Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149811 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Efrizon Marzuki
"KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu) adalah suatu bentuk pusat pertumbuhan yang merupakan salah satu strategi dalam kebijakan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Pendekatan pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ini mengasumsikan bahwa kesejahteraan masyarakat akan dapat dicapai melalui peningkatan ekonomi makro yang selanjutnya akan membawa perbaikan ekonomi di tingkat mikro, serta kemajuan pada bidang-bidang lain, melalui efek `menetes ke bawah' (trickle down effect).
Namun kenyataan menunjukkan bahwa selama ini, khususnya di Indonesia, teori trickle down effect tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kemacetan mekanisme trickel down effect memunculkan kondisi dimana pembangunan ekonomi tidak diikuti oleh pembangunan sosial yang setaraf, kondisi ini disebut distorsi pembangunan. Pembangunan terdistorsi (distorted development) tidak hanya berwujud dalam bentuk kemiskinan, kemerosotan, status kesehatan rendah, dan perumahan yang tidak memenuhi syarat, melainkan juga dalam bentuk; ketidaksetaraan lapisan-lapisan masyarakat dalam pembangunan, penindasan terhadap wanita, eksploitasi tenaga kerja anak, kerusakan lingkungan, dan juga penggunaan kekerasan (militerisme) dalam mengatasi berbagai persoalan.
Atas dasar kenyataan tersebut, sudah selayaknya kebijakan pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata tanpa memperhatikan pemerataan harus ditinjau kembali. Pertumbuhan ekonomi memang penting bagi kesejahteraan rakyat tetapi bukan yang utama.
Perhatian pada peningkatan kapasitas individu dan institusi masyarakat lebih penting dilakukan agar pertumbuhan ekonomi yang terjadi dapat disebar-merata dan ikut dinikmati oleh masyarakat, untuk selanjutnya dapat meningkatkan kemajuan pada bidang-bidang lainnya.
KAPET Sabang, yang dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 171 tahun 1998, memang direncanakan sebagai pemicu dan pemacu bagi pertumbuhan ekonomi agar tercapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat di Kota Sabang dan Propinsi Daerah Istimewa Aceh khususnya, serta Indonesia pada umumnya. Adalah hal yang sangat ironis dan tidak dikehendaki jika pada akhirnya kebijakan tersebut akan memunculkan distorsi pembangunan di kawasan tersebut.
Untuk itu, perlu dipertanyakan apakah kebijakan KAPET Sabang telah memungkinkan untuk terjadinya pemerataan. Selanjutnya, kebijakan antisipatif apa yang harus dilakukan, khususnya oleh Pemerintah Kota Sabang dan Badan Pengelola KAPET Sabang, untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi mendorong terjadinya pemerataan. Oleh karena, pemerataan tidak dapat terjadi dengan sendirinya, ia memerlukan kondisi kondusif yang mendukung.
Penelitian ini setidaknya berusaha mengungkapkan dan menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, dengan menggunakan metode penelitian sintesis terfokus. Metode ini mensintesakan antara telaahan pustaka, pengalaman penelitian dan diskusi dengan subyek yang berkompeten (stake holder, study user, advisor, dan tenaga ahli). Berdasarkan sintesa ketiga komponen tersebut permasalahan-permasalahan yang telah dikemukakan di atas akan dibahas dan dianalisa sehingga dapat diambil kesimpulan dan saran bagi pelaksanaan kebijakan tersebut di masa yang akan datang.
Dari data dan hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa kebijakan yang akan dikembangkan dalam KAPET Sabang untuk mencapai pemerataan adalah pohon industri dan pola kemitraan. Para advisor dan tenaga ahli menanggapi bahwa kedua kebijakan tersebut mungkin saja diterapkan untuk menciptakan pemerataan. Namun kebijakan itu harus berlangsung dalam suasana persuasif, dalam arti tidak dipaksakan agar tidak terjadi inefisiensi. Suasana demikian diharapkan akan terjadi baik melalui tindakan langsung maupun tidak langsung. Tindakan langsung; tidak hanya berupa ketentuan-ketentuan, tetapi juga mekanisme dan insentif serta pemberdayaan masyarakat (pengusaha kecil/menengah). Sedangkan tindakan tidak langsung dilakukan melalui himbauan serta pemberian kesempatan dan peluang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berkembang. Sementara itu penciptaaan kondisi yang kondusif bagi mendorong terjadinya pemerataan, diupayakan antara lain melalui; kebijakan di bidang kependudukan, sosial, ketenagakerjaan dan sumberdaya manusia, serta kebijakan di bidang ekonomi dan pembangunan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4280
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Novianti
"Terjadinya disparitas pertumbuhan ekonomi antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), telah melatarbelakangi dibentuknya Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu (KAPET). Pada Kapet-kapet tersebut akan diprioritaskan upaya-upaya pembangunan baik berupa pengembangan infrastruktur, pengembangan sumberdaya alam yang menjadi komoditas potensial, pengembangan sumberdaya manusia, maupun pengembangan kelembagaam Untuk mendukung aktifitas pembangunan di Kapet, pemerintah memberikan bermacam-macam insentif atau kemudahan-kemudahan kepada dunia usaha maupun masyarakat untuk menanamkan modalnya. Kapet- ini diharapkan dapat menjadi `Pusat Pertumbuhan' yang pada gilirannya mampu merangsang pertumbuhan wilayah seldtarnya (hinterlands) melalui apa yang disebut `trickle down effects'.
Pembangunan growth centre dipercayai para pengambil kebijakan maupun perencana bail( di negara maju ataupun negara-negara berkembang termasuk Indonesia sebagai suatu strategi yang dapat mengatasi kesulitan dalam melaksanakan percepatan pembangunan daerah. Namun strategi pengembangan growth centre ini menimbulkan silang pendapat di antara para ahli. Niles Hansen (1972:103), misalnya mengatakan bahwa strategi di atas, khususnya di negara-negara berkembang mengalami banyak hambatan atau kegagalan, antara lain disebabkan karena masalah `keuangan' yang ternyata merupakan kendala terbesar bagi berhasilnya pembangunan pusat-pusat pertumbuhan tersebut. Demikian pula halnya dengan Harry W. Richardson (1978:134) menyatakan bahwa banyak dari negara-negara berkembang yang meninggatkan konsep pembangunan ini karena `spread effects' yang dihasilkan dan yang diharapkan mampu untuk mengembangkan daerah sekitarnya ternyata tidak pemah terwujud dan hanya menyerap sedikit sekali tenaga kerja.
Upaya mendorong pertumbuhan ekonomi KAPET Parepare dilakukan dengan mengembangkan sektor-sektor unggulan, seperti sektor pertanian dan sektor industri. Upaya ini didukung dengan pengembangan sarana dan prasarana yang sudah tersedia, agar dapat lebih menarik minat investor menanamkan modalnya di kawasan ini. Dad basil perhitungan LQ menunjukkan bahwa sektor pertanian dan sektor bangunan dan konstruksi menjadi sektor basis di kawasan ini. Analisis shift share menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di KAPET Parepare secara umum lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan sektor-sektor yang sama di tingkat propinsi_ Hal ini mengindikasikan strategi pembangunan KAPET Parepare secara sektoral memang berbeda dengan Sulawesi Selatan. Analisis regress data panel menunjukkan bahwa PDRB seluruh daerah yang termasuk KAPET Pare-Pare dipengaruhi oleh nilai produksi pertanian, jumlah tenaga kerja, produktivitas tenaga kerja, kapasitas daya listrik terpasang, konsumsi listrik, dan variabel bonekaldummy (menunjukkan perbedaan sebelum dan setelah diberlakukannya kebijakan pembentukan KAPET Parepare). Analisis disparitas menunjukkan bahwa setelah pembentukan KAPET Parepare, kesenjangan pendapatan perkapita antar daerah dalam kawasan sernakin bertambah_ Berarti pengembangan KAPET Parepare belum membawa manfaat bagi pemerataan terhadap pendapatan perkapita antar daerah.
Perlu ada diciptakan keterpaduan dan keterkaitan fungsional berbagai kegiatan dan program antar sektoral dan antar daerah. Hal ini selain untuk menciptakan sinergi potensi wilayah KAPET Parepare, juga semakin memperkecil disparitas antar daerah dalam kawasan tersebut."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T12594
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2020
338.9 KIN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Omah Laduani Ladamay
"Latar Belakang: Pemerataan pembangunan merupakan salah satu topik cukup hangat dibicarakan dalam memasuki rencana pembangunan lima tahun ke depan (Repelita VI), baik pemerataan antara kelompok masyarakat maupun pemerataan antar wllayah. Salah satu bentuk pemerataan yang cukup mendapat perhatian di Indonesia adalah pemerataan antar wilayah terutama antara Kawasaki Barat Indonesia OCR, dengan Kawasaki Timur Indonesia PI yang merupakan dua wilayah utama di Indonesia.
Kurang adanya pemerataan antar daerah di Indonesia terutama antara KRI dan KTI dapat ditunjukkan dari hasil analisis (tampion) performance ekonomi dengan mengidentifikasikan berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita regionalnya. Hasil analisis tersebut mound Maildl (1997), pada tahun 1994- hampir sebagian besar propinsi-propinsi di KTI, antara lain : Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Irian Jaya, Maluku, dan Sulawesi Selatan termasuk dalam kategori pertumbuhan ekonomi rendah dan pendapatan regional rendah.
Propinsi-propinsi yang termasuk dalam kategori ini adalah propinsi-propinsi yang secara ekonomis sangat tertinggal, baik dari segi pertumbuhan ekonomi maupun pendapatan per kapitanya atau dengan kata lain propinsi yang paling buruk keadaannya dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Kondisi pada tahun 1994 ini telah mengalami perubahan dibandingkan pada tahun 1991, dimana propinsi-propinsi yang termasuk dalam kategori pertumbuhan ekonomi rendah dan pendapatan rendah masih termasuk propinsi yang berada pada kawasan barat Indonesia, antara lain : Daerah Istimewa Yogyakarta, Bengkulu, Lampung, dan Jambi. Hai ini menunjukkan adanya perubahan performance yang semakin memperburuk kesenjangan antara KTI dan KRI selama kurun waktu 1991 sampai dengan 1994. "
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Nurhayati
"Didasari pandangan bahwa peranan pemerintah diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi sehingga berkembang teori-teori perencanaan pembangunan yang bertujuan untuk mengurangi berbagai akibat yang ditimbulkan oleh mekanisme pasar. Di sisi lain, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi diperlukan lahan atau ruang sebagai wadah kegiatan untuk menciptakan nilai tambah, yang keberadaannya terbatas. Sehingga diperlukan upaya untuk pengaturan pemanfaatan ruang agar tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang dan penurunan kualitas ruang. Penataan ruang merupakan salah satu bentuk peran pemerintah dalam mengalokasikan dan mengatur pemanfaatan lahan.
Kondisi Propinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa terdapat permasalahan dalam mengalokasikan sumber daya lahan yang terbatas dan adanya berbagai kendala dalam menciptakan pertumbuhan wilayah. Tujuan dari penelitian adalah menelaah mengenai penggunaan lahan yang ada serta rencana penggunaan lahan yang telah ditetapkan RTRWP, apakah dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang optimal. Bagaimana pengaruh suatu kebijakan pengaturan penggunaan lahan terhadap tercapainya pertumbuhan ekonomi.
Penelitian difokuskan pada pengaruh kebijakan pengaturan penggunaan lahan terhadap pencapaian alokasi penggunaan lahan yang optimal sehingga pencapaian PDRB maksimal. Kebijakan pengaturan penggunaan lahan merupakan kebijakan pemerintah daerah yang diterapkan, yaitu kebijakan mengenai penentuan batasan juga penggunaan lahan untuk kawasan industri dan kebijakan mengenai perlunya swasembada pangan yang memerlukan batasan luas penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah pertama, bahwa suatu penggunaan lahan untuk kegiatan tertentu akan menghasilkan nilai tambah bruto bagi lapangan usaha yang bersangkutan; kedua, besarnya nilai tambah bruto yang dihasilkan dari suatu penggunaan lahan dianggap tetap; ketiga, luas lahan yang dapat dimanfaatkan dianggap tetap.
Kesimpulan penelitian adalah:
- Luas penggunaan lahan suatu kegiatan tertentu mempuyai pengaruh yang positip terhadap pembentukan nilai tambah bruto sektoral yang bersangkutan. Semakin besar luas penggunaan lahan suatu kegiatan akan semakin besar pula terbentuknya nilai tambah bruto sektor yang bersangkutan.
- Kebijakan pengaturan penggunaan akan mempengaruhi pencapaian alokasi penggunaan lahan optimal dan besarnya PDRB yang dihasilkan
- Komposisi penggunaan lahan saat ini (kondisi obyektif tahun 1998) menghasilkan PDRB yang lebih kecil dibandingkan dengan kondisi pada komposisi penggunaan lahan optimal (kondisi pada pemecahan optimal).
- Komposisi penggunaan lahan sesuai RTRWP Jawa Barat yang telah ditetapkan diperkirakan akan menghasilkan PDRB yang lebih kecil dibandingkan dengan kondisi komposisi penggunaan lahan optimal (kondisi pada pemecahan optimal).
- Dengan melihat pemecahan optimal yang menghasilkan PDRB maksimal adalah alternatif 2.c. Hal ini akan mengimplikasikan pada akan berubahnya penggunaan lahan kegiatan pertanian menjadi kegiatan non pertanian, yang semula (tahun 1998) seluas 3.596.214 hektar menjadi 888.696,23 hektar. Semakin meluasnya penggunaan lahan untuk kegiatan industri, permukiman, perdagangan, jasa dan kegiatan lainnya. Penggunaan lahan industri dari 30.151 hektar menjadi 472.120,94 hektar. Penggunaan lahan permukiman, perdagangan dan jasa dari 482.236 hektar menjadi 928.899,88 hektar. Penggunaan lahan lainnya dari 158.169 hektar menjadi 371.559,95 hektar.
- Analisis sensitivitas koefisien variabel fungsi tujuan menunjukkan bahwa koefisien variabel penggunaan lahan untuk pertanian dan industri (koefisien variabel XI dan X2) menunjukkan pengaruhnya yang peka terhadap perubahan nilai fungsi tujuan, namun tidak mempengaruhi komposisi penggunaan lahan. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas penggunaan lahan untuk pertanian dan industri dengan memanfaatkan luas lahan yang tersedia, masih dapat meningkatkan pencapaian PDRB yang maksimal.
Sebagai masukan untuk kebijakan pengaturan penggunaan lahan disarankan hal-hal sebagai berikut:
- Perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk mengalokasikan komposisi penggunaan lahan yang optimal pada masing-masing kabupaten dan kotamadya berdasarkan kondisi dan keterbatasan masing-masing kabupaten atau kotamadya sehingga dapat menciptakan PDRB yang optimal pada tingkat kabupaten/kotamadya maupun pada tingkat propinsi.
- Perlu dilakukan peninjauan ulang dan revisi RTRWP untuk mencapai kondisi penggunaan lahan yang optimal sehingga pencapaian nilai PDRB dapat maksimal. Namun perlu dipertimbangkan bahwa dalam penelitian ini fungsi tujuan yang dirumuskan adalah memaksimalkan output atau pendapatan, belum mempertimbangkan aspek pemerataan, lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat. Sehingga untuk peninjauan ulang RTRWP terlebih dahulu perlu disempurnakan fungsi tujuan sehingga semua aspek dapat dipertimbangkan.
- Melihat implikasi yang akan terjadi jika alternatif 2.c akan diterapkan maka perlu dilakukan:
a. Untuk meningkatkan PDRB namun tidak mengubah komposisi penggunaan lahan optimal dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas atau nilai tambah bruto per hektar penggunaan lahan pertanian.
b. Upaya pengendalian perubahan penggunaan lahan dari pertanian menjadi kegiatan non pertanian, terutama berkaitan dengan aspek lokasi yang diijinkan berubah dan tidak diijinkan berubah. Terutama pada wilayah-wilayah pertanian dengan produktivitas per hektar yang tinggi perlu dipertahankan agar pencapaian PDRB tetap maksimal.
c. Perlunya pengendalian dalam mengalokasikan luas penggunaan lahan untuk industri, permukiman, perdagangan, jasa dan lainnya pada wilayah-wilayah kabupaten dan kotamadya
- Antisipasi yang perlu dilakukan bila kondisi kebijakan pada alternatif 2.c akan diterapkan, yaitu:
a. Penggunaan lahan untuk industri, permukiman, perdagangan, jasa dan kegiatan lainnya akan meningkat sehingga perlu dikaji masalah lingkungan yang akan terjadi seperti polusi, kemacetan dll.
b. Adanya peningkatan kebutuhan listrik, bagaimana antisipasi penyediaannya.
c. Masalah penduduk yang akan masuk karena adanya daya tarik kegiatan bagi penduduk dari luar Jawa Barat, yang tentunya akan menimbulkan berbagai masalah dalam pelayanan penduduk oleh pemerintah daerah, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan dan lain-lain."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T5016
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ervin Septian Firdaus
"[ABSTRACT
This paper investigated whether fiscal policy, especially government investment
expenditure in Indonesia, depends on changes in the economic business cycle and
whether its impact is significant on economic growth. This paper analyzed the
relationship between government investment expenditure and output gap using an
ordinary least squares (OLS) regression covering three periods of study (1980?
1996, 2001?2014, and 1980?2014). In general, the result showed government
investment expenditure tended to be acyclical. This study also evaluated the
impact of the changes in government investment expenditure on gross domestic
product (GDP) using a vector autoregression (VAR) approach. The results
revealed government investment expenditure did not have a significant impact on
economic growth.

ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk menganalisis apakah arah kebijakan fiskal, khususnya
pengeluaran pemerintah, dipengaruhi perubahan siklus ekonomi dan berdampak
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi atau tidak. Studi ini membahas
hubungan antara pengeluaran investasi pemerintah dan output gap menggunakan
model regresi ordinary least squares (OLS) yang meliputi tiga periode observasi
(1980?1996, 2001, dan 1980?2014). Secara umum, hasil analisis menunjukkan
bahwa pengeluaran investasi pemerintah cenderung mengarah acyclical (netral).
Selain itu, paper ini juga menganalisis dampak perubahan pengeluaran investasi
pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menggunakan model vector
autoregression (VAR). Hasilnya menunjukkan bahwa pengeluaran investasi
pemerintah tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi;Tesis ini bertujuan untuk menganalisis apakah arah kebijakan fiskal, khususnya
pengeluaran pemerintah, dipengaruhi perubahan siklus ekonomi dan berdampak
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi atau tidak. Studi ini membahas
hubungan antara pengeluaran investasi pemerintah dan output gap menggunakan
model regresi ordinary least squares (OLS) yang meliputi tiga periode observasi
(1980?1996, 2001, dan 1980?2014). Secara umum, hasil analisis menunjukkan
bahwa pengeluaran investasi pemerintah cenderung mengarah acyclical (netral).
Selain itu, paper ini juga menganalisis dampak perubahan pengeluaran investasi
pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menggunakan model vector
autoregression (VAR). Hasilnya menunjukkan bahwa pengeluaran investasi
pemerintah tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi;Tesis ini bertujuan untuk menganalisis apakah arah kebijakan fiskal, khususnya
pengeluaran pemerintah, dipengaruhi perubahan siklus ekonomi dan berdampak
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi atau tidak. Studi ini membahas
hubungan antara pengeluaran investasi pemerintah dan output gap menggunakan
model regresi ordinary least squares (OLS) yang meliputi tiga periode observasi
(1980?1996, 2001, dan 1980?2014). Secara umum, hasil analisis menunjukkan
bahwa pengeluaran investasi pemerintah cenderung mengarah acyclical (netral).
Selain itu, paper ini juga menganalisis dampak perubahan pengeluaran investasi
pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menggunakan model vector
autoregression (VAR). Hasilnya menunjukkan bahwa pengeluaran investasi
pemerintah tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi;Tesis ini bertujuan untuk menganalisis apakah arah kebijakan fiskal, khususnya
pengeluaran pemerintah, dipengaruhi perubahan siklus ekonomi dan berdampak
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi atau tidak. Studi ini membahas
hubungan antara pengeluaran investasi pemerintah dan output gap menggunakan
model regresi ordinary least squares (OLS) yang meliputi tiga periode observasi
(1980?1996, 2001, dan 1980?2014). Secara umum, hasil analisis menunjukkan
bahwa pengeluaran investasi pemerintah cenderung mengarah acyclical (netral).
Selain itu, paper ini juga menganalisis dampak perubahan pengeluaran investasi
pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menggunakan model vector
autoregression (VAR). Hasilnya menunjukkan bahwa pengeluaran investasi
pemerintah tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, Tesis ini bertujuan untuk menganalisis apakah arah kebijakan fiskal, khususnya
pengeluaran pemerintah, dipengaruhi perubahan siklus ekonomi dan berdampak
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi atau tidak. Studi ini membahas
hubungan antara pengeluaran investasi pemerintah dan output gap menggunakan
model regresi ordinary least squares (OLS) yang meliputi tiga periode observasi
(1980–1996, 2001, dan 1980–2014). Secara umum, hasil analisis menunjukkan
bahwa pengeluaran investasi pemerintah cenderung mengarah acyclical (netral).
Selain itu, paper ini juga menganalisis dampak perubahan pengeluaran investasi
pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menggunakan model vector
autoregression (VAR). Hasilnya menunjukkan bahwa pengeluaran investasi
pemerintah tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi]"
2015
T42732
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Primarani Pangidaran
"Sehubungan dengan semakin besarnya kewenangan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah, sebagaimana diatur dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 mengenai kewenangan penuh yang wajib dilaksanakan oleh daerah, maka sudah seharusnya pemerintah Kota Jambi mampu menggaii potensi sumber daya yang dimiliki secara efisien . Namun karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh Kota Jambi maka hal tersebut masih sulit untuk dicapal. Untuk itu perlu dilakukan studi guna merumuskan suatu kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota iambi agar dapat mempercepat pembangunan perekonomian, dimana perumusan kebijakan ekonomi tersebut dimulai dengan menetapkan sektor-sektor prioritas untuk dikembangkan.
Berdasarkan basil penelitian terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi Kota Jambi, kontribusi sektoral daerah, basis ekonomi sektor-sektor PDRB serta multiplier efek masing-masing sektor, akhirnya diketahui bahwa kebijakan pengembangan sektor-sektor unggulan dalam struktur perekonomian Kota Jambi terhadap Propinsi Jambi maupun terhadap perekonomian Nasional diarahkan pada sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran subsektor Perdagangan Besar dan Eceran dan Sektor Pengangkutan dan Telekomunikasi yaitu pada subsektor Pengangkutan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T18720
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhandojo
"Sejak orde baru, kebijakan tentang industrialisasi, sebagai bagian dari kebijaksanaan pembangunan, tertuang dalam Rencana Pembangunan Lima Tabun (REPELITA) yang secara bertahap dilakukan peningkatan. Diawali Pelita I (1969 - 1974) yang memberikan tekanan pada sektor industri dengan membangun industri pendukung sektor pertanian. Dilanjutkan pada Pelita II (1974 - 1979) yang di arahkan untuk memperkuat pengusaha pribumi, industri kecil, pembangunan daerah serta perluasan kesempatan kerja. Pada Pelita M (1979 - 1984), adanya perkiraan peningkatan penerimaan minyak bumi, telah mendorong diversifikasi industri dan integrasi ke belakang (backward integration), yaitu tumbuhnya industri hulu.
Pada Pelita IV (1984 - 1989) lebih ditekankan pada unsur keterkaitan, yaitu pembangunan industri dasar yang menghasilkan bahan baku industri, industri barang konsumsi, dan barang-barang modal akan memperkuat keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage). Masa Pelita IV ini kebijaksanaan pembangunan diarahkan pada berbagai industri barang modal yang lebih besar, terutama industri mesin dan peralatan. Kemudian sebagai tahun akhir Pembangunan Jangka Panjang (PP) I, Pelita V (1989 - 1994) diarahkan pada kebijakan perubahan struktur ekonomi Indonesia secara fundamental, yaitu adanya keseimbangan antara sektor industri yang canggih dengan sektor pertanian yang efisien, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperkuas kesempatan kerja.
Memasuki awal PP II, kebijaksanaan industri pada Pelita VI (1994 - 1999) adalah pengembangan industri-industri berdaya saing kuat melalui pemanfaatan keunggulan komparatif yang dimiliki dan sekaligus secara bertahap menciptakan keunggulan kompetitif yang dinamis. Pasar domestik yang sangat potensial dikembangkan agar makin kompetitif dan dimanfaatkan sebagai basis bagi penciptaan berbagai industri yang mampu bersaing di pasar internasional. Prioritas pengembangan jenis industri dalam Pelita VI adalah agroindustri dan agribisnis yang produktif termasuk jasa; industri pengolah sumberdaya mineral; industri permesinan, barang modal dan elektronika termasuk industri yang menghasilkan komponen dan sub-perakitan serta industri penunjang lainnya, terutama industri bernilai tambah tinggi dan berjangkauan strategis; dan industri berorientasi ekspor yang makin padat ketrampilan dan keanekaragaman, termasuk tekstil dan produk tekstil.
Sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan yang memberikan tekanan pada sektor industri, maka peranan sektor industri pengolahan, termasuk industri rnigas, makin meningkat dalam struktur perekonomian Indonesia. Ini tercermin pada komposisi Produk Domestik Bruto (PDB), dimana pada Pelita 1 bare sekitar 9,6 persen meningkat menjadi 21,0 persen pada tahun 1992, atau selama PIP I mengalami pertumbuhan sebesar 12,0 persen per tahun. Pada mesa PIP II kontribusi industri pengolahan terhadap PDB meningkat cukup tajam, di tahun 1994 23,35 persen dan tahun 1996 25,16 persen.
Peningkatan peranan sektor industri pengolahan diikuti oleh penurunan peranan sektor pertanian. Dalam dekade 1975-1985 peranan sektor pertanian menurun dari 26,46 persen menjadi 22,68 persen. Bahkan di tahun 1991, untuk pertama kalinya peranan sektor industri pengolahan melampaui sektor pertanian, masing-masing sebesar 19,9 persen dan 18,5 persen. Dari tiga tahun awal PIP II peranan sektor pertanian dalam PDB terus menurun, yaitu 17,29 persen, 17,16 persen, dan 16,30 persen. Perubahan mendasar inilah yang menandai berubahnya struktur ekonomi dari agraris ke industri.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Zulfachri
"Pada masa awal Orde Baru tahun 1969-1973, perencanaan ekonomi Indonesia masih sangat percaya bahwa trickle down effect akan terjadi. Oleh karena itu strategi pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah pada awal periode Orde Baru hingga akhir tahun 70-an terpusatkan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun setelah sepuluh tahun sejak Pelita I fakta memperlihatkan bahwa efek yang diinginkan tidak tercapai, malah menimbulkan ketimpangan ekonomi di mana pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak diikuti oleh pertumbuhan kesempatan kerja yang tinggi pula dari tingkat kemiskinan tidak berkurang secara signifikan. Mulai Pelita III tahun 1979/80-1983/84 strategi pembangunan mulai diubah, tidak hanya pertumbuhan ekonomi akan tetapi berorientasi kesejahteraan rakyat. Sedangkan jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 1976-2004 terus mengalami penurunan yang signifikan dari sebesar 54,2 juta jiwa menjadi sebesar 36,15 juta jiwa. Dan jika dilihat antara jumlah penduduk miskin di pedesaan dan di perkotaan temyata, jumlah penduduk miskin di pedesaan lebih banyak dari pada jumlah penduduk miskin di perkotaan. Hal ini dikarenakan lebih dari 60 persen jumlah penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan yang sebagian besar bekerja disektor pertanian. Dengan menggunakan metoda analisis regresi berganda ingin diketahui bagaimana kondisi ketidakmerataan pendapatan antara penduduk di pedesaan dan perkotaan, dan pengaruh perubahan pangsa pendapatan tertimbang di pedesaan dan di perkotaan serta bagaimana peranan PDB sektoral terhadap laju pertumbuhan kemiskinan.
Hasil penelitian memberikan masukkan bahwa; Peningkatan pendapatan per kapita mendorong perlambatan laju pertumbuhan kemiskinan, sebaliknya ketidakmerataan pendapatan akan meningkatkan laju pertumbuhan penduduk miskin. Ketimpangan pendapatan mempercepat laju pertumbuhan kezniskinan, ini dapat dilihat dari pangsa pendapatan perkotaan yang berpengaruh positif terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin. Sektor primer, yang merupakan sektor yang paling besar distribusi pendapatannya, berpengaruh negatif terhadap jumlah penduduk miskin secara nasional. Sektor sekunder dan sektor tersier memberikan pengaruh positif terhadap jumlah penduduk miskin. Temuan ini mengindikasikan masyarakat miskin di Indonesia sebagian besar bukan bekerja di sektor ini, akan tetapi bekerja di sektor primer dan di pedesaan, sedangkan sektor skunder dan tersier sangat berkembang pesat di perkotaan. Dengan pelaksanaan sistem desentralisasi memberikan dampak akan penurunan jumlah penduduk miskin.
Dengan demikian perlunya pemberdayaan masyarakat pedesaan dengan diciptakannya lapangan pekerjaan yang padat karya dengan upah diatas standar minimum akan mengurangi pengangguran sehingga jumlah penduduk miskin pun berkurang. Ini didukung dengan infrastruktur yang baik pula seperti tersedianya fasiltas pendidikan, kesehatan, dan transportasi yang baik. Dengan perhatian yang sangat serius di sektor pertanian, seperti pengembangan sistem dan teknik pertanian, mendirikan industri agrobisnis, dan pengembangan Iembaga keuangan yang mendorong percepatan perkonomian di pedesaan. Yang perlu mendapat perhatian adalah pertumbuhan ekonomi tanpa disertai kemerataan pendapatan belum tentu dapat mengurangi jumlah penduduk miskin, untuk itu peningkatan pertumbuhan ekonomi seharusnya disertai dengan pengurangan ketidakmerataan, sehingga hasil pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17932
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>