Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105016 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siregar, Insan Fahmi
"Perjalanan politik Masyumi - sejak didirikan pada tanggal 7 Nopember 1945 sampai dibubarkan pada tahun 1960 -- penuh dengan dinamika, baik di dalam internal Masyumi sendiri maupun ketika berhubungan dengan partai politik dan Presiden Sukarno. Hubungan Masyumi dengan Presiden Sukarno misalnya, pernah juga mengalami hubungan yang harmonis, terutama pada masa revolusi. Hubungan itu mengalami pergeseran hingga menjurus kepada konflik. Konflik antara Sukarno dengan Masyumi semakin tajam, terutama sejak adanya keinginan Sukarno mengubur partai politik pada bulan Oktober 1956, dan Konsepsi Presiden pada tahun 1957. Konflik terus berlanjut hingga masa Demokrasi Terpimpin.
Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dimulai sejak keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Keluarnya Dekrit tersebut semakin memperkuat dan memperbesar kekuasaan Sukarno di satu pihak, sementara di pihak lain semakin melemahkan posisi dan peran Masyumi sebagai partai politik. Bukan hanya peran politik Masyumi yang semakin merosot, tetapi eksistensi Partai Masyumi pun diakhiri Sukarno melalui Keputusan Presiden No. 200 tahun 1960.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Sukarno membubarkan Masyumi. Pertama, Sukarno ingin merealisasikan pemikiran dan obsesinya yang sudah lama terkubur, terutama mengenai partai politik, demokrasi dan revolusi. Kesimpulan ini didasarkan atas beberapa pernyataan dan pemikiran Sukarno yang sudah berkembang sejak masa pergerakan nasional sampai masa awal Demokrasi Terpimpin. Kesatu, sejak masa pergerakan nasional Sukarno menginginkan partai politik cukup satu. Bahkan pada bulan Oktober 1956 Sukarno menyatakan partai politik adalah penyakit, sehingga hams dikubur. Kedua, Sukarno menginginkan demokrasi yang diterapkan adalah Democratisch-centralisme, yakni suatu demokrasi yang memberi kekuasaan pada pucuk pimpinan buat menghukum tiap penyelewengan, dan menendang bagian partai yang membahayakan massa.
Konsep ini disampaikan Sukarno pada tahun 1933. Konsep ini kemudian Sukarno terapkan pada masa Demokrasi Terpimpin. Ketiga, Sukarno berkeyakinan revolusi belum selesai. Setiap revolusi mempunyai musuh. Dalam logika revolusi hares ditarik garis yang tegas antara kawan dan lawan. Perilaku politik Sukarno pada masa Demokrasi Terpimpin - menurut Bernhard Dahm -- dipengaruhi oleh sifat-sifat yang dimiliki tokoh Bima dalam cerita pewayangan, seperti sifat Bima yang tidak mengenal kompromi dengan lawan yang datang dari luar keIuarganya.
Faktor kedua, adanya konflik yang berkepanjangan antara Sukarno dengan Masyumi. Konflik itu mulai muncul ketika Perdana Menteri M. Natsir menolak usul Presiden Sukarno tentang cara penyelesaian Irian Barat. Selain itu, Natsir juga mengingatkan Presiden Sukarno supaya jangan mencampuri urusan pemerintah, dan kalau Sukarno terus-terusan mencampuri kebijaksanaan pemerintah maka perdana menteri bisa menangkapnya. Kasus ini menimbulkan dendam pribadi Sukarno kepada M. Natsir. Selain dendam pribadi, Sukarno juga menyimpan dendam sejarah kepada Partai Masyumi. Partai Masyumi seringkali mengkritisi dan menentang gagasan dan kebijaksanaan Sukarno. Adanya penentangan dan perlawanan Masyumi yang tidak putus-putusnya kepada Presiden Sukamo yang semakin mendorong dan meyakinkan Sukarno untuk membubarkan Masyumi. Faktor ketiga adalah untuk menjaga kesinambungan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dan melestarikan kekuasaannya. Sukamokhawatir kalau Masyumi tetap dibiarkan hidup, maka akan mengancam kekuasaannya, dan menghambat jalannya Demokrasi Terpimpin.
Dengan demikian, Masyumi dibubarkan bukan karena terlibat PRRI. Hal ini diakui sendiri oleh Sukarno kepada Bernhard Dahm pada tahun 1966. Sukarno mengatakan tidak dapat menyalahkan suatu partai karena kesalahan beberapa orang. Kalau begitu, keluarnya Keputusan Presiden No. 200 tahun 1960 merupakan bentuk sikap kesewenang-wenangan Sukarno terhadap Partai Masyurni.
Konflik Masyumi dengan Presiden Sukarno disebabkan beberapa hal. Pertama, masalah kedudukan dan kekuasaan dalam pemerintahan. Kedudukan dan kekuasaan Masyumi dalam pemerintahan sangat besar pada masa Demokrasi Parlementer, sementara pengaruh dan kekuasaan Presiden Sukarno sangat keciI. Mengingat kedudukan seperti itu, maka Presiden Sukarno ingin merebut kedudukan itu, dan terlibat secara langsung dalam pemerintahan. Sebab kedua, adanya perbedaan yang prinsipil mengenai demokrasi. Sukarno menginginkan Demokrasi Terpimpin, sementara Masyumi menolak dan menentang Demokrasi Terpimpin. Sebab ketiga, adanya perbedaan ideologi. Presiden Sukarno menggalang kerjasama dengan PKI yang berhaluan komunis.
Sementara itu, Partai Masyumi mempunyai ideologi Islam yang tidak mau bekerjasama dengan PKI, dan sangat kerns menentang komunisme. Adanya pcrbcdaaan ideologi antara PKI dan Masyumi, berimplikasi terhadap hubungan Masyumi dengan Presiden Sukarno. Sukarno lebih memilih PKI, dan konsekuensinya Sukarno hams menyingkirkan Masyumi.
Usaha Sukarno untuk menyingkirkan Masyumi dilakukan dengan dua pendekatan. Pertama, pendekatan politik, dengan cara mengurangi dan menghilangkan peran politik Masyumi dalam pemerintahan dan legeslatif. Kedua, pendekatan hukum, dengan membuat beberapa peraturan yang menjurus kepada pembubaran Partai Masyumi.
Partai Masyumi menghadapi Keputusan Presiden No. 200 tahun 1960 dengan dua cara. Pertama, Pimpinan Partai Masyumi menyatakan Masyumi bubar, melalui suratnya No. 1801BNI-25/60 tanggal 13 September 1960. Partai Masyumi membubarkan diri untuk menghindari cap sebagai partai terlarang, dan korban yang tidak perlu, baik terhadap anggota Masyumi dan keluarganya, maupun aset-aset Masyumi. Kedua, menggugat Sukarno di pengadilan. Usaha Masyumi mencari keadilan di pengadilan menemui jalan buntu. Kebuntuan itu terjadi karena adanya intervensi Sukarno terhadap pengadilan.
Keputusan Pimpinan Partai Masyumi yang membubarkan diri, temyata bisa diterima anggota Masyumi. Anggota Masyumi tidak melakukan pembangkangan terhadap Pimpinan Masyumi. Meskipun Partai Masyumi sudah bubar secara material, namun di kalangan anggota Masyumi masih merasa Masyumi tetap hidup dalam jiwa mereka. Oleh karena itu, mereka tetap memandang para pemimpin mantan Masyumi sebagai pemimpin mereka. Dengan demikian, pernyataan Faith mengenai sifat Bapakisme dalam kepemimpinan partai di Indonesia terbukti, setidaknya untuk kasus Partai Masyumi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T7205
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Perubahan peta kekuatan parpol tampaknya akan kembali pada pemilu 2009. Terlebih dalam kurun waktu 2006-2008 dalam politik di Aceh. Disahkannya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh membawa implikasi pada dua hal. Pertama, diperbolehkannya calon independen dalam ajang pilkada. Kedua, disahkannya keberadaan parpol lokal untuk bertarung di pemilu legislatif provinsi dan kabupaten/kota. Pilkada di sebagian besar wilayah Aceh pada 11 Desember 2006 telah mengubah basis wilayah parpol nasional. Kemenangan calon-calon independen yang didukung mantan aktivis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di 6 kabupaten/kota (Aceh Utara, Pidie, Aceh Timur, Aceh Jaya, Kota Lhokseumawe dan Kota Sabang), Aceh Barat, Aceh Selatan, Bireuen, dan Pidie Jaya menyusul kemenangan calon independen serta di tingkat provinsi akan memberi dorongan yang sangat kuat bagi perubahan peta politik. Kekuatan calon independen yang berasal dari unsur GAM dan Sentral Informasi referendum Aceh (SIRA) juga dibuktikan lewat pemilihan gubernur. Situasi politik di Aceh memang berubah drastis setelah bencana tsunami. Selain gagasan calon independen diadopsi dalam UU Pemerintahan Aceh, gagasan pembentukan parpol lokal pun direalisasikan sebagai konsekuensi dari Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki. Kendati tidak dapat bertarung di level nasional, kekuatan partai lokal akan sangat diperhitungkan dalam pemilihan anggota DPRA dan DPRK. PA yang dibentuk mantan kombatan dan aktivis GAM, selain mempertahankan basis massa, juga memperluas jaringan yang sebelumnya dikuasai oleh partai-partai nasional. Perebutan suara pemilih, selain akan diwarnai persaingan antarsesama partai lokal dan partai nasional."
ALJUPOP
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hasan Sajili
"Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) berdiri pada tanggal 20 Oktober 1945. Pendirian GPII merupakan jawaban atas tidak adanya organisasi pemuda yang tumbuh pada masa telah Proklamasi 17 Agustus 1945, yang memiliki ideologi Islam sebagai landasan perjuangannya. Sementara di lain pihak tumbuh keinginan dari kalangan Islam (tokoh-tokoh Masyumi jaman Jepang dan para pemuda Islam STI) pada masa itu, untuk membentuk suatu organisasi pemuda Islam yang berjuang berlandaskan Islam. Suatu hal yang wajar apabila dalam Kongres Umat Islam di Yogyakarta disebutkan, GPII satu-satunya organisasi pemuda Islam yang bergerak dalam bidang politik. Kiprahnya sebagai organisasi pemuda yang mencetak kaderkader yang memiliki tanggung jawab terhadap Islam mendapat hambatan yang serius dari kalangan yang anti terhadap Islam. Dalam perkembangan akhimya kemudian keterlibatannya dalam organisasi pemuda, bersinggung dengan kalangan komunis. Tindakan PKI melalui organisasi pemudanya, Pemuda Rakyat, juga berusaha untuk memberantas organisasi pemuda yang dianggap kontra revolusioner melalui hasutan dan pengucilan. GPII sebagai organisasi pemuda Islam yang memiliki cita-cita idealis yang ingin mewujudkan suatu kehidupan yang berdasarkan Islam di Indonesia adalah salah satu contoh organisasi pemuda yang diincar untuk dijatuhkan dari perjuangan mencapai cita-citanya dalam negara Indonesia. GPII sebagai organisasi pemuda Islam yang memiliki cita-cita idealis itu dijadikan sasaran utama sebagai pelajaran bagi organisasi pemuda lainnya agar tidak mengoposisi kebijakan pemerintah. Karena hal itu dianggap akan merugikan kepentingan PKI. Tuduhan kontra-revolusi terhadap GPII adalah karena GPII dianggap sebagai organisasi pemuda yang tidak mendasarkan perjuangannya pada Manipol-Usdek. Ketidaksetujuan GPII disebabkan karena GPII sejak awal menentang ideologi komunis sernentara Soekarno melindungi PKI dengan memberikan kesempatan padanya duduk dalam lembaga-lembaga negara. Pembubaran GPII oleh Soekarno disebabkan karena GPII dituduh terlibat dalam peristiwa percobaan pembunuhan terhadapnya, dalam Peristiwa Cikini dan Peristiwa Idul Adha, dan dianggap tidak pernah dengan resmi menyalahkan anggotaanggotanya yang terlibat. Dengan tuduhan-tuduhan itu GPII dianggap sebagai organisasi yang menghambat penyelesaian revolusi. Dari kenyataan yang ada dan dari bukti-bukti yang-ada pembubaran GPII yang dikaitkan dengan dua peristiwa pencobaan pembunuhan terhadap Soekarno tidak terbukti. Dengan kata lain tuduhan GPII organisasi kontra revolusi adalah untuk menjatuhkan GPII."
2000
S12462
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Grove Press, 1960
811.540 8 NEW
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bingar Setiawidi
"ABSTRAK
Partai Murba didirikan sesudah terjadinya Peristiwa Madiun 1948, sejak; awal kelahirannya, partai ini telah menampilkan orientasi politiknya yang bergaris keras dalam memperjuangkan cita-cita dan gagasan mereka. Sedikit banyak, hat ini diarahkan oleh pengaruh pemik:iran-pemikiran dari tokoh revalusioner kawakan Tan Malaka yang meskipuin tidak mengambil satu jabatan formal di dalam partai, namuin menjadikan dirinya sebagai mastermind yang merumuskan formulasi ideologi partai Pemikiran Tan Malaka ini berinteraksi dengan entusiasme di kalangan pemuda militan yang nanti menjadi elemen penting partai ini.
Mereka kebanyakan adalah kalangan pemuda yang sempat mendapat gemblengan pada masa pendudukan Jepang. Sebenarnya sejak awal berputarnya roda revolusi, kelompok: pemuda yang nantinya menjadi pilar-pilar Partai Murba memperlihatkan kedekatan mereka dengan Tan Malaka. Semula pada hari-hari awal revolusi, kelompok ini memperoleh papularitas yang mengagumkan karena kontribusi mereka dalam proses mempercepat

"
1995
S12231
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lili Romli
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
297.272 LIL i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Wilopo
Jakarta: Yayasan Idayu, 1976
320.095 WIL z (1);320.095 WIL z (2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Gramedia, 1981
320.9 Par
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Gramedia, 1981
320.9 Par
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Arbi Sanit
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
324 ARB p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>