Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11618 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kaharuddin Syah
"Pemilu tahun 1999 merupakan pemilu yang dipercepat dan dilangsungkan pada masa pemerintahan transisi Presiden Habibie. Dan untuk pertama kalinya setelah tumbangnya rezim Suharto, kehidupan multi partai kembali dihidupkan, hal ini merupakan babak baru dalam kehidupan politik di Indonesia.
Semasa pemerintahan Orde Baru Kekuatan Politik dibatasai hingga 3 kekuatan saja: GOLKAR, PPP dan PDI. Sementara pada Era Reformasi Indonesia kembali ke sistem multi partai. Hampir dapat dikatakan bahwa semasa orde baru, partai politik tidak punya apa yang disebut dengan political Party Platform. Yang ada adalah bahwa semua kekuatan partai mengikuti apa yang menjadi garis besar dari kekuatan sosial Golkar. Era Reformasi semua partai politik punya platform nya sendiri-sendiri. Dalam kaitan inilah partai politik punya teknik kampanye sendiri-sendiri.
Tesis ini meneropong bagaimana PAN sebagai salah satu kekuatan politik masa reformasi ini mencoba menggunakan teknik teknik kampanye melalui propaganda. Analisis yang digunakan akan meneropong tidak saja masa kampanye yang lalu (Pemilu 1999) akan tetapi juga bagaimana PAN dalam Pemilu 2004 mendatang menggunakan teknik propaganda.
Pokok masalah yang diangkat adalah apakah teknik propaganda masih layak digunakan dalam era Demokrasi modern seperti pada mesa sekarang ini. Sebagai partai baru, apakah PAN mampu mengangkat teknik kampanye ini untuk bisa memenangkan Pemilu 2004 nanti. Tujuannya tidak lain ingin mengungkapkan dan menganalisis dari hasil pemilu yang lalu kemudian memproyeksikan ke Pemilu 2004 nanti.
Tujuan dari tesis ini adalah merancang, merencanakan dan menyusun suatu kerangka dasar strategi komunikasi politik atau propaganda dan program-program politik Partai Amanat Nasional dalam menghadapi Pemilu 2004 berdasarkan identifikasi kelemahan-kelemahan pelaksanaan kampanye pada tahun 1999, dan mengidentifikasi efektiftas cara-cara kampanye sesuai asas-asas demokrasi serta mengidentifikasi komponen-komponen suatu kampanye politik.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan banyak data sekunder. Sementara kerangka konseptualnya adalah meminjam banyak teori komunikasi politik dari Dan Nimmo, Jacques Ellul dan teori-teori propaganda lainnya sebagai teori komplementernya.
Adapun kerangka pemikiram tesis ini adalah bahwa propaganda merupakan bagian dan bentuk kampanye politik yang persuasif, sehingga para calon pemilih mau memberikan suaranya kepada partai yang bersangkutan pada hari -H- Pemiiu. Pada era multi partai dan kemajuan telekomunikasi, komunikasi dan informasi dewasa ini, partai politik seharusnya tidak lagi mengandalkan cara-cara atau aktifitas propaganda yang konvensional akan tetapi, hendaknya sudah mulai menggunakan suatu instrumen-instrumen teknologi komunikasi modern yang diyakini lebih efektif dan persuasif. Dalam aktifitas propaganda dan komunikasi politik kontemporer dalam suatu kegiatan kampanye politik, pekerja partai mulai digantikan oleh tenaga-tenaga ahli pada bidangnya. Aktifitas propaganda harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip manajemen modern.
Perancangan seluruh aktifitas propaganda dalam kampanye politik harus berdasarkan suatu penelitian ilmiah, tidak lagi menggunakan metode trial and error.
Temuan dari tesis ini adalah bahwa pada hakekatnya sebuah aktifitas propaganda dalam suatu kampanye politik hampir sama dengan kegiatan promosi suatu barang atau produk, namun dalam aktifitas propaganda dalam kampanye politik yang dijual adalah idea dan kandidat, oleh karena itu kandidat harus dikemas dengan baik sesuai dengan citra yang diinginkan oleh calon pemilih, dapat juga disebut dengan strategi politik pencitraan (political image strategi).
Rekomendasi tesis ini adalah bahwa dalam masyarakat yang pluralistik seperti Indonesia, setiap pesan harus di desain dan adanya pesan sentral yang menjadi pesan nasional yang sesuai dengan political platform partai (visi dan misi partai). Dalam aktfirtas propaganda, total media approach menjadi pilihan, terurtama media elektronik (TV dan Radio) bagi daerah yang tidak terjangkau media elektronik tersebut dapat mempergunakan metoda propaganda yang konvensional. Dan pada hakekatnya kampanye politik yang dipropagandakan merupakan ajang pendidikan politik bagi masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T7210
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abd. Rohim Ghazali, 1967-
"Dalam berbagai kajian teori politik, selalu ditegaskan bahwa partai politik merupakan salah satu pilar demokrasi. Secara teoritis, demokrasi tidak bisa dibangun dalam suatu negara tanpa adanya partai politik yang menjadi wahana agregasi kepentingan segenap warganya. Tetapi pada kenyataannya, partai politik tidak selamanya berfungsi secara maksimal dalam proses demokratisasi. Inilah kondisi yang terjadi di Indonesia pada masa transisi dan konsolidasi demokrasi yang berlangsung sejak 21 Mei 1998 hingga ditulisnya tesis ini (akhir tahun 2003).
Transisi politik yang terjadi di Indonesia dimulai sejak 21 Mei 1998. Pada masa ini telah lahir puluhan partai politik, di samping tetap eksisnya partai yang sudah ada sejak sebelum proses transisi berlangsung.
Setelah "Pemilu Perintis" pasca transisi dilangsungkan, 7 Juni 1999, seharusnya Indonesia sudah memasuki tahapan konsolidasi demokrasi. Tapi pada kenyataannya, proses transisi berlangsung terus disebabkan karena tidak berjalannya proses konsolidasi demokrasi.
Tesis ini mengkaji peranan salah satu dari partai-partai politik yang tumbuh pada era transisi dan konsolidasi di Indonesia, yakni Partai Amanat Nasional (PAN). PAN dipilih sebagai obyek kajian karena partai ini dipersepsikan banyak kalangan sebagai partai reformis: didirikan di atas platform yang reformis, dan dipimpin oleh tokoh-tokoh yang reformis.
Metode yang digunakan dalam tesis ini adalah content analysis yakni dengan cara analisis kualitatif yang secara teknis mencakup klasifikasi, penggunaan kriteria sebagai dasar klasifikasi, yang kemudian dianalisis untuk menghasilkan konklusi. Dalam merumuskan konklusi ditetapkan tiga macam kriteria: (i) legitimasi, yakni konklusi yang memperkuat data-data sekunder serta temuan-temuan hasil penelitian yang sudah dipublikasikan sebelumnya; (ii) verifikasi, yakni peninjauan ulang terhadap data-data sekunder dan temuan-temuan hasil penelitian sebelumnya; dan (iii) prediksi, yang berupa proyeksi ke depan yang beranjak dari kondisi obyektif yang ada di masa lalu dan masa sekarang.
Ada tiga teori yang digunakan dalam tesis ini, yakni teori-teori transisi politik, konsolidasi demokrasi, dan fungsi partai politik.
Dari metode yang dipakai, dan teori-teori yang menjadi rujukan, kajian tesis ini menemukan kesimpulan bahwa partai-partai politik pada umumnya, dan PAN khususnya, belum mampu berperan maksimal dalam proses transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia dalam kurun waktu 1998 hingga 2003.
Menurut tesis ini, ada empat faktor yang menyebabkan PAN kurang mampu berperan maksimal dalam proses transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Pertama karena partai yang dideklarasikan 23 Agustus 1998 ini kurang konsisten dengan platform yang telah ditetapkannya. Kedua, seperti umumnya partai politik, PAN juga dilanda konflik internal yang berkepanjangan. Ketiga, masih kuatnya ketergantungan PAN pada Amien Rais sebagai tokoh simbolik. Keempat, disebabkan karena perolehan suaranya yang tidak signifikan dalam Pemilu 1999, PAN tidak memiliki bargaining yang memadai untuk menjadi motor penggerak demokratisasi. PAN masih tersubordinasi oleh kekuatan-kekuatan partai lain yang perolehan suaranya jauh lebih besar.
(Rincian isi Tesis: x + 229 halaman; Daftar Pustaka:75 buku, 3 artikel jurnal, 1 makalah, 27 majalah, 5 tabloid, 32 surat kabar, 4 media online, 12 orang nara sumber, tahun buku-buku yang digunakan: 1988 s/d 2003)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13803
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endra Wijaya
"Dalam sistem kepartaian sebagaimana yang diatur dalam IJndang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, telah terdapat 268 (dua ratus enam puluh delapan) partai politik, dan 24 (dua puluh empat) di antaranya telah berhasil ikut serta dalam pemilihan umum tahun 2004. Banyaknya partai politik yang telah berdiri, di sisi lain ternyata masih menimbulkan rasa tidak puas bagi sebagian masyarakat di daerah-daerah. Sebagian masyarakat di daerah masih menganggap aspirasi mereka belum bisa diperjuangkan oleh partai politik yang ada sekarang, dan partai-partai politik itu juga masih terlalu menyibukkan did dengan isu-isu "perebutan kursi kekuasaan di pusat" saja. Akibatnya, timbul kekecewaan pada diri masyarakat daerah terhadap partai politik. Kekecewaan masyarakat daerah itu pada perkembangan selanjutnya dapat mendorong timbulnya upaya untuk mendirikan partai politik lokal.
Penelitian ini difokuskan pada permasalahan yang berkaitan dengan keberadaan partai politik lokaI, yaitu mengenai faktor-faktor yang mendorong timbulnya partai politik lokal di Indonesia, dan kedudukan partai politik lokal dalam hukum positif di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian hukum normatif. Dalam hukum positif di Indonesia, setidaknya terdapat beberapa produk hukum yang dapat dijadikan dasar untuk menganalisis keberadaan partai politik lokal, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh serta Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh.
Dari penelitian ini terungkap beberapa hal yang menjadi faktor pendorong timbuinya partai politik lokal, antara lain, adalah berkaitan dengan masalah pelanggaran hak-hak asasi manusia masyarakat daerah, baik hak ekonomi maupun politik, serta ketidakmampuan partai politik nasional dalam memperjuangkan kebutuhan masyarakat daerah. Terhadap isu partai politik lokal, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 masih belum mengatumya secara jelas, sedangkan untuk di Aceh, keberadaan partai politik lokal sudah mempunyai dasar hukum yang lebih rinci, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19582
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michels, Robert, 1876-1936
Jakarta: Rajawali, 1984
324.2 MIC p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muchamad Ali Safa`at
Jakarta: Rajawali, 2011
324.2 MUC p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Prayitna
"Indonesia yang menganut sistem multi partai merupakan konsekuensi logis dari banyaknya partai yang tumbuh di Indonesia. Pada era reformasi diterbitkannya UU Nomor 2 Tahun 1999 sebagaimamana telah diubah dengan UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang memberikan kebebasan rakyat mendirikan partai politik. Hal ini membuat partai politik tumbuh bagaikan jamur. Keberadaan partai politik dalam jumlah besar inl banyak kalangan mengkawatirkan berakibat pada ketidaksehatan kehidupan demokrasi, karena banyak partai politik yang ada tidak menjalankan peran dan fungsi partai politik sebagaimanamestinya yang ada adalah pragmentasi partai politik. Dari latar belakang permasalahan tersebut ada keinginan untuk melakukan penyederhanaan jumlah terhadap partai politik yang ada di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Umum UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang menyatakan bahwa untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan, diperlukan adanya sistem kepartaian yang sehat dari dewasa yaitu sistem multi partai sederhana.
Dalam sistem multi partai sederhana akan lebih mudah dilakukan kerjasama menuju sinerji nasional. Pemerintah sudah tidak mungkin lagi bertindak sewenang-wenang untuk membatasi dan melarang berdirinya partai politik, apalagi untuk membubarkannya. Penyederhanan yang dilakukan adalah secara alamiah oleh seleksi rakyat melalui pemilihan umum dengan menerapkan electoral threshold sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pemilu No, 3 Tahun 1999 Pasal 39 ayat (3) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2003 Pasal 9 ayat (1) huruf a, b dan c yang menerapkan aturan electoral threshold atau ambang Batas yang harus dipenuhi bagi partai politik yang akan mengikuti pemilihan umum. Jika tidak mencapai electoral threshold partai tersebut harus membubarkan diri atau membuat partai baru. Dari hasil Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 banyak partai politik yang tidak memenuhi ketentuan electoral threshold, sehingga banyak partai politik yang berguguran, membubarkan diri dan mengganti baju baru. Untuk mendirikan partai politik itu harus memenuhi berbagai persyaratan sebagiamana diatur Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
Pada dasarnya partai politik di Indonesia juga dapat disederhanakan. Berdasarkan ideologi, karena sebenarnya jumlah partai politik dapat disatukan dalam kelompok ideologi yang sama. Kelompok sekuler (nasionalis kebangsaan dan nasionalis kerakyatan) dan kelompok agamis (Islam konservatif dan Islam Moderat) dari sisi tersebut dapat dijadikan tolak ukur untuk menerapkan prosentase electoral threshold. Disamping itu sistem kepartaian dan sistem pemilu berkaitan erat dengan keberadaan partai politik dalam suatu negara, namun sistem tersebut harus disesuaikan dengan latar belakang budaya setempat, sehingga penerapannya dapat berjalan dengan baik. Dalam perubahan sistem harus diperhatikan juga kondisi objektiv suatu masyarakat dalam negara, dan tidak bisa dipaksakan penerapannya sistem secara murni karena latar belakang budaya suatu bangsa yang berbeda."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T18699
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faridah
"Golkar adalah organisasi politik di Indonesia yang selalu menempati urutan tertinggi dalam perolehan suara pada setiap Pemilu. Hal ini selain karena Partai Golkar didukung oleh struktur organisasi dan kelembagaan yang sudah mapan, juga karena telah memiliki pengala man yang cukup matang dalam pemenangan suara dalam setiap pelaksanaan Pemilu. Namun, kesuksesan tersebut belum didukung oleh penerapan kebijakan yang lebih responsif gender yang berakibat pada rendahnya tingkat keterwakilan perempuan dalam kepengurusan Partai Golkar dan di parlemen. Jadi, permasalahan penelitian ini adalah bagaimana kebijakan Partai Golkar dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di Parlemen pada periode kepengurusan 1999 - 2004.
Penelitian ini terkait erat dengan teori budaya patriarki dari Gorda Lerner dan Aristoteles, teori gender dari Arid Budiman dan Nunuk P Murniati, teen Kuota dari Drude Dahlerup, teori kebijakan dari Friedrick dan Anderson, teen demokrasi dari Robert Dahl, serta mempunyai signifikansi dengan pengembangan teori Partai Politik yang terkait erat dengan fungsi Partai Politik dan Miriam Budiarjo.Dari teori tersebut, terdapat signifikansi praktis dalam upaya untuk mendorong keterwakilan perempuan di kepengurusan Partai Golkar khusiisnya dan di Parlemen umumnya.
Fokus analisis penelitian ini adalah pada Partai Golkar dengan variabel yang diamati adalah kebijakan dan fungsi Golkar sebagai Partai politik, sosialisasi politik , dan sistem rekruitmen dalam partai Golkar.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data penelitian bersumber dari hasil wawancara mendalam (dept interview) terhadap 15 orang informan kunci (key informant). Teknik penentuan informan kunci dengan metode snow ball. Data sekunder meneakup studi kepustakaan dan publikasi ilmiah serta laporan lembaga resin yang terkait dan dapat dipertanggungjawabkan secara akadeniik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagai Partai, Golkar memiliki kebijakan politik yang jelas, dengan mekanisme (struktur dan kerangka) organisasi dan pengkaderan yang modem, terstruktur dan sistematis dengan poly rekruitmen kader yang baik. Tapi, budaya patriarki sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Gorda Lerner dan Aristoteles masih mengakar kuat di tubuh Partai Golkar yang berimplikasi pada rasionalisasi penempatan pengurus perempuan dalam struktur partai menjadi tidak signifikan dengan jumlah kader perempuan Partai Golkar dan kurangnya peningkatan keterwakilan perempuan di Parlemen. Partai Golkar juga belum maksimal dalam menjalankan fungsinya secara lebih "demokratis" sebagaimana teori Robert Dahl, yang berimplikasi pada kebijakan yang bias gender yang mengakibatkan rendahnya keterwakilan perempuan di Parlemen, yalmi hanya berhasil menempatkan 16 orang kader perempuan atau 11,76% dari 136 kursi yang diperoleh Partai Golkar dalam Pemilu 1999 lalu..rumlah yang jaub dari target kuota yang disarankan dalam UU Partai Politik.

Golkar is a political organization in Indonesia which always in the highest position in every election. It is not only because the party is supported by an establish structure of organization and institution, but also its vivid experience in winning the elections. However, its success has not been supported by more responsive politic implementation on gender which causes lower-level women representative ness in the board of the organization and in the parliament. Thus, the problem of the research is that how is the policy of the party in increasing women representative ness in parliament in the period of 1999-2004.
This research has a strong attachment with theory of culture of patriarchy from Gerda Lerner and Aristoteles, theory off gender from Arief Budiman and Nunuk P Murniati, theory c; quota from Drude Dahlerup, theory of policy from Friedrick and Anderson, theory of democracy from Robert Dahl, theory and relates to development theory of political party from Miriam Budiardjo. From the theories, there is a practical significance of efforts in endorsing women representative ness in the board of the party and in parliament in general,
The focus of the research is on Golkar Party and variables of the research are policy and function of the party as a political party, political socialization, and recruitment system in the party. The research applies a qualitative approach. Data resources of the research are from in=depth interview on 15 key informants using snowball technique. Secondary data includes literature study, scientific publication, and also official reports from related institutions,
The result of the research shows that as a party, Golkar has a clear policy, with its mechanism (structure and framework) of organization and modern, structured and systematic forming of cadre with good recruitment system. However, culture of women in its board and representative in parliament. The party has also less afford in implementing its function to be more democratic. It implicates to bias gender policy and lower-level of women representative ness in parliament. The party only got 16 representatives or 11, 76% from 136 seats of the party in parliament a results of 1999 election and less then quota targeted by the law of Political Party.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21723
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Suhawi
"Penelitian tentang "Peranan Partai Politik Era Reformasi Terhadap Integrasi Nasional yang metigambil studi kasus PDT Perjuangan dan PK Sejahtera" ini dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan peranan parpol dalam mengintegrasikan aspirasi masyarakat didalam menjaga kohesifitas bangsa Indonesia; Mengkaji peranan PDI Perjuangan dan PK Sejahtera dalam meningkatkan aspek integrasi nasional; Serta mengkaji implikasi reformasi bagi ketahanan nasional dimana PDI Perjuangan dan PK Sejahtera menjadi aktor demokrasi yang diakui secara konstitusional.
Penelitian memakai metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan permasalahan secara asosiatif kepada PDI Perjuangan dan PK Sejahtera dimana sumber data berasal dart sumber primer dan sumber sekunder. Penelitian dilakukan dengan menggunakan indikator ideologi, pola rekrutmen, pola pengorganisasian, sebaran dukungan, kebijakan dari kedua partai terutama yang terkait dengan integrasi nasional.
Adapun teori atau pendapat para ahli yang digunakan untuk melakukan penelitian berkisar seputar teori peranan, partai politik, integrasi nasional, dan ketahanan nasional, sehingga diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Fertama, Parpol era reformasi melaksanakan peran integrasi nasional melalui fungsinya sebagai sarana komunikasi, sosialisasi, rekrutmen politik, dan pengatur konflik serta tetap menjadi sarana artikulasi dan mengaggregasi kepentingan. Namun peranan parpol era reformasi terhadap integrasi nasional mengalami pent roan kualiths karena perluasan partisipasi masyarakat tidak berbanding lures dengan kemampuan sumberdaya parpol, termasuk lembaga-lembaga negara lainnya; Kedua, PDI Perjuangan dan PK Sejahtera memiliki peran panting bagi terwujudnya integrasi nasional. PDI Perjuangan sebagai partai terbuka dapat menunjang penguatan aspek integrasi nasional Indonesia sebagai bangsa majemuk. Begitu pula dengan PK Sejahtera, karena ia mengikuti kaidah - kaidah demokrasi didalam memperjuangkan tujuan idiilnya; Ketiga, Euforia politik selama reformasi menjadikan negara pada posisi tidak stabil akibat ledakan partisipasi rakyat yang tidak mampu dikelola oleh institusi politik yang ada. Hal demikian disadari oleh partai - partai politik era reformasi, karma itu ia melalui kadernya di badan legislatif mulai membuat regulasi jurnlah partai melalui pemilu agar bisa menciptakan iklim yang lebih kondusif bagi ketahanan nasional bersendikan demokrasi. Artinya, parpol era reformasi insyaf akan pentingnya sistem multi partai terbatas (proporsional) dalam rangka konsolidasi demokrasi sehingga tercipta kohesi sosial dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
Terkait dengan temuan penelitian ini, peneliti merekomendasikan agar peranan parpol era reformasi terhadap integrasi nasional bisa lebih optimal, maka setiap parpol perlu segera berbenah did dengan meningkatkan sumber days yang dimiliki sehingga dapat mengelola partisipasi masyarakat dan mampu melembagakan konflik atau kepentingan yang sating bersaing. Oleh sebab itu, parpol juga perlu mengetahui lingkup serta intensitas perbedaan agama dan etnis, kesenjangan antara kelompok tradisional dan kelompok modem, kesenjangan antara perkotaan dan pedesaan, termasuk ideologi - ideologi yang saling bersaing. Karena semua itu hams diagregasi dan diartikulasikan oleh parpol yang eksis dalam pentas politik nasional. Apalagi jumlah parpol selama transisi demokrasi sangat tergantung pada fragmentasi yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Dengan begitu, parpol era reformasi melalui lembaga legislatif dan eksekutif hazes memastikan bahwa ia melaksanakan perannya dalam memperkuat integrasi nasional dimana secara gradual mengurangi emosentrisme yang mengancam integrasi nasional melalui Undang-undang tentang partai politik dan pemilihan umum.

The research about " The Role Of Political Party Era Reform To National Integration taking case study of PDI Perjuangan and PK Sejahtera conducted with the objective as a mean to describe the role of political party in integrating society aspiration in taking care of Indonesian nation cohesively; Studying the role of PDI Perjuangan and of PK Sejahtera in improving the national integration aspects; And also to study the reform implication to national resilience whereas PDI Perjuangan and of PK Sejahtera become democracy actors confessed constitutionally.
The research uses qualitative method by using approach of analysis description where the source of data came from the primary and the secondary sources. The research conducted by using ideology indicator, pattern of recruitment, organizational pattern, dispersion support, policy of both party - especially which related to national integration.
As for opinion or theory of experts used to conduct research gyrate in around role theory, political party, national integration, and national resilience. So that it obtained the following conclusion: First, political parties in reform era has been doing the role of national integration through communication medium function, socialization, political recruitment, conflict management, and remain consistent in being articulation medium and interest of aggregation. But the quality of the role of political parties in reform era to national integration is declining because the expansion of people participation is not directly proportional with capability and capacity of parties resources, including other state institutions; Second; that both parties have their important roles to form the National integration. PDI Perjuangan as an open party can support reinforcement of national integrity aspects to Indonesia as a plural nation. So does with the PK Sejahtera, because it follows democracy methods in achieving its ideal target; Thirr Political Euphoria during reform will make unstable state on course effect of people participation explosion which unable to be managed by existing political institution. This condition is realized by political parties in reform era; therefore, through their cadre in legislative institution, they begin to make regulation of parties number through the election in order to create more conducive climate of national resilience based on democracy. It means that political parties have realized the importance of definite multi parties (proportional) in order to make democracy consolidation so it can be created social cohesion that involve people participation.
Related to the invention of this research, the researcher recommends that in order to make the role of political parties in reform era to national integration more optimum, each party needs to improve themselves by increasing their resources so they are capable to manage people participation and also able to institute the conflicts or compete interests. Therefore, political parties need also to know the scope and the intensity of ethnic and religion diversity, the gap between traditional and modem group, the gap between city and rusticity, including the compete ideologies, because those all factors must be aggregated and articulated by political parties that exist in national political stage. Moreover, number of political parties within democracy transition is much depend on the fragmentation happened between society. Therefore, political parties in reform era through Legislative and executive institution must ensure that they can implement their role in strengthening national integration and gradually decreasing that menace national integration through political party regulations and general election.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T24551
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Moh. Effendi Anas
"Dari perspektif Emitai Etzioni dalam buku "Organisasi modern" sebuah organisasi dikatakan efektif manakala fungsi yang melekat pada dirinya dapat dilaksanakan dengan baik. Sebaliknya bila fungsi-fungsi itu tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya maka partai tersebut dikatakan tidak efektif. Pelaksanaan fungsi sebagai ukuran dari efektifitas sebuah organisasi disebabkan karena pada dasarnya fungsi merupakan manifestasi dari pelaksanaan tujuan organisasi.
Beberapa pengamat politik di Indonesia mengambil kesimpulan bahwa, perkembangan organisasi sosial politik selama Orde Baru tidak dapat memerankan fungsi-fungsinya secara maksimal. Hal ini didasarkan kepada fakta bahwa semenjak Orde Baru negara tampil sebagai kekuatan yang dominan bahkan organisasi sosial politik menjadi fenomena kelembagaan yang muncul dari domain negara bukan dari domain masyarakat sehingga keberadaan organisasi politik sangat tergantung dan dipengaruhi oleh negara.
Untuk mengetahui tingkat efektifitas fungsi organisasi sosial politik dilakukan dengan metode survei melalui observasi lapangan dengan melihat praktek kinerja organisasi, di samping itu ditempuh pula wawancara mendalam dengan kalangan tokoh serta mempelajari keputakaan yang berkaitan dengan perkembangan organisasi sosial politik sekaligus diteliti faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas organisasi dengan pendekatan ekploratif untuk mencari tahu sebab-sebab atau pengaruh terhadap efektifitas fungsi organisasi tersebut.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa dari 8 fungsi yang diteliti dengan studi kasus Partai Persatuan Pembangunan ditemukan bukti bahwa 4 fungsi dapat dikatakan berhasil dilaksanakan secara efektif yaitu : fungsi rekrutmen politik, partisipasi politik, sarana pembuat kebijakan dan sarana pengatur konflik, sedangkan 4 fungsi lainnya tergolong gagal dilaksanakan oleh organisasi ini meliputi : fungsi sosialisasi politik, komunikasi politik, agregasi dan artikulasi kepentingan serta fungsi kontrol terhadap eksekutif. Fungsi yang berhasil dan fungsi yang gagal tersebut di atas secara cukup signifikan dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal organisasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liddle, R. William
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992
324.259 8 LID p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>