Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 194571 dokumen yang sesuai dengan query
cover
A. Bakir Ihsan
"Tesis ini menelaah tentang hubungan Islam dan militer di Indonesia. Fenomena yang diambil sebagai studi kasus adalah peristiwa yang berlangsung selama masa tahun 1990-1998. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pada masa tersebut berlangsung perubahan hubungan yang lebih baik di antara keduanya di bandingkan dengan masa sebelumnya. Adanya perubahan tersebut terlihat dari pola interaksi di antara kedunya dan wacana yang berkembang pada masa tersebut.
Model analisa yang dipakai dalam penelitian ini adalah bersifat analitis-kritis terhadap berbagai perspektif atau teori tentang hubungan agama (Islam) dengan militer di Indonesia. Data-data yang diperoleh dijelaskan secara dekonstruktif (genetic explanation) dengan berusaha menelusuri latar belakang munculnya suatu gejala. Oleh sebab itu, penjelasan ini menggunakan cara melacak masalah yang sedang diteliti dimulai dari akar sejarahnya, di samping variabel-variabel yang mempengaruhi (independent variable) hubungan di antara keduanya sebagai tolak ukur bagi hubungan tersebut. Dengan cara ini terbangun sebuah analisa yang komprehensif tentang realitas hubungan yang sesungguhnya antara Islam dan militer.
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Prosedur penelitian ini menghendaki adanya analisa-analisa terhadap data-data yang terkumpul dari berbagai sumber, baik primer maupun sekunder. Bahan primer meliputi naskah-naskah, baik berupa buku, makalah, maupun karya-karya ilmiah lainnya, serta laporan jurnalistik yang terkait dengan masalah Islam dan militer di Indonesia. Wawancara juga dilakukan untuk menambah eksplorasi dan elaborasi terhadap penelitian ini.
Di samping itu, digunakan pula bahan-bahan lain, sebagai bahan sekunder, yang diperoleh melalui data lapangan (field research) dan wawancara (interview) dengan tokoh-tokoh yang dianggap representatif dan berkompeten dengan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, baik dari kalangan militer maupun dari kelompok Islam, serta pengamat.
Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal tahun 1990-an terjadi perubahan hubungan yang lebih baik antara umat Islam dengan militer. Pada masa itu, hubungan kedua kekuatan (Islam dan militer) tersebut mengalami kelenturan. Ketegangan hubungan yang berlangsung sejak awal tahun 1970-an terlihat mulai mencair. Ada kedekatan-kedekatan hubungan, khususnya antara jajaran elit militer dengan elit umat Islam.
Kedekatan tersebut disebabkan oleh banyak faktor. Secara umum factor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mendorong terjadinya perubahan hubungan antara umat Islam dengan militer adalah adanya transformasi orientasi yang berlangsung baik di dalam kelompok Islam maupun militer. Di kalangan umat Islam berlangsung perubahan orientasi politik dari legalistik-formalistik, yaitu orientasi yang ingin menegakkan Islam secara legal (konstitusional) dan formal (institusional) dalam tatanan kehidupan bernegara yang pluralistik ini, ke orientasi substansialistik, yaitu orientasi yang meletakkan Islam sebagai ajaran universal yang harus disosialisasikan melalui sikap dan perilaku (budaya) seluruh lapisan masyarakat, seperti keadilan, persamaan, dan musyawarah.
Perubahan orientasi ini menjadi peretas bagi keinginan sebagian umat Islam untuk menampilkan Islam secara legal-formal yang tidak disukai oleh militer. Mereka yang mempermasalahkan secara terang-terangan terhadap asas tunggal Pancasila mulai berkurang. Lebih dari itu, muncul wacana yang melihat adanya korelasi antara ajaran Islam dengan Pancasila. Oleh sebab itu, munculnya perilaku politik yang lebih substantif itu menjadi perekat relasi militer dengan umat Islam.
Begitu juga di kalangan militer muncul perubahan persepsi tentang Islam yang radikal, anti integrasi, dan ancaman bagi stabilitas negara. Hal ini terjadi terutama disebabkan oleh naiknya militer yang memiliki latar belakang pemahaman keislaman yang baik yang kemudian dikenal dengan istilah militer santri. Para militer muslim ini memandang Islam sebagai bagian dari Saptamarga yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara yang menjadi faktor eksternal bagi terjadinya perubahan hubungan umat Islam dengan militer adalah adanya kebijakan negara (political will) yang akomodatif baik terhadap umat Islam maupun terhadap militer yang memiliki latar belakang keislaman yang baik. Kepentingan politik negara (penguasa) terhadap umat Islam dan militer muslim ini telah memungkinkan munculnya titik temu antara umat Islam dengan militer.
Di samping itu, tuntutan global yang menghendaki adanya proses demokratisasi dan penghargaan terhadap hak asasi manusia di berbagai negara juga ikut menjadi faktor pendorong bagi perubahan politik yang berlangsung di Indonesia. Berbagai peristiwa pelanggaran hak asasi manusia dan perilaku represif militer yang terjadi di Indonesia menjadi soratan dunia internasional. Tidak jarang berbagai pelanggaran itu mengundang ancaman terhadap kelangsungan kerjasama Indonesia dengan dunia internasional. Kenyataan ini telah memaksa negara untuk memperhatikan dan membiarkan proses demokratisasi itu berjalan di negeri ini.
Berbagai faktor itulah yang mempertemukan umat Islam dengan militer, khususnya sejak awal tahun 1990-an. Secara politik, keduanya dipertautkan oleh kepentingan penguasa, sementara secara kultural mereka dipertemukan oleh adanya pemahaman yang sama tentang Islam. Tidak berlebihan apabila seorang Indonesianis, Harold Crouch menggambarkan semarak keagamaan yang muncul di lingkungan militer pada awal tahun 1990-an sebagai fenomena baru yang belum terlihat pada masa sebelumnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T3032
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Munifah Syanwani
"Pemikiran dan reformasi dari suatu keadaan akan selalu terjadi dimana saja, kapan saja dan dalam bentuk apa saja. Reformasi dalam konteks ini mempunyai ragam dan bentuknya, setidaknya ada tiga kecenderungan dari reformasi itu sendiri ; Pertama, kecenderungan untuk mempertahankan sistem dari abad-abad permulaan Islam sebagai sesuatu sistem yang benar dan tentunya setelah dibersihkan dari bid'ah, Kedua, kecenderungan dalam usaha untuk membangun kembali ajaran yang benar serta apabila dipandang perlu akan disesuaikan dengan pengertian-pengertian dan pemahaman-pemahaman kantemporer, disesuaikan dengan zaman dan kebutuhan yang dihadapinya, khususnya yang mencakup segi-segi agama, kesusilaan dan kemasyarakatan. Tentunya bagi mereka yang berupaya untuk memformulasikan sumber-sumber hukum Islam ke dalam realitas sosial serta disesuaikan dengan keadaan zaman yang selalu berkembang dan berubah, maka sangatlah dibutuhkan adanya ijtihad. Ketiga, kecenderungan dalam berpegang teguh kepada dasar-dasar ajaran Islam yang diakui pada umumnya, tetapi tidak menutup pintu bagi pandanganp-andangan baru yang biasanya datang dari Barat.
Dari tiga kecenderungan itu, penulis dengan segala keterbatasan mencoba untuk mengkaji dan meneliti sebuah pemikiran politik Islam dari seorang pemikir Islam yang berkaliber internasional yaitu Abul A'la al-Maududi yang dituangkan dalam bentuk karya ilmiah, yaitu sebuah tesis dengan judul "Perbandingan Pemikiran Politik Islam Abul Ala Al-Maududi dengan Pemikiran dan Gerakan Partai Bulan Bintang di Indonesia"
Dalam kajian ini penulis memfokuskan bahasan khusus pada pemikiran politik meliputi konsep negara atau pemerintahan dan tujuannya, dasar negara, demokrasi, struktur pemerintahan dan hukum menurut pandangan Maududi. Dari pemikiran yang berawal dari pembenahan sistem itulah Maududi mempunyai idealisme yang tinggi yaitu menjadikan Islam as way of life - sebagai jalan hidup - secara totalitas dan harus menjadi pijakan bagi manusia khususnya bagi ummat Islam. Maududi menghendaki ummat Islam pada zaman modern ini apabila ingin kembali mengalami kejayaan dan keemasannya sebagaimana yang telah dilewati pada awal tradisi Islam, maka ummat Islam harus kembali kepada dua sumber hukum Islam (al-Qur'an dan as-Sunnah) secara mutlak serta mengembalikan sistem pemerintahan yang sedang dijalankan pada abad modern ini kepada sistem yang telah dibangun Rasulullah SAW dan Khulafa ar-Rasyidin.
Maududi tidak menerima sistem pemerintahan yang sedang dijalankan pada zaman modern ini, ia selalu memperjuangkan simbol Islam, bahwa Islam harus diterapkan sebagai dasar negara karena menurutnya didirikannya suatu negara adalah sebagai manifestasi dan misi besar Islam dan iapun menolak demokrasi yang berpaham kedaulatan rakyat, maka sebagai alternatifnya ia menawarkan sistem kekhalifahan dengan paham kedaulatan Tuhan, manusia harus tunduk pada aturan Tuhan karena manusia hanya merupakan wakil Allah di muka bumi. Tentang struktur pemerintahan, Maududi memandang bahwa struktur yang telah diterapkan oleh Rasulullah SAW dan Khulafa ar-Rasyidin adalah struktur pemerintahan yang dapat pula dijalankan di abad modern ini karena struktur itu merupakan struktur ideal yang dibangun di awal pemerintahan Islam. Oleh karenanya hukum atau undang-undang yang harus diberlakukanpun adalah syari'at Islam secara apa adanya sebagaimana yang dijalankan di awal tradisi Islam tanpa perlu adanya ijtihad karena Islam merupakan sistem yang komprehensif dan sesuai dengan situasi dan kandisi zaman. Dengan demikian, apa yang menjadi idealisme besar Maududi yaitu ingin menjadikan Islam kembali sebagai way of fife akan dapat direalisasikan.
Pandangan dan pemikiran politik Maududi di Pakistan sangat banyak berpengaruh pada dunia Islam, maka untuk mengetahui lebih lanjut tentang pengaruh dari pandangan pemikiran tersebut, penulis mencoba mengadakan kajian khusus pada organisasi dan gerakan Islam yang ada di negara lain, dalam hal ini penulis mengambil obyek gerakan Islam pada Partai Bulan Bintang di Indonesia yang kemudian akan mengambil perbandingan dari dua pemikiran tersebut.
Sebagaimana halnya pemikiran politik Islam Maududi di Pakistan, pemikiran Politik Islam di Indonesiapun pada prinsipnya menghendaki tegaknya Syari'at Islam dan menjadikan Islam as way of life, salah satunya pemikiran politik Partai Bulan Bintang. Partai Bulan Bintang merupakan Partai yang berasaskan Islam yang mempunyai kecenderungan dalam gerakannya lebih pada modernis dan kompromis dengan idealisme Islam/ Islam wal-Muslimiin yang dalam implementasinya dapat disesuaikan dengan kebutuhan zaman yang selalu berubah. Substansi dari ajaran Islam merupakan hal yang utama daripada simbol-simbol Islam itu sendiri, Ajaran Islam dapat disesuaikan dengan segala zaman. Oleh karenanya dalam rangka mencari solusi dari suatu hal yang baru diperlukan ijtihad dengan tetap mengacu kepada dua sumber hukum Islam yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah. Kedaulatan berada di tangan rakyat, karena sistem pemerintahan merupakan urusan yang bersifat mua'malah dan manusialah yang harus menjalankan sistem pemerintahan dari suatu negara. Dalam urusan pemerintahan dan simbol-simbolnya, kalau memang situasi memaksa untuk kompromi maka Partai Bulan Bintang lebih mengedepankan adanya kompromi dan mengakui pluralisme dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dari kedua pemikiran politik tersebut, yaitu pemikiran Maududi yang diimplementasikan pada gerakan organisasinya yaitu Tama at Islami di Pakistan dengan pemikiran dan gerakan Partai Bulan Bintang di Indonesia. Yang kedua organisasi politik ini mengumandangkan pemberlakuan Islam as way of life dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, juga dengan adanya idealisme besar dari Partai Bulan Bintang yaitu Izzul Islam wal Musliminm. Dari dasar dua pemikiran inilah penulis mengadakan penelitian dengan metode Studi Kasus pada Partai Bulan Bintang dan Studi Pustaka dalam mengambil data untuk menganalisis pemikiran dan pandangan-pandangan politik Islamnya Abul Ala al-Maududi, yang kemudian mengambil perbandingan dari kedua pemikiran tersebut.

Comparing Islamic Political Thought of Abul A'la Almaududi to The Thought and The Movement of The Crescent Star Party in Indonesia (Politics and International Relations in the Middle East)The thought and the reform of a condition will always occur wherever, whenever and in any kind of form. The reform in this context has its own variations and foams. There are at least three tendencies of the reform itself First, tendency to maintain the system from the early centuries of Islam as a proper system and definitely after it has been purified from any heresies. Second, tendency in efforts to rebuild the right tenet, which will necessarily comply with contemporary understandings and comprehensions according to the era and needs that it has to go through, and particularly with the religious, moral, and community aspects. For those who try to formulate the sources of Islamic law into social reality and to comply with the changing and evolving era, it is necessary to have the Ijtihad. Third, tendency to hold tightly onto the basics of the Islamic tenet, commonly recognized, but not to refuse the new views, which usually come from the West.
With those tendencies, the author, with all her limitations, tries to study and analyze the Islamic political thought from an internationally recognized Islamic thinker, Abul A'la Almaududi, which the author will disclose in her thesis entitled "Comparing Islamic Political Thought of Abul A'la Almaududi to the Thought and the Movement of the Crescent Star Party in Indonesia".
This thesis focuses on political thoughts including the concept of state or government and its purpose, state basic principles, democracy, government structure and law in Maududi's point of view. From the thought that is preceded by the improvement of the system, Maududi has a great idealism to make Islam totally as a way of life and as a platform for human kind and for the Islamic society in particular. In Maududi's opinion, if the Islamic society seeks for glory like the one they had in their early tradition, it has to return totally to the sources of Islamic law, i.e. Koran and Sunnah and reform the government system in this modem age with the system created once by Rasulullah SAW and Khulafa Arrasyidin.
Maududi refuses government system of this modern age. He consistently struggles for Islamic symbol: Islam has to be adopted as state basic principles. Maududi thinks that the establishment of a state is a manifestation of Islamic great mission. He also refuses the people's sovereignty of the democracy. Alternatively, he proposes God's sovereignty of the caliphate system. Mankind must obey God's rule since it is a representative of God in the Earth. Regarding government structure, Maududi considers that the structure implemented by Rasulullah SAW and Khulafa Arrasyidin can be applied in this modem era because the structure is an ideal one built in the beginning of Islamic government. Therefore, the law that has to be applied is sharia like the one implemented during the early tradition of Islam and without having to adopt the ijtihad. Islam is a comprehensive system and adjustable to the situation and condition nowadays. Hence, what becomes his great idealism, which is to make Islam as way of life, can be realized.
Maududi's political view and thought in Pakistan has much influenced the Islamic world. To find out more about the influence of that view and thought, the author tries to conduct specific studies on the Islamic organization and movement outside Pakistan. In this case, the author takes the Islamic movement of the Crescent Star Party in Indonesia as an object and makes comparison of the two thoughts.
Similar to the Islamic political thought of Maududi in Pakistan, the Islamic political thoughts in Indonesian seeks to enforce the sharia and to make Islam as a way of life. One of them is the political thought of the Crescent Star Party. This party is based on Islamic principles, which tends to have a modernistic and compromised movement, bringing the idealism of Izzul Islam wal Muslimin that in its implementation can meet the needs of this changing era. The substance of Islamic tenet is the main thing, instead of the Islamic symbols itself; and it complies with any eras. Therefore, in order to find a solution of actual problems, the ijtihad is necessary while referring consistently to the two sources of Islamic law, the Koran and Sunnah. The sovereignty is in the people's hands since the government system is categorized as muamalah and it is humankind who has to carry out the government system of a state. Facing with government affairs and their symbols, in the circumstances when compromise is inevitable, the Crescent Star Party prioritizes the compromise and recognizes the pluralism in the community, nation, and state.
These two political thoughts are applied in a form of an organization: Maududi with his Jama?at Islami in Pakistan, and the Crescent Star Party in Indonesia. Both organizations declare the implementation of Islam as a way of life in the nation and state life supported by the great idealism of the Crescent Star Party, Le. Izzul Islam wal Muslimin. Based on those two ideas, the author conducts a research by using the case study method on the Crescent Star Party and the literature study method to collect data as well as to analyze the thought and the views of Maududi concerning the Islamic politics, and makes comparison of the two thoughts.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T13400
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moh. Sjafaat Mintaredja
Jakarta: Septenarius, 1976
297.432.0 MIN s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Putri Indriany
"Abdurrahman Wahid adalah figur yang menarik dan pemikirannya tentang hubungan Islam dan negara yang disertai argumen-argumen dan praksis yang sering kontroversial, telah menjadi salah satu arus besar dalam khasanah intelektual dan perpolitikan kontemporer di Indonesia. Dalam hal ini, selain mempunyai implikasi secara normatif-substansial, Abdurrahman Wahid secara empirik-prosedural memainkan peran yang lebih besar dan berimplikasi luas dalam realitas politik. Hal ini dikarenakan Abdurrahman Wahid dalam aktivitasnya lebih kuat warna politiknya daripada warna akademisnya. Hal ini kemudian yang menyulitkannya untuk mewujudkan cita-citanya untuk menjadi seorang guru bangsa, yang dapat berdiri di atas semua golongan dan kelompok kepentingan.
Penelitian yang dititikberatkan pada library research ini dimaksudkan untuk memetakan, menggambarkan dan menganalisis penolakan Abdurrahman Wahid terhadap negara Islam di Indonesia. Dari pemetaan ditemukan bahwa penolakan Abdurrahman Wahid tersebut tidak dapat digolongkan ke dalam satu pemahaman, 'secara normatif-substansial atau secara empirik-prosedural; karena pemikiran Abdurrahman Wahid secara normatif dan empirik, ditemukan butir-butir pemikirannya yang berkelindan satu sama lain.
Penerimaan Abdurrahman Wahid terhadap Pancasila sebagai ideologi kebangsaan, Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk finalitas negara bangsa di Indonesia, dan masyarakat Indonesia demokratis yang dicita-citakannya; adalah wujud dari penolakannya terhadap gagasan masyarakat atau negara Islam di Indonesia dari kalangan Islam modernis.
Walaupun secara umum, praktek politik Abdurrahman Wahid liberal dan sekuler, tetapi gagasannya tentang negara berakar dan dielaborasi dari keyakinan Abdurrahman Wahid terhadap Islam, baik Islam sebagai nilai-nilai ajaran maupun Islam sejarah. Sikap Abdurrahman Wahid yang moderat, inklusif, dan eklektis pada dasarnya adalah pengaruh ke-NU-annya yang sangat diwarnai oleh tradisi Sunni."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T3033
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rusli Karim
Yogyakarta: Hanindita, 1985
297.272 RUS d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
M. Zaki Mubarak
"Kajian tentang gerakan Islam fundamentalis kembali menarik perhatian berbagai kalangan ilmuwan sosial dan polilik beberapa tahun belakangan. Beberapa kejadian di tingkatan Internasional maupun domestik yang terjadi beberapa tahun terakhir yang diawali dengan kasus penyerangan terhadap Gedung WTC 11 September 2001 dan berbagai kejadian di dalam negeri sepanjang 1998-2003, mulai dari peledakan bom secara sporadis di Malam Natal tahun 2000, tragedi Bom Bali 12 oktober 2002, dan aksi bom bunuh dlri di Hotel Merriot Jakarta, yang kesemuanya telah menelan banyak korban, telah semakin mengukuhkan bahwa gerakan Islam fundamentalis yang dalam aksi-aksinya sering kali memakai cara-cara radikal benar-benar nyata adanya dan telah menjadi ancaman bersama.
Proses demokratisasi yang berlangsung di Indonesia sejak 1998 secara langsung ataupun tidak telah memberikan ruang bagi organ-organ Islam fundamentalis dan radikal untuk tumbuh dan berkembang. Transisi politik yang sering kali diwarnai berbagai macam kegalauan dan aneka persoalan, telah menyebabkan kurangnya perhatian akan potensi-potensi dari gerakan organisasi-organisasi islam fundamentalis dan radikal ini terhadap masa depan nasional. Patut untuk diakui bahwa seiring dengan kecenderungan ke arah krisis governabilitas dan ketidak becusan para elit-elit untuk mengkondisikan situasi ekonomi dan politik yang stabil dan kondusif, sedikit banyak mengimplikasikan semakin menguatnya daya tarik nilai-nilai alternatif yang ditawarkan oleh perkumpulan-perkumpulan keagamaan yang ekstrim tersebut. Kembali mengerasnya tuntutan untuk pemberlakuan syariat Islam dapat dipahami salah satunya oleh faktor menipisnya kepercayaan rakyat terhadap penegakan hukum yang berjalan di Indonesia, sehingga alternatif lain serta merta dipandang sebagai solusi terbaik.
Beberapa tindak kekerasan yang telah beberapa tahun berlangsung, telah menyebabkan beberapa aktifis gerakan Islam fundamentalis radikal duduk dalam kursi pesakitan. Organisasi yang menjadi fikus kajian dalam tesis lni, FPI, Majelis Mujahidi, Laskar Jihad, dan Hizbut Tahrir Indonesia, benar-benar berada dalam posisi yang Iemah. Baik akibat berbagai penangkapan terhadap tokoh-tokohnya ataupun karena tekaanan-tekanan yang makin keras dari berbagai kalangan di luar dan dalam negeri. Namun demikian, realitas telah menunjukkan bahwa masyarakat mulai terpikat dengan beberapa agenda utama yang diperjuangkan oleh elemen-elemen ini, sekurangnya telah banyak survei memperllhatkan tingginya antusiasme masyarakat terhadap berlakunya syariat Islam.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa konsepsi gagasan dan pemikiran organisasi yang menjadi subyek kajian ini hampir semuanya secara frontal bertolak belakang dengan nilai dan prinsip demokrasi. Lebih jauh, demokrasi dianggap sebagai sistem kufur yang harus diperangi. Dan beberapa diantaranya masih bersiteguh untuk mendirikan suatu kekuasaan polilik berbentuk Negara Islam atau Daulah Khilafah lslamiyyah. Konstruksi politik yang diangankan oleh kelompok-kelompok ini, diukur dari cara pandang demokrasi, sangat jelas bersifat eksklusif dan diskriminatif. Hal ini dlbuktikan dengan konsepsi mereka yang mengharamkan kepemimpinan politik perempuan misalnya, atas kepemimpinan warga non muslim.
Tentu adanya kenyataan yang demikian menjadi tantangan serius bagi seluruh elemen yang berkomitmen dengan penegakkan prinsip demokrasi, yang menghargai pluralitas dan toleransi. Sejauh mana masa depan demokrasi di Indonesia akan terus eksis dan terus bertumbuh kuat, pada hemat penulis, akan tergantung kepada bagalmana para elit-elit strategis negeri ini dapat membuktikan kinerja pemerintahan yang demokratis akan memberikan hasil yang optimal dan mensejahterakan masyarakatnya. Termasuk juga, bagaimana elemen-elemen muslim moderat yang menghargai pluralitas, kebersamaan, dan toleransi dapat meyakinkan kepada masyarakat luas akan kebaikan dan keutamaan prinsip-prinsip tersebut, dibandingkan apa yang selalu ditawarkan oleh kelompok Islam fundamentalis radikal."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12221
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Keberadaan Islam jauh lebih dulu ada di wilayah Nusantara dari apa yang kita sebut sekarang ini dengan sebutan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Begitu juga peran politik umat Islam seudah ada sebelum Indonesia terbentuk. Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon serta Ternate adalah bentuk peran politik umay Islam di wilayah-wilayah pra Indonesia. Meskipun Islam sudah setua dengan apa yang digambarkan diatas, politik umat Islam di masa-masa Indonesia merdeka tidak begitu menggembirakan."
320 JIPP 1:1 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Barton, Greg
Jakarta: Pustaka Antara, 1999
297.272 BAR et
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Moh. Sjafaat Mintaredja
Jakarta: Siliwangi, 1972
297.636 MIN i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Rahman, Fazlur
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001
297.8 FAZ g
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>