Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118305 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sastriwati
"Pada undang-undang Nomor 22 tahun 1999 dinyatakan kesehatan adalah bidang pemerintah yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten/kota. Perencanaan adalah suatu hal yang penting karena merupakan langkah awal dari suatu kegiatan, dan daerah dituntut untuk merencanaan kegiatan sesuai dengan kondisi daerah dan sumber daya yang tersedia.
Penelitian ini betujuan untuk mengetahui sistem perencanaan anggaran tahunan di Dinas Kesehatan Kota Bekasi dalam pelaksanaan otonomi daerah tahun 2001.
Metode penelitian yang digunakan merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan wawancara mendalam, telaah dokumen, dan observasi.
Hasil penelitian menunjukkan otonomi sudah baik karena daerah dapat merencanakan sendiri sesuai dengan kebutuhan daerah. Sedangkan kualitas tenaga perencana cukup memadai, namun demikian masih diperlukan pelatihan di bidang perencanaan untuk meningkatkan pengetahuan. Dana, fasilitas yang ada belum mencukupi, dan untuk perangkat lunak belum menggunakan perangkat lunak dari Ditjen Anggaran. Sedangkan jadwal penyusunan perencanaan tidak tersedia secara tertulis, Juklak/Jukren serta tim penyusunan perencanaan tidak ada, tetapi sudah melibatkan semua seksi dalam penyusunan perencanaan. Di samping itu informasi telah menggunakan data dari berbagai sumber, namun baru segi keakuratan, validitas, dan ketepatan waktu masih perlu perhatian. Hasil lain diperoleh satuan harga pada umumnya masih sesuai.
Dan komponen proses belum menggunakan langkah-langkah perencanaan sesuai dengan teori, dalam penentuan prioritas belum mengacu kepada rencana strategi atau rencana tahunan. Koodinasi lintas program dan lintas program sudah ada, namun untuk koordinasi lintas sektor lebih menekankan pada pelaksanaan, bukan dalam perencanaan.
Komponen keluaran diperoleh hasil dana yang tersedia pada tahun 2001 persentase anggaran Dinas Kesehatan sebesar 5,46 % dari total anggaran Kota Bekasi, lebih kecil dad tahun sebelumnya sebesar 8,37%. Pada tahun 2001 anggaran dinas kesehatan bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) hanya 0,44% dad DAU seluruh Kota Bekasi, dan Dana Dana Lain (DDL) sebesar 2,28% dari Pendapatan Pasti Daerah (PAD).
Disarankan perlu bekerja keras untuk dapat mewujudkan otonomi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pelatihan, dan mengalokasikan dana untuk perencanaan dan pengadaan fasilitas, serta dibentuknya tim penyusunan perencanan dan penyusunan Juklak/Jukren tentang perencanaan oleh Ka Sub Bagian Perencanan sesuai dengan fungsinya. Meningkatkan koordinasi lintas program dan lintas sektor mulai dan perencanaan. Di samping itu untuk meningkatkan biaya kesehatan perlu dilakukan advokasi kepada pengambil keputusan misalnya dengan diundang melalui seminar atau terjun ke lapangan bersama-sama.
Daftar bacaan: 33 (1982-2001)

System Analysis of Annual Budget Planning at Health Institution of Bekasi District in the 2001 Local Autonomy Implementation" 6 On Act Number 22/1999 clarified that health is a government field that must be maintained by municipal and/or district. Planning is a substantial matter because this is a beginning step of an activity, and local demanded to maintain their activity according to available resources and local condition.
Objective of this study is to expose annual budget planning at Health Official of Bekasi District in 2001 local autonomy implementation.
Used research method is a qualitative research with using deep interview, documentation review, and observation.
Research showed that autonomy has a good direction to self-planning with their local needs. And planner quality is respectively appropriate enough, however it is still necessary for training at planning field in order to increase knowledge and know-how. Inadequate fund and facilities and for software not using from Director General of Budgeting. And planning arrangement schedule is not available in written, there is no Juklak/Jukren and planning arrangement team, but it already involved all planning arrangement sections. Beside of that, information has used data from several sources, and from accuracy, validity and timely manners still need further attention.
From process component has not using planning steps according to theories, in deciding priority has not tend to strategic plan or annual plan. Cross-program coordination and cross-program already existed, but for cross-sector coordination more emphasized on implementation rather than planning.
Output component gathered from available fund on health institution budget percentage on 2001 for 5,46%. From total budget of Bekasi district, it is smaller than previous year for 8,37%. On Health Institution at 2001 fiscal year sourced from General Allocation Fund (DAU), it is only 0.44% of DAU on Bekasi district, and Other Funds (DDL) for 2,28% of Local Original Income (PAD).
It is necessary to working hard in order to realize autonomy of human resources quality enhancement from training, and to allocate facility arrangement and planning fund, and to form planning arrangement team and arrangement of Juklak/Jukren planning by Head of Planning Sub-Department referring to its function. In order to increase cross-program coordination and cross sector are starting from planning. Beside of that to increase health cost, it is necessary to maintain advise for decision makers, for example, to invite on seminars or directly take to the field.
Reading List : 33 (1982-2001)"
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T7696
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhanda
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kemampuan ekonomi Kota Payakumbuh yang merupakan salah satu dari 14 (empat belas) daerah di Propinsi Sumatera Barat. Dalam rangka menghadapi penerapan otonomi daerah, penilaian kemampuan ekonomi (kelulusan dari sisi ekonomi) dalam pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas indikator dan metode penilaian PP 129 tahun 2000 yang mengatur tentang persyaratan pembentukkan dan kriteria pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data skunder, yang dikumpulkan dari data yang dipublikasikan oleh Biro Pusat Statistik, dan instansi lain yang terkait. Data-data yang diperlukan antara lain, PDRB Kota Payakumbuh, Payakumbuh Dalam Angka, Statistik Keuangan Daerah Tingkat II dan PDRB Kabupaten/Kota Propinsi Sumatera Barat. Untuk lebih mendalami hasil dari data sekunder juga dilakukan wawancara dengan responden Kepala Dispenda, Bagian Keuangan dan Bapeda Kota Payakumbuh serta instansi terkait.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari sisi ekonomi Kota Payakumbuh dibandingkan rata-rata keseluruhan di Sumatera Barat berdasarkan metode penilaian PP 129 tahun 2000 mampu melaksanakan otonomi daerah. Hal ini ditunjukkan dengan total skor dan terbobot sebesar 18 (delapan belas) dan terbobot 450 berada pada posisi skor minimal keharusan dari sisi ekonomi, yang mencerminkan bahwa kemampuan ekonomi Kota Payakumbuh mendekati kategori penilaian agak baik dibandingkan rata-rata keseluruhan daerah di Sumatera Barat.
Skor yang diperoleh tidak menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun 1991, total skor dan terbobot baik tahun pada tahun 1991 maupun tahun 1998 sebesar 18 (delapan belas) dan terbobot 450 berada pada posisi skor minimal kelulusan dari sisi ekonomi. Hal ini juga berarti dari sisi kemampuan ekonomi Kota Payakumbuh dibandingkan pada tahun 1991 tidak adanya peningkatan kemampuan ekonomi secara relatif dibandingkan rata-rata keseluruhan daerah di Sumatera Barat, di mana total skor dan terbobot baik tahun pada tahun 1991 maupun tahun 1998 sebesar 18 (delapan belas) dan terbobot 450 berada pada posisi skor minimal kelulusan dari sisi ekonomi.
Sedangkan total skor dan total skor terbobot rata-rata kota lainnya di luar Kota Padang di atas, Kota Payakumbuh, di mana total dan skor terbobot kemampuan ekonomi rata-rata kota lainnya di luar Kota Padang berada sedikit di atas skor minimal kelulusan yaitu total skor 18,8 (delapan belas koma delapan) dan total skor terbobot 470 (empat ratus tujuh puluh) pada tahun 1991 dan total skor 18,4 (delapan belas koma empat ) dan total skor terbobot 460 (empat ratus enam puluh) pada tahun 1998.
Dibandingkan dengan rata-rata kota lainnya di luar Kota Padang, kelemahan Kota Payakumbuh pada PDRB per kapita, kemampuan PDS menutupi pengeluaran rutin dan upaya pengumpulan PDS Kota Payakumbuh baik pada tahun 1991 maupun 1998, lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata kota lainnya di luar Kota Padang. Sedangkan kontribusi PDRB terhadap PDRB Total (Propinsi). Rata-rata kota lainnya di luar Padang memberikan kontribusi berkisar antara 1 sampai 3,2 persen terhadap PDRB Propinsi dan dengan skor berkisar antara 1 (satu) sampai 2 (dua), secara kualifikasi termasuk sangat buruk dibandingkan keseluruhan daerah di Propinsi Sumatera Barat yang memberikan kontribusi sebesar 7,1 persen.
Untuk sub indikator laju pertumbuhan pada tahun 1998 Kota Payakumbuh diatas rata-rata kota lainnya di luar Kota Padang, dimana mengalami pertumbuhan minus sebesar 4,5 persen sedangkan rata-rata daerah kota lainnya di luar Kota Padang tumbuh minus 6,2 persen dan rata-rata keseluruhan daerah di Sumatera Barat mengalami pertumbuhan minus 5,1 persen, hal ini mengakibatkan skor Kota Payakumbuh diatas rata-rata kota lainnya di luar Kota Padang, skor masing-masing yaitu 5 (lima) dan 3,8 (tiga koma delapan). Dibandingkan tahun 1991 rata-rata kota lainnya di luar Kota Padang mengalami penurunan satu tingkat dibandingkan tahun 1991 yaitu dari 5 (lima) menjadi 3,8 (tiga koma delapan) dengan kualifikasi baik menjadi agak baik dibandingkan rata-rata ke seluruhan daerah di Sumtera Barat, sedangkan Kota Payakumbuh sama dibandingkan tahun 1991.
Berdasarkan letak geografis dan potensi Kota Payakumbuh berpotensi untuk lebih mengembangkan kegiatan pada sektor perdagangan. Hal ini akan membuka peluang ekonomi yang bertumpu pada sektor perdagangan. Meningkatnya kegiatan sektor perdagangan selanjutnya akan menggerakan sektor-sektor ekonomi lainnya dengan sendiri juga akan meningkatkan penerimaan daerah. Serta lebih meningkatkan upaya pengumpulan peneriman daerah sendiri yang masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata kota lainnya di luar Kota Padang. Sekurang-kurangnya dapat lebih meningkatkan kemampuannya dalam membiayai pengeluaran rutin, yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata kota lainnya di luar Kota Padang."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T7693
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rasyid Saleh
"Melihat realita yang berlangsung sekarang ini di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, baik di lingkungan internal organisasi birokrasi, maupun di lingkungan eksternal -lingkungan sosial, politik, dan budaya masyarakat- belum terlihat adanya tanda-tanda kesiapan ke arah perubahan sejalan dengan semangat dan jiwa UU Nomor 22/99.
Secara nasional, pemikiran, sikap, tindakan, dan bahkan "jargon-jargon" rerlormasi total terus beriangsung di lingkungan ekstemal birokrasi, namun di lingkungan internal belum ada tanda-tanda dimulainya perubahan dan belum terdorong untuk bergegas mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan sekaligus sebagai tuntutan yang harus dipenuhi. Isyarat terpenting untuk diwujudkan dalam mengaktualisasikan dan mengartikulasikan perubahan secara nasional, demokratis, transparan, efisien, mandiri, berdaya, adil, serta berkemampuan dan bertanggung jawab, juga belum menampakkan gejala ke arah pergeseran nilai dan implementasinya di kedua lingkungan birokrasi tersebut.
Tantangan utama yang menghadang Pemerintah daerah Kabupaten Maros dalam melaksanakan UU Nomor 22/99 adalah tuntutan penyesuaian (daya adaptasi) yang tinggi sesuai dengan kebutuhan nyata birokrasi dan masyarakat berdasarkan kondisi saat ini dan di masa yang akan datang. Kebutuhan-kebutuhan mendesak yang menuntut pemecahan di masa datang tersebut adalah: perubahan penampilan dan penerapan kekuasaan, kewenangan yang rasional dan obyektif termasuk pemantapan dan penentuan sejumlah kewenangan, penetapan besaran organisasi, penyederhanaan sistem dan prosedur, pergeseran kultur birokrasi, kemampuan dan integritas birokrat, sumber-sumber keuanganfpendapatan, dukungan sarana dan prasarana, peluang keikutsertaan seluruh komponen lokal, dan lain-lain. Pokok permasalahan dalam menghadapi penerapan UU Nomor 22/99 adalah perwujudan perubahan yang menuntut daya penyesuaian sejalan dengan jiwa dan kehendak sistem birokrasi yang bare sehingga tujuan otonomi daerah dapat tercapai.
Apa yang terjadi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan selama ini adalah penerapan kekuasaan dan pengelolaan kewenangan yang sentralistis: kendali . pelaksanaan sejumlah urusan organisasi birokrasi dilakukan secara seragam, sistem dan prosedur interaksi yang rumit (complicated) antar-instansi/unit organisasi atau dengan masyarakat sehingga berakibat pada tidak efektifnya organisasi dan tidak efisiennya penyelenggaraan pemerintahan, dan pada gilirannya, organisasi pemerintahan tidak mampu mencapai tujuannya.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif-analitik. dengan metode ini, penulis ingin membuat satu deskripsi analisis, yaitu membuat gambaran yang sistematis berdasarkan fakta, sifat serta hubungan antara fenomena-fenomena yang terjadi pada sistem birokrasi yang dijalankan selama ini."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T7686
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Uyan Wiryadi
"Salah satu permasalahan yang mengemuka pasca runtuhnya kekuasaan pemerintahan Presiden Suharto adalah masalah penyelenggaraan pemerintahan daerah. Persoalan ini sebenarnya sudah berkembang sedemikian rupa pada pemerintahan Soekarno. Karena itu, reformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah setelah runtuhnya rezim Suharto menjadi salah satu agenda reformasi yang harus diupayakan.
Kondisi tahun 1950-an sebenarnya awal gejolak politik nasional dewasa itu. Misalnya terdapat sejumiah pemberontakan daerah yang menuntut kemerdekaan, seperti Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan. Selain itu masih terdapat pemberontakan kecil yang antara lain terjadi di Jawa Barat di awal 1960-an yang terkait dengan isu etnis Cina. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam periode tersebut merupakan permasalahan politik yang pelik dari kedua pemerintahan tersebut.
Upaya untuk memperbaiki kondisi pemerintahan daerah era Suharto dimulai dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Secara teoritis undang-undang tersebut menganut model efisiensi struktural (Structural Efficiency Model) yang menekankan pada efisiensi penyelenggaraan pemerintah berupa uniformitas dan pengendalian sebagai pintu intervensi pemerintah dan pengendalian sebagai pintu intervensi pemerintah pusat. Berdasarkan kriterium ini, pemerintah pusat memangkas jumlah susunan daerah otonom, pembatasan peran dan partisipasi lembaga perwakilan rakyat. Selain itu juga ditandai oleh keengganan Pusat untuk menyerahkan wewenang dan diskresi yang lebih besar kepada daerah otonom. Cenderung mengutamakan dekonsentrasi daripada desentralisasi. Paradoks di antara efisiensi yang memerlukan wilayah daerah otonom yang luas agar tersedia sumber daya yang memadai dengan kekhawatiran separatisme jika daerah otonom terlalu luas.
Ekses dalam pengaturan pemerintahan daerah seperti tercermin dalam Undang-undang No. 5/1974 tersebut pasca pemerintahan Suharto mendapat reaksi untuk segera diubah. Karena itu muncul gagasan untuk reformasi pemerintahan daerah."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15437
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsu Rizal
"Penetapan 26 dari sekitar 300 Daerah Tingkat II sebagai Percontohan Otonomi Daerah merupakan tahapan awal dari serangkaian tahapan dalam melaksanakan Otonomi Daerah dengan Titik Berat pada Daerah Tingkat II di Indonesia. Namun, karena pertimbangan tertentu, tidak semua Daerah Tingkat II dapat melaksanakannya. Dengan demikian, Daerah-daerah Tingkat II di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu: yang sudah dan yang belum melaksanakan oonomi daerah.
Perbedaan Daerah Tingkat II dalam melaksanakan oonomi daerah tersebut akan berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas Camat sebagai bawahan langsung dari Bupati kepala Daerah Tingkat II. Oleh karena itu, bobot tugas Camat akan berbeda. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan bobot tugas Camat secara empires pada Daerah Tingkat II yang belum dan sudah melaksanakan otonomi daerah, dalam hal ini Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung dan Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung.
Penelitian dilakukan tidak hanya melalui studi kepustakaan, tetapi juga melalui studi lapangan. Hal ini dimaksudkan untuk memahami perbedaan bobot tugas Camat yang sesungguhnya terjadi di Daerah Tingkat II yang belum dan sudah melaksanakan otonomi daerah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan bobot tugas Camat di kedua Daerah Tingkat II signifikan, khususnya dalam hal pelaksanaan asas desentralisasi. Bobot tugas desentralisasi Camat di Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung lebih banyak dibandingkan dengan bobot tugas Camat di Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung. Berkenaan dengan pelaksanakan asas dekonsentrasi, bobot tugas Camat relatif sama, sekalipun volume dan jenis kegiatannya agak berbeda. Namun, pertambahan urusan di tingkat kecamatan tidak diimbangi oleh perubahan kelembagaan, personil, perlengkapan, dan pembiayaan yang diperlukan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bobot tugas Camat di Daerah Tingkat II yang telah melaksanakan otonomi daerah lebih besar daripada bobot tugas Camat di Daerah Tingkat II yang belum melaksanakan otonomi daerah. Oleh karena itu, untuk mengimbangi pertambahan bobot tugas tersebut, perlu perubahan dalam kelembagaan, personil, perlengkapan, dan pembiayaan di tingkat Kecamatan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saffanah Fitia Putri
"Konsep desentralisasi di Indonesia tidak hanya sekedar menyerahkan kewenangan dan kekuasan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hal tersebut perlu diikuti dengan penyerahan aspek finansial, yang disebut sebagai perimbangan keuangan pusat dan daerah. Salah satu jenis dana perimbangan yang di transfer dari pusat kepada daerah adalah dana bagi hasil (DBH). DBH secara konsep merupakan transfer untuk daerah dengan persentase tertentu yang bertujuan untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan. Salah satunya adanya DBH Dana Reboisasi (DBH DR) yang berfokus pada urusan sektor kehutanan dalam level pemerintah daerah. Adapun konsep DR di Indonesia pada awalnya berangkat dari Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi yang menyebutkan bahwa DR hanya dapat digunakan untuk kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), sehingga pemerintah daerah kesulitan dalam menggunakan DR tersebut yang peruntukkannya terlalu spesifik. Hal tersebut berakibat pada banyaknya DR yang mengendap dalam kas daerah dan tidak terserap dengan baik. Berkaitan dengan masalah tersebut, pemerintah pusat menginisiasikan adanya perubahan alokasi melalui perluasan penggunaan DBH DR, yang dimana DR tersebut dapat digunakan untuk berbagai macam kegiatan dengan ketentuan sesuai pada tujuan utama dana perimbangan tersebut yakni, kegiatan reboisasi dan RHL. Pengaruh dari pengalihan urusan kehutanan kepada pemerintah provinsi dari pemerintah kabupaten/kota juga mempengaruhi pengalihan kewenangan fiskal untuk DBH DR menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Landasan hukum tersebut pada akhirnya juga mempengaruhi munculnya kebijakan perluasan penggunaan DBH DR, mengingat bahwa DR di pemerintah kabupaten/kota belum dapat digunakan secara optimal. Oleh karena itu, diharapkan perluasan penggunaan DBH DR dapat menjadi pemicu pemerintah daerah untuk meningkatkan penggunaan atau penyerapan DBH DR dalam rangka melaksanakan kegiatan RHL.


Decentralization concept in Indonesia is not just giving authority from central to local government. It needs to be followed with financial authority or fiscal decentralization. There are many types of fiscal decentralization, one of them is revenue sharing. By definition, revenue sharing is a budget with specific presentation that local government can be use to execute government activities. There is one of revenue sharing types called forest revenue sharing or DBH DR in local government. DR in Indonesia is reffering to reforestation and forest and land rehabilitation activity based on Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 about Dana Reboisasi. That regulation is forming an issue about DR absorption in local government is not proper. Responding to that issue, central government is giving an effort for expansion of usage by changing the allocation for DBH DR, so local government can use the budget for many program that still refers to reforestation and forest and land rehabilitation activity. Forest authority transfer from district to province, is also giving an impact for DBH DR as it state on Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 about Pemerintahan Daerah. Therefore, the expansion of usage is triggering the local government for using or elevated the DR absorption to support reforestation and forest and land rehabilitation activity.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Susilo
"Lahirnya UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999 merupakan tonggak sejarah bagi sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, yaitu terjadinya perubahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Perubahan ini mengharuskan dilimpahkannya kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, termasuk dialihkannya aset dan dokumen, personil, dan pembiayaan.
Jika dilihat dari pengalihan ini, pengalihan personil (Pegawai Negeri Sipil ke sektor-sektor pemerintah di daerah) merupakan persoalan yang sangat rumit dan sangat menentukan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah selanjutnya. Oleh karena itu persoalan pelimpahan kewenangan (terutama kewenangan yang menyangkut sumber daya dan atau desentralisasi fiskal) dan pengalihan PNS diangkat menjadi persoalan utama tesis ini.
Pada kenyataannya dalam pelaksanaan pelimpahan kewenangan (dalam artian desentralisasi fiskal) tetap dikendalikan oleh Pemerintah Pusat, dengan tujuan agar pemerintah pusat dapat mengontrol dan menjaga keseimbangan antara besarnya kewenangan (dalam artian desentralisasi politis dan fungsi) yang dilimpahkan kepada pemerintah di Daerah dengan penerapan kebijakan fiskal (dalam hal ini kebijakan DAU).
Dari penelitian menunjukkan, bahwa terdapat hubungan yang positip searah dan kuat antara kebijakan Transfer DAU dengan Pengalihan PNS dari Pemerintah Pusat ke Daerah. Hal ini dapat terlihat dari besaran-besaran koefsien korelasi yang berkisar mendekati angka 1 (satu) dari perhitungan hubungan kedua variabel yaitu variabel jumlah transfer DAU dengan Gaji/pensiun PNS pada seluruh propinsi di Indonesia. Dari penelitian ini juga didapati banyak masalah yang timbul dari penerapan kebijakan tersebut, serta dapat memacu timbulnya konflik yang berkepanjangan. Permasalahan itu muncul, baik diakibatkan dari penerapan Kebijakan Pelimpahan Kewenangan maupun dari kebijakan Transfer DAU, dimana sangat mempengaruhi terhadap Pengalihan PNS dari Pemerintah Pusat ke Daerah.
Studi tentang pelaksanaan desentralisasi ini, telah menghasilkan banyak kajian, akan tetapi pengkajian secara khusus mengenai Hubungan antara Transfer Dana Alokasi Umum (DAU) dengan Pengalihan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dari Pemerintah Pusat Ke Daerah masih sangat jarang.
Dari penelitian ini, penulis mengharapkan dapat memberi sumbangan (walaupun kecil artinya) bagi pemikiran tentang hubungan antara Transfer DAU dengan Pelimpahan PNS dari Pemerintah Pusat ke Daerah, sebagai bagian dari pelaksanaan kebijakan desentralisasi, yang merupakan bagian dari kajian ilmu keuangan publik. Dan dari penelitian dasar ini diharapkan dapat memacu rekan-rekan yang lain untuk mengkaji lebih dalam ke penelitian selanjutnya.
Penelitian ini mempergunakan metode kuantitatif dengan cara mengumpulkan data historis dengan mengklasifikasikan data-data yang telah dipublikasikan, serta mengadakan wawancara, dan studi literatur atau dokumentasi. Adanya wawancara dengan pejabat atau pelaksana pemerintahan, merupakan bagian dari validasi terhadap analisa yang penulis sajikan, dengan mendasarkan pada kajian teori, kebijakan, dan peraturanperaturan yang ada mengenai Hubungan Antara Transfer DAU dengan Pengalihan PNS dari Pemerintah Pusat ke Daerah.
Pada tahap akhir, penulis mendiskusikan dan melakukan konfirmasi kepada dosen pembimbing, untuk mendapatkan pengarahan yang lebih terfokus dalam penulisan ini.
Dalam analisis, ditemukan adanya hubungan yang positip searah dan kuat dari penerapan UU No 22 dan No 25 tahun 1999, yaitu Hubungan Antara Transfer DAU dengan Pengalihan PNS dari Pemerintah Pusat ke Daerah , serta mempunyai implikasi yang besar dalam penerapan pengeluaran keuangan di Daerah. Akibat berantai dari kebijakan tersebut, akan meningkatkan kesejahteraan serta meningkatkan pelayanan kepada publik di daerah.
Adanya implikasi dari hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa hubungan antara transfer DAU dengan pengalihan PNS, masih memiliki banyak kelemahan yang harus diperbaiki, terutama dalam penerapan formula DAU, agar tidak terjadi kesenjangan (gap) yang berarti, serta dapat menyesuaikan dalam penentuan kebutuhan PNS dan kualitas PNS di Daerah. Dengan demikian akan mengarah pada tujuan dari kebijakan tersebut yaitu memberikan peningkatan pelayanan kepada publik.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T12581
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1984
S25381
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sad Dian Utomo
"Selama 40 tahun terakhir, kecamatan mengalami perubahan seiring perubahan kebijakan mengenai pemerintahan daerah. Perubahan kebijakan makro ini memerlukan penyesuaian pada tingkat organisasi dan operasional. Namun belum direspon baik oleh Pemerintah Pusat, dan gamang dalam memosisikan kecamatan, dengan tidak jelasnya bentuk organisasi kecamatan, camat diberi tugas urusan pemerintahan umum yang merupakan kewenangan kepala wilayah, dan tidak ada pedoman pengukuran kinerja kecamatan. Timbul masalah konseptual, yaitu bagaimana memosisikan kecamatan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, apakah bagian unit kewilayahan yang diperluas perannya melalui desentralisasi dalam kota (Norton, 1994); unit yang menjalankan fungsi tertentu dalam rangka dekonsentrasi (Leemans, 1970); ataukah dipandang tidak relevan lagi dalam pengelolaan kota terpadu (Smith, 1985)? Hal ini dirumuskan dalam pertanyaan penelitian, yaitu: bagaimana dinamika kelembagaan kecamatan, mengapa itu terjadi, dan bagaimana kelembagaan kecamatan diposisikan. Penelitian ini menggunakan teori desentralisasi, pemerintahan daerah, pemerintahan wilayah, dan kelembagaan sebagai panduan. Penelitian ini menggunakan pendekatan konstruktifis dengan teknik kualitatif melalui studi kasus di Kecamatan Cikulur, Tulakan, Jatiuwung dan Bubutan. Hasil penelitian memperlihatkan dinamika kelembagaan kecamatan lebih banyak disebabkan faktor eksogen daripada endogen. Selanjutnya, dilakukan reposisi kelembagaan kecamatan dalam tiga model, yaitu model kelembagaan kecamatan kawasan perkotaan, perdesaan dan hybrid.

Local government has changed sub-district status over 40 years. This macro policy alters operations and organization. The Central Government must improve, and placing the sub-district is giddy. The sub-district head manages regional government and does not assess performance. Then a conceptual problem arises: how to position the sub-district in local government administration—as part of a local government unit whose role is expanded through decentralization within cities (Norton, 1994), as a unit that performs specific functions in deconcentration (Leemans, 1970), or as a unit no longer relevant in integrated city management (Smith, 1985). This is formulated in research questions, namely: how are the dynamics of sub-district institutions in the administration of local government, why does it happen, and how are sub-district institutions positioned? Rebuilding sub-district institutions needs knowing their dynamics and causes. Decentralization, local self-governance, local state government, institutional theory, and institutional dynamics drive this research. Four sub-districts—Cikulur, Tulakan, Jatiuwung, and Bubutan—are studied using constructivist case studies. The research found that exogenous factors caused the sub-district institutional dynamics more than endogenous ones. Three models—urban, rural, and hybrid—reposition sub-district institutions."
Jakarta: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fuad Putera Perdana Ginting
"Arus desentralisasi memicu terjadinya pemekaran daerah di seluruh wilayah Indonesia. Alasan dan pertimbangan pemekaran ini tidak hanya dari sisi politis seperti; keinginan mendapatkan jabatan pemerintahan di DOB baru, atau alasan administratif seperti; upaya mendekatkan pemerintahan kepada masyarakatnya, ada juga pemekaran daerah yang dilandasi oleh semangat kolektivitas etnis. Salah satunya adalah Kabupaten Pakpak Bharat yang terbentuk pada tahun 2003. Pemekaran itu menjadikan Kabupaten Pakpak Bharat daerah dengan etnis yang homogen (etnis Pakpak), meskipun harus melepaskan sebagian besar tanah ulayatnya kepada kabupaten induk yang telah didominasi oleh etnis lain.
Penelitian menggunakan teori etnis (Kanchan Chandra), politik etnis (Kellas, McCarthy, Fearon, dan Caselli & Coleman), dan koalisi vertikal (Kimura) dalam menganalisis dan memahami fenomena pembentukan Daerah Otonomi Baru Kabupaten Pakpak Bharat yang bermotivasi etnis. Tesis ini berusaha memahami bagaimana tahapan politik yang dilalui oleh aktor-aktor dalam pembentukan Kabupaten Pakpak Bharat dan bagaimana eksistensi aktor-aktor tersebut setelah terwujudnya pemekaran.
Penelitian ini adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif, pengumpulan data dilakukan dengan wawancara baik dengan aktor politik yang terlibat, juga dengan akademisi yang pernah meneliti kajian terkait. Studi literatur mengenai Kabupaten Pakpak Bharat dan Kabupaten Dairi dari skripsi, tesis dan disertasi juga digunakan untuk memperkaya data dan informasi.
Laporan-laporan mengenai daerah pemekaran didominasi oleh kegagalan DOB dalam mencapai target-target desentralisasi politik dan ekonominya. Banyak terjadi pembajakan oleh elit (elit capture) pada daerah otonom baru, elit lokal terutama dalam birokrasi dan parlemen menyalahgunakan jabatan untuk memperkaya diri. Pakpak Bharat termasuk dalam kabupaten hasil pemekaran yang dianggap belum berhasil mensejahterakan rakyatnya. Namun berbeda dengan daerah lain, tujuan awal dan motivasi homogenitas etnis dalam memekarkan daerahnya membuat persoalan kesejahteraan dan infrastruktur menjadi kurang berarti di Pakpak Bharat. Elit lokal yang terlibat sejak awal rencana pendirian Pakpak Bharat pun tidak ada yang menjadi pejabat di kabupaten baru tersebut, mereka bekerja karena semangat kolektivitas etnis.
Implikasi teoritis yang didapat adalah, bahwa etnis adalah suatu identitas yang dapat dikonstruksikan sesuai dengan situasi dan kepentingan tertentu. Dalam kasus DOB Kabupaten Pakpak Bharat, etnis Pakpak merekonstruksi ulang identitas etnis mereka yang sebelumnya telah memudar karena banyak orang Pakpak berpindah identitas menjadi orang Toba. Dalam hal koalisi vertikal, koalisi politik dalam pembentukan DOB, identitas etnis Pakpak adalah perekat antar level administrasi setiap aktornya. Namun koalisi ini hanya eksis sampai pada terwujudnya DOB, setelah itu koalisi vertikal ini bubar dengan sendirinya seperti terbentuk juga dengan sendirinya.

The decentralization streaming caused massive territorial proliferation in entire of Indonesia. Apparently the reason and consideration in the discourse of the proliferation is not only from the political side like; the desire of getting the position at the new government, or administrative reasons such as; the efforts to get the government closer to the citizens, there is also a proliferation based on ethnic collectivity. One of them is formed in Pakpak Bharat Regency in 2003. The proliferation made the Pakpak Bharat District an area with a homogeneous ethnic (ethnic Pakpak), although they have to detach a large extent of their traditional land to the main region that has been dominated by another ethnic group.
This study using the theory of ethnicity (Kanchan Chandra), political ethnic (Kellas, McCarthy, Fearon, and Caselli & Coleman), and vertically coalition (Kimura) in analyzing and understanding the phenomenon of establishment of New Autonomous Region of Pakpak Bharat which is has an ethnic motivation. This thesis seeks to understand how the political stages traversed by actors in the establishment of Pakpak Bharat and how the existence of the actors after the realization of the proliferation.
This research is a case study with a qualitative approach; data collection was done with interviews both with political actors who involved, as well as with academics who once examined the related studies. To enrich the data and information, the author also uses the study of literature concerning Pakpak Bharat and Dairi District.
Reports about proliferation dominated by the failure of the new autonomous region in achieving targets of political and economic decentralization. There are elite captures in the new autonomous region, the local elite, especially in the bureaucracy and parliament abusing their power to enrich themselves. Pakpak Bharat Regency is also included in the results of the extraction are deemed to have not managed to prosper his people. But in contrast to other areas, the original purpose and motivation of its homogeneity in ethnic regions, making the extract issues of welfare, infrastructure and others became less meaningful in Pakpak Bharat.
The theoretical implication is, that is an ethnic identity can be constructed in accordance with the situation and particular interests. In the case of Pakpak Bharat Regency, Pakpak ethnic reconstruct their ethnic identity which had been fading because many people of Pakpak switch their identities became Tobanese. In terms of vertical coalition, coalition politics in the establishment of new autonomous region, ethnic identity of Pakpak is adhesive between each level of administration actors. However this coalition existed only until the attainment of new autonomous region, after that this vertical coalition broke up on its own as it is formed also by itself
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>