Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 182787 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Naipospos, Nila
"Penyakit Tuberculosis (TB Paru), masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Tuberculosis merupakan penyebab kematian nomor 2 setelah penyakit cardiovasculer dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Di Kota Bogor telah dilaksanakan upaya-upaya untuk menunjang tercapainya Kebijakan operasional baru Pelita VI yang dimulai tahun 1995, tetapi masih ditemukan permasalahan-permasalahan dalam pencapaian target program pemberantasan TB Paru.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kinerja Puskesmas dalam program pemberantasan TB Paru di Kota Bogor tahun 2000. Penelitian ini dilakukan dengan rancangan Cross- Sectional dengan pendekatan kuantitatif. Sampel penelitian ini adalah 23 Puskesmas untuk mengukur faktor masukan, sedangkan untuk mengamati faktor proses dilakukan dengan Diskusi Kelompok Terarah pada 6 Puskesmas yang mempunyai kinerja baik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya fasilitas laboratorium dan dukungan dana amat diperlukan untuk menunjang keberhasilan Puskesmas dalam melaksanakan program pemberantasan TB Paru. Juga ditemukan bahwa proses pelaksanaan yang baik sesuai dengan protap program dapat diamati pada Puskesmas yang mempunyai kinerja baik mempunyai kegiatan yang innovatif dan pengendalian yang kuat pada setiap penderita TB Paru.
Melihat hasil penelitian maka disarankan untuk meningkatkan keberhasilan cakupan program, setiap Puskesmas dapat dilengkapi fasilitas laboratorium yang memadai, alokasi dan pemanfaatan dana yang optimal untuk program TB Paru serta pelaksanaan proses diharapkan sesuai dengan protap program.

Factors Related With Community Health Center Performance In National Lung TB Control In Bogor City 2001Tuberculosis disease (lung TB), still becomes public health problem. Tuberculosis stands as the second death cause after cardiovascular disease and as the first death cause in the group of infectious disease. In the city of Bogor there had some efforts to support the new operational policy of Pelita VI that had been applied since 1995. However, there are still some problems to achieve target of National lung TB control.
The goal of this research is to analyze the influence of factors that are related to the performance of community Heath Centre in National lung TB control in the city of Bogor. This research is a cross-sectional study design, which applies a Quantitative approach. To measure the incoming factors, twenty-three Community Health Centers has been taken as the samples of this research: and to analyze the process factors, Focus Group Discussion have been applied in six Community Health Centers which have good performance.
The result of this research shows that the existence of adequate laboratories facilities and provision financial support are needed to realize the success of National lung TB control. Furthermore, it could be analyzed that the good operational process happens in the Community Health Centers which have good performance; in those centers, they have innovative program and strong control towards every lung patient.
Analyzing the result of the research, it is suggested that to improve the scope of the successful program, every Community Health Centre need to be supported by adequate laboratory facilities, adequate financial budget allocation, optimum budget operation and appropriate performance of personal in applying the process of national lung TB control.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T5222
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wayan Apriani
"Program Pemberantasan TB Paru bertujuan untuk memutuskan rantai penularan penyakit TB Paru. Salah satu upaya dalam pemutusan rantai penularan adalah menemukan dan mengobati penderita BTA (+) sampai sembuh, dengan menggunakan obat yang adekuat dan dilakukan pengawasan selama penderita minum obat.
Kegiatan pemberantasan TB Paru dengan strategi DOTS di Kabupaten Donggala telah dilaksanakan sejak tahun 1995, tetapi penderita baru tetap ditemukan dan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Hal ini dapat disebabkan adanya kesadaran masyarakat untuk mencari pengobatan atau memang dimasyarakat TB Paru masih banyak ditemukan.
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru di Kabupaten Donggala. Jenis disain yang digunakan adalah kasus kontrol dengan menggunakan 2 jenis kontrol. Kasus adalah penderita TB Paru BTA (+), kontrol-1 yang merupakan kontrol yang berasal dari sarana pelayanan kesehatan yaitu adalah tersangka TB Paru dengan hasil pemeriksaan BTA (-) dan tidak diobati dengan obat anti tuberkulosis serta pada saat wawancara tidak sedang menderita batuk 3 minggu atau lebih dan kontrol-2 berasal dari masyarakat yaitu tetangga kasus dengan criteria tidak sedang menderita batuk 3 minggu atau lebih. Jumlah sampel yang diwawancarai sebanyak 270 kasus dan 540 kontrol.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru pada kasus dan kontrol-1 adalah umur, adanya sumber penular, cahaya matahari dalam rumah, kepadatan penghuni rumah, interaksi antara sumber penular dan cahaya matahari dalam rumah, dan sumber penular tidak berobat.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru pada kasus dan kontrol-2 adalah jenis kelamin, status vaksinasi BCG, keeratan kontak, lama kontak, sumber penular tidak berobat dan kepadatan penghuni rumah.
Dari basil penelitian ditemukan bahwa adanya kontak dengan penderita TB yang tidak berobat merupakan faktor risiko yang erat hubungannya dengan kejadian TB, sehingga disarankan untuk meningkatkan penemuan dan pengobatan penderita sedini mungkin hingga penderita sembuh dan dilakukan penyuluhan secara terus menerus untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar segera mencari pengobatan.

The objective of Pulmonary Tuberculosis Control Programme is to reduce TB transmission. In order to reduce the transmission, the first priority is to decrease the risk of infection by case finding, treatment and cure of AFB (+) tuberculosis patients with adequate regimens and proper supervision during the treatment.
TB Control Programme activities with DOTS strategy in Donggala District has been implemented since 1995. Due to the increasing of case finding of new AFB (+) patients, tuberculosis still remain as public health problem. This is caused by the awareness of community to get the treatment or the existence of Pulmonary Tuberculosis in the community.
The research aim is to identify the related factors to Pulmonary Tuberculosis in Donggala District. The case-control method had been used with two different controls. The case is the new AFB (+) tuberculosis patients while the first control is the TB suspect with the result of the examination is negative as facilities based control and the second is the neighbor of cases as community based control. Both controls were not coughing for last 3 weeks at the time of the interview. 270 cases and 540 control had been interviewed as the respondents.
The result of the research reveals that related factors to Pulmonary Tuberculosis with facilities based control are age, source of infection, house lighting, house density, interaction of house lighting and source of infection, and the source of infection who were not treated.
Related factors to the incidence of Pulmonary Tuberculosis with community based control are sex, BCG vaccination status, contact closeness, duration of contact, the source of infection who were not treated and house density.
Based on the result of the study, it is identified that a contact with TB patients who were not treated is the risk factor that closely relates to the Tuberculosis. Therefore, it is recommended to improve the case finding, early treatment and cure the patients. In addition, it is necessary to provide continuous health education in order to improve the awareness of community to seek the treatment.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T622
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yenny Puspitasari
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
S26695
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maman Suherman
"Salah satu aspek yang paling penting dalam menunjang keteraturan pengobatan adalah kepatuhan mengambil obat oleh penderita Tb Paru di puskesmas. Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilaksanakan di Kota Tasikmalaya, diketahui bahwa proporsi ketidakpatuhan mengambil obat adalah 49,73%. Hal ini merupakan ancaman serius bagi terjadinya resistensi obat dan kegagalan pengobatan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan mengambil obat dikalangan penderita TB Paru di puskesmas Kota Tasikmalaya, yang dilaksanakan pada periode Januari s/d April 2001.
Rancangan penelitian ini menggunakan cross sectional dengan populasi aktual seluruh penderita TB Paru BTA (+) yang berobat di puskesmas wilayah Kota Tasikmalaya. Jumlah sampel yang diteliti adalah 360, jumlah ini melewati jumlah sampel minimum yang diperoleh dengan perhitungan. Anaiisis yang dilakukan adalah analisis univariat,bivariat dan multivariat logistik regresi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita yang tidak patuh mengambil obat cukup tinggi sebesar 48,90%. Dari ke tujuh variabel independen, yang terbukti secara statistik bermakna adalah faktor umur (p=0,046; OR=1,707; 95%CI=1,039-2,804), Faktor jarak (p=-0,002; OR=2,141; 95%CI=1,337-3,433) dan jenis PMO (p=0,001; OR=2,164; 95%CI=1,397-3,351). Berdasarkan perhitungan dampak potensial, variabel yang paling dominan adalah jenis PMO yang memberikan kontribusi paling besar terhadap ketidakpatuhan mengambil obat yaitu 56,12%.
Berdasarkan temuan peneliti, disarankan pertama mengembangkan sistem pemantauan yang berkesinambungan melalui program perawatan kesehatan masyarakat (PI-IN). Kedua, bagi penderita umur produktif perlu diamati secara lebih ketat dengan pendekatan KIE. Ketiga, dalam mengatasi jarak fasilitas pelayanan yang jauh dari rumah penderita perlu adanya keterlibatan BP, KIA dan Bidan Desa setempat. Keempat, untuk lebih mengefek-tifkan PMO perlu dikembangkan sistem rekruitmen, bimbingan dan pemantauan lebih lanjut.

Some Factors Related to Drug Taking Uncompliance of Pulmonary Tuberculosis Patients in Health Center in Tasikmalaya Municipality in Year 1999-2000One of the most significant aspect in supporting treatment regularity is drug taking compliance of pulmonary tuberculosis patients in health center_ Based on the previous research conducted in Tasikmalaya Municipality, it is proved that proportion of medicine taking compliance is 49,73%. This becomes drug resistance and treatment failure.
The research objective is to find some factors related to drug taking uncompliance in health center in Tasikmalaya Municipality conducted from January to April 2001.
The design used in this research is cross sectional design with actual population of entire patients of pulmonary tuberculaosis AFB (+) cured in health center in Tasikmalaya Municipality. The number of observed sample is 360 exceeding the minimum sample number obtained from the calculation. The analysis in this research is univariate, buvariate and regression logistic multivariate.
The research result shows that patients who not taking drug is much higher i.e. 48,90%. Among independent variables which are statisticly significant related to are age (p--0,046; OR=1.707; 95%CI= 1.039-2.804), distance (p=0,002; OR=2.142; 95%CI=1,337-3.433) and treatment observer (p=O.O01; OR=2.I64; 95%CI=1.397-3.351).
Based on the researcher findings, there are some suggested recomendation. First, most develop surveillance system through public health nursing program (PHN). Second, the patients of productive age should be observed closely using KIE approach. Third, to solve the distance of health facility, the BP, KIA and midwives should be involved in the recruitment system, cuonseling and surveilance of follow up activities be developed.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T10793
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Wahyudi
"Penyelengaraan sistem informasi kesehatan yang baik sangat diperlukan guna menunjang proses manajemen program-program kesehatan. Buruknya sistem informasi kesehatan akan mengakibatkan pada rendahnya kualitas data & informasi yang dihasilkan dan rendahnya kualitas data & informasi akan berdampak pada kualitas manajemen, seperti perencanaan yang tidak tepat, salah dalam evaluasi keberhasilan program dan sebagainya.
Sistem informasi manajemen Puskesmas (SIMPUS) adalah ketentuan teknis secara rinci mengenai sistem pencatatan dan pelaporan terpadu Puskesmas (SP2TP) berdasarkan SK Dit.Jen Binkesmas. No:590/BM/DJ/Info/V/96, bertujuan meningkatkan kualitas manajemen Puskesmas secara lebih berhasil guna dan berdaya guna melalui pemanfaatan secara optimal data SP2TP dan informasi lain yang menunjang. Baik tidaknya penyelenggaraan SIMPUS akan berdampak pada baik tidaknya manajemen Puskesmas. Baik tidaknya manajemen Puskesmas diduga berkaitan dengan kinerja pelaksana program dalam penyelenggaraan SIMPUS, mulai dari pengumpulan data (pencatatan), pengolahan data, analisis dan interpretasi informasi hasil olahan data, pelaporan dan pemanfaatannya untuk menunjang proses manajemen Puskesmas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja pelaksana program dalam penyelenggaraan Sistem Informasi Manajemen Puskesmas di Kota Bengkulu.
Desain penelitian yang digunakan adalah potong lintang dengan jumlah sampel sebanyak 144 dari 150 total populasi. Populasi penelitian adalah 10 pelaksana program pada 15 Puskesmas yang ada di kota Bengkulu. Pengumpulan data variabel terikat maupun variabel bebas dilakukan dengan metode self-assesment (kuesioner diisi oleh responden sendiri). Khusus untuk variabel terikat yaitu kinerja pelaksana program dalam penyelenggaraan SIMPUS, setelah responden menjawab/mengisi kuesioner, peneliti melakukan observasi dan pengecekan jawaban respoden sekaligus melakukan koreksi atas kebenaran kecocokan jawaban yang diisi oleh responder.
Hasil penelitian melaporkan proporsi pelaksana program dalam penyelenggaraan SIMPUS yang kinerjanya baik sebanyak 52,8% dan yang kinerjanya tidak baik sebanyak 47,2%. Hasil analisis menunjukan bahwa ada tiga faktor yang berhubungan dengan kinerja pelaksana program dalam penyelenggaraan SIMPUS di Kota Bengkulu yaitu pelatihan, pengetahuan tentang SIMPUS dan uraian tugas.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kinerja pelaksana program dalam penyelenggaraan SIMPUS di kota Bengkulu belum dilaksanakan dengan baik, untuk itu perlu mendapat perhatian Pimpinan Puskesmas dan Kepala Dinas Kesehatan Kota Bengkulu : Pertama kegiatan pelatihan perlu ditingkatkan baik dari jumlah dan mutunya, kedua diperlukan upaya khusus peningkatan pengetahuan tentang SIMPUS pada setiap pelaksana program Puskesmas seperti melengkapi buku-buku pedoman SIMPUS di setiap Puskesmas dan ketiga perlu adanya uraian tugas yang jelas pada setiap pelaksana program di Puskesmas khususnya tugas-tugas dan tanggung-jawabnya dalam pengelolaan data dan informasi.

Factors Related to the Performance of Program Officers in Administrating the Puskesmas Management Information Systems (SIMPUS) in Bengkulu City 2001Good health information system is needed to support the process of managing health programs. Unreliable health information system will produce low quality data and information. Low quality data and information, as a consequence, will damage the decision making process of health management, such as reducing their ability to plan accurately, hampering program performance evaluation, and other problems.
Puskesmas management information systems (SIMPUS) is detailed technical provision concerning integrated recording dan reporting systems of Puskesmas (SP2TP) which is based on SK Dit. Jenn. Binkenmas No. 590/BM/DJ/Info/V/96. The provision is aimed to enhance the effectiveness of Puskesmas management through optimal use of SP2TP data and other supporting information. The quality of SIMPUS administration will directly affect the effectiveness of Puskesmas management.
The effectiveness of Puskesmas management is hypothesized to be related to the performance of program officers in administrating SIMPUS, from the start of data collecting (recording), processing, analyzing and interpretation of the outputs, reporting, to utilizing information to support Puskesmas management. The objective of this study is to identify factors related to the performance of program officers in administrating SIMPUS in Bengkulu City.
The design of the study is cross-sectional, using a sample of 144, with the total population of 150. The population consists of 10 program officers at each of 15 Puskesmasses located in Bengkulu City.
The collection of data concerning dependent and independent variables was done using self-assesment method (the respondents were asked to fill the questionnaire by him or her). In the case of dependent variable, i.e. the performance of program officers in administrating SIMPUS, after the respondents filled the questionnaires, the researcher still had to make direct observations over the process SIMPUS administration, verify the answers of respondents, and make correction, if necessary.
The study found that the proportion of program officers having good performance in administrating SIMPUS is 52,8%, and the proportion of program officers whose performance low is 47,2%. The results of analysis found three factors that affect program officers? performance in administrating SIMPUS in Bengkulu City: training, knowledge of SIMPUS, and job description.
It can be concluded that program officers? performance in administrating SIMPUS in Bengkulu city is effectively low performances. Hence, these results should get attention from managers of Puskesmasses and Head office of health Bengkulu City: first, the number and quality of trainings should be increased, second there should be special efforts to increase program officers knowledge of SIMPUS, for example through providing SIMPUS manuals at every Puskesmas and the third, there should be clear description of tasks to be performed by program officers, especially description of tasks related to managing data and information.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T10124
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pirade, Adolfina
"Salah satu kesepakatan Internasional dalam meningkatkan angka kesembuhan penyakit tuberkulosis paru adalah memberikan pengobatan dengan sistem DOTS. Indonesia telah memulai program DOTS ini sejak tahun 1995 yang dilaksanakan secara bertahap di provinsi, khususnya di DKI Jakarta telah dimulai sejak Juli 1997.
Sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan Program P2TB Paru bahwa seorang penderita dinyatakan sembuh bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada akhir bulan ke-516 dan akhir pengobatan. Berdasarkan data sekunder yang dikumpulkan di Jakarta Pusat ternyata bahwa 38,4% penderita TB paru yang selesai berobat tidak memeriksakan ulang dahaknya, sampai saat ini belum ada penelitian di DKI Jakarta mengenai faktor yang berhubungan dengan pemeriksaan ulang dahak.
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tidak dilaksanakannya pemeriksaan ulang dahak di puskesmas Jakarta Pusat. Disain penelitian digunakan yaitu kasus kontrol dengan sampel penelitian adalah penderita TB paru baru BTA positif telah selesai pengobatan kategori 1 berumur 15 tahun keatas yang berobat di puskesmas Jakarta Pusat. Besar sampel 150 orang yaitu sampel kasus sebanyak 75 orang dan sampel kontrol 75 orang.
Hasil penelitian dilakukan analisis multivariat dengan logistic regression dengan maksud untuk mengetahui hubungan variabel dependen dengan variabel independen. Berdasarkan hasil analisis bivariat dari 15 variabel maka didapatkan variabel yang nilai p<0,25 ada 9 variabel, ternyata pada analisis multivariat didapatkan hanya 3 variabel yang berhubungan bermakna (p<0,05) yaitu pengetahuan (OR=28,44 95% CI 4,66-173,62), persepsi (DR 13,90 95% CI 3,54-54,57), kemudahan mengeluarkan dahak (OR=7,54 95% CI 3,31-17,18), serta interaksi antara pengetahuan dengan persepsi (0R=0,11 95%CI 0,14-0,81) dan nilai p=0,031.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa dengan pengetahuan rendah, persepsi buruk, sukar mengeluarkan dahak dan interaksi antara pengetahuan kurang dan persepsi buruk secara bersama-sama mempunyai hubungan yang bermakna (p<0,05) dengan tidak dilaksanakannya pemeriksaan ulang dahak penderita TB paru baru BTA positif di puskesmas Jakarta Pusat tahun 2000. Sesuai dengan hasil demikian maka disarankan agar dilakukan penyuluhan kepada penderita sebelum pengobatan dan setiap penderita melaksanakan pengambilan obat oleh petugas program P2TB di puskesmas, sehubungan dengan hal tersebut maka diperlukan petugas kesehatan yang mampu dan mau benar-benar melaksakanan pekerjaan ini tentunya dengan pelatihan, supervisi dan pertemuan yang membahas masalah pelaksanaan Program TB Paru di puskesmas.

Study of Factors Associated With Not to Re-Examine Their Sputum among New Cases with Positive Fast Acid Bacilli Pulmonary Tuberculosis in Health Centers in Central JakartaOne of the International commitments in increasing the cure rate of pulmonary tuberculosis is to give therapy with DOTS system. Indonesia has started the DOTS program since 1995 beginning in some provinces and gradually expanded to the others. Jakarta began the program in 1997.
According to the criteria set by the Pulmonary TB Eradication Program, a patient is cured if laboratory examination of the sputum shows negative result by the end of the 5th or 6th month of therapy and by the end of the therapy. Secondary data collected in Central Jakarta showed that 38.4% of TB patients which have completed their therapy did not re-examine their sputum. So far there was no study in Jakarta which tried to find out factors related to this re-examination rate.
This research was conducted to know what factors that influence TB patients not to re-examine their sputum in Health Centers in Central Jakarta. The research design used is a case control study where samples were taken from new pulmonary TB patients with positive Fast Acid Bacilli having completed their Category I therapy, aged more than 15 years who came to health centers in Central Jakarta. The sample size was 150, consists of 75 cases and 75 controls.
The data were analyzed by multivariate analysis using logistic regression to know the relation between dependent variables with independent variables. Bivariate analysis from 15 variables showed that 9 variables had p value < 0.25, while multivariate analysis showed that only 3 variables had significant relation (p <0.05), knowledge (OR = 28.44 95% CI 4.66-173.63) p = 0.000, perception (OR = 13.90 95% CI 3.54- 54.57) p = 0.000, the ease to produce sputum (OR = 7.54 95% CI 3.31-17.18) p= 0.000 and interaction between knowledge and perception (OR = 0.11 95% CI 0.14- 0.8I) p = 0.031.
The conclusion of this research is that low knowledge, bad perception, difficulties in producing sputum and interaction between lack of knowledge and bad perception have significant relation (p < 0.05) with the unwillingness to re-examine the sputum among new pulmonary TB patients with positive AFB who came to health centers in Central Jakarta in 2000. Therefore it is suggested that TB program officers in health centers give proper information/education to the patients before starting the TB therapy and every time the patients come to get the TB drugs and hence we need to have officers who are capable and willing to do their work and this certainly can be created by training, supervisions and series of meeting which discuss about pulmonary TB program in health centers."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T5783
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukmahadi Thawaf
"ABSTRAK
Penyakit TB Paru adalah penyakit infeksi kronis yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Diperkirakan setiap tahun di Indonesia terdapat 583.000 kasus Baru TBC , dimana 200.000 penderita terdapat disekitar Puskesmas.
Puskesmas Jayagiri di kabupaten Bandung memiliki masalah cakupan pelayanan penderita TB paru yang rendah , sehingga dilakukan studi ini yang hertujuan mengetahui faktor faktor yang berhubungan dengan perilaku pencarian pengobatan pertama kali tersangka penderita TB Paru .
Penelitian ini menggunakan Disain Cross sectional dimana sampel penelitian adalah seluruh tersangka penderita Tb paru yang ditemukan melalui skrining sebanyak 338 penderita.
Hasil studi ini kami dapatkan Proporsi tersangka penderita TB Paru diwilayah kerja Puskesmas Jayagiri Kecamatan Lembang adalah sebesar 0,79 %,
Perilaku Pencarian pengobatan pertama kali tersangka TB Paru diwilayah kerja Puskesmas Jayagiri Kecamatan Lembang tindakan pertama pencarian pengobatan ke puskesmas sebesar 30,7 % non puskesmas 69,3%, dan dari seluruh variabel yang diamati faktor yang berhubungan dengan perilaku pencarian pengobatan tersangka penderita TB Paru adalah yaitu Variabel Persepsi biaya, Variabel Persepsi penyakit, Variabel Pengetahuan TB paru, Variabel status pekerjaan, variabel persepsi menyembuhkan dan variabel anjuran berobat.
Selanjutnya studi ini merekomendasikan agar Puskesmas meningkatkan mutu penyuluhan dan sosialisasi Strategi DOTS sehingga bisa terjadi perbaikan persepsi terhadap TB paru. Yang pada akhirnya meningkatkan cakupan pelayanan Puskesmas dan atau disarankan untuk memperluas pelayanan strategi DOTS ke pelayanan Rumah sakit dan pelayanan swasta lainnya.

ABSTRACT
Indonesia is approximatly has 583,000 new TB cases. It is estimated that 200,000 cases are around Community Health Centre (CHC.
The coverage of TB cases in Puskesmas Jayagiri, Bandung District is low, therefore the study aims to determine factors related to the first medical treatment seeking behavior by the suspect of pulmonary tuberculosis in puskesmas.
The study using cross sectional design, the samples are the whole of pulmonary TB suspected cases founded by screening, with the total number is 338 cases.
Conclusions:
The study founde proportion of suspected pulmonary TB founded in the area of Puskesmas Jayagiri, Lembang is 0.79 %, and the first health seeking behavior of pulmonary TB suspected in the area of jurisdiction of Puskesmas Jayagiri, Lembang, such as the first action of seeking behavior treatment to the CHC is the 30.7 %, non-CHC 69.3 % and based on the all observed variables factors which related to the first health seeking behavior of pulmonary TB suspected are : cost perception, occupation, disease perception, sick period, distance perception and curing suggestion.
Furthermore, this study suggested to increase the quality of personal health education and socialization of directly observed treatment short course (DOTS) strategy, to increase the coverage of TB case finding and expanded DOTS strategy service to hospital and the other private sector.

"
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Mardanus
"Penelitian ini menggambarkan kinerja dokter gigi. Lebih lanjut faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja tersebut adalah tambahan beban tugas, kepuasan terhadap pekerjaan dan frekuensi supervsi. Studi ini merekomendasikan bahwa dinas kesehatan memberikan kontribusi terhadap reformulasi uraian tugas dokter gigi di puskesmas.
Studi ini juga lebih menekankan supaya kegiatan supervisi dilakukan secara terus menerus terhadap dokter gigi, sehingga memberikan dukungan terhadap kinerjanya. Dan selanjutnya diberikan kesempatan kepada dokter gigi untuk mengikuti pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan atau memperbaiki pengetahuan dan keterampilan. Selanjutnya disarankan kepada peneliti lain untuk memperbaiki instrumen yang ada dalam penelitian ini apabila melakukan penelitian yang sama.

Factors Related to Dentist Performance on Dental Care Program at Health Center in Padang and Padang Pariaman Regency Year 2000This study showed that the performance of dentists was considered well performance. Furthermore, factors related to the performance were additional workload, level of working satisfactory, and supervision frequency.
This study recommends that district health office showed consider to reformulate job description as dentist in the Puskesmas. This study also strongly suggest that the office establish continuous supervision activities that support to dentists performance, and further open opportunities for the dentists to have further training to improve their knowledge and skill. In addition, this study strongly support other researcher to improve same research instrument used in this study.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T4635
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asnawi
"Program penanggulangan Tuberkulosis Paru dengan strategi Directly Observed Treatment Short course (DOTS) telah dimulai sejak tahun 1995. Diantara indikator yang dapat digunakan melihat keberhasilan strategi DOTS adalah angka kesembuhan dan angka konversi. Di kota Jambi angka kesembuhan pada tahun 2000 sebesar 87,5% di atas target nasional sebesar 85%, dan tahun 2001 turun menjadi 80%. Sedangkan angka konversi BTA (+) menjadi BTA (-) tahun 2001 hanya mencapai 65% di bawah target nasional sebesar 80%,. Terjadinya penurunan angka kesembuhan dan angka konversi tersebut mengindikasikan adanya penurunan persentase penderita Tb Paru yang patuh berobat di kota Jambi tahun 2001. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru di kota Jambi tahun 2001.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Penelitian dilaksanakan dalam kurun waktu 2 bulan, dengan menggunakan data primer yang di peroleh dari basil wawancara melalui kuesioner. Sampel penelitian adalah seluruh penderita Tb Paru yang telah selesai berobat sejak 1 November 2000 sampai 31 Oktober 2001 sebanyak 133 orang.
Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor pengetahuan, efek samping obat (ESO), jarak dari rumah ke Puskesmas, kesiapan transportasi, persepsi terhadappersediaan obat, penyuluhan oleh petugas, jenis PMO dan peran PMO mempunyai hubungan yang bermakna dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru.
Dan hasil analisis multivariat dapat disimpulkan bahwa faktor jarak dari rumah ke Puskesmas, kesiapan transportasi, penyuluhan oleh petugas, dan peran PMO merupakan variabel yang dominan berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru di Kota Jambi tahun 2001.
Penelitian ini menyarankan pihak program dapat memanfaatkan tenaga kesehatan yang berdomisili dekat dengan penderita untuk memperrnudah pasien mengambil obat misalnya bidan di desa, perawat, petugas kesehatan di Puskesmas Pembantu.
Agar PMO benar-benar dapat melaksanakan tugas sesuai fungsi dan peranya dengan baik, maka dimasa yang akan datang disarankan perlu melakukan pemilihan PMO yang lebih selektif, dan semua PMO tersebut di beri pelatihan secara khusus sebelum pengobatan dimulai. Dengan memperhatikan kuatnya hubungan antara penyuluhan yang diberikan petugas dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru serta didukung hasil beberapa penelitian terdahulu, maka di masa akan datang perlu pengamatan secara kualitatif tentang penyuluhan langsung perorangan yang diberikar petugas kepada penderita Tb Paru di Puskesmas, dan kemungkinan altematil pengembangan keterampilan petugas dalam memberi penyuluhan lansung perorangan (misalnya dengan mengikuti pelatihan atau kursus berhubungan dengan penyuluhan tersebut).

Lung Tuberculosis control program by Directly Observed Treatment Short course (DOTS) has been started since 1995. Among the indicators that suggested the ? level of successfulness of DOTS strategy are cure rate and conversion rate. In Jambi recovery rate in year 2000 is 87,5% higher than 85% of national target, but in 2001 decrease to 80%. Whereas conversion rate of Acid-Fast Bacilli positive to negative in 2001 is only 65% below 80% of national target. The decreasing rate of recovery and conversion indicating the decreasingly of lung TB patient which obey regular medication in Jambi. This study generally to find out factors related to medication compliance of lung TB patient in Jambi year of 2001.
This study using a cross sectional design, carried out in two months, primary data obtained from interview with questionnaires. The sample is all of the 133 lung TB patients that have been taking medication since 1st of November 2000 to 31st of December 2001.
This study suggest that such factors like knowledge, drugs side effect, distance from home to community health centre, transportation, perception to drugs availability, information dissemination by health officer, and drug usage supervising have significance correlation to patient's obedient to medication. From multivariate analysis, can conclude that distance factor from house to community health centre, transportation, information by healthcare staff, and drug usage supervising are dominant variable related to lung TB patient's compliance in medication in Jambi year of 2001. This study recommended that program planner to involve every healthcare staff which living nearby patient to help patient in this medication such as midwife or community health centre staffs.
In order to encourage PMOs to do the task appropriately, in the future all PMOs should be rained before doing their job. By considering relationship between educations by healthcare staff with patient's compliance to medication and supported by the results from previous study, so in the future need qualitative observation about information directly to TB lung patient in community health centre, and alternative for developing skill of healthcare staffs in disseminating information directly to an individual.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T621
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Sam Askari Soemadipradja
"Salah satu upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat adalah dilaksanakannya Program Pemberantasan Penyakit Kusta dan kesepakatan global Eliminasi Kusta Tahun 2000. Kusta merupakan penyakit menular menahun dengan menimbulkan "sligina" dan dampak sosial negatif akibat cacat yang ditimbulkannya. Kabupaten Sumedang tidak terlepas dengan problematika kusta. Bila dibandingkan dengan kabupaten yang berbatasan dengan Kabupaten Sumedang yaitu Subang, Indramayu dan Majalengka cakupan penemuan kasus kusta masih rendah. Prevalensi kusta yang rendah di Kabupaten Sumedang mungkin belum menunjukkan angka yang sesungguhnya. Karena pada penemuan kasus baru, tipe multibasiler yang potensial sebagai sumber penularan juga disertai kecacatan tingkat 2, relatif lebih banyak daripada tipe pausibasiler.
Penelitian deskriptif analitik, menggunakan desain penelitian dengan metode pendekatan potong lintang serta pengukuran kuantitatif dan kualitatif, dilaksanakan di Kabupaten Sumedang. Populasi penelitian adalah seluruh petugas pemberantasan penyakit kusta puskesmas di Kabupaten Sumedang.
Penelitian menghasilkan sebagian besar petugas mempunyai kinerja yang buruk. Dari 13 variabel bebas yang diteliti terdapat 3 variabel yang mempunyai hubungan bermakna dengan kinerja petugas, yaitu motivasi petugas, insentif yang didapat petugas dan pembinaan serta dukungan yang didapat petugas. Hubungan antara kinerja dan ketiga variabel bebas diatas secara simultan tidak bermakna.
Disarankan agar dalam meningkatkan kinerja petugas, memperhatikan faktor motivasi petugas, insentif bagi petugas dan pembinaan maupun dukungan terhadap petugas yang berkesinambungan.

The Program of Leprosy Control and the Global Plan of Action for the Elimination of Leprosy by the Year 2000 are efforts towards the improvement of public health. Leprosy is a chronic infectious disease causing stigma and generating negative social impact due to the deformities resulted.
Sumedang shares problems attached to the leprosy, even though in comparison to the neighboring regencies : Subang, Indramayu and Majalengka, the number of leprosy cases is low. However, the low prevalence of leprosy in Sumedang cannot significantly be determined as an indication of the real number since new case findings suggest that more multibacillary types, which have the potential to become the source of contagion along with disability grade 2, have been found rather than the paucibacillary.
This analytic descriptive research was conducted at the Sumedang Regency. The research was designed with a crsoss-sectional approach, and was quantitatively and qualitatively measured. The population of the research was all of the public health center fieldworkers of Leprosy Control Program in Sumedang.
The hypothesis is that there is a correlation between the performance of the Public Health Center fieldworkers of Leprosy Control and the internal factors (individual) and the external factors (environment).
Evidence reveals low performance among a large number of the fieldworkers. Out of 13 independent variables, 3 variables indicate significant correlation with the performance of the fieldworkers. The variables are motivation of the fieldworkers (p:0.04422), incentive received by the fieldworkers (p:0,01210), and guidance as well as support for the fieldworkers ( p:0,029-18). Nevertheless, from a simultant perspective, the correlation between the performance and the three variables is not significant.
To improve performance of the fieldworkers, it is suggested that there should be more significant consideration towards factors of motivation, incentive, continuous guidance and support for the fieldworkers.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T8447
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>