Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118966 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yudhia Sabaruddin
"Sistem pemasyaraktan sebagai metode pembinaan para pelanggar hukum berfungsi untuk menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dalam kerangka sistem pemasyarakatan, pembinaan narapidana adalah masalah pembinaan manusia yang melibatkan semua aspek dan eksistensinya dengan perlakuan yang lebih manusiawi serta memperlihatkan hak asasi pelanggar hukum, baik sebagai individu, mahluk sosial maupun religisus.
Namun sistem pemasyarakatan seperti tersebut di atas dalam kenyataanya tidaklah mudah. Seperti aksi kerusuhan selama tahun 2001, yang telah membuat daftar panjang mengenai kekerasan yang terjadi di dalam lingkungan lembaga pemasyarakatan klas I Cipinang.
Situasi dan kondisi yang digambarkan berkenaan dengan masalah kerusuhan di LP Cipinang merupakan kejadian yang sangat mungkin terjadi dan tidak dapat dipungkiri. Apa yang digambarkan tersebut merupakan bagian dari kehidupan dalam tembok lembaga pemasyarakatan yang pada dasarnya merupakan kondisi umum dan secara universal terdapat di lembaga pemasyarakatan seluruh dunia.
Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan gambaran mengenai pola kerusuhan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, serta mencari tahu apa yang menjadi faktor penyebab kerusuhan tersebut.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan teknik-teknik berupa wawancara dengan narasumber antara lain : Petugas, Narapidana dan Mantan Narapidana.
Dari hasil penelitian data dan wawancara yang dilakukan kepada narasumber tersebut diketahui pola dan faktor penyebab kerusuhan dalam LP Cipinang adalah :
Pola kerusuhan yang terjadi dapat disimpulkan terdiri dari :
1. Kerusuhan antar blok
2. Kerusuhan antar etnis
3. Kerusuhan antara narapidana dengan petugas Sedangkan mengenai faktor penyebab kerusuhan, antara lain :
- Daya tampung yang melebihi kapasitas
- Akumulasi kekecewaan
- Ada disharmonisasi hubungan
- Ada penguasaan sumber daya tertentu oleh kelompok narapidana
- Diskriminasi perlakuan
- Fasilitas dan sarana yang kurang memadai
- Kurang adanya fokus kegiatan pembinaan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia,
T7945
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Reynald Aditya
"Narapidana wanita merupakan kelompok berisiko mengalami gangguan jiwa. Kunjungan keluarga diduga berpengaruh positif mencegah gangguan jiwa pada narapidana wanita. Belum ada penelitian khusus mengenai hal ini di Indonesia. Tujuan penelitian adalah menemukan hubungan antara kunjungan keluarga dengan gangguan jiwa. Penelitian menggunakan desain potong lintang dengan instrumen kuesioner demografi dan MINI ICD X untuk diagnosis kejiwaan. Penelitian dilakukan bulan Agustus-Oktober 2015 di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Jakarta Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 58,65% responden terdiagnosis gangguan jiwa. Kunjungan keluarga dialami oleh 86,5% responden, dengan frekuensi mayoritas kurang dari 4x/bulan (81,7%). Analisis menggunakan uji Chi Square menyatakan hubungan ada tidaknya kunjungan keluarga maupun frekuensi kunjungan keluarga dengan gangguan jiwa tidak bermakna secara statistik (p=0,297 dan 0,659). Walaupun didapatkan hubungan yang tidak bermakna antara kunjungan keluarga dengan gangguan jiwa, data prevalensi gangguan jiwa yang tinggi pada populasi ini perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah untuk penatalaksanaan yang komprehensif.

Women prisoners are a group at risk for mental disorders. Family visits suspected to have positive effect on preventing mental disorders in women prisoners. There has been no specific research on this topic in Indonesia. The research objective is to find the relationship between family visits with mental disorder. We used cross sectional design with a demographic questionnaire and MINI ICD X for psychiatric diagnosis. The study was conducted in August-October 2015 in State Prison Class IIA East Jakarta. The results showed that 58.65% of respondents diagnosed with a mental disorder. Family visits experienced by 86.5% of respondents, and majority with frequency less than 4x / month (81.7%). Analysis using Chi Square test whether there is a relationship between family visits and its frequency with mental disorder was not statistically significant (p = 0.297 and 0.659, respectively). Although there is no significant relationship between family visits with mental disorder, the high prevalence of mental disorders in this population needs special attention from the government for a comprehensive management."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Clayrino Emiro Nerviadi
"Masalah kriminal masih menjadi masalah yang utama di Indonesia. Pelaku kriminalitas akan ditahan di lembaga pemasyarakatan (lapas) sebagai konsekuensi atas perbuatannya. Kondisi narapidana dan lapas dapat memicu timbulnya gangguan jiwa pada narapidana. Penelitian ini dilaksanakan atas dasar masih sedikitnya penelitian yang melihat gangguan jiwa pada narapidana wanita. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan fasilitas sosialisasi rumah tahanan dengan timbulnya gangguan jiwa pada narapidana wanita di Rumah Tahanan Pondok Bambu tahun 2015.
Metode yang digunakan adalah wawancara menggunakan kuesioner demografi dan MINI-ICD 10 untuk melihat gangguan jiwa yang dialami narapidana. Hasil yang didapatkan adalah sebanyak 58.6% responden mengalami gangguan jiwa. Dari aspek penggunaan fasilitas sosialisasi, 50% responden pernah menggunakan fasilitas sosialisasi dan mengalami gangguan jiwa sedangkan dari aspek kondisi fasilitas sosialisasi, 47% responden mengatakan kondisi fasilitas sudah baik dan mengalami gangguan jiwa.
Setelah dianalisis menggunakan SPSS versi 23 dengan uji Chi Square, tidak ditemukan hubungan yang bermakna baik dari faktor penggunaan maupun kondisi fasilitas sosialisasi terhadap timbulnya gangguan jiwa pada narapidana wanita. Hal ini dapat disebabkan karena sudah baiknya fasilitas yang ada di Rumah Tahanan Pondok Bambu dan mungkin ada faktor lain yang lebih berperan dalam timbulnya gangguan jiwa pada narapidana wanita sepertu kesehatan fisik yang cenderung memiliki hubungan yang bermakna, sedangkan fasilitas sosialisasi hanya berperan sebagai faktor protektif agar narapidana tidak mengalami gangguan jiwa.

Criminal problem is still being the main problem in Indonesia. The criminal will be held at prison as consequency for what they have done. Prisoner and prison condition can trigger mental health disorder among the prisoner. This research was done on the basis of the lack of research on mental health disorder among women prisoner. The aim of this research was to find relation between socialization facilities with mental health disorder among women prisoner at Pondok Bambu Prison year 2015.
This research used interview as the method using demography and MINI-ICD 10 questionaire to find mental health disorder among the prisoner. The result showed that 58.6% respondents have mental health disorder. From the use of socialization facilities aspect, 50% respondents had use the socialization facilities and have mental health disorder while from condition of socialization facilities aspect, 47% respondents said the condition of the facilities were good and have mental health disorder.
After we analyed the datawith SPSS version 23 using Chi Square test, there was no significant relation between the use or condition of socialization facilities with mental health disorder among women prisoner. This result could be caused by the condition of facilities at Pondok Bambu Prison which is already good and maybe there is another main factor that caused mental health disorder among women prisoner like health condition of women prisoner. Socialization was just a protective factor for the prisoners so they will not have mental health disorder.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elva Kumalasari
"Kejahatan marak terjadi di Indonesia. Hingga tahun 2015, jumlah narapidana di DKI Jakarta mencapai 9.347 narapidana. Gangguan jiwa terjadi karena ketidakseimbangan sistem pada manusia, baik karena ketidakseimbangan sistem pada tubuh manusia tersebut sendiri maupun interaksi dari sistem lain. Gangguan jiwa dapat terjadi karena bermacam-macam faktor. Faktor demografi merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi terjadinya gangguan jiwa. Sampai saat ini belum terdapat data berisi gangguan jiwa yang terjadi di Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan tingkat pendidikan, status pekerjaan, dan tingkat pendapatan dengan gangguan jiwa pada narapidana wanita. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan desain potong lintang dengan instrument pelaksanaan penelitian berupa kuesioner demografi dan kuesioner MINI ICD-10 yang mencakup 14 gangguan jiwa sebagai alat diagnosis. Penelitian dilakukan dari bulan Agustus ? Oktober tahun 2015 di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu Jakarta Timur. Data yang didapatkan dianalisis dengan uji Chi-Square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 61 dari 104 responden (58,7%) mengalami gangguan jiwa dengan hasil terbanyak gangguan Psikotik sebanyak 29 orang (47,54%). Kemudian hasil tingkat pendidikan menunjukkan bahwa terdapat 39 orang (60,0%) dengan pendidikan menengah keatas yang mengalami gangguan jiwa, 40 orang (57,1%) narapidana yang bekerja mengalami gangguan jiwa, serta 53 orang (61,6%) narapidana dengan pendapatan dibawah pendapatan perkapita yang mengalami gangguan jiwa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan statistik yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan gangguan jiwa, status pekerjaan dengan gangguan jiwa, maupun tingkat pendapatan dengan gangguan jiwa, namun terlihat kecenderungan bahwa narapidana dengan pendidikan tinggi, narapidana dengan tingkat pendapatan rendah, serta narapidana dengan status pekerjaan bekerja cenderung mengalami gangguan jiwa.

Indonesia is a country with a high level of crime rates. Until 2015, the number of prisoner in DKI Jakarta reaches 9.437 prisoners. Mental disorder occurs due to imbalance of systems within human. Mental disorder can occur because of various factors. One of the contributing factor is demographic factor. This research aims to understand the relationship between education level, working status, and income level with mental disorder in women prisoner. This research was conducted by cross sectional method, with using instruments such as demographic questionnaire and MINI-ICD 10 as diagnostic tool, which consist of 14 classification of mental disorder. The research is is done in August-October 2015 in Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok bambu Jakarta Timur. The collected Data is then analyzed using Chi Square method.
The result shows that there are 61 people out of 104 respondents (58,7%) who are diagnosed with mental disorder. The mental disorder with the highest prevalence is psychotic disorder with 29 people (47,54%). Then the data analysis shows that there are 39 people (60,0%) with education level middle-to-high that are diagnosed with mental disorders. There are also 40 people (57,1%) working prisoner that are diagnosed with mental disorders, and 53 people (61,6%) prisoner with incomes below GDP that are diagnosed with mental disorders The conclusion of the research is that there are no significant difference between education level, working status, and income level with mental disorders. However, there are tendency of prisoner with high level of education, lower income level, and ?working? working status with mental disorder.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leni Syafitri
"Provider initiated testing and counseling (PITC) merupakan program penanggulangan HIV/AIDS yang tepat dilaksanakan di Rutan Klas I Cipinang. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan PITC. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional survey dengan data primer melalui kuesioner pada 130 responden tahanan dan Napi yang berisiko HIV/AIDS. Hasil penelitian menunjukan pemanfaatan pelayanan PITC sebanyak 52 responden atau 40% belum memanfaatkan pelayanan PITC . Hubungan antara pemanfaatan pelayanan PITC dengan penerimaan stigma dan diskriminasi terkait HIV/AIDS merupakan hubungan yang paling signifikan (p value = 0,000 ,OR 20,781). Sedangkan keyakinan manfaat PITC (p value = 0,000, OR = 12,372), Dukungan keluarga dan institusi (p value = 0,000, OR = 9,993), kebutuhan Pelayanan PITC (P value = 0,001, OR = 6,587), pengetahuan PITC (p value = 0,002, OR = 6,130), mempunyai hubungan yang signifikan. Maka dari itu, diperlukan kerjasama lintas program petugas kesehatan dan petugas keamanan, dalam bentuk penyuluhan rutin bagi pihak keluarga tahanan dan WBP yang berisiko HIV/AIDS untuk mengurangi stigma dan diskriminasi yang timbul dari pihak terdekat.

Provider initiated testing and counseling (PITC) is the response to HIV / AIDS is the right place in Class I Cipinang Rutan. This study aimed to identify factors associated with utilization of PITC services. This study uses cross-sectional survey approach with the primary data through questionnaires to 130 respondents detainees and inmates at risk of HIV / AIDS. The results showed a picture of service utilization PITC as much as 52 respondents or 40% did not use PITC services. The relationship between service utilization PITC with the acceptance of stigma and discrimination associated with HIV / AIDS is the most significant relationship (p value = 0.000, OR 20.781). While the benefits of PITC confidence (p value = 0.000, OR = 12.372), family and institutional support (p value = 0.000, OR = 9.993), Service needs of PITC (P value = 0.001, OR = 6.587), knowledge of PITC (p value = 0.002, OR = 6.130), had a significant relationship. With the results of this study is expected to be important information for policy makers to make this study as a reference in applying the PITC so that service standards more quickly accessed and used by WBP-risk prisoners and HIV / AIDS."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
T31511
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rezza Mahandhika
"Kriminalitas merupakan hal yang banyak terjadi di Jakarta. Sehingga sangat banyak orang yang dihukum dalam sebuah rumah tahanan sebagai konsekuensi dari tindak kejahatannya. Banyak faktor yang diprediksi memiliki keterkaitan dengan gangguan jiwa. Sehingga, penelitian ini bertujuan untuk menemukan hubungan usia, status kesehatan fisik, dan aksesibilitas pelayanan kesehatan dengan gangguan jiwa. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner demografi dan kuesioner MINI ICD-10. Penelitian dilakukan dari bulan Agustus – Oktober 2015 di Rumah Tahanan Kelas IIA Jakarta Timur.Hasil penelitian menjelaskan dari 61 responden penelitian yang mengalami gangguan jiwa, didapatkan sebanyak 47 orang berusia 18-40 tahun (77 %), sejumlah 38 orang mengeluhkan sedang mengalami sakit fisik saat wawancara (62,2 %), dan terdapat 57 orang yang pernah menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan (93,4 %). Berdasarkan uji hipotesis denganuji Chi-Square, didapatkan nilai p yang menggambarkan hubungan usia, status kesehatan fisik, dan aksesibilitas pelayanan kesehatan dengan gangguan jiwa berturut-turut 0,971; 0,008, dan 0,933. Sehingga dapat disimpulkan bahwa status kesehatan fisik memiliki hubungan secara statistik dengan gangguan jiwa, namun hubungan faktor usia dan aksesibilitas pelayanan kesehatan dengan gangguan jiwa tidak bermakna secara statistik.

Criminality is a common event in Jakarta. So, there are many people who have been convicted with criminal charges and are arrested as a consequence. There are many factors that can predict the occurence of mental disorder. This research is aimed to find the correlation between factors such as age, physical health status, and accessibility of health services with mental disorder. This design of this study is cross-sectional; demographic questionnaires and MINI ICD-10 were used as instruments for this research. This study was conducted from August until October 2015 in Rumah Tahanan Kelas IIA Jakarta Timur. Result from this study showed from 61 respondents who had mental disorders, 47 respondents were between the ages of 18-40 (77 %), 38 respondents complained of physical illnes during the interview (62,2 %), and 57 respondents had used health care services before (93,4 %). The p-values, obtained using Chi-Square hypothesis test, for age, physical health status, and accessibility of health care services were 0,971; 0,008; and 0,933, respectively. Therefore, statistically, we can conclude that physical health status is the only factor that has a correlation with the occurence of mental disorder; however, age and accessibility of health care services have no correlation with the occurence of mental disorder."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardi Susanto
"ABSTRAK
Sebagaimana dengan masyarakat luas yang memiliki stratifikasi sosial di dalamnya, masyarakat narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan tentu juga memiliki stratifikasi sosial di dalamnya. Berangkat dari asumsi tersebut, tesis ini mencoba untuk menggali keberadaan stratifikasi sosial narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang.
Dalam penelitian tentang stratifikasi sosial narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, teori yang dipergunakan sebagai panduan dalam rangka menjawab permasalahan stratifikasi sosial di lembaga pemasyarakatan adalah teori stratifikasi sosial yang dikemukakan oleh Max Weber, Gerhard E. Lenski dan C. Wright Mills yang menyatakan bahwa ada tiga dimensi stratifikasi sosial di Masyarakat yaitu dimensi kekuasaan, previlese dan prestise.
Dengan pendekatan kualitatif diskriptif, penelitian ini berhasil menemukan suatu fakta empiris bahwa pada masyarakat narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang terdapat 4 (empat) dimensi stratifikasi sosial yaitu 1) Kekuasaan, 2) Prestise, 3) Previlese dan 4) kekerasan. Dari studi ini juga ditemukan bahwa dimensi previlese memiliki pengaruh yang sangat dominan terhadap ketiga dimensi lainnya.

ABSTRACT
As with wide society owning social stratification in it, socialize convict [in] institute of pemasyarakatan of course also own social stratification in it. leaving dar of the assumption, this thesis try to dig existence of social stratification of convict in Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang.
In research about social stratification in Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, theory which is used as by guidance in order to replying problems of social stratification in lembaga pemasyarakatan is]theory of stratification of social proposed by Max Weber, Gerhard E. Lenski and C. Wright Mills expressing that there is three dimension of social stratification in society that is paintbrush dimension, previlese and presstige.
With approach qualitative diskriptif, this research succeed to find a[n empirical fact that [at] society of convict in I Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang of there are 4 ( empat) dimension of social stratification that is 1) power 2) presstige 3) Previlese And 4) hardness. From this study is also found by that dimension of previlese own very dominant influence to third the other dimension.
"
2007
T20491
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ireland, David
London: Angus and Robertson, 1971
828.99 IRE u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Viverdi Anggoro
"Program pembinaan merupakan suatu proses di mana petugas lembaga pemasyarakatan dan kepala lembaga pemasyarakatan bekerja sama merencanakan apa yang harus dikerjakan pada tahun akan datang, menentukan bagaimana wujud pembinaan harus diukur, mengenali dan merencanakan cara mengatasi kendala, serta mencapai pemahaman bersama tentang program pembinaan. Program pembinaan menghasilkan program yang merupakan suatu dokumen resmi. Program pembinaan akan menjadi pedoman bagi kegiatan yang perlu dilakukan. Oleh karena itu program pembinaan bagi narapidana merupakan titik awal yang dapat digunakan oleh petugas lembaga pemasyarakatan untuk memulai melaksanakan proses dari program pembinaan yang ada di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Petugas lembaga pemasyarakatan bekerja sama mengindentifikasikan apa yang seharusnya dikerjakan pada suatu periode yang sedang diprogramkan, seberapa baiknya pembinaan tersebut harus dilaksanakan, mengapa program pembinaan bagi narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan itu harus dilakukan, dan hal-hal spesifik lainnya, seperti tingkat kewenangan dan pengambilan keputusan bagi petugas lembaga pemasyarakatan.
Implementasi kebijakan pelaksanaan pembinaan bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan membantu mengambil kebijakan dalam bidang program pembinaan pada tahap penelitian kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan. Implementasi kebijakan terhadap pelaksanaan pembinaan tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh kebijakan berupa perundang-undangan maupun peraturan yang berkaitan dengan program pembinaan telah diterapkan dan berjalan dengan baik, tetapi juga menyumbang pada klasifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan tersebut, serta membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali terhadap pelaksanaan program pembinaan narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Implementasi dari kebijakan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: 02.PK.04.10 Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas 1 Cipinang masih kurang dilaksanakan dengan baik, hal ini dapat terlihat masih banyaknya kendala-kendala yang menghambat pelaksanaan dari kebijakan pembinaan tersebut."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15150
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S6339
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>