Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 187854 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andi Sopandi
"Studi tentang pola adaptasi dan strategi pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan industri merupakan salah satu studi dalam kajian sosiologi industri. Studi ini menjadi menarik untuk ditelaah berkenaan dengan perkembangan industri di Indonesia dalam tiga dasawarsa terakhir sebagai salah satu sektor utama dalam pembangunan, di antaranya adalah kawasan industri di Kabupaten Bekasi. Beberapa kajian masih lebih memfokuskan meneliti pola hubungan industri dan masyarakat, tanggung jawab sosial industri terhadap lingkungan sekitar, dan hubungan internal industri, tetapi kajian mengenai bagaimanakah pola adaptasi dan strategi pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan industri dan implikasi kebijakan pemberdayaan masyarakat masih perlu dikaji secara mendalam.
Penelitian ini melihat bagaimana pola adaptasi dan strategi pemberdayaan masyarakat dilakukan (Dusun Sempu, Desa Pasir Gombong, Kecamatan Cikarang Utara Kabupaten Bekasi) di sekitar kawasan Industri Cikarang-Jababeka. Kajian ini menjadi sangat menarik untuk diteliti dengan karakteristik yang memerlukan pendekatan yang khusus dalam membuat kerangka analisa penelitian. Analisa pola adaptasi menggunakan teori perubahan sosial, strategi adaptasi, tipe adaptasi dan pola adaptasi serta analisis SWOT dan strategi pemberdayaan masyarakat.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif yang dimulai melalui pemetaan sosial (social mapping) dengan langkah pengumpulan data, observasi dan studi pustaka. Pengumpulan data diperoleh dengan cara wawancara mendalam dengan memilih informan kunci (key informan) berdasarkan kategori informan yang dibangun, yang terdiri atas bekas keluarga pemilik lahan luas, bekas keluarga pemilik lahan sempit dan bekas kuli tani/lio serta masyarakat pendatang. Hal ini berkaitan erat dengan pola kepemilikan tanah dan kondisi setelah pembebasan lahan industri yang berimbas terhadap strategi adaptasi masyarakat, tipe adaptasi dan pola yang dilakukan masyarakat sekitar kawasan industri.
Perubahan sosial yang terjadi di lokasi penelitian tidak terlepas dari dinamika pertumbuhan kawasan Industri (khususnya Kawasan industri Cikarang-Jababeka). Dampak industri terhadap masyarakat desa di antaranya adalah semakin menipisnya lahan dan perubahan struktur ekonomi, yang mempengaruhi produktivitas ekonomi masyarakat tersebut sehingga termarginalisasi. Masyarakat kemudian memilih strategi adaptasi untuk dapat bertahan di lingkungannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan kategori bekas keluarga pemilik lahan luas, keluarga pemilik lahan sempit dan keluarga pekerja tani/lio dan masyarakat pendatang memiliki strategi adaptasi dan pola adaptasi yang khas. Strategi yang dilakukan meliputi: (a) masyarakat desa mengandalkan bentuk-bentuk usaha swadaya (self help) yang bersifat subsisten absolut; (b) beralih ke sektor non-pertanian dan batubata (Non-farm-subsisten); (c) mengandalkan bantuan dari luar; (d) memasuki pola ekonomi industri, dan mengikuti perilaku ekonomi industri di antaranya bergerak di bidang home-industry (industry group) dan (e) masyarakat desa yang tetap bertahan dengan pola ekonomi lama (pertanian dan batubata) dan mencari usaha lain yang bersifat komersial (komersial relatif). Di sisi lain, sebagian masyarakat pendatang ada yang bersifat subsisten, di sisi lain ada pula yang bersifat komersial dengan ikatan kedaerahan yang tinggi. Berdasarkan strategi dan pola adaptasi yang berkembang, maka dikaji berdasarkan analisis SWOT sebagai dasar strategi pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan industri.
Berdasarkan tipologi tersebut, kemudian dirancang strategi perencanaan pembangunan sosial yang sesuai dengan pola adaptasi masyarakat sekitar kawasan industri. Oleh sebab itu, strategi perencanaan sosial melalui program pemberdayaan masyarakat diharapkan dapat dilakukan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan komunitas sekitarnya. Dengan demikian, melalui program-program pemberdayaan masyarakat tersebut diharapkan kehadiran industri di suatu daerah justru tidak memarjinalkan masyarakat, tetapi dapat berkembang bersama-sama dengan masyarakat di sekitarnya. Selain itu, perlu juga ditunjang dengan berbagai kebijakan dan program-program baik dari pemerintah daerah maupun pihak pengelola kawasan industri."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T7154
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhtar
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang Program Raksa Desa di Desa Jayamukti Kecamatan Cikarang Pusat Kabupaten Bekasi, yang bertujuan memahami upaya pemberdayaan masyarakat melalui program, manfaat program, dan kendala dalam implementasi program. Penelitian ini mempunyai arti penting, karena program dimaksud merupakan program baru yang digagas dan diluncurkan oleh pemerintah Propinsi Jawa Barat di era Otonomi Daerah secara luas berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tabun 1999, yang mulai dilaksanakan tahun 2003 dan direncanakan diberlakukan bagi seluruh desa dan kota di Propinsi Jawa Barat hingga tahun 2007. Sebagai program baru, dimungkinkan terjadi kekeliruan khususnya dalam implementasi yang merupakan tahap esensial dalam upaya pemberdayaan.
Untuk itu, hasil penelitan ini dapat berfungsi sebagai input bagi policy maker guna melakukan perbaikan implementasi program berikutnya. Pendekatan dan Janis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif, yaitu informasi tentang pemahaman, pandangan, dan tanggapan para informan dilapangan yang menghasilkan data deskriptif, yakni gambaran nyata pelaksanaan program secara sistematis dan faktuaI. Data tersebut diperoleh melalui teknik wawancara mendalam dengan para informan, disamping studi dokumentasi, dan observasi. Penentuan informan di lakukan secara purposive sampling (non probability), yakni atas dasar penilaian bahwa para informan mengetahui secara balk pemasalahan yang sedang diteliti. Untuk itu, informan dalam penelitian ini adalah Ketua dan Anggota Pokmas; Ketua Satuan Pelaksana (Satlak) Desa, Sarjana Pendamping, unsur Pemuka Masyarakat, dari unsur 13adu.i Perwakilan Desa (BPD).
Sebagai alat analisis hasil penelitian lapangan, digunakan kerangka teori pemberdayaan untuk memahami program dalam meningkatkan kemampuan dan kemandirian komunitas sasaran, baik secara individu maupun kelompok dalam upaya memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalah yang dihadapi. Konsep pemberdayaan juga digunakan untuk melihat bagaimana kelompok mampu memfasilitasi para anggota untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan, dan bagaimana masyarakat mengorganisir diri melalui kelembagaan Satlak Desa yang dikembangkan. Perhatian juga diarahkan pada keterlibatan masyarakat dalam pembentukan dan kegiatan kelompok serta dalam kelembagaan Satlak Desa untuk mengetahui proses pemberdayaan melalui implementasi program.
Hasil penelitian lapangan menunjukkan tidak terjadinya upaya pemberdayaan melalui Program Raksa Desa, karena tidak ada partisipasi dan kemandirian dari masyarakat khususnya komunitas sasaran yang rnerupakan prasyarat bagi upaya pemberdayaan. Hal itu terlihat dari sejak awal kegiatan (persiapan dan perencanaan), yang antara lain adalah kegiatan sosialisasi program melalui forum musyawarah desa, dimana komunitas sasaran tidak dilibatkan. Forum dimaksud hanya dihadiri oleh alit desa, yaitu unsur pemuka masyarakat, perangkat desa, dan unsur BPD, disamping tentunya pengurus lembaga Satlak Desa. Demikian halnya pada implementasi program, yaitu pelaksanaan pembangunan prasarana desa dan penyaluran modal bergulir kepada komunitas sasaran, serta pemantauan, pengawasan, dan evaluasi, masyarakat khususnya komunitas sasaran tidak terlibat secara aktif, dimana dalam konteks pemberdayaan, keterlibatan masyarakatlkomunitas sasaran merupakan elemen penting.
Hasil program memang telah dirasakan oleh masyarakat khususnya komunitas sasaran, baik pembangunan prasarana yang antara lain menambah kelancaran transportasi dan komunikasi antar warga, serta penyediaan air bersih bagi warga, maupun bantuan pinjaman modal bergulir yang antara lain untuk menambah modal usaha dan juga sebagai Modal awal usaha. Akan tetapi, unsur penting dalam upaya pemberdayaan, yaitu proses belajar sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan baik kebutuhan diri, keluarga, kelompok, dan masyarakat, maupun proses belajar memecahkan masalah tidak berlangsung. Kendala dalam implementasi program antara lain adalah kctidaktahuan di kalangan masyarakat sendiri dan kecenderungan prilaku aparat pemerintah yang masih bersifat paternalistik feodalistik (birokrasi tradisional).
Rekomendasi yang diajukan adalah: (a) perlu dilakukan kegiatan pelatihan dan pemantapan secara intensif bagi para pelaksana program mulai tingkat propinsi hingga tingkat lapangan (desa), dalam upaya peningkatan pemanaman mereka balk mengenai teknis operasional dan manajemen penyelenggaraan program maupun perspektif pembangunan berpusat pada manusia; (b) perlu dilakukan kegiatan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi oleh para pelaksana program mulai tingkat propinsi sampai tingkat lapangan secara profesional, dan yang tidak kalah penting adalah perlunya melibatkan komunitas sasaran dalam rangkaian kegiatan dimaksud sejak assesment hingga evaluasi; (c) perlu kecermatan penanggungjawab program dalam merancang program pemberdayaan secara profesional, dengan mempertimbangkan berbagai aspeknya, antara lain adalah ketersediaan dana dan kesiapan sumber daya manusia yang cakap, terampil, dan berdedikasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T14102
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Tumpal P.
"Otonomi Masyarakat desa sebagai jalan tengah bagi kebuntuan perdebatan antara otonomi asli dimaknai sebagai otonomi adat dan otonomi yang diberikan. Otonomi masyarakat desa berarti masyarakat yang memiliki kewenangan untuk mengatur desa bukan pemerintahan desa.
Setelah lebih dari 3 tahun pelaksanaan UU No 22 tahun 1999, otonomi masyarakat desa belum terwujud. Hal ini berkaitan erat dengan dua faktor utama yaitu 1) faktor internal meliputi kandungan kapital manusia, fisik, ekonomi dan sosial yang tersedia dalam sistem serta 2) faktor eksternal yaitu pengaturan birokrat diaras desa.
Sebagai panduan penentuan arah studi peneliti merumuskan 3 hipotesis kerja pertama, intervensi birokrat diaras desa sangat tinggi. Kedua, kapital yang dimiliki Pemerintahan Desa lebih tinggi dibandingkan kapital Civil Society dan Pelaku Ekonomi dan Ketiga distribusi Kapital ke dalam governance desa bersifat elitis.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengambil desa Hegarmanah dan Cikeruh, Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang sebagai lokasi dimana kasus dipelajari. Tujuan penelitian yaitu mengidentifikasi jenis, bentuk dan pola pengaturan desa oleh birokrasi diaras desa dan mempelajari jenis, bentuk dan ketersediaan kapital governance desa (village governance). Hasil penelitian digunakan untuk merumuskan strategi pemberdayaan elemen governance desa guna mewujudkan otonomi masyarakat desa. Strategi yang dimaksud adalah alternatif cara agar ketiga governance desa mampu melakukan swa organisasi dan pengaturan desa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa otonomi masyarakat desa belum terwujud disebabkan perubahan-perubahan yang terjadi diaras desa setelah kebijakan otonomi daerah dilaksanakan belum memberikan peluang bagi governance desa untuk mengatur dirinya sendiri. Hal ini ditunjukkan oleh 1) masih kuatnya pengaturan desa oleh birokrat diaras desa baik berupa Peraturan Daerah yang tidak partisipatif maupun melalui Surat Keputusan Bupati yang sangat rinci sehingga penyeragaman desa tidak lagi secara nasional melainkan di lingkup kabupaten 2) Civil society yang ada ditingkat kabupaten mayoritas Tipe I Horizontal dimana kegiatannya terutama dibidang pendidikan sehingga kontrol terhadap pemerintahan daerah (Bupati dan DPRD) tidak ada. Civil society tipe II vertikal kondisinya masih tahap konsolidasi karena baru dibangun tahun 2002.
Kuatnya pengaturan birokrat Kabupaten ini sesungguhnya dimulai dari pedoman pengaturan desa yang diterbitkan pemerintah, baik dalam bentuk Keputusan Menteri, Peraturan Pemerintah maupun Keputusan Presiden. Perubahan-perubahan yang terjadi diaras desa ada juga yang mendorong terwujudnya otonomi masyarakat desa yaitu 1) ditetapkannya peraturan daerah tentang perimbangan keuangan kabupaten dan desa, 2) pelimpahan kewenangan sebagian dari kewenangan Bupati pada Camat sehingga Camat bukan atasan Kepala desa, 3) terbukanya peluang desa untuk membangun kemandirian keuangannya melalui kelembagaan baru yang disebut Badan Usaha Milik Desa. Perubahan di desa juga terjadi misalnya 1) kelembagaan masyarakat di desa semakin berkurang , 2) munculnya kelembagaan baru seperti BPD dan LPM 3) pergeseran hubungan desa dengan birokrat diaras desa 4) meningkatnya pengaturan desa oleh pemerintahan desa.
Kandungan kapital governance desa sangat beragam baik jenis maupun jumlahnya. Kandungan kapital ini sangat menentukan pola interaksi diantaranya. Kandungan kapital manusia pemerintah desa lebih rendah dibanding kapital manusia BPD. Namun kandungan kapital lainnya seperti fisik, ekonomi dan sosial lebih kuat pemerintah desa. Hanya saja posisi BPD secara normatif menempatkan BPD sebagai pengawas pemerintah desa sehingga hubungan diantara keduanya bukan sejajar. BPD sedikit lebih tinggi diatas Pemerintah desa.
Kandungan kapital pelaku ekonomi organisasi standar lebih rendah dibandingkan kapital pelaku ekonomi organisasi sukarela. Sikap kemandirian pelaku ekonomi sukarela lebih tinggi disbanding pelaku ekonomi standar. Hai ini disebabkan dalam pelaku ekonomi sukarela telah terbangun sistim akumulasi kapital internal dan sistem distribusi kapital eksternal yang merata bagi komponen pendukungnya khususnya untuk Koperasi Persatuan Wanita Jatinangor (KPWJ). Sementara itu, pelaku ekonomi organisasi standar sangat tergantung pada pemerintah dan mekanisme swa organisasinya belum berjalan.
Kapital Civil society organisasi standar sangat tergantung pada pemerintah. Organisasi ini memperoleh kucuran dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBdes) sementara kapital organisasi sukarela bersifat lebih mandiri dibandingkan organisasi standar. Meskipun kurang mendapat perhatian pemerintah, civil society jenis ini tetap melaksanakan kegiatannya namun tersendat-sendat akibat belum optimalnya akumulasi kapital internalnya terutama kapital ekonomi.
Pemerintah desa sebagai saluran bertemunya kepentingan negara (kabupaten) dengan masyarakat sehingga pemerintah desa merupakan saluran bagi perolehan kapital diluar sistem elemen governance desa. Namun distribusi kapital melalui saluran ini khususnya kapital ekonomi seperti dana perimbangan kabupaten dan desa dan proyek masuk desa masih sangat elitis. Kapital eksternal terutama digunakan oleh pemerintah desa, BPD dan organisasi standar yang dekat dengan pemerintahan desa seperti Kelompok Tani (KIN), Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga (PKK) dan Karang Taruna (KT). Otonomi masyarakat desa yang digagas dalam thesis ini mencakup otonomi masyarakat desa dalam hal memilih pemimpinnya, kemampuan pemerintahan desa dalam melaksanakan fungsinya, otonomi masyarakat desa dibidang pembangunan dan otonomi masyarakat desa dibidang keuangan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10906
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heryanto
"Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang direncanakan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Pelaksanaan Pilot Proyek PPMS di Kota Bekasi merupakan upaya pemerintah yang diinisiatifi oleh Depkimpraswil dalam menangani permasalahan squatter di daerah, yang bertujuan untuk membantu pemerintah Kota Bekasi dalam merumuskan dan menyiapkan kebijakan penanganan squatter serta mengoptimalkan potensi masyarakat squatter melalui upaya pemberdayaan masyarakat yang merupakan konsep dasar dari kebijakan Pilot Proyek PPMS tersebut.
Tesis ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai proses pemberdayaan masyarakat squatter melalui pelaksanaan Pilot Proyek PPMS di Kawasan sekitar TPA Bantargebang Kelurahan Cikiwul Kecamatan Bantargebang Kota Bekasi, yang dilhat dari tahap persiapan dan pelaksanaan kegitan program, dan kebijakan yang telah dihasilkan oleh pemerintah Kota Bekasi dalam rangka penanganan squatter sebagai strategi penanganan squatter. Serta untuk memperoleh gambaran mengenai hambatan atau kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Pilot proyek PPMS tersebut.
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian mengambil sampel pelaksanaan Pilot Proyek PPMS pada kawasan sekitar TPA Bantargebang Keturahan Cikiwul Kecamatan Bantargebang Kota Bekasi. Dalam menentukan informan penulis menggunakan teknik Purposive sampling yaitu Sekretaris TKPP PPMS Kota Bekasi, P30K, KMK dan Fasiliotator, Aparat Kelurahan, tokoh masyarakat dan masyarakat squatter.
Temuan penelitian menunjukan bahwa dalam pelaksanaan Pilot Proyek PPMS di kawasan sekitar TPA Bantargebang Kelurahan Cikiwul telah mencerminkan adanya proses pemberdayaan masyarakat. Hal ini terlihat setelah dilakukannya kegiatan sosialisasi lanjutan pada masyarakat squatter melalui rembug warga tingkat kelurahan. Mulai tumbuh inisiatif dan prakarsa serta keikutsertaan dan partisipasi yang ditunjukkannya dalam tahapan penyusunan Rencana Tindak Masyarakat Squatter (RIMS) dengan menentukan sendiri kegiatan yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan mereka (felt needs) yang meliputi perbaikan legalitas sosial, penguatan ekonomi dan perbaikan hunian dan lingkungan. Keadaan ini ditunjang oleh peran community worker yang ditunjukkan oleh Fasilitator dan KMK yang senantiasa mendampingi masyarakat dan pemerintah Kota Bekasi dengan memberikan bantuan pendampingan dan bimbingan teknis sesuai dengan tahapan kegiatan program.
Untuk memudahkan proses pemberdayaan masyarakat selanjutnya dilakukan pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang didasarkan atas anggota dalam "lapak" dan dilatarbelakangi oleh kesamaan mata pencaharian masyarakat squatter sebagai "pemulung". Kemudian sebagai lembaga representasif yang mewadahi seluruh kepentingan dan aspirasi KSM tersebut dibentuk Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). Dengan terbentuknya KSM dan BKM ini maka kegiatan penggalian gagasan (assessment) akan lebih mudah dilakukan. Begitu pula dalam pelaksanaan tahapan-tahapan kegiatan selanjutnya terlihat adanya partisipasi yang ditunjukkan oleh masyarakat squatter dalam menyukseskan pelaksanaan program. Adapun kebijakan yang telah dihasilkan dalam rangka penanganan permasaiahan squatter di Kota Bekasi tertuang dalam Keputusan Walikota Bekasi Nomor 64.A tahun 2004 mengenai Startegi Penanganan Squatter (SPS) Kota Bekasi Tahun 2004-2008 yang ditekankan pada "Penataan Fungsi Ruang dan Kawasan". Selanjutnya dalam menunjang pelaksanaan Pilot Proyek PPMS di lokasi sasaran pada kawasan sekitar TPA Bantargebang Kelurahan Okiwul telah dihasilkan Keputusan Walikota Bekasi No.400/Kep.226-Bappeda/VI/2003 tentang Pembentukan Institusi PPMS di Kota Bekasi.
Meskipun pelaksanaan Pilot Proyek PPMS telah berjalan sesuai dengan kebijakan program yang telah ditetapkan, namun masih saja ditemui adanya kendala-kendala baik internal maupun eksternal. Kendala internal masyarakat meliputi sumber daya manusia dan perilaku dan kebiasaan hidup masyarakat pemulung. Sementara kendala eksternal berupa persepsi negatif unsur stakeholder terhadap keberadaan program, kurangnya Koordinasi, serta konsistensi kebijakan pemerintah terhadap penanganan squatter.
Untuk itu diperlukan perbaikan terhadap beberapa hal oleh seluruh stakeholder pelaksana kegiatan baik oleh pemerintah maupun masyarakat dengan bersama-sama menciptakan upaya win-win solution dan pada akhirnya pelaksanaan Pilot Proyek PPMS dapat mendukung perkembangan pembangunan di wilayah Kota Bekasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22362
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muh. Azis Muslim
"Fasilitas publik bcrupa tempat pembuangan akhir sampah (TPA) diperkotaan sangat penting keberadaanya. Hal ini karena tingginya jumlah produksi sampah perhari dibanding dengan di pedesaan. Di DKI Jakarta misalnya pada tahun 2003 volume sampah tercatat 9.125.000 m3, dan pada tahun 2005 volume sampah diperkirakan meningkat menjadi 13.900.000 m3.
Pemerintah DKI sejak 29 agustus 1989 telah membangun TPA di kawasan Bantar Gebang Bekasi. Tetapi saat ini TPA Bantar Gebang sudah sedemikian parah karena asal mula penanganan sampah sangat gegabah. Selama belasan tahun sampah langsung dibuang bertumpuk tanpa ditimbun tanah sebagai syarat sanitary landfill. Sejak dibuka 16 tahun lalu, berat tumpukan sampah Bantar Gebang sudah diperkirakan mencapai 36 juta ton. Akibatnya bau menyengat, karena gunung sampah tersebut mencapai radius 15 km. Dampak negatif lainnya adalah kerusakan lingkungan, antara lain saluran air lindi yang tidak memadai mengakibatkan leacheat yang mengandung banyak bakteri bercampur racun kimia meresap ke dalam tanah dan bercampur dengan air yang diminum warga.
Berkaitan dengan kondisi tersebut di atas, penelitian ini pada dasarnya mengidentifikasi tingkat daya dukung sosial masyarakat di lokasi dimana sedang berlangsungnya konstruksi untuk fasilitas tempat pembuangan akhir sampah. Kasus yang diteliti adalah masyarakat di sekitar pembangunan tempat pembuangan akhir sampah untuk warga Kabupaten. Tangerang, yakni di Desa Pasir Muncang yang berbatasan dengan desa Desa Jayanti. Kedua desa tersebut berada di wilayah Kecamatan Jayanti Kabupaten Tangerang. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui tingkat daya dukung social masyarakat baik Desa Pasir Muncang maupun Desa Jayanti berkaitan dengan pembangunan TPA, kemudian mengetahui perbedaan kedua desa tersebut dalam hal tingkat daya dukung sosial masyarakatnya. Selain itu mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat daya dukung sosial masyarakat di dua lokasi tersebut.
Dalam penelitian ini dilakukan analisa deskriptif, dengan teknik analisa data univariat yakni dijelaskan karakteristik dan ciri-ciri setiap indikator yang akan diteliti, kemudian disajikan dalam bentuk tabel frekuensi sehingga dapat dilihat penyebaran jawaban. Dari penelitian tersebut disimpulkan sebagai berikut: (a). Daya dukung sosial masyarakat di dua lokasi menunjukan kecenderungan tingkat daya dukung yang relatif rendah. (b). Masyarakat di Desa Pasir Muncang dan Desa Jayanti pada dasarnya memiliki respon positif terhadap pembangunan TPA, namun respon positif tersebut tampaknya terkait dengan harapan masyarakat yang menganggap bahwa kehadiran TPA di desa mereka akan membawa implikasi positif terhadap ekonomi masyarakat setempat. (c). Adapun faktor ekonomi di dua lokasi penelitian sangat berpengaruh terhadap munculnya persepsi positif masyarakat terhadap TPA.
Rendahnya daya dukung sosial masyarakat di dua lokasi penelitian memiliki implikasi terhadap rendahnya partisipasi masyarakat. Jika kondisi tersebut tidak diantisipasi dengan baik maka berdampak negatif pada keberlanjutan fasilitas tempat pembuangan akhir sampah yang saat ini sedang dalam tahap konstruksi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jika dalam pengelolaan TPA tersebut tidak pernah mempedulikan daya dukung sosial masyarakat setempat, maka strategi apapun yang diterapkan dalam pembangunan TPA entah strategi partisipatif, sustainability atau people center development dan sejenisnya, dapat dipastikan akan mengancam keberlangsungan proyek itu sendiri dan kehidupan penduduk setempat.
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, diperlukan sebuah rekomendasi yakni berupa program pemberdayaan untuk meningkatkan daya dukung sosial masyarakat di Desa Pasir Muncang dan Desa Jayanti. Secara umum program tersebut dilaksanakan berkaitan dengan adanya prakiraan dampak negatif pembangunan tempat pembuangan akhir sampah terhadap aspek-aspek yang termuat baik pada komponen komunitas maupun ekonomi. Program yang diusulkan telah dituangkan dalam bentuk proposal kegiatan peningkatan daya dukung sosial masyarakat (P2DSM), antara lain: program peningkatan kesehatan, pendidikan, keamanan dan ketertiban masyarakat, pemberdayaan organisasi-organisasi lokal, perbaikan lingkungan, peningkatan keterampilan dan keahlian, serta pemberdayaan ekonomi lokal."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14384
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Savitri
"ABSTRAK
Dalam rangka mencapai masyarakat yang adil dan makmur, Pemerintah melaksanakan Pembangunan Lima Tahun (Pelita), yang saat ini telah memasuki tahap Pelita ketujuh. Perjalanan pembangunan enam Pelita sebelumnya diakui telah banyak membawa keberhasilan di berbagai aspek kehidupan namun terdapat beberapa aspek yang masih tertinggal. Satu di antaranya adalah belum `terangkatnya' kehidupan kelompok wanita miskin. Hal ini diindikasikan oleh banyaknya wanita miskin yang terkebelakang dalam ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang disebabkan masih kuatnya sistem patriarkhi dalam berbagai bidang kehidupan. Marjinalisasi secara tidak sadar melingkupi kehidupan wanita miskin sehingga mereka makin terpuruk dalam kemiskinan.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat studi kasus dan didukung oleh data kuantitatif berupa data kuesioner. Jumlah responden sebanyak 55 orang, terdiri atas 21 orang istri nelayan tradisional dan 21 orang istri buruh nelayan, 8 orang istri juragan dan 5 orang istri toke yang memberi data karakteristik istri nelayan yang akan diteliti. Dari 55 responden, dipilih 7 informan yang terdiri atas 2 orang istri nelayan tradisional, 2 orang istri buruh nelayan, 2 orang istri juragan dan 1 orang istri toke, yang memberikan informasi lebih mendalam terhadap permasalahan yang diteliti.
Temuan lapangan menunjukan bahwa kemiskinan yang dialami rumah tangga nelayan dan juga istri nelayan bersifat multidimensional yang disebabkan oleh faktor ekologis, struktural dan kultural. Dalam proses sebab akibat, kemiskinan terjadi dalam satu siklus ketidakberdayaan dengan variabel yang saling berakumulasi seperti produktivitas, kerentanan, keterisolasian, kesehatan, membuat istri nelayan tetap berada pada posisi marjinal mereka.
Berdasarkan analisis temuan data lapangan, kemiskinan yang dialami rumah tangga nelayan dan dampaknya pada istri nelayan serta strategi adaptasi yang dilakukan untuk menghadapi penyebab kemiskinan, menghasilkan temuan sebagai berikut: yang pertama, bahwa faktor ekologis, (kepadatan penduduk, punahnya hutan bakau, pencemaran air laut), faktor struktural (hubungan patron dan client dalam kehidupan nelayan, operasi pukat harimau, dan munculnya tambak udang) dan faktor kultural (budaya apatisme pada nelayan, tanggapan nelayan pada pendidikan , dan tanggapan pada konsep menabung) berdampak pada penurunan penghasilan nelayan dan akhirnya memiskinkan rumah tangga nelayan. Ketika faktor ini juga berdampak pada istri nelayan, antara lain mereka kehilangan akses ekonomi akibat penebangan kayu bakau untuk tambak udang (ekologis), sedikitnya peluang yang diberikan dalam ekonomi, dalam pendidikan, pemenuhan gizi dan kesehatan yang memadai (struktural) serta masih kuatnya sistim patriarki dalam tradisi, agama, dan budaya (kultural} mengakibatkan istri nelayan mengalami diskriminasi jender dan marjinalisasi serta penurunan kualitas hidup.
Temuan yang kedua, meskipun peluang wanita miskin untuk mengubah nasibnya kecil, wanita miskin mempunyai kekuatan, ketegaran dan sikap tahan banting dalam menghadapi penyebab kemiskinan yang dialami rumah tangganya. Untuk itu wanita miskin menemukan strategi adaptasi yang berkaitan dengan kerja reproduktif dan produktif berdasarkan pengetahuan tentang konsep dan norma budaya yang ada dalam masyarakatnya, Strategi adaptasi yang dipilih istri nelayan memberikan dampak positif dan negatif. Dampak positif adalah, berupa kontribusi istri nelayan dalam mengatasi ekonomi rumah tangga yang membuat anggota yang berada di dalamnya dapat bertahan hidup (survive). Dampak negatif dari strategi yang dipilih istri nelayan adalah terganggunya kesehatan fisiknya akibat beban kerja yang berat.
Untuk membantu istri nelayan ini, disarankan agar wanita miskin tidak hanya "diberdayakan" dalam memenuhi kebutuhan ekonomi tetapi juga diberdayakan secara psikologis sehingga mampu mempunyai pilihan sendiri baik yang berhubungan dengan kebutuhan dirinya maupun kiprahnya di luar rumah tangga. Strategi pembangunan yang dipilih pemerintah agar memperhitungkan besaran dampak pada wanita khususnya wanita miskin yang sering terlupakan bahkan dirugikan. Analisis kepekaan jender dalam pemberdayaan wanita miskin adalah salah satu langkah yang dapat menghapuskan kemiskinan yang merupakan problem bangsa Indonesia dewasa ini."
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endi Djunaedi
"Konsep Merantau mengacu pada konsep Migrasi Sirkuler, yaitu migrasi tidak tetap. Migrasi Sirkuler didefinisikan sebagai perginya penduduk keluar melewati batas administrasi desa asal pada waktu tertentu untuk mencari pekerjaan tanpa diikuti oleh perpindahan tempat tinggal.
Merantau Masyarakat Dusun Cisayong identik dengan definisi migrasi sirkuler di atas. Merantau masyarakat Dusun Cisayong berkaitan erat dengan tradisi budaya orang Tasik. Tradisi turun temurun dari satu kurun waktu ke kurun waktu lainnya. Seseorang perantau tidak saja akan menambah penghasilan, tetapi juga mendudukkan mereka pada strata yang terpandang.
Kajian ini berusaha menjelaskan faktor-faktor pendorong dan penarik merantaunya masyarakat Dusun Cisayong. Penelitian difokuskan pada satu Dusun (Kampung) dari tiga Dusun yang ada di Desa Cisayong. Penelitian lapangan yang menjadi acuan tesis ini dilakukan di Dusun Cisayong Desa Cisayong Kecamatan Cisayong Kabupaten Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat. Lama Penelitian 12 bulan (Februari 1994 - Februari 1995) dengan efektivitas waktu tinggal 12 minggu (satu minggu per bulan). Melalui Pendekatan partisipasi terlibat dan sensus di satu Rukun Tetangga, dapatlah disimpulkan lima faktor pendorong dan satu faktor penarik. Kelima faktor pendorong tersebut adalah faktor ekologis, faktor ekonomi dan demografi, faktor pendidikan, keresahan politik dan faktor sosial. Sementara faktor penariknya adalah daya tarik kota yang menjanjikan harapan memperoleh nafkah.
Letak Dusun Cisayong secara ekologis mudah dicapai kendaraan umum roda empat ke dan dari daerah tujuan mendukung dorongan mereka untuk merantau. Sawah dan ladang yang menjadi tumpuan utama nafkah keluarga di desa makin menciut baik karena perubahan penggunaan untuk non pertanian maupun pertambahan jumlah penduduk, mendorong penduduk Dusun Cisayong untuk merantau.
Terbatasnya sarana pendidikan hanya sampai sekolah menengah pertama mendorong orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke luar desa. Keresahan politik akibat pemberontakan DI/TII ditahun lima puluhan sampai tahun tujuh puluhan membawa pengaruh terhadap penduduk untuk merantau (perantau pemula) yang kemudian kebiasaan ini diikuti pula oleh generasi selanjutnya kendati secara politik daerah mereka sudah aman. Kedudukan sosial yang berbeda antara yang kaya dengan yang miskin, antara yang memiliki sawah dan tidak memiliki sawah, mendorong penduduk untuk merantau, dan kesiapan istri yang akan menggantikaii sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah selama ditinggal merantau, memperbesar semangat suami pergi merantau.
Keberhasilan perantau secara material menarik perhatian calon-calon perantau. Kekayaan dalam bentuk rumah, sawah, kolam ikan dan ternak domba hasil usaha perantau di kota, dan informasi mudahnya mencari nafkah di kota menarik penduduk untuk merantau."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Junaidi
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang pemberdayaan masyarakat melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Fase II termasuk hambatan-hambatan dan upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasinya. Program Pengembangan Kecamatan Fase II merupakan kelanjutan dari Program Pengembangan Kecamatan sebelumnya. Program Pengembangan Kecamatan Fase II bertujuan untuk menanggulangi kemiskinan dengan memberdayakan masyarakat miskin dan perempuan sebagai pendekatan operasionalnya. Dilanjutkannya Program Pengembangan Kecamatan Fase II merupakan tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan daerah melalui mekanisme pembiayaan bersama yang di landasi dengan semangat Otonomi Daerah yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang pemerintahan di daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif melalui studi kepustakaan, wawancara dengan informan, dan pengamatan di lapangan. Pemilihan informan dilakukan secara purposive sampling dan snowball sampling terhadap aparat pemerintah, fasilitator kecamatan dan desa, tokoh masyarakat dan warga masyarakat desa Gosong Telaga Selatan sebagai kelompok sasaran, dengan jumlah responden 12 orang. Hasil penelitian dianalisis dengan mengaitkan kebijakan sosial dan kerangka pemikiran tentang kemiskinan, pengembangan masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat.
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa pelaksanaan Program Pengembangan Kecamatan Fase II telah berjalan dari tahap sosialisasi sampai pelaksanaan kegiatan, belum mencakup tahap pengendalian dan pelestarian kegiatan. Pelaksanaan program dari tahap sosialisasi hingga ke tahap pelaksanaan kegiatan partisipasi masyarakat terutama masyarakat miskin dan perempuan terlihat dalam tahapan-tahapan kegiatan program pengembangan kecamatan. Peran petugas aparat pemerintah kecamatan yang terlibat langsung dilapangan yaitu PJOK dan pendamping yaitu Fasilitator Kecamatan (FK) bertugas memfasilitasi setiap kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan, memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk merencanakan dan menentukan kegiatan yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki desa.
Pelaksanaan program PPK Fase II mencakup kegiatan pembangunan sarana dan prasarana pendukung yaitu pembuatan Sumur Bor Dua Unit, pembangunan Polindes dan posyandu, Usaha Ekonomi Produktif (UEP) peningkatan usaha pembuatan Ikan Asin, dan Simpan Pinjam Perempuan (SPP) untuk penambahan modal usaha bagi perempuan. Pelaksanaan proses pemberdayaan masyarakat terlihat sejak dilakukannya sosialisasi program yang melibatkan masyarakat sebagai kelompok sasaran dengan melakukan pembentukan kelompok campuran berdasarkan kelompok dusun dan kelompok perempuan. Pembentukan kelompok dilakukan untuk mempermudah proses penggalian gagasan agar gagasan atau ide yang muncui betul-betul kebutuhan yang mereka inginkan. Begitu pula pada tahap pelaksanaan kegiatan, partisipasi dan peran aktif masyarakat sebagai penentu kegiatan terlibat langsung mensukseskan program. Pelaksanaan program yang diawali dengan tahap persiapan hingga ke tahap pelaksanaan program sudah terlihat, terjadinya perencanaan dan pelaksanaan keempat kegiatan oleh warga masyarakat menggambarkan telah berhasilnya pemberdayaan kelompok sasaran akan pengetahuan, keterampilan dan modal.
Dalam pelaksanaan Program Pengembangan Kecamatan masih terdapat kendala-kedala, baik dan masyarakat, pelaku PPK di desa maupun dan pelaku PPK di kecamatan. Kendala dari masyarakat yaitu: Pertama, sumber daya manusia yang masih rendah yang di dominasi tamatan SD dan SLIP. Kedua, pelaku PPK di desa yaitu terjadinya penyimpangan pada saat pembentukan kelompok sasaran yang dilakukan Kepala Dusun selaku ketua Kelompok dengan merekrut anggota berdasarkan hubungan kekeluargaan dan kekerabatan. Ketiga, kurangnya koordinasi pelaku PPK di Kecamatan dengan ketua Tim Koordinasi di Kabupaten yang mengakibatkan kendala proses administrasi. Keempat, lambatnya proses administrasi di bendahara proyek, mengakibatkan tertambatnya proses pencairan dana. Merujuk pada kendala-kendala tersebut, dikemukakan rekomendasi untuk penerapan program setanjutnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13358
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Andy Permana
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang pelakmnaan Program Aksi Pemberdayaan Petani (Proksidatani) dan Pembinaan Masyaraloat Desa Hutan (PMDI-I) melalui Tumpangsari lnsus (lntensifikasi Khusus) dalam rangka peningkatan kesejahteraan petani di tepi kawasan hutan jati. Penelitian ini penting mengingat tepuruknya perekonomian nasional sejak pertengahan 1997 yang dampaknya berkepanjangan hingga saat ini ,memberikan bukti empiris bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling tangguh dibandingkan sektor non pertanian seperti industri. Disamping itu kaxena fokus penelitian pada petani ditepi kawasan hutan jati maka secara implist berhuhungan dengan pengeiolaan hutan jati, oleh karena timbul penjarahan besar-besaran kumn waktu dipenghujung tahun 1997 sampai sekarang maka perlu adanya perubahan paradigma pembangunan kehutan yang lebih mengedepankzm aspek sosial ekonomi masyarakat :ani disekitar kawasan hutan jati.
Penelitian ini mengunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif yang diperoleh melalui studi pustaka, observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) dengan para informan. Sementara itu pemilihan informan dilakukan secara snowball sampling, informan pertama memberikan pelunjuk tentang informan berikutnya yang dapat memberikan informasi yang tepat dan mendalam.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa Proksidatani maupun Program PMDH melalui Tumpangsari Insus tidak mampu meningkatkan kesejahteraan petani disebabkan pemberdayaan sebagai tema pokok peiaksanaan program beium mampu mengedepankan aspek pembagunan manusia (people centered development), pembangunan berbasis sumberdaya lokal (resource based development) dan pembagunan kelembagaan (institutional development). Bahkan rekayasa sosial selalu dimunculkan oleh pelaksana program melalui berbagai intervensinya Sedangkan peran LSM temyata masih dipertanyakan.
Namun diversifikasi peketjaan di sektor non permnian (of krm) dan optimalisasi peran istri dan anak-anak dipicu sebagai stmtegi mempertahankan hidup, temyata merupakan lahan barn yang menjanjikan. Bahkan di dalam masyarakat tani terjadi polarisasi sosial, dimana petani yang dulunya termasuk kurang atau pas-pasan temyata dalam petjalanannya marnpu meraih kesuksesan dan terlihat lebih mapan daripada petani yang mempunyai lahan pertanian luas (petani kaya). Sehingga sektor pertanian hanya sekedar memenuhi kebutuhan pangan dan untuk kebutuhan lain terpenuhi melalui pekerjaan diluar sektor perranian dan kondisi geografis mendukung ketersedianya lapangan kelja.
Oleh karena itu, apabila peran di sektor pertanian Iebih dioptimalkan lagi maka peningkatan kesejahteraan petani akan semakin meningkax. Prioritas yang harus dilakukan oleh pemerintah atau Perum Perhutani yaitu keperpihakan kepada petani dengan menempatkannya sebagai subyek program. Disamping ilu peran LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) llllfllk lebih diopiimalkan kinetjanya dan perlu adanya pengakuan keberadaan LSM yang independent."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T5617
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>