Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16039 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raden Agus Suparman
"Dalam rangka menyongsong perdagangan bebas baik di tingkat ASEAN pada tahun 2003 maupun Asia Pasifik pada tahun 2020, maka Indonesia perlu mempersiapkan diri agar tidak ketinggalan dengan luar negeri, termasuk dalam peraturan perpajakan yang sesuai dengan kaidah perpajakan internasional khususnya prinsip netralitas. Pemajakan atas premi asuransi oleh negara sumber merupakan salah satu isu yang sering diperdebatkan dalam perpajakan internasioanal. Untuk meningkatkan kepastian hukum bagi wajib pajak dan pihak pelaksana di lapangan maka perlu adanya ketegasan dari Direktorat Jenderal Pajak selaku lembaga yang berwenang.
Sebagai pelaksana di lapangan, penulis sering menemukan kesulitan untuk mengenakan pajak atas premi asuransi yang dikirim ke luar negeri. Padahal penghasilan premi asuransi yang dikirim ke luar negeri sangat besar. Karena itu, penelitian penulis lebih ditujukan untuk menjawab permasalah sebagai berikut :
1. Apakah setiap pembayaran premi asuransi ke luar negeri dapat dikenakan PPh Pasal 26?
2. Apakah pembebasan pengenaan PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam Surat Dirjen telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku?
Karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui peraturan perundang-undangan perpajakan khususnya ketentuan tax treaty yang membebaskan pengenaan PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri dan mengetahui peraturan yang berlaku tentang perantara asuransi yaitu pialang asuransi dan agen asuransi.
Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia memiliki kewenangan memungut pajak dari penghasilan yang berasal dari Indonesia (asas sumber). Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar negeri wajib dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto. Besarnya perkiraan penghasilan neto diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 6241KMK.0411994 tanggal 27 Desember 1994. Aplikasi ketentuan ini dapat dibatasi dengan tax treaty antara Indonesia dengan negara mitra perjanjian (treaty partner). Pembebasan pemotongan PPh Pasai 26 sebagaimana dimaksud dalam Surat Dirjen seharusnya hanya dapat dilakukan jika diatur dalam tax treaty.
Metode penelitian yang diiakukan oleh penulis adalah deskriptif analisis. Metode penelitian ini didasarkan atas pertimbangan bahwa dalam membahas tesis ini pertama-tama penulis akan menguraikan mengenai siapa dan apa yang dikenakan pajak, perlunya suatu tax treaty dan peraturan perantara asuransi di Indonesia. Sesudah memberikan deskripsi atas berbagai hal yang relevan, penulis melakukan analisis data-data tersebut guna memecahkan permasalahan pokok yang diperoleh dalam penelitian. Data-data yang diperoleh penulis berasal dari studi kepustakaan dan studi lapangan.
Berdasarkan penelitian terhadap literatur dan wawancara dengan berbagai pihak, penulis berkesimpulan bahwa pembayaran premi asuransi ke luar negeri wajib dipotong oleh pembayar premi asuransi jika negara tujuan premi asuransi tersebut tidak memiliki tax treaty dengan Indonesia. Hal ini berdasarkan Pasal 26 ayat (2) UU PPh. Jika negara tujuan merupakan treaty partner maka tidak ada kewajiban pemotongan berdasarkan tax treaty dan memori penjelasan Pasal 26 ayat (2) UU PPh. Selanjutnya pemajakan terhadap perusahaan asuransi di luar negeri diperlakukan sama dengan Bentuk Usaha Tetap perusahaan jasa lain dan mengacu kepada Pasal 5 UU PPh.
Sebagian besar tax treaty Indonesia dengan treaty partner memiliki aturan khusus tentang Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi yang menerima penghasilan premi dari negara sumber. Ketentuan ini mengadopsi Pasal 5 ayat (6) UN model. Pasal tersebut mengatur bahwa perusahaan asuransi di negara domisili dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di negara sumber asal perusahaan asuransi tersebut menerima atau memperoleh penghasilan premi asuransi dari negara sumber atau menanggung resiko di negara sumber. Sebagian lain, tax treaty Indonesia dengan treaty partner tidak memiliki aturan khusus tentang Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi. Tax treaty ini mengadopsi ketentuan dalam OECD model. Menurut OECD model, perusahaan asuransi di suatu negera yang menerima penghasilan premi asuransi dari negara lain dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di negara lain tersebut jika perusahaan asuransi tersebut memiliki a fixed place of business sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) OECD model atau perusahaan asuransi tersebut menerima atau memperoleh penghasilan asuransi dari negara lain melalui agen tidak babas sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (5) OECD model.
Pengiriman premi asuransi ke luar negeri dibawah ini dapat menimbulkan Bentuk Usaha Tetap :
1. Tertanggung langsung mengadakan pertanggungan dengan penanggung di luar negeri. Jika luar negeri tempat domisili perusahaan asuransi merupakan treaty partner yang memiliki ketentuan khusus tentang asuransi (UN model), maka perusahaan asuransi di luar negeri tersebut dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dan Indonesia memiliki hak pemajakan penuh atas Bentuk Usaha Tetap tersebut.
2. Perusahaan asuransi di luar negeri menerima penghasilan premi asuransi melalui agen asuransi di Indonesia. Jika dalam praktek ditemukan cara ini maka perusahaan asuransi di luar negeri tersebut dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap baik berdasarkan tax treaty yang mengacu Ice OECD model maupun tax treaty yang mengacu ke UN model.
Terakhir, untuk meningkatkan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan kemudahan pelaksanaan di lapangan, penulis mengajukan tiga saran, yaitu :
1) Direktur jenderal pajak hendaknya mengeluarkan keputusan yang mengatur tentang depedensi agen asuransi. Berdasarkan ketentuan UU Perasuransian dan kebiasaan yang lazim di dunia asuransi bahwa jika perusahaan asuransi di luar negeri menerima premi asuransi atau premi reasuransi melalui agen asuransi yang berada di Indonesia maka perusahaan asuransi tersebut dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia karena telah memenuhi Pasal 5 ayat (5) OECD model. Keputusan tersebut dimaksudkan untuk : (i) menghilangkan silang pendapat antara Wajib Pajak dengan pelaksana di lapangan; (ii) memberikan panduan bagi petugas pelaksana di lapangan.
2) Hendaknya menteri keuangan menetapkan penghasilan neto bagi Bentuk Usaha Tetap khusus perusahaan asuransi luar negeri berdasarkan Pasal 15 UU PPh. Pertimbangan ketetapan ini adalah pertimbangan praktis untuk memudahkan pelaksanaan dilapangan. Pertimbangan ini dibolehkan dijadikan dasar keputusan menteri keuangan oleh undang-undang selain kelaziman. Pertimbangan lain adalah sulitnya menentukan penghasilan neto berdasarkan Pasal 16 ayat (3) UU PPh. Dengan norma penghasilan neto maka setiap pembayaran premi ke luar negeri langsung yang dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dapat dipotong oleh pembayar premi asuransi.
3) Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-4281PJ.43211995 tanggal 05 Desember 1995 merupakan jawaban direktur jenderal pajak yang dilayangkan kepadanya. Surat ini merupakan surat biasa dan bukan surat yang bersifat mengatur. Karena itu tidak dapat dijadikan pegangan bagi pelaksana dilapangan. Berdasarkan pengalaman penulis, Surat Dirjen tersebut banyak dijadikan dasar pemeriksaan aparat Direktorat Jenderal Pajak ditingkat pelaksana. Begitu juga dengan konsultan pajak. Seharusnya, acuan atau dasar hukum yang dipakai adalah tax treaty, undang-undang dan keputusan menteri keuangan atau keputusan direktur jenderal pajak."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T7483
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Anindya Paramita
"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tahapan-tahapan apa saja yang telah dilakukan dalam perumusan formulasi kebijakan dan menilai indikator asas kepastian hukum pada Peraturan Menteri Keuangan No. 224/PMK.011/2012 atas pembelian listrik oleh PT PLN Persero . Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian menggunakan metode wawancara mendalam. Hasil dari penelitian ini adalah tidak terpenuhinya seluruh tahapan proses formulasi kebijakan, yakni pendefinisian masalah, membuat kriteria evaluasi, mengidentifikasi alternatif, menyajikan alternatif kebijakan, dan memonitor alternatif kebijakan. Selain itu, indikator asas kepastian hukum juga belum terpenuhi seluruhnya, yakni kepastian hukum atas objek, subjek, pendefinisian, penyempitan dan perluasan, ruang lingkup, serta penggunaan bahasa hukum dan istilah. Oleh karena itu agar formulasi kebijakan yang akan datang dapat terimplementasi dengan baik, seharusnya DJP dan BKF turut melibatkan aktor yang berkepentingan secara langsung dalam perumusan formulasi kebijakan, memiliki beberapa alternatif dalam merumuskan formulasi kebijakan, dan melakukan sosialisasi atas adanya perubahan kebijakan. Selain itu agar tercipta kepastian hukum dalam suatu kebijakan, seharusnya penggunaan kata dalam peraturan dibuat dengan pemilihan kata yang tegas dan tidak menimbulkan multitafsir.

The purpose of this research is to analyze the stages of what has been done in the formulation of policy formulation and assess the indicators of legal certainty in Minister of Finance Regulation Number 224 PMK.011 2012 on the purchase of electricity. This research uses qualitative approach with descriptive research type. Data collection techniques used in depth interview method. The result of this research is the non fulfillment of all stages of the policy formulation process are defining the problem, making evaluation criteria, identifying alternatives, presenting policy alternatives, and monitoring policy alternatives. In addition, the indicators of certainty have not been fully, are certainty of objects, subjects, definitions, constraints and extensions, scope, and the use of legal language and terms. Therefore, in order for the future policy formulation to be implemented properly, the DJP and BKF should involve directly interested actors in the formulation of policy formulation, have several alternatives in formulating policy formulation, and socialize the policy changes. In addition, in order to create legal certainty in a policy, should the use of the word in the rules made with the election of a firm word and does not generate multiple interpretations."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayahandono Kussetyadi
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T22933
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompul, Vera Lintje
"Income Tax Section 21 is lease to the employment income accepted by foreign employees and laboring local employees in the foreign delegation or its branch.
Employment Income in wide divided to become two type of income, that is (1) obtained income as employees in relation work with employer which in referred International Taxation Literature also as "labor income"; in Ordinance Pay As You Earn 1935, this income is referred as fee, and (2) income from free work or self-employed income or professional income.
The research method conducted is base on the qualitative research method with the type of research of analytical descriptive and the collecting method is through interview with the interlocked parties; they are tax officer, tax consultant, and tax payers. This research was also conducted on the on the interlocked documents, they are law of income tax, thesis, tax article, books, and data of tax auditing.
Withholding of Income Tax Section 21 represent program of payment during year applying to employment income. Income which withheld by Income Tax ection 21 represent imposed income or lease representing lease object pursuant to rule law material.
Rule arranging withholding to the production from work is The Law of Income Tax Section 21. As for imposed income tax section 21 is production from referring to work, accepted activity or service or obtained by personal Taxpayer. Income Tax Section 21 arrange only production of personal Taxpayer home affair, while hitting personal Taxpayer abroad arranged by Income Tax Section 26.
At withholding by other party, withholder pays salary or fee to taxpayer and obliged to arrest the amount of tax which debt from amount of paid to the order income of taxpayer and pay for the amount of income tax of the taxpayer to Exchequer.
According to data in Permanent Establishment and Foreigner Tax Office the amount of Tax Wit holder which enough fluctuative from year to year, in meaning amount Taxpayer mobility which high enough. With high mobility level and rely on self assessment system representing one of the factor needed for high compliance from the Taxpayer, also to be able to accept tax with rule of legislation.
Pursuant to result research of writer concerning, level compliance of Taxpayer with reference to existence of obligation of forwarding of Annual Tax Return Income Tax Section 21, there are big percentage enough to the uncompliance of Taxpayer in remit and report Income Tax Section 2las according to real situation and amount which because of intention and also negligence from Taxpayer. To the things hence causing delaying of tax money which step into Exchequer, so that affect also to acceptance of tax.
The level compliance of Taxpayer in submitting Annual Tax Return Income Tax Section 21 from year 2000 up to year 2003 continuing to experience of degradation because Taxpayer incapable of reporting Annual Tax Return Income Tax Section 21 punctually because of unfinished of his financial statement, its time at the same time with forwarding of Annual Tax Return of Income Tax Section 25 and other reason like difficulty of cash-flow, and Taxpayer have nothing like because have do not operate again.
From result of this research, Writer try to analyze causes the happening of uncompliance and try to look for resolving so that Taxpayer progressively growing obedient in done duty taxation. The writer also suggests Tax Office better urge to submit Annual Tax Return before tax year ended so Taxpayer can prepare all calculation of his income tax section 21 with time enough and is not hurried. Annual tax Return which is less payee require to be conducted by a accurate research why happened lacking of payee as payment of Income Tax Section 21 ought to have been done at a period of income accepted by employees.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T14151
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benny
"Penelitian tentang Analisis Kelayakan Pengenaan Pajak Hiburan atas Pusat Kebugaran bertujuan untuk menganalisis apakah pusat kebugaran layak atau tidak layak dikenakan pajak hiburan. Dengan menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif, penelitian ini menunjukkan bahwa pusat kebugaran (Fitness Center) tidak layak dikenakan pajak hiburan karena aktivitas di pusat kebugaran tidak termasuk ke lingkup hiburan, melainkan lebih condong ke olahraga dengan tujuan untuk menyehatkan badan, menurunkan berat badan, menjaga berat badan ideal, ataupun membentuk otot tubuh.

Research on Feasibility Analysis of Entertainment Tax on Fitness aims to analyze whether fitness center is suitable or not suitable to be the object of entertainment tax. By using quantitative research approach, this study shows that fitness center is not suitable to be the object of entertainment tax because the activites in the fitness center do not appertain into the scope of entertainment, but more inclined to nourish body, lose weight, maintain ideal weight, or build body muscle."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
TA-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Muzakir
"Peraturan Pemerintah (PP) No.14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek. Kebijakan pengenaan Pajak Penghasilan atas penerimaan bruto dari transaksi penjualan saham di Bursa Efek tersebut bersifat final yang besarnya 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham. Kebijakan ini seperti teristimewakan dalam situasi harga-harga saham cenderung menaik (Bullish market). Sebaliknya, dalam situasi harga-harga saham cenderung menurun (Bearish market), maka kebijakan tersebut menjadi diskriminatif {tidak adil) karena pajak yang dipungut oleh pemerintah tersebut bersifat final. Kebijakan pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final ini menimbulkan permasalahan dalam situasi Bearish market karena para investor pasti mengalami kerugian (capital loss), sedangkan kerugian operasional tersebut tidak bisa dikompensasikan ke tahun-tahun sebelumnya (Loss Carryback) atau ke tahun-tahun berikutnya (Loss Carryforward) yang tidak mengalami kerugian operasional, dan juga tidak bisa di-"restitusi"-kan (Unrefundable).
Metode yang digunakan untuk menelaah/meninjau dampak atau pengaruh kebijakan pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut dilakukan adalah ; penelitian literatur (tinjauan pustaka), penelitian lapang untuk mencari/mengumpulkan data/informasi laporan keuangan Perusahaan Reksa Dana, dan menganalisis laporan keuangan Perusahaan Reksa Dana untuk tahun 1999 yang dibandingkan dengan tahun 1998. tahun 1997, dan tahun 1996.
Dari hasil telaah/tinjauan yang dilakukan terdapat beberapa kejanggalan yang menimbulkan ketidak adilan yaitu ; dalam transaksi penjualan saham yang merugi (capital loss) para investor masih harus membayar Pajak Penghasilan, biaya-biaya yang berhubungan dengan operasional perusahaan (investor) tidak bisa dikurangkan dari penghasilan, dan total kerugian hingga akhir tahun fiskal tidak bisa dikompensasikan ke tahun-tahun sebelum atau sesudah diderita kerugian, dan tidak bisa dimintakan pengembalian pajak yang telah dibayar kepada pemerintah (restitusi).
Idealnya, kebijakan terhadap dasar pengenaan Pajak Penghasilan haruslah berupa penghasilan neto (laba bersih sebelum Pajak Penghasilan) yaitu penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang berhubungan dengan proses mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut, hal ini sesuai dengan definisi penghasilan yang diberikan dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-undang No.10 Tahun 1994 yaitu tambahan kemampuan ekonomis. Definisi penghasilan yang tertuang dalam ketentuan tersebut telah sesuai dengan definisi atau pengertian yang diyakini oleh masyarakat perpajakan Internasional seperti yang diberikan oleh the S-H-S Income Concept.
Selanjutnya, tambahan kemampuan ekonomis tersebut haruslah dapat terukur dan tidak membedakan jenis sumber dari tambahan kemampuan ekonomis yang dimaksud sehingga keadilan secara horizontal dapat diterapkan (equal treatment for the equals), dan tarif pajak yang dikenakan terhadap objek pajak penghailan haruslah bersifat umum atau seragam/sama untuk setiap wajib pajak (tax payer) dan tidak menerapkan Schedular Taxation. Tarif pajak penghasilan yang diyakini mengandung unsur keadilan secara vertikal haruslah berupa tarif progresif, sehingga setiap wajib pajak yang memiliki tambahan kemampuan ekonomis yang tidak sama (jumlah atau ability to pay-nya) akan menanggung beban pajak yang tidak sama pula yang besarnya sebanding dengan ketidaksamaannya tersebut (Unequal treatment for the uriequals). Idealisasi lainnya dalam kebijakan pengenaan pajak penghasilan tersebut haruslah memungkinkan setiap wajib pajak untuk melakukan pengkreditan pajak, atau restitusi pajak (refundable), atau kompensasi kerugian baik ke depan maupun ke belakang (Loss carryback or Loss carryforward).
Dengan demikian, salah satu saran atau rekomendasi yang dapat penulis kemukakan adalah agar Pemerintah merubah ketentuan kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 tentang perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di Bursa Efek, dari yang bersifat Final menjadi tidak Final."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T4349
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Lestari
"Dalam upayanya untuk meningkatkan penerimaan pajak, pemerintah melakukan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi obyek pajak. Salah satu usaha ekstensifikasi dan intensifikasi tersebut adalah pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak di lokasi usaha terhadap Orang Pribadi Pengusaha Tertentu yang mempunyai lokasi usaha di sentra perdagangan atau perbelanjaan atau pertokoan atau mal atau plaza atau kawasan industri atau sentra lainnya, serta kewajiban untuk membayar Pajak Penghasilan Pasal 25 sebesar 2% dari peredaranusaha tiap bulan di masing-masing lokasi usaha tersebut, di mana pembayaran ini diperlakukan sebagai pajak final.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah kebijakan ini telah memenuhi azas keadilan. Di samping itu juga ditujukan untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan ini pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Gambir Dua. Pembuatan suatu kebijakan perpajakan harus memperhatikan azas-azas perpajakan. Salah satu azas perpajakan yang harus dipegang teguh adalah azas keadilan. Suatu pemungutan pajak adalah adil, apabila orang-orang yang berada dalam keadaan ekonomis yang sama dikenakan pajak yang sama, sedang orang-orang yang keadaan ekonomisnya tidak sama diperlakukan tidak sama, setara dengan ketidaksamaannya itu. Apabila azas keadilan ingin diterapkan dalam sistem pajak penghasilan, maka baik syarat keadilan horizontal maupun syarat keadilan vertikal harus dipenuhi. Tingkat keadilan (fairness) yang tinggi dalam sistem perpajakan akan memicu setiap individu untuk patuh secara sukarela.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara terhadap para informan yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi pengusaha Tertentu. Informan dipilih dari pihak fiskus dan Wajib Pajak. Dari pihak fiskus wawancara dilakukan dengan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Gambir Dua, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi, Kepala Seksi Ekstensifikasi, dan salah seorang petugas seksi ekstensifikasi. Selain itu kajian dokumentasi yang merupakan data sekunder juga dilakukan terhadap berbagai dokumen yang relevan. Kewajiban pendaftaran di setiap lokasi usaha bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu sebenarnya sudah tepat dan dapat membawa pada keadilan, tetapi adanya pengecualian bagi pedagang kendaraan bermotor dan restoran menyebabkan timbulnya ketidakadilan. Selanjutnya pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25 yang ditetapkan sebesar 2% dari peredaran bruto serta diperlakukan sebagai pajak final juga tidak memenuhi azas keadilan dengan tidak terpenuhinya lima syarat keadilan horizontal dan dua syarat keadilan vertikal.
Pada tingkat implementasi, ketidakadilan tersebut membawa kepada banyaknya ketidakpatuhan pada kebijakan ini. Dari sisi kantor pajak, lemahnya law enforcement, yang antara lain ditandai dengan tidak adanya sanksi bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajibannya sesuai kebijakan ini, juga memiliki andil dalam membuat ketidakpatuhan Wajib Pajak. Selanjutnya ketidakpatuhan ini dapat membawa pada ketidakadilan dalam implementasi peraturan, karena Wajib Pajak yang berada dalam kondisi sama mendapat perlakuan perpajakan yang berbeda.

In its effort to increase the income tax, the government has conducted taxpayers expansion and tax base intensification. One of the expansion and intensification effort is to give Taxpayer Identification Number (NPWP) to each of certain entrepreneur person having shop in a trading or shopping centre or stores or mall or plaza or industrial area or other centre, as well as the obligation to pay income tax Article 25 at 2% of gross revenue per month in respective business location. The payment is treated as final tax.
This research is made to find out whether this policy has met the requirement of equity principle. In addition it is also aimed to recognize how the implementation of this policy at Pratama District Tax Office of Jakarta Gambir Dua. Determining a tax policy should comply with taxation principles. One of the tax principles that must be obeyed is the equity principle. A tax collection is considered fair if those who are in equal economic condition were imposed with equal tax, while those who are in unequal economic condition were treated unequal, relative to its difference. If equity principle would be applied in income tax system, then both horizontal equity requirements and vertical equity requirements should be fulfilled. The high fairness level in tax system will motivate every taxpayer to comply voluntarily.
This research used descriptive qualitative method. Primary data collection was conducted through interview with informants having knowledge and experience on individual taxpayer of certain enterpreneurs. Informants were selected from tax officers and taxpayers. Interview with the tax officers were conducted with the Head Officer of KPP Pratama Jakarta Gambir Dua, head of supervision and consultancy section, head of expansion section, and one of the expansion section officer. In addition documentation evaluation representing secondary data was also conducted on various documents. The obligation to register for each business location for individual taxpayer of certain entrepreneur actually is proper and can direct to equal treatment, but the fact that motor vehicle and restaurant enterpreneu were excluded from this obligation make it become unfair. Further the imposition of income tax Article 25 at 2% of gross revenue and treated as final tax does not fulfill equity principle, in the way that it does not fulfill five requirements of horizontal equity and two requirements of vertical equity.
In implementation level, the inequality can caused much incompliance with this policy. From the tax office side, the weakness of law enforcement, among of them s indicated by none penalty for the tax violator pursuant to this policy, also contribute in creating taxpayer incompliance. Further this incompliance may caused unfairness in policy implementation, because taxpayer in similar condition get different treatment in tax area."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24565
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Gramedia, 1995
336.2 PER
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>