapat Gross mengenai kepentingan nasional suatu negara, konsep keamanan Buzan, dan pandangan Viotti dan Kauppi mengenai negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional, penulis mencoba membahas permasalahan tersebut.
Hasil dari penulisan ini adalah bahwa upaya AS untuk tetap mempertahankan komitmen dan keberadaan militernya di kawasan Asia Pasifik dipengaruhi oleh tarik menarik antara dua faktor, yaitu perubahan persepsi ancaman keamanan eksternal AS dan perubahan sistem internasional pasca Perang Dingin."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T9583
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situmorang, Gopokson Tarulitua
"Penulisan ini akan memfokuskan perhatian pada perbandingan kebijakan Bush dan Clinton periode 1989-1996 yang dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti institusional setting (kelembagaan bail( Presiden maupun Badan Eksekutif), Kongres, lingkup sosial, media massa dan faktor ideologi dan munculnya masalah-masalah dalam domestik Cina seperti HAM, Ekonomi (defisit perdagangan dan hak cipta), Taiwan maupun militer.
Pembahasan perbandingan kebijakan Bush dan Clinton pada dasarnya bermuara pada hubungan antara AS dan RRC yang timbul sebagai akibat dari strategic triangle yang dibentuk oleh Presiden Nixon melalui kunjungan bersejarah ke Beijing dan Moskwa tahun 1973. Hubungan AS-RRC berkembang menjadi suatu kemitraan strategis yang terbina oleh ketakutan bersama terhadap kekuatan Siviet pada masa Brezhnev. Belakangan kemitraan tersebut pecah karena hilangnya ancaman Soviet, terjadi peristiwa Tiannanmen dan munculnya Cina sebagai negara adidaya yang potensial.
Kerangka pemikiran penulisan tesis ini adalah bagaimana kebijakan kedua pemimpin tersebut dipengaruhi oleh kondisi internal AS sendiri dan pada saat yang sama juga sebagai respon terhadap kebijakan-kebijakan internasional (faktor eksternal RRC).Kondisi internal yang meliputi lingkungan sosial, lembaga-lembaga/institusi, dan karakteristik pengambilan keputusan menurut Kegley dan Witkoft merupakan input bagi proses pengambilan kebijakan luar negeri Bush dan Clinton dan seluruh proses tersebut mengubah input menjadi kebijakan terhadap lingkungan eksternal yang menjadi landasan bagi para pengambil kebijakan dalam mencapai tujuan nasionalnya.
Masalah-masalah HAM, ekonomi, Taiwan, dan militer Cina merupakan masalah luar negeri yang paling sulit ditanggulangi oleh pemerintah AS khususnya pada masa Clinton dan Bush karena berkaitan erat dengan persepsi-persepsi yang tumbuh di dalam negeri AS sendiri baik itu dari kelembagaan pemerintahan AS maupun persepsi lingkungan Sosial (opini publik yang dituangkan dalam media massa).
Terlihat bahwa dalam menetapkan kebijakan luar negerinya, baik Bush maupun Clinton menggunakan instrumen/alat seperti kebijakan yang berasal dari pengaruh social environment dan institusional setting yang meliputi opini publik, Kongres, maupun perbedaan ideologi (Partai Republik - kubu Bush dan Partai Demokrat - kubu Clinton) yang dituangkan dalam pemberitaan media massa cetak maupun elektronik turut mempengaruhi langkah kebijakan yang diambil kedua pemimpin tersebut. Kebijakan Bush maupun Clinton dalam banyak hal seringkali mengkaitkan isu-isu HAM, dan demokrasi maupun isu Taiwan dalam masalah domestik negeri tirai bambu tersebut untuk menekan Cina dalam mencapai apa yang menjadi tujuan Polugri AS."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkarnain
"Perubahan kebijakan luar negeri Polandia yang terjadi setelah berakhimya kekuasaan komunis di negara itu pada tahun 1990, merupakan suatu rangkaian yang tidak terlepas dari peristiwa domestik yang ditandai dengan adanya tuntutan-tuntutan ke arah perubahan. Peristiwa politik domestik yang sarat dengan berbagai tuntutan-tuntutan reformatif yang sekaligus telah memperpanjang dan menimbulkan krisis-krisis ekonomi dan politik di negara tersebut telah membuat Polandia berada dalam sebuah situasi yang sangat memprihatinkan. Situasi yang memprihatinkan ini dapat kita lihat dari munculnya instabilitas dalam bidang ekonomi dan politik. Dalam situasi yang demikian inilah, pemerintahan baru Polandia mencoba melakukan berbagai langkah-langkah tertentu agar negara tersebut dapat keluar dari krisis yang menimpanya, yaitu keluar dari instabilitas kehidupan ekonomi dan politik. Langkah-langkah perbaikan itu dilakukan lewat penggunaan kebijakan-kebijakan reformatif, baik pada level ekonomi maupun pada level politik, dan salah satu kebijakan itu dilakukan lewat instrumen kebijakan luar negeri.
Pilihan kebijakan luar negeri yang diambil oleh pemerintahan baru Polandia dalam rangka perbaikan-perbaikan kehidupan ekonomi politik domestik negara itu adalah dengan sikap dan pandangan yang "berkiblat ke Barat". Pilihan kebijakan luar negeri yang berkiblat ke Barat ini merupakan suatu sikap dan pandangan Polandia yang sangat berbeda dengan sikap dan pandangan luar negeri pada masa pemerintahan sebelumnya, yakni ketika negara itu masih di bawah kepemimpinan komunis. Sikap dan pandangan baru dari pemerintahan baru Polandia ini dapat kita lihat pada orientasi kebijakan kebijakan luar negerinya. Orientasi kebijakan itu adalah keinginan yang kuat dari pemerintah baru Polandia untuk bergabung dengan NATO dan UE. Orientasi pilihan ini dilakukan dengan tujuan mempercepat pencapaian keinginan-keinginan dometik tadi yang pada dasarnya adalah sekaligus menjadi kepentingan-kepentingan nasionalnya. Kemudian untuk tujuan ini., pemerintahan baru Polandia telah melakukan berbagai persiapan-persiapan, yaitu persiapan yang disesuaikan dengan keinginan-keinginan Barat itu sendiri (NATO dan UE). Kebijakan luar negeri Polandia yang menempatkan Barat sebagai orientasi pilihannya ini tentulah dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan. Pertimbangan utama dari pengambilan sikap dan pandangan ke Barat ini adalah !arena alasan-alasan ekonomi dan politik serta untuk memperoleh jaminan keamanan. Dengan demikian, dalam pandangan Polandia, Barat adalah satu-satunya pihak yang mampu mengembalikan kondisi instabilitas domestiknya tadi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10484
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>