Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 166582 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eko Hariyanto
"Pembunuhan pada hakekatnya bertentangan dengan norma hukum dan norma agama, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat. Meskipun demikian tetap saja ada sebagian anggota masyarakat yang melakukan tindak kejahatan tersebut. Dan ironisnya minat para pemerhati masalah-masalah sosial di Indonesia untuk mengkaji fenomena pembunuhan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat nampak masih kurang. Padahal sebagai fenomena sosial, pembunuhan merupakan topik yang sangatlah menarik dan perlu dikaji secara luas dan mendalam. Kenyataan inilah yang mendorong penulis untuk rrengangkat permasalahan tersebut sebagai topik dalam tesis.
Telaah teoritis mengacu kepada trend pembunuhan sebagai transaksi yang disengaja karya David F. Luckenbill sebagai kerangka pemikiran utama. Sedangkan gagasan Lonnie H. Athens dan Marvin E. Wolfgang sebagai teori penunjang.
Metode, tipe dan pendekatan penelitian yang digunakan untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian adalah metode studi kasus, dengan tipe penelitian deskriptif dan menggunakan pendekatan kualitatif. Agar data dapat terkumpul sesuai dengan yang diharapkan, maka digunakan beberapa cara pengumpulan data, antara lain adalah dengan wawancara mendalam dan studi kepustakaan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap empat puluh dua pelaku pembunuhan yang saat ini sedang menjaiani masa pidananya di beberapa Lapas yang menjadi lokasi penelitian (yaitu : Lapas Cipinang Jakarta, Lapas Bogor, Lapas Anak, Lapas Pemuda dan Lapas Wanita Tangerang) diperoleh gambaran bahwa peristiwa pembunuhan itu merupakan akibat dari suatu perselisihan atau konflik antar pribadi yang kian memuncak di antara pelaku dengan korban.
Interaksi sosial yang berakhir dengan pembunuhan ini umumnya berlangsung dalam enam tahapan menurut urutan waktunya. Temuan ini nampaknya relatif bersesuaian dengan kerangka pemikiran yang digunakan dalam tesis ini.
Tahap pertama, menggambarkan bahwa proses interaksi tersebut umumnya dibuka (diawali) oleh korban dengan cara melakukan : serangan terhadap pelaku atau memprovokasi secara verbal atau isyarat fisik yang benada penghinaan terhadap pelaku.
Menurut data yang terkumpul ditemukan bahwa tindakan korban tersebut di artikan oleh pelaku umumnya ditafsirkan sebagai tindakan yang mengancam dan membahayakan jiwanya, dan seringkali juga dianggap sebagai penghinaan terhadap kehormatan dan keluarga diri pelaku. Kemudian dengan berlandaskan pada hasil interprelusi ini pada pelaku umumnya, lalu menyusun-rencana tindakan balasan (umumnya berupa tindak kekerasan) yang bersifat patensial, belum menerapakan tingkah laku nyata. Rencana tindakan kekerasan oleh pelaku ini umumnya pada akhirnya direalisir dalam bentuk tindak kekerasan nyata pada tahapan interaksi berikutnya saat perilaku korban tidak dapat ditolerirnya. Tahapan ini sering disebut sebagai-tahapan kedua interaksi.
Pada tahap berikutnya, yakni tahap ketiga, pelaku merespon provokasi korban demi menyelamatkan harga diri dan kehormatannya. Respon pelaku unmumnya berupa tanggapan verbal yang menghina korban, dan, terkadang juga daIam bentuk serangan fisik terhadap korban.
Tahap keempat, yang mencerminkan respon korban terhadap reaksi balik pelaku pada tahap sebelumnya, memperlihatkan bahwa korban, umumnya menerima tantangan verbal ataupun serangan fisik pelaku dengan memberikan ekspresi verbal yang menantang balik maupun dengan melakukan serangan fisik berikutnya. Pada tahap ini tampak jelas bahwa audiens yang ada di sekitar tempat kejadian umumnya aktif mendukung matangnya perselisihan antara pelaku-korban hingga berakhir dengan pembunuhan.
Dengan adanya kesepakatan kerja secara implisit ataupun eksplisit antara pelaku dengan korban bahwa kekerasan merupakan cara yang paling tepat untuk rnenyelesaikan konflik di antara mereka dan adanya senjata serta dukungan dari audiens, maka pada tahap kelima ini, keduanya terlibat perkelahian nyata yang kemudian berakhir dengan kematian korban.
Tahap keenam yang merupakan tahap penutup interaksi menggambarkan bahwa setelah korban tewas umumnya pelaku melarikan diri, terlebih bila hubungan antara korban dengan pelaku hanya sebatas kenalan apalagi orang yang tidak dikenalnya. Namun bila korban adalah sanak keluarganya sendiri, umumnya pelaku segera menyerahkan diri kepada polisi. Pada tahap ini audiens pun umumnya segera melaporkan peristiwa pembunuhan yang terjadi kepada polisi.
Namun tetap harus disadari bahwa tahapan interaksi seperti ini tidak berlaku untuk kasus-kasus pembunuhan berikut ini : pembunuhan karena kekerasan kolektif primitif; pembunuhan yang bermotif politik; pembunuhan karena motif bayaran (yang dilakukan oleh pembunuh bayaran); dan pembunuhan dimana pelakunya mengidap kelainan jiwa, misalnya paranoid."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T2586
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Hariyanto
"Pembunuhan pada hakekatnya bertentangan dengan norma hukum dan norma agama, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat. Meskipun demikian tetap saja ada sebagian anggota masyarakat yang melakukan tindak kejahatan tersebut. Dan ironisnya minat para pemerhati masalah-masalah sosial di Indonesia untuk mengkaji fenomena pembunuhan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat nampak masih kurang. Padahal sebagai fenomena sosial, pembunuhan merupakan topik yang sangatlah menarik dan perlu dikaji secara luas dan mendalam. Kenyataan inilah yang mendorong penulis untuk mengangkat permasalahan tersebut sebagai topik dalam penelitian ini.
Telaah teoritis mengacu kepada teori pembunuhan sebagai transaksi yang disengaja karya David F. Luckenbill sebagai kerangka pemikiran utama. Sedangkan gagasan Lonnie H. Athens dan Marvin E. Wolfgang sebagai teori penunjang.
Metode, tipe dan pendekatan penelitian yang digunakan untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian adalah metode studi kasus, dengan tipe penelitian deskriptif dan menggunakan pendekatan kualitatif. Agar data dapat terkumpul sesuai dengan yang diharapkan, maka digunakan beberapa cara pengumpulan data, antara lain adalah dengan wawancara mendaiam dan studi kepustakaan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap empat puluh dua pelaku pembunuhan yang saat ini sedang menjalani masa pidananya di beberapa Lapas yang menjadi lokasi penelitian (yaitu : Lapas Cipinang Jakarta, Lapas Bogor, Lapas Anak, Lapas Pemuda dan Lapas Wanita Tangerang) diperoleh garnbaran bahwa pelaku pembunuhan umumnya pria, berusia dewasa, beragama Islam, etnis Sunda, belum menikah, berpendidikan rendah, bekerja sebagai buruh atau di sektor informal, tergolong pelaku pemula (first offender), melakukannya secara spontan.
Sedangkan korban pembunuhan umumnya pria, berusia dewasa, beragara Islam, etnis Sunda, sudah menikah, berpendidikan rendah, berprofesi sebagai preman.
Ditinjau dari elemen-elemen situasionalnya ditemukan bahwa motivasi para pelaku umumnya merupakan motivasi ekspresif yang muncul saat terjadi pertengkaran antar pribadi yang kian memuncak; mayoritas pembunuhan melibatkan kenalan, selebihnya melibatkan anggota keluarga sendiri dan orang asing 1 tidak dikenal sebelumnya; korban umumnya berperan aktif dalam interaksi; lokasi fisik yang paling berbahaya bagi terjadinya pembunuhan adalah di dalam rumah korban sendiri dan di jalanan umum serta tempat umum lainnya.
Peristiwa pembunuhan lebih sering terjadi pada malam hari. Senjata tajam seperti pisau, golok, badik dan clurit merupakan senjata yang paling umum digunakan pelaku untuk menusuk atau membacok korbannya. Senjata yang mematikan tersebut kebanyakan sengaja dibawa pelaku, namun ada Pula yang ditemukan di tempat kejadian atau direbut dari tangan korban. Peristiwa pembunuhan paling sering dilakukan dengan cara keroyokan. Sesaat sebelum peristiwa pembunuhan terjadi, umumnya baik pelaku ataupun korban diketahui habis mengkonsumsi alkohol dan/atau obat-obatan terlarang. Temuan ini menimbulkan dugaan bahwa alkohol atau obat-obatan terlarang inilah yang mempengaruhi atau merangsang pelaku dan korban sehingga menjadi lebih aktif (baca: agresif) dalam proses interaksi di antara keduannya.
Dari hasil analisis data terungkap bahwa peristiwa pembunuhan itu merupakan akibat dari suatu perselisihan atau konflik antar pribadi yang kian memuncak di antara pelaku dengan korban. Interaksi social yang berakhir dengan pembunuhan ini umumnya berlangsung dalam enam tahapan menurut urutan waktunya. Temuan ini nampaknya relatif bersesuaian dengan kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini.
Tahap pertama menggambarkan bahwa proses interaksi tersebut umumnya dibuka (diawali) oleh korban (victim precipitated) dengan cara melakukan : serangan terhadap pelaku atau rnemprovokasi secara verbal atau isyarat fisik yang bemada penghinaan terhadap pelaku.
Menurut data yang terkumpul ditemukan bahwa tindakan korban tersebut di atas oleh pelaku umumnya ditafsirkan sebagai tindakan yang mengancam dan membahayakan jiwanya, dan seringkali juga dianggap sebagai penghinaan terhadap kehormatan dan harga diri pelaku. Kemudian dengan berlandaskan pada hasil interpretasi ini pelaku umumnya lalu menyusun rencana tindakan balasan (umumnya berupa tindak kekerasan) yang bersifat potensial, belum merupakan tingkah laku nyata. Rencana tindakan kekerasan oleh pelaku ini umumnya pada akhirnya direalisir dalam bentuk tindak kekerasan nyata pada tahapan interaksi berikutnya bila sikap dan perilaku korban tetap tidak dapat ditolerirnya Tahapan ini sering disebut sebagai tahapan kedua interaksi.
Pada tahap berikutnya, yakni tahap ketiga, pelaku benar-benar merespon provokasi korban demi menyelamatkan jiwa, ataupun harga diri dan kehormatannya. Respon pelaku umumnya berupa tantangan verbal yang menghina dan mengancam korban, dan terkadang juga dalam bentuk serangan fisik terhadap korban.
Tahap keempat, yang mencenninkan respon korban terhadap reaksi balik pelaku pada tahap sebelumnya, memperlihatkan bahwa korban umumnya menerima tantangan verbal ataupun serangan fisik pelaku dengan memberikan ekspresi verbal yang menantang balik maupun dengan melakukan serangan fisik berikutnya. Pada tahap ini tampak jelas bahwa audiens yang ada di sekitar tempat kejadian umumnya aktif mendukung matangnya perselisihan antara pelaku-korban hingga berakhir dengan pembunuhan. Dengan adanya kesepakatan kerja secara implisit ataupun eksplisit antara pelaku dengan korban bahwa kekerasan merupakan cara yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik di antara mereka dan adanya senjata serta dukungan dan audiens, maka pada tahap kelima ini, keduanya terlibat perkelahian nyata yang kemudian berakhir dengan kematian korban.
Tahap keenam yang merupakan tahap penutup interaksi menggambarkan bahwa setelah korban tewas umumnya pelaku melarikan diri, terlebih bila hubungan antara korban dengan pelaku hanya sebatas kenalan apalagi orang yang tidak dikenalnya. Namun bila korban adalah sanak keluarganya sendiri umumnya pelaku segera menyerahkan diri kepada polisi. Pada tahap ini audiens pun umumnya segera melaporkan peristiwa pembunuhan yang terjadi kepada polisi. Namun tetap harus disadari bahwa tahapan interaksi seperti ini tidak berlaku untuk kasus-kasus pembunuhan berikut ini : pembunuhan karena kekerasan kolektif primitif; pembunuhan yang bermotif politik; pembunuhan karena motif bayaran (yang dilakukan oleh pembunuh bayaran) dan pembunuhan dimana pelakunya mengidap kelainan jiwa, misalnya paranoids."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Rizal Syahman Radi
"Tesis ini tentang penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen terhadap kasus perdagangan telepon seluler tanpa dilengkapi petunjuk penggunaan dalam bahasa Indonesia oleh penyidik dari Sat Indag Dit Reskrimsus Polda Metro Jaya. Penulisan tesis ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran aktual tentang proses penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen agar dapat memformulasikan tindakan, kebijaksanaan yang mendesak dan diperlukan untuk dilakukan perbaikan, yang tidak hanya oteh Polri tetapi juga oleh instansi terkait, serta masyarakat baik konsumen maupun pelaku usaha. Adapun permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah proses penyidikan tindak pidana terhadap kasus perdagangan telepon seluler tanpa dilengkapi petunjuk penggunaan dalam bahasa Indonesia oleh Sat Indag Polda Metro Jaya, yang telah melanggar pasal 8 ayat (1) huruf j jo pasal 62 ayat (1) Undang undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Kep. Men. Perindag RI Nomor : 547/MPP/Kep/7/2002 tentang Pedoman Pendaftaran Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan/Garansi. Dengan fokus penelitian saya adalah peranan dari penyidik Sat Indag Dit Reskrimsus Polda Metro Jaya dan saksi ahli yang diperlukan sebagai alat bukti.
Untuk menjawab permasalahan tersebut di atas digunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan kasus-kasus pidana yang telah ditangani oleh Sat Indag. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pengamatan, wawancara berpedoman dan kajian dokumen.
Dari hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa proses penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen yang dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu Sat Indag Dit Reskrimsus Polda Metro Jaya, yang diawali dengan diterimanya laporan polisi, penyelidikan, pemanggilan, pemeriksaan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara hingga penyerahan tersangka dan barang bukti ke penuntut umum. Dalam pelaksanaan proses penyidikan dengan menggunakan prinsip-prinsip manajemen penyidikan yang dimulai dan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya masih ditemui adanya penyimpangan yang dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, seperti melakukan negoisasi dengan korban guna mendapatkan bantuan anggaran untuk memperlancar kegiatan penyidikan yang sedang dilaksanakan. Penyimpangan dalam proses penyidikan tersebut, tidak terlepas dari struktur pekerjaan yang membuka peluang bagi petugas untuk melakukan pemerasan.
Selanjutnya, dalam upaya untuk mencapai keberhasilan kegiatan penyidikan maka diperlukan adanya koordinasi yang baik antara penyidik/penyidik pembantu Sat Indag dengan Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan RI yang berperan sebagai saksi ahli dalam rangka mendukung alat bukti yang ada. Dalam hal ini, pelaksanaan koordinasi sudah berjalan dengan baik namun belum optimal, hal ini disebabkan oleh minimnya anggaran untuk mendukung kelancaran koordinasi tersebut.
Berdasarkan uraian diatas maka peranan saksi ahli dalam proses penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen yang berkaitan dengan perdagangan telepon seluler tanpa dilengkapi petunjuk (Manual) penggunaan dalam bahasa Indonesia adalah sangat penting dalam memberikan keterangan ataupun informasi ilmiah sesuai keahliannya yang berkaitan dalam upaya mengungkap kasus pidana yang terjadi.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17465
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herry Ardyanto
"Penelitian tentang penggunaan jasa preman oleh perusahaan dalam konflik antarperusahaan dengan mengungkap motivasi perusahaan menggunakan jasa preman dalam konflik antarperusahaan.
Metodologi penelitian yang digunakan dengan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus. Peneliti mengamati penggunaan jasa preman oleh kedua perusahaan dalam konflik antarperusahaan, yang terjadi pada akhir bulan Juli?Desember 2001. Metode pengumpulan data mempergunakan teknik pengamatan terlibat dan wawancara dengan pedoman.
Hasil penelitian menunjukkan motivasi perusahaan menggunakan jasa preman dalam konflik antarperusahaan agar tidak diselesaikan melalui jalur pengadilan mengingat beaya mahal, waktunya lama dan bertele-tele serta tidak mungkin memperkarakan perusahaannya sendiri.
Penyelesaian masalah konflik antarperusahaan dilakukan dengan cara menfasilitasi dan mempertemukan kedua belah pihak dengan cara mediasi, baik oleh kepolisian maupun seorang pengusaha yang dianggap netral oleh kedua perusahaan, yang dapat menyelesaikan masalah antarperusahaan.
Kesimpulan penelitian adalah perusahaan menyewa preman dengan motivasi untuk menyelesaikan masalah di luar jalur pengadilan, akantetapi penggunaan jasa preman dalam konflik antarperusahaan tidak menyelesaikan masalah dan cenderung membuka potensi konflik yang baru, pihak ketiga sebagai mediator, baik yang ditunjuk atau diminta oleh kedua belah pihak harus arif, bijak, netral, tepat guna dan berhasil guna serta adil dan benar. Konflik antarperusahaan dapat diselesaikan dengan cara negosiasi dan mediasi.
Daftar Kepustakaan; 29 buku (1986?2002)"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T465
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Angga Widyastaman
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara ketimpangan ekonomi terhadap risiko terjadinya tindakan kriminal. Untuk mengisi kekurangan yang diidentifikasi pada penelitian-penelitian terdahulu, penelitian ini mendekomposisi ketimpangan ekonomi pada tingkat kabupaten/kota di Indonesia menjadi ketimpangan di dalam kabupaten/kota dan ketimpangan antarkabupaten/kota menggunakan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Penelitian ini menggunakan spatial Durbin model dalam mengestimasi hubungan tersebut untuk mengontrol efek spasial yang dapat terjadi antarvariabel. Melalui hasil estimasi, penelitian ini berhasil menemukan bahwa ketimpangan ekonomi di dalam wilayah dan antarwilayah hanya memiliki pengaruh yang positif dan kuat untuk pengamatan pada kabupaten/kota sendiri, sementara variabel ketimpangan pada kabupaten/kota lain memiliki pengaruh yang lemah. Penelitian ini juga menemukan bahwa pengaruh ketimpangan ekonomi antarkabupaten/kota yang diamati lebih besar dibandingkan pengaruh ketimpangan ekonomi di dalam kabupaten/kota tersebut.

The aim of this study is to identify the relationship between economic inequality and crime risks. To fill the research gaps found in previous studies, this study decomposes economic inequality at municipality/regency level in Indonesia into within-region and across-region economic inequality components using national socio-economic survey panel data. This study uses spatial Durbin model to control spatial effects between observed regions. Through the estimation results, this study found that the strong positive effect of within-region and across-region economic inequality on crime risks only exists in own region, while economic inequality factors from neighboring region show weak effect on crime risks. This study also found that across-region economic inequality effect is larger than within- region economic inequality effect on crime risks."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia3, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Ernaningsih
"Akhir-akhir ini angka kejahatan cenderung menunjukan kenaikan yang cukup tinggi di seluruh wiiayah Indonesia. Jika tahun 1988 jumlah seluruh kejahatan sebesar 198.803, tahun 1989 tercatat sebanyak 215.659, maka tahun 1990 angka kejahatan berjumlah 262.665 Ini berarti terjadi kenaikan angka kejahatan yang cukup tinggi, dari 8,47 % pada periode 1988-1989, melonjak menjadi 22 % pada tahun 1989-1990 (MABES POLRI DISPULAHTA, 1990).
Umumnya pelaku kejahatan di atas adalah pria. Berbagai laporan mendukung kenyataan tersebut Statistik kriminal di Inggris tahun 1987 misalnya, menunjukkan bahwa dari 3.825.000 kasus kejahatan, 86,9 % pelakunya pria (Abbot dan Wallace, 1990 : 154). Hal yang sama juga terjadi di Amerika. Dikatakan oleh Lundberg didalam Crime and Criminology (Reid, 1982 : 60) serta Sourcebook of Criminal Justice Statistics 1991 bahwa secara umum angka kejahatan yang dilakukan oleh pria Iebih tinggi daripada kejahatan yang dilakukan wanita. Meskipun demikian tidak berarti bahwa jumlah kejahatan yang dilakukan oleh wanita tidak ada, hanya relatif Iebih rendah dari pria. Bahkan secara kuantitas, jumlah kejahatan yang dilakukan oleh wanita meningkat pesat.
Di Amerika dalam kurun waktu tahun 1967-1973 jumlah kejahatan yang dilakukan wanita meningkat sebesar 64,3 %, sementara dalam periode yang sama jumlah kejahatan yang dilakukan pria hanya naik 14,8 %. Di Indonesiapun, data yang ada di MABES POLRI tahun 1990, menunjukkan situasi yang sama, dari sejumlah 2.631 kasus kejahatan yang dilakukan wanita pada tahun 1988, angkanya naik menjadi sejumlah 5.289 di tahun 1989 (naik duakali lipat) dan dalam tahun 1990 naik menjadi 5.767 kasus kejahatan (9 %).
Berdasarkan tulisan-tuiisan terdahulu, wanita pada masa-masa yang laiu jarang atau sedikit yang melakukan kejahatan, apalagi melakukan pembunuhan. Hal ini tampaknya berhubungan juga dengan adanya stereotype di dalam masyarakat yang menggambarkan wanita antara lain mempunyai ciri-ciri lemah lembut, penuh kasih sayang, penurut dan lain sebagainya (Radar, 1989, 50; Miller, 1991, 4) yakni citra baku wanita didalam masyarakat (yang memang disosialisasikan oleh masyarakat secara terus menerus) sehingga menciptakan "image" bahwa wanita tidak mungkin melakukan kekerasan ataupun membunuh. Namun pada saat ini seperti yang tercatat dalam statistik MABES POLRI tersebut di atas, kejahatan yang dilakukan wanita cenderung meningkat dan beragam jenisnya.
Dilihat dari sudut kualitas, pola kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan wanita cenderung bergeser dari pola "sex-specific offences" seperti: abortus illegal, shoplifting (pengutilan), infanticide (pembunuhan bayi) dan prostitusi (dalam KUHP Indonesia prostitusi bukanlah kejahatan) ke kejahatan yang umum dilakukan oleh pria, seperti perampokan bersenjata, lintah darat, bisnis ilega! narkotika, sampai pada pembunuhan dalam keluarga dan bahkan menjadi anggota salah satu organisasi kejahatan (Morris, 1987:65; Kusumah, 1982:35; Abbot,1990:153)."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aris Munandar
"Women view according to their stereotype is a graceful, patient, loving person and has a good morality is better than men. However different with that myth, many women are doing a crime/drug abuse even increased more and more. The research methode which use is qualitative method, did through deep interview with three women prisoner repeated offender drug user (DU, IJ and S) as a key informant which available at Pondok Bambu Prison, also with another infomiant are prisoner Family and employees of Pondok Bambu Prison. Choosing of informants are based on informant, a criteria is prisoner repeated offender, young age, cooperative and start using drug from teenager.
From the research found several factors that caused three women prisoner repeated offender are using drug. those factors are individual (private). factor which is weak interaction with wrong society environment (drug environment) and drug factor it self. Other than that, there are also a different between men drug user and women drug user. Women besides as a drug user, they are also a victim. On patriarki culture women always as a second party which is a weaken and suppressed. Women which addicted to drug are suspectible as a victim of vioience and men sexual despising. On community opinion women regarded has a good moraiity so unproper to do a crime."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21941
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andre
"Di era modernitas akhir, Kriminologi budaya menekankan pentingnya peran media dalam mengkonstruksikan secara budaya mengenai makna dan gambar penghukuman yang membangun budaya punitif. Salah satu media populer yang ikut serta melakukan konstruksi ini adalah animasi YouTube bertema cerita rakyat. Versi animasi ini mengangkat cerita-cerita tradisional dan menampilkannya dalam bentuk animasi serta dengan mudah disebarkan lewat media sosial. Penelitian ini akan menganalisa pesan-pesan seputar penghukuman dengan metode ethnographic content analysis.
Hasil analisis menunjukkan bahwa cerita tersebut menyampaikan makna bahwa penghukuman terhadap orang jahat diperlukan sebagai bentuk perlindungan dan pembalasan terhadap kejahatan mereka. Gambar lain seperti ide bahwa kriminalitas merupakan pilihan individu serta kerentanan korban ikut membantu konstruksi bahwa penghukuman merupakan respon yang wajar dan penting terhadap kejahatan. Artinya, cerita ini ikut menjadi referensi bagi masyarakat untuk mempertahankan sikap punitifnya terhadap kejahatan dan penyimpangan.

As cultural criminology suggested, in this era of late modernity, media plays a huge part in an ongoing cultural construction regarding images and meaning of punishment which supported punitive attitudes. One of more prominent media that takes part in the construction process are the animated cerita rakyat which can be accessed through YouTube. These animation adopt traditional stories, or folklores, in Indonesia and are disseminated through video sharing websites and social medias. Using ethnographic content analysis method, this article attempts to uncover the meaning and images regarding punishment which are shown in the animation of cerita rakyat.
Result shows punishment are constructed as protection which are needed against the evil characters and as a way to give out retribution for their actions. Those images supported punishment as a favorable response to crime and further fostered by its depiction of nature of evil as personal choice and its emphasis on portraying the vulnerability of victims. All in all, these stories are part of cultural reference that society can draw forth for their punitive attitude toward crime and deviance."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taruga Runadi
"Menganalisis hubungan antara jumlah tindak kejahatan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya menjadi topik penelitian yang menarik karena jumlah tindak kejahatan di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir cenderung meningkat. Untuk meningkatkan kualitas keamanan masyarakat maka pemerintah perlu memahami faktor-faktor apa saja yang dapat memicu tindakan kejahatan. Dibandingkan dengan metode analisis regresi klasik, metode Geographically Weighted Regression GWR lebih diunggulkan karena dapat menangani masalah ketidak stasioneran spasial yang biasanya terjadi pada data fenomena-fenomena sosial. Ketidakstasioneran spasial adalah situasi dimana hubungan antar peubah berbeda-beda secara signifikan disetiap lokasi observasi. Hal tersebut mengakibatkan hasil analisis regresi klasik menjadi tidak akurat di beberapa lokasi. GWR menangani masalah tersebut dengan membangun model regresi di setiap titik observasi sehingga memungkinkan parameter regresi menjadi berbeda di setiap lokasi observasi. Penelitian ini menggunakan jumlah tindak kejahatan y sebagai peubah terikat dan peubah bebasnya adalah jumlah penduduk buta huruf x1, jumlah pengangguran x2, jumlah penduduk miskin x3, kepadatan penduduk x4, dan jumlah korban NAPZA x5. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang dihimpun oleh POLRI, BPS, dan Dinsos di Jawa Tengah pada tahun 2015. Terdapat dua fungsi pembobot spasial GWR yang akan dibandingkan yaitu Kernel Gaussian dan Kernel Bisquare. Hasil penelitian menunjukkan fungsi Kernel Gaussian lebih baik dibanding Kernel Bisquare berdasarkan skor AIC dan R2. Hasil analisis menggunakan GWR menghasilkan model untuk 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah.

Analyzing the relationship between number of crime cases and factors defined became an interesting research topic over the last ten years. The total number of crime in Indonesia didn rsquo t show a consistent decrease. In order to upgrade people safeness quality, the government need to know the factors influence people committing crime acts. Rather than using classical regression analysis, Geographically Weighted Regression GWR was preferable since it gave a better representative model by effectively resolve spatial non stationary problem which is generally exist in spatial data of social phenomenon. Spatial non stationary is a situation when the relationship between variables are significantly different in each location of observation point, so that classic regression analysis will result a misleading interpretation in some location. GWR handled the spatial non stationary problem by generating a single model in each observation point which allow different relationship to exist at different point in space. This study used number of crime cases y as the dependent variable and the factors which affect the number of crime cases as independent variables that consist of the number of illiterates x1 , the number of unemployed x2, the number of poor population x3, population density x4, the number of victims of drug x5. This study used secondary data collected by POLRI, BPS, and Social ministry of Indonesia in Central Java during 2015. Two spatial weighting functions were compared i.e. Kernel Gaussian and Kernel Bisquare and the study result indicated that Kernel Gaussian was batter according to score of R2 and AIC. GWR generated model for 35 city regency in Central Java. "
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
T48305
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Herbyan Widianto
"Penelitian ini membahas tentang bentuk gangguan yang dihasilkan dari ormas yang terjadi beberapa tahun belakangan dengan melakukan tindak vandalisme dan tindak anarkhis, yang dimana peneliti membatasi hanya pada persepsi masyarakat yang dimana menghasilkan fear of gang crime di masyarakat.
Sebagai landasan teori, penulis menggunakan perceived incivilities, penulis juga mengkaji literatur tentang fear of crime dan fear of gang crime. penulis menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan metode survey. Hasil dari analisis data diketahui bahwa terdapat hubungan yang lemah antara perceived incivilities terhadap fear of gang crime dengan nilai positif, sehingga perceived incivilities meningkat, maka fear of gang akan meningkat pula.

This study discusses the form of disruption resulting from the society organization that occurred in recent years by committing acts of vandalism and anarchists, which is where the researchers restricted only to the public perception which produces fear of gang crime in the community.
As a theoretical basis, writer used the perceived incivilities, writer also reviews the literature about fear of crime and fear of gang crime. Writer used a quantitative approach with survey methods. It?s known from the result of data analysis that there is a weak relationship between perceived incivilities on fear of gang crime with a positive value, so if the perceived incivilities increase, the fear of gang will also rise.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>