Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118091 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dicky Djatnika Ustama
"Melihat realita yang terjadi sekarang ini dengan bergulirnya arus reformasi disertai adanya perubahan pada berbagai bidang tentunya masyarakat harus dapat menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Salah satu perubahan yang bersifat revolutif telah terjadi pada sistem pemerintahan daerah. UU 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah membuka peluang begitu besar kepada Pemerintah Daerah untuk memberdayakan masyarakat secara maksimal. Kewenangan bidang-bidang pemerintahan dan pembangunan yang mendukung upaya tersebut telah digariskan dalam peraturan-perundangan yang melengkapinya.
Sehubungan dengan hal di atas, salah satu aspek yang tidak kalah penting adalah pembangunan sosial pada daerah masing-masing. Hal ini dirasakan penting karena telah terjadi sebuah kondisi yang tidak baik bagi masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan akselerasi perubahan yang sedang berlangsung. Permasalahan ini terjadi karena pola kebijakan pembangunan yang salah pada Pemerintah terdahulu. Pada pembangunan yang serba terpusat telah membawa masyarakat kehilangan sikap kemandiriannya, sense of organizing mereka hilang serta masyarakat menjadi atomistic yaitu merasa tidak mempunyai dukungan organisasi. Semua proyek pembangunan sampai tingkat RT/RW pun berpusat pada pemerintah. Hal mana membuat rakyat sangat tergantung kepada pemerintah.
UU 22 yang telah memberikan kewenangan besar kepada Pemerintah Daerah menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat harus diberdayakan secara lebih serius terutama pada tatanan terbawah yang seringkali tidak terjangkau oleh kebijakan Pemerintah. DPRD yang ada dirasakan tidak cukup dapat merambah kebutuhan dan kepentingan masyarakat secara baik dengan segala keterbatasan yang ada. Salah satu upaya pencarian solusi untuk kondisi masyarakat di atas adalah harus ada sebuah kebijakan yang secara sistematis dapat mengembalikan kemandirian masyarakat sehingga lebih jauh akan tercipta daya partisipasi masyarakat secara lebih aktif dalam pembangunan.
Belajar dari kenyataan adanya dua konsep kongkrit tentang keterlibatan secara langsung masyarakat pada lapisan terbawah yaitu Badan Perwakilan Desa (BPD) yang ada di desa-desa Kabupaten Bogor serta Dewan Kelurahan (DK) yang terdapat pada Kelurahan-kelurahan DKI Jakarta, penulis berupaya untuk mengadopsi konsep tersebut pada masyarakat kelurahan yang ada di Kabupaten Bogor. BPD dan DK terbentuk karena amanat UU. BPD terbentuk berdasarkan UU 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta DK terbentuk berdasarkan UU No. 34 tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi DKI Jakarta.
Yang ironi dari UU 22 tahun 1999 adalah bahwa bagi daerah yang kondisi desanya telah berubah karateristiknya menjadi perkotaan maka harus dibentuk menjadi kelurahan, pembentukan atau perubahan status dari Desa menjadi Kelurahan dengan serta merta berimplikasi kepada tergusurnya peran serta atau keterlibatan masyarakat dalam sistem pemerintahan dan pembangunan. Hal ini sangat jelas karena kelurahan yang dibentuk tidak dilengkapi dengan lembaga sejenis BPD yang dapat menampung atau menjadi wadah partisipasi masyarakat. Dari kenyataan ini maka tidak mengherankan jika di beberapa daerah (Kab. Bogor khususnya) banyak warga masyarakat desa yang keberatan bahkan menolak perubahan status tersebut. Alasan yang paling sering mengemuka adalah karena mereka tidak lagi berhak secara penuh untuk mengelola wilayah tempat mereka bermukim. Hal ini lebih jauh menjadi problem tersendiri yang harus dicarikan solusinya.
Badan Perwakilan Kelurahan yang dapat saja dikatakan hybrid atau gabungan dari konsep BPD dan DK, penulis kedepankan untuk menjawab persoalan tersebut dengan tentunya terlebih dahulu menggali berbagai informasi dari masyarakat setempat dalam hal ini elit masyarakat Kabupaten Bogor."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T9512
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Catur Ebyandri Mushendra
"Tesis ini sebagai wujud hasil penelitian tentang pelaksanaan Program Pembangunan Sarana dan Prasarana Desa/Kelurahan, sebagai salah satu bentuk upaya pembangunan partisipatif yang dilakukan pada Kota Sawahlunto. Latar belakang tesis ini diasumsikan kepada sejauhmana Pemerintah Kota Sawahlunto melaksanakan pembangunan yang partisipatif dan dan dukungan masyarakat dalam berpartisipasi untuk ikut serta dalam proses pembangunan untuk mensukseskan program Pemerintah dan visi kota Sawahlunto. Partisipasi masyarakat di daerah akan sangat membantu meningkatkan kemampuan Daerah Kota atau Kabupaten dalam melaksanakan otonomi daerahnya.
Paradigma pembangunan partisipatif mengedepankan upaya untuk melaksanakan pembangunan sebuah wilayah dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Pada era ini partisipasi bukan lagi sebagai ancaman namun telah menjadi slogan yang menarik secara politis dan sebagai sebuah instrumen yang lebih efektif dan efisien, serta sebagai sumber investasi baru bagi pembangunan sebuah daerah. Pembangunan sebagai proses yang panjang, sejak diawali dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi terhadap pembangunan tersebut. Dalam wacana ini, masyarakat adalah objek dan sekaligus merupakan subjek dan sasaran hingga pada saat yang sama, ia merupakan unsur yang dominan dalam keikutsertaannya untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan kegiatan pembangunan yang dilakukan.
Penelitian tesis ini dilakukan di kota Sawahlunto dengan menggunakan metode kualitatif untuk menghasilkan data deskriptif yang diperoleh melalui studi kepustakaan, observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) dengan para informan. Pemilihan informan dilakukan secara snowball sampling dimana informan pertama dapat memberikan petunjuk tentang informasi yang tepat dan mendalam atas informan yang berikutnya.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk dan saluran partisipasi yang diberikan dan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk terlibat aktif dalam pembangunan daerah, sangat tergantung dari adanya goodwill pemerintah daerahnya. Bahwa dalam rangka menciptakan Good Governance diperlukan syarat antara lain responsif yang berarti cepat tanggap dan sekaligus memberikan respon positif atas aspirasi masyarakat yang berkembang. Kemudian, metode perencanaan partisipatif adalah merupakan metode yang telah disepakati dalam perencanaan pembangunan Kota Sawahlunto. Metode partisipatif dalam pembangunan kota berarti suatu upaya melibatkan langsung masyarakat yang sebelumnya hanya menjadi objek pembangunan ke perlakuan masyarakat sebagai subjek (pelaku/pelaksana) yang sekaligus juga perencana dan pemelihara pembangunan itu sendiri. Hanya saja realisasi sepenuhnya terhadap aspirasi masyarakat tidak mungkin bisa menjadi kenyataan karena berbagai keterbatasan yang dimiliki sebuah daerah. Program ini sebagai salah satu upaya untuk memenuhi aspirasi pembangunan yang tumbuh dari bawah. Program ini juga didasarkan atas asumsi segala bentuk pembangunan fisik Kota Sawahlunto dalam upaya mencapai visi kota Sawahlunto 2020 menjadi kota wisata tambang yang berbudaya pada hakekatnya adalah bermuara/berlokasi di Desa/Kelurahan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa tentunya terdapat beberapa hambatan dan kendala yang dihadapi seperti: SDM yang kurang mendukung, kepentingan para kontraktor yang terganggu rejekinya serta hal-hal teknis yang berkaitan langsung dengan kegiatan program. Namun paling tidak, program yang dilaksanakan pada tahun 2001 ini telah berhasil untuk memberikan proses belajar untuk meningkatkan rasa memiliki tanggung jawab terhadap pembangunan kota dalam mencapai visi, karena masyarakat kota telah berpartisipasi dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan hasilnya. Meningkatkan kemampuan masyarakat (mendidik masyarakat untuk belajar membuat perencanaan dan mengelola semua proses pembangunan sesuai dengan potensi/sumber daya yang tersedia). Memberikan kewenangan dan kepercayaan yang lebih luas kepada masyarakat untuk melaksanakan pembangunan di wilayahnya sendiri. Pemberdayaan tenaga kerja potensial di tingkat Desa dan membantu pengurangan beban pengangguran selama program berlangsung, serta demi meningkatkan rasa kebersamaan dan kegotong-royongan masyarakat.
Pembangunan partisipatif yang dilaksanakan dapat dikatakan masih berorientasi partisipatif efisiensi. Partisipatif efisiensi lebih mengarah kepada kepentingan pemerintah. Hal ini dapat menjadikan beberapa asumsi yang tidak sesuai dengan konsep pembangunan partisipatif Mikkelsen dimana feed back yang diharapkan adalah adanya proses belajar sebagai kegiatan pembangunan. Asumsi dari tinjauan konsep pembangunan partisipatif dapat mengkritisi program ini sebagai kegiatan eksploitasi dan mobilisasi terhadap masyarakat kota dalam suatu kegiatan pembangunan. Pemerintah Kota Sawahlunto diharapkan dapat melakukan terobosan-terobosan untuk lebih berani memberikan kesempatan dalam berbagai bentuk dan saluran partisipasi masyarakat kota."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T4418
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Arliansah
"Pembangunan ekonomi pada hakekatnya adalah upaya terencana dalam mengelola sumber daya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu indikator yang biasa digunakan untuk mengukur perkembangan pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu daerah adalah pertumbuhan ekonomi. Upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah diantaranya adalah pengembangan wilayah pada pusat-pusat pertumbuhan dengan investasi padat modal. Ia diharapkan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya merangsang kegiatan pembangunan wilayah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat aksesibilitas kecamatan sebagai hinterland terhadap pusat pertumbuhan, mengetahui arah pengembangan kegiatan ekonomi dan mengetahui keterkaitan antar sektor perekonomian serta pengaruh nilai location quotient (LQ), nilai total aksesibilitas, dan belanja pembangunan terhadap perkembangan ekonomi daerah.
Analisis dilakukan menggunakan data sekunder tahun 2001-2003 pada 17 kecamatan di Kabupaten Indragiri Hilir. Alat analisis yang digunakan adalah model gravitasi, LQ dan pendekatan ekonometrika. Dengan model gravitasi didapat bahwa sebagian besar kecamatan mempunyai tingkat aksesibilitas yang kuat terhadap pusat pertumbuhan Tembilahan. Berdasarkan kekuatan aksesibilitas dapat di kelompokkan hinterland-nya setiap pusat pertumbuhan. Dengan formula LQ Kecamatan Reteh yang memiliki sektor/sub sektor unggulan terbanyak (8 kegiatan unggulan). Penyebaran sektor/sub sektor juga tidak merata di setiap daerah. Dengan pendekatan ekonometrika model persamaan simultan, dapat diketahui keterkaitan antar sektor perekonomian dan variabel lainnya. Sektor bangungan/konstruksi (S5) berpengaruh positif terhadap perkembangan sektor pertambangan dan penggalian (S7). Sektor perdagangan, restoran dan hotel (S6) berpengaruh positif terhadap perkembangan sektor listrik, gas dan air bersih (S4); sektor transportasi dan komunikasi (57); dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (S8). Variabel belanja pembangunan hanya berpengaruh langsung dan signifikan terhadap perkembangan sektor pertanian (S1); sektor listrik, gas dan air bersih (S4); dan sektor bangunan/konstruksi (S7). Variabel aksesibilitas berpengaruh secara signifikan terhadap sektor bangunan/konstruksi (S5); sektor transportasi dan komunikasi (S7); dan sektor jasa-jasa.(S9). Sedangkan nilai LQ masing-masing sektor berpengaruh signifikan terhadap sektornya, kecuali sektor transportasi dan komunikasi (S7); dan sektor jasa-jasa (S9). Nilai LQ sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (S8) mempunyai elastisitas lebih tinggi dibandingkan dengan nilai LQ sektor lainnya."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18717
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Puguh Wibowo
"Dalam perspektif pembangunan di Indonesia, pulau-pulau kecil yang sebagian besar tersebar di Kawasan Timur Indonesia (KTI) kurang mendapat perhatian yang cukup berarti. Selama ini pembangunan dititikberatkan pada pulau besar yang cenderung bersifat ekstraktif dan mempunyai resiko lingkungan cukup besar. Disisi lain kawasan pulau kecil mempunyai potensi lingkungan besar, karena ekosistem dan lingkungan laut disekitar kawasan mempunyai keragaman dan produktivitas hayati yang tinggi.
Pulau Wawonii merupakan salah satu pulau di Kabupaten Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara dan secara geografis berhadapan dengan perairan Laut Banda. Berdasarkan kedudukannya Pulau tersebut mempunyai potensi perikanan yang cukup besar, demikian pula kawasan pantai di sekelilingnya mempunyai peluang untuk pengembangan budidaya dan jasa wisata. Hal ini mendorong Pemerintah Proipinsi Sulawesi Tenggara untuk mengembangkan kawasan tersebut sebagai kawasan perikanan terpadu.
Masalah penelitian dibatasi pada analisis kebijakan untuk mengembangkan Pulau Wawonii dengan fokus analisis tentang keterlibatan pelaku (stakeholders), skenario pengembangan, masalah pengembangan serta langkah kebijakan yang diperlukan guna mengatasi berbagai kendala dalam implementasi skenario pengembangan. Tujuan penelitian adalah untuk menyusun kebijakan pengembangan Pulau Wawonii, dengan fokus menetapkan skenario pengembangan, analisis keterlibatan pelaku, masalah yang dihadapi dalam pengembangan dan alternatif kebijakan pengembangan. Penelitian ini merupakan penelitian kebijakan melalui pendekatan metode Diskriptif dengan jenis Studi Kasus dan metode kualitatif. Untuk analisis data digunakan pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan menggunakan alat bantu Expert Choice Version 9.
Dalam penelitian ini skenario yang diajukan sebagai dasar pengembangan adalah rumusan skenario hasil studi Penyusunan Agromarine yang dilakukan Puslitbang Transmigrasi sebagai berikut : (1) Skenario I adalah menekankan kegiatan utama pada penangkapan yang didukung dengan kegiatan budidaya pantai dan kegiatan pertanian, (2) Skenario II menekankan pada kegiatan utama adalah budidaya pantai dan didukung dengan kegiatan penangkapan dan kegiatan pertanian, (3) Skenario III menekankan kegiatan wisata bahari sebagai kegiatan utama yang didukung dengan kegiatan penangkapan, budidaya pantai dan pertanian.
Hasil analisis dengan pendekatan AHP yang merupakan persepsi seluruh pihak yang berkepntingan menunjukkan, bahwa Skenario I dengan nilai bobot yaitu 0.592 merupakan prioritas utama sebagai dasar untuk pengembangan Pulau Wawonii. Skenario I ini mempunyai nilai bobot lebih tinggi dibandingkan dengan Skenario II (0.278) maupun Skenario III (0.131). Dengan menggunakan Skenario I sebagai dasar pengembangan maka akan mempunyai beberapa implikasi berikut : (a) mempunyai resiko lingkungan relatif kecil, (b) mempunyai multiplier efek yang relatif besar terhadap peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan, (c) menjamin keberlanjutan usaha, (d) mempercepat proses pertumbuhan kawasan, dibandingkan dengan ke dua skenario lainnya.
Berdasarkan hasil analisis proses ke depan (Forward Process) menunjukkan, bahwa dari ke empat pelaku yang terlibat, secara hirarkhi Pemerintah Daerah (Pemda) mempunyai nilai-nilai bobot paling tinggi 0.418, Swasta (0.250), Masyarakat (0.223) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mempunyai nilai bobot paling rendah (0.110). Dari hasil proses balik (Backward Process) menunjukkan bahwa masalah utama yang menjadi kendala pengembangan adalah koordinasi pengelolaan dengan nilai bobot yaitu 0.395. Selanjutnya masalah dalam pengembangan yang perlu mendapat perhatian, secara hirarkhi adalah keterbatasan modal (0.278), lingkungan dan masalah SDM mempunyai nilai yang sama (0.163). Dari hasil perhitungan terhadap masalah pengembangan juga menunjukkan bahwa instansi yang mempunyai peran dan bertanggung jawab mengatasi masalah koordinasi adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dan Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP).
Dari hasil perhitungan dan analisis terhadap kebijakan yang perlu ditempuh seluruh pelaku untuk mengatasi masalah, prioritas utama adalah meningkatkan koordinasi pengelolaan dengan nilai bobot yaitu 0.296. Kebijakan penting lainnya yang perlu dijalankan secara hirarkhi adalah pelatihan (0.212), pembangunan sarana dan prasarana (0.210), perijinan dan fiskal (0.154), penataan ruang (0.068), dan melakukan wajib Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) terhadap seluruh kegiatan dengan nilai 0.060.
Berdasarkan analisis terhadap potensi dan analisis kebijakan maka pola pengembangan yang diusulkan adalah : (1) Skenario kebijakan pengembangan adalah Skenario I, (2) Pengembangan usaha dilakukan melalui pendekatan agribisnis dan kemitraan dengan pola Inti - Plasma dan swasta berperan sebagai Pembina, (3) pemanfaatan ruang dengan alokasi adalah : bagian barat sebagai kawasan industri dan pelabuhan, pantai timur sebagai kawasan budidaya pantai dan darat, bagian tengah dan utara sebagai kawasan konservasi.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut : (1) Untuk mengembangkan Pulau Wawonii Skenario I merupakan skenario yang diharapkan oleh seluruh pelaku, dengan pertimbangan skenario ini mempunyai resiko lingkungan relatif kecil, mempunyai efek ganda relatif besar terhadap perluasan kesempatan kerja dan pendapatan. (2) Terdapat empat pelaku yang berperan dalam pengembangan Pulau Wawonii, sedangkan pelaku yang mempunyai peran penting adalah Pemerintah Daerah. (3) Dari hasil proses balik (backward process) menunjukkan bahwa masalah utama yang dihadapi adalah terkait dengan kelembagaan yaitu lemahnya koordinasi antar pelaku-pelaku. (4) Kebijakan penting yang diperlukan untuk mengatasi masalah secara prioritas adalah meningkatkan koordinasi pengelolaan antar pelaku.
Saran dari penelitian ini adalah: (1) Untuk menjalankan kegiatan pada Skenario I perlu dilakukan melalui pendekatan agribisinis dan pola kemitraan dengan model Inti-Plasma yang meliibatkan unsur pemerintah, swasta, dan masyarakat. (2) Perlu dilakukan penataan ruang untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan antar pelaku maupun guna mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. (3) Perlu dibentuk organisasi pengelola pengembangan dengan menetapkan BAPPEDA bertugas sebagai kordinator perencanaan dan DKP sebagai penanggung jawab pelaksana kegiatan pembangunan.

The Policy Study of Small Islands Development (Case Study on Development Polities of Wawonii Island at Kendari District the Province of Southeast SulawesiIn the process of development of Indonesia, small islands mostly located in eastern part of Indonesia are lack of attention. So far the development centered on big islands and tended to extractive sector with high environmental risk. The small islands are about to be neglected in the development process despite they are actually having high environmental potential due to their virgin ecosystem and biodiversities.
The Wawonii Island is one of the small islands in Kendari distric, the province of Southeast Sulawesi, located in facing with Banda Ocean. The island has very high potential fisheries, and so with the coastal areas around the island. Those potential could be developed as cultivation areas as well as tourism services. This condition actually had encouraged the local government to develop the areas as an integrated fisheries development.
This research and thesis is restricted just to analyses some policies concerning with the development of Wawonii Island, especially focused on the analyses of stakeholder involvement, development scenario, implementation problems, needed strategies and stages to solve the problems and obstacles. This research is aimed to compose the policy of development of Wawonii Island covering the alternative scenario of development, stakeholders involvement, the problems emerge, and the alternative strategy of development. The research would use descriptive and qualitative method with case study approach. To analyses the primary data, the instrument of Analytical Hierarchy Process (AHP will be used with other supplementary tools of Expert Choice Version 9.
This research proposed development scenario as a base of developing Wawonii Island through agro marine system. Those scenarios are ass follows: (1) Scenario I, is stressing the main development activities on catchments by the support of coastal cultivation and agriculture activities. (2) Scenario II, is stressing the main development activities on coastal land cultivation by the support of catchments agriculture activities. (3) Scenario III, is stressing the main development activities an oceanic tourism by the support of catchments, land coastal cultivation and agriculture activities.
The research result by using of AHP approach pointed out that the scenario I (with total value of 0.592) is the main priority and becoming alternative scenario that enable the Wawonii Island to develop. This scenario is having more score value than the others indicating respectively (scenario II 0.278, and scenario III 0.131). So the main priority of development scenario for Wawonii Island is the scenario I, that is the implementation of catchments by the support of coastal land cultivation and other agricultural activities.
By using the scenario I as a base of development, the consequences emerge are; a. high rate of environmental risk b. high rate of multiplier effect for work opportunities and income rising, c. ensure the sustainable business, d. fastening the growth areas, compared with the two other scenarios.
Base on the forward process analyses, it was known that from the four stakeholders of involvement, the local government have hierarchical highest value score of 0.418, while the other stakeholders indicate that private sector 0,250, societies 0,223, and the non-government sector (NGO) having the lowest score of 0.110.
Based on the backward process analyses, it was known that that main problem becoming obstacles for development process is the coordination relationship among stakeholders, with total value score of 0.395. It was caused by something that so far there was no government instance to take in place, especially in planning and implementing the Wawonii development activities.
The problems of development, then, need to be attended hierarchically is the limit of capital which having total value score of 0.278. While the environment and human resources having value score of 0.163. From the other analyses it was known that the government instances having important role and responsibilities to solve coordination obstacles are BAPPEDA / Badan Perencanaan Pembangunan Daerah - (Regional Planning Bureau) as well as Dinas Kelautan dan Perikanan / DKP(Marine and Fisheries Sector).
Based on the analyses of what policies should be taken by the stakeholder to solve the problems, it was known that that main priority is to increase the coordination process, having value score of 0.296. Therefore the roles of Bappeda need to be improved as planning bureau. So do the Marine and Fisheries Sector as an institution responsible for the executing of the project. The other policies should be taken hierarchically are training (0.212 score), infrastructure development (0.210), permit and fiscal (0.154), spatial plan (0.068), and environmental risk assessment (0.060).
Based on the analyses of potential and supporting policies, it was known that the model of development should be proposed is the model of scenario I. The development should be carried out through (1) agribusiness and partnership approach (like Care-Plasma relationship) in which the private as patron, (2) proper land use where the west coastal side is provided for shore and industrial areas, the east coastal side as land coastal cultivation, while the central and north side as conservation areas.
From the research result, it could be summarized that (1) The Wawonii island is more appropriate to develop as suggested in scenario I. This reason is due to the low rate of the environmental risk, the high multiplier effect of work opportunity as well as the income rise. (2) There are four stakeholders having important role with the local government as main stakeholder. (3) The main problems facing in development process is concerning with the institutional and bureaucratic level, that is the lack of coordination among the executing agencies of development. By those summaries, so the suggestion could be expressed here are: (1) Take the scenario I as development approach for Wawonii island, and the scenario should be carried out through agribusiness and partnership model (core-plasma relationship) by involving the government sector, private, and the societies. (2) Plan the spatial ground areas properly, to minimize conflict and vested interest among the agencies, also for minimizing the environmental degradation. (3) Build the integrated organization executing the development, with deciding the BAPPEDA as coordinator of planning, while Dinas Kelautan dan Perikanan as the institution responsible for the development activities."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T 10897
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liswarti Hatta
"Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang dilandasi oleh Kebijakan Keputusan Presiden (Kepres) No. 3 tahun 1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan telah berjalan sejak 1 April 1994. Program ini secara ideal adalah untuk memberdayakan kaum miskin dan desa tertinggal baik di pedesaan maupun perkotaan Dari dimensi politis program ini adalah untuk menunjukkan bahwa pembangunan adalah untuk rakyat, artinya kepedulian pemerintah terhadap kaum tertinggal (penduduk dan desa miskin) bukan sekedar slogan pembangunan. Sebuah program adalah perencanaan yang terkadang antara konsep dan pelaksanaan di lapangan berbeda, perbedaan ini dapat disebabkan oleh konsep yang terlalu sulit untuk diterapkan, pelaksana di lapangan yang tidak mampu menterjemahkan suatu konsep ataupun kedua-duanya. Pelaksanaan program IDT di desa yang menjadi lokasi penelitian menunjukkan kurangnya sinkronisasi dan pengawasan program yang ketat terutama dalam pemberian dana dari pemerintah Kurangnya sinkronisasi menunjuk pada pembangunan infrastruktur desa yang kurang diarahkan pada variabel ketertinggalan desa (dalam penentuan desa tertinggal menggunakan 27 variabel, lihat lampiran 2); kurang tanggapnya Pemerintah Daerah dalam memberikan informasi dan mempersiapkan penduduk miskin calon penerima IDT sehingga terkesan program ini hanya'membagi-bagi dana tanpa membekali calon penerima dengan manajemen pengelolaan dana yang memadai. Sedangkan pengawasan yang kurang ketat menunjuk pada kurangnya instansi terkait dari pihak pemerintah dalam memberikan pengawasan pengelolaan uang dari para penerima dana IDT atau kurang ketat dalam mengevaluasi pengguliran dana, sehingga kurang jelas tingkat keberhasilan dari kelompok-kelompok masyarakat sebagai basis penerima dana IDT.
Program IDT yang memberikan dana kepada masyarakat tertinggal di desa tertinggal sebanyak Rp. 20.000.000,- per desa/tahun dan setiap desa penerima akan menerima selama 3 tahun berturut turut jadi dalam 3 tahun (1994, 1995 dan 1996) setiap desa penerima IDT mendapatkan dana sebanyak Rp. 60.000.000,- yang langsung diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat di desa yang sengaja telah dibentuk untuk menyongsong program ini. Dari banyaknya dana tersebut, jika dikelola dengan baik akan memberikan prospek yang cerah pada setiap desa tertinggal. Pengawasan yang ketat terhadap pengelolaan dana dari setiap penerima IDT sangat diperlukan demi tercapainya program ini yakni memberdayakan masyarakat miskin. Pemberdayaan masyarakat harus mencakup segala dimensi seperti sosial, ekonomi, budaya, politik dan hukum. Artinya dimensi ekonomi lewat pemberian dana IDT kepada masyarakat tertinggal harus pula dibarengi dengan pemberdayaan dimensi lain agar sesuai dengan maksud dan tujuan pemerintah yakni pembangunan disegala bidang. Pembangunan yang berhasil apabila semua program mampu membangkitkan daya masyarakat untuk secara otonom menjadi subjek dalam pembangunan."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1996
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Dodik Umar Sidik
"Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menjelaskan bahwa dinamika masyarakat pada tingkat desa dapat terwadahi dalam tiga institusi utama yaitu Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa dan Lembaga Kemasyarakatan. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) merupakan salah satu lembaga kemasyarakatan sebagai mitra kerja pemerintah desa untuk mengelola, merencanakan dan melaksanakan pembangunan dengan menggali swadaya gotong royong masyarakat. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat merupakan pengganti dari Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan semangat otonomi daerah. Pembangunan desa merupakan upaya pembangunan yang dilaksanakan di desa dengan ciri utama adanya partisipasi aktif masyarakat dan kegiatannya meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat baik fisik material maupun mental spiritual. Untuk itu dilakukan penelitian tentang peranan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat dalam pembangunan desa di Kecamatan Bojonggede Kabupaten Bogor.
Penelitian ini ingin mengkaji dan mengungkap peranan LPM serta partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa di Kecamatan Bojonggede Kabupaten Bogor. Selain itu juga mengetahui bagaimana hubungan peranan LPM dan partisipasi masyarakat terhadap pembangunan desa, serta kontribusi pembangunan desa dalam rangka meningkatkan ketahanan daerah. Penelitian dilakukan dengan metode survey. Dilaksanakan penelitian deskriptif maupun asosiatif agar dperoleh kejelasan terhadap variabel yang diteliti. Data dikumpulkan melalui kegiatan wawancara, observasi, kuesioner dan pemanfaatan data sekunder yang selanjutnya diolah serta dianalisis dengan analisis korelasi dan regresi.
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan tingkat sedang sebesar 0,56 antara peranan LPM dan partisipasi masyarakat secara bersama-sama terhadap pembangunan desa. Peranan LPM dan partisipasi masyarakat saling mendukung dan memperkuat dalam meningkatkan pembangunan desa. Pengaruh peranan LPM dan Partisipasi masyarakat terhadap pembangunan desa dinyatakan ke dalam persamaan regresi Y = 46,67 + 0,1 X1 + 0,28 X2 untuk keperluan prediksi. Sesuai nilai koefisien determinasi (r2) = 0,32 mencerminkan bahwa 32 % variasi variabel pembangunan desa dipengaruhi oleh adanya variasi variabel peranan LPM dan partisipasi masyarakat secara simultan.
Diperoleh kesimpulan bahwa peranan LPM belum optimal dan merata diwujudkan di seluruh desa. Hal ini karena terbatasnya kemampuan pengurus LPM, kurangnya sosialisasi tugas dan fungsi LPM kepada masyarakat, kurangnya pembinaan dari Pemda serta tidak ada dukungan dana operasional. Partisipasi masyarakat lebih besar kontribusinya dari peranan LPM dalam pembangunan desa. Adanya partisipasi masyarakat tidak selalu dimotori oleh pengurus LPM, bisa oleh tokoh masyarakat lainnya sehingga menjadi tantangan bagi pengurus LPM untuk menarik dan memperoleh dukungan masyarakat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Kontribusi pembangunan desa di Kecamatan Bojonggede dalarn rangka meningkatkan ketahanan daerah di Kabupaten Bogor antara lain adanya pemahaman dan pengamalan ideologi Pancasila cukup baik oleh masyarakat, Pemilu berlangsung lancar dan pilihan kepada desa berlangsung secara demokratis, kegiatan ekonomi masyarakat cukup dinamis walaupun jumlah pengangguran, keluarga pra sejahtera cukup banyak, perubahan struktur sosial maupun gaya hidup sangat drastis akibat pengaruh kota sehingga perlu diwaspadai perkembangannya, saat ini kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat terkendali.

Act Number 32, 2004 on Local Government Stated that the community activities on the rural level conducted through three principal institutions, which are, the rural government, rural house of deliberation, and the society institution. Society Empowerment Institution (SEI) is one of the society institutions which functioned as working partner of the rural government for managing, planning and executing the development projects through the elaboration of the community's local resources. SEI is the replacement as well as continuation of the now abolished rural society resilience institution which considered being no longer relevant with the local autonomy spirit. Rural development is the effort of development which carried out in rural areas, with main characteristics of the presence of active participation from the local community and its activities are encompassing all aspects of the local community's daily life, both material and spiritual. It is in the light of the principal that this research was conducted to study the role of SEI in the rural development, in Bojonggede, regency of Bogor.
The goal of this research is to study and reveal the role of SEI, as well as the local community participation toward the rural development, and the contribution of the rural development in enhancing the regional resilience. This research was conducted by utilizing survey method. Both descriptive and associative research was used, to achieve a degree of accuracy and clarity of the variables being studied. The data were collected through interviews, observations, questioners, and the proper utilization of secondary data which were analyzed with correlation and regression analysis.
The outcome of the research indicated the existence of medium level relation 0.56 between the SET role and the community participation, which simultaneously affected the rural development. Both of the SEI role and the rural community participation are mutually supporting as well as mutually strengthening in enhancing the rural development. The influence of SEI role and community participation toward rural development are stated in the following regression equation = 46,67 + 4,lXfi + 0,28X2 for the means of prediction. According to the determination of coefficient value (?) = 0.32 indicated that the 32% variation of rural development variables was influenced by the presence of variation of simultaneous SEI role and community participation variables.
The research concluded that the SEI role has not reached its utmost optimality, and the presence throughout the rural area is still considered to be uneven. The primary causes of such condition mainly are the limited capability of the SEI personnel, the lack of socialization on the task and function of the SEI among rural community, and the lack of assistance as well as operational budget from the regional government. Currently, the contribution of community participation is still larger in comparison to the SEI role, since that traditional participation frequently do not initiated by the SEI personnel, which become a considerable challenge for the SEI to be able to attract and to win popular support in executing its task and function of developing rural area. The primary contributions of the rural development in Bogor regency are correct understanding and application of Pancasila within Bogor society, the success of the 2004 general election, as well as the local rural government executive official election, which also achieved a considerable success. The contribution also reflected in economic domain, visible from the dynamic economic activity of the society, in spite of the still quite high number in jobless persons, poor families, and the changes in both social structure as well as the way of life which drastically altered due to the urban influence which are needed' special attention. However, above all else, the condition of the local resilience, security and public order, is still in favorable term."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T20313
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diden Rostika
"Tesis ini merupakan hasil penelitian mengenai pemberdayaan masyarakat miskin, melalui Program Pengembangan -Kecamatan, di Kabupaten Sumedang, Kecamatan Tanjungsari tahun 1999-2002.
Dilatarbelakangi oleh ketidakberhasilannya program ini dalam meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat miskin, maka peneliti mencoba melakukan penelusuran terhadap proses sosialisasi ditahap perencanaan kegiatan, proses pelaksanaan kegiatan dan pemeliharaan program.
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, dengan jenis penelitian deskriptif analitik untuk menghasilkan informasi-informasi tentang proses pelaksanan program, yang diperoleh melalui informan. Pemilihan informan didahului dengan membuat theoretical sampling dan dilanjutkan dengan penarikan sample secara "snowball sampling" yang meliputi petugas, dan penerima program. Untuk mendapatkan informasi dari informan tersebut peneliti menggunakan teknik "in-depth inleruiew ", observasi dan studi dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pemberdayaan masyarakat miskin di Desa Margaluyu kurang berhasil memberdayakan masyarakat miskin. Penyelenggaraan program tidak mampu meningkatkan pendapatan ekonomi bagi masyarakat miskin, bantuan yang diberikan program terutama untuk UEP dan KSP belum cukup memberikan peluang bagi peningkatan pendapatan, penyediaan lapangan kerja, dan juga belum bisa membangun kelompok masyarakat dalam bentuk UEP atau KSP yang kuat, juga malah membuat keharmonisan sebagian masyarakat dengan aparat desa menjadi terganggu karena kecurigaan-kecurigaan masalah dana proyek.
Kegagalan ini berawal dari sosialisasi program yang kurang memasyarakat. yang berakibat pada persepsi yang berbeda, dan motivasi partisipasi yang berlainan, disini motif ekonomi sangat dominan dalam mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam program ini. Didukung oleh pendampingan yang tidak berkesinambungan, kompetensi sebagai cotmnunity worker tidak memadai dan pendamping masyarakat yang bekerja lebih berorientasi pada tugas sesuai petunjuk teknis dan petunjuk operasional bukan pada proses sehingga kurang bermanfaat bagi anggota kelompok dan anggota masyarakat pada umumnya. Juga pendekatan yang dilakukan pada proses pemberdayaan untuk mencapai.hasil yang maksimal perlu disesuaikan dengan komunitas yang ada, dalam satu komunitas ada saatnya `didekati' dengan pendekatan yang directive tetapi ada saatnya menggunakan pendekatan yang non-directive.
Pola perguliran yang dikembangkan tidak menyebarluas menjangkau sasaran yang lebih jauh, tapi membentuk kelompok-kelompok kecil yang lebih eksklusif karena hanya orang-orang tertentu dan orang-orang yang sama yang bisa menikmati pelayanan program melalui UEP.
Berbagai upaya perubahan dan perbaikan perlu dilakukan, program pemberdayaan harus dilakukan secara komprehensif dalam seluruh aspek kehidupan dengan memprioritaskan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan dengan pendekatan directive atau non-directive. Membangun perekonomian desa dengan potensi yang ada dengan memperluas jaringan kerja, membangun lembaga perekonomian seperti misalnya koperasi, guna menghimpun petani tembakau dan kelompok UEP lainnya kedalam satu wadah yang dapat mempermudah dan daya tawar menjadi transparan, menguatkan kelompok UEP agar mampu bersaing dan menumbuhkan produktifitas yang pada akhirnya dapat mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10942
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumban Gaol, Harapan
"Program IDT adalah program pemberdayaan rakyat karena jika dikaji dari visi dan misinya merupakan program khusus untuk menerapkan falsafah dasar kebijaksanaan anti-kemiskinan dengan cara mempercayai orang miskin bahwa mereka dapat mengangkat diri sendiri dengan kekuatan yang ada pada mereka. Strategi pengembangan ekonomi rakyat yang mendapat porsi sangat besar didasarkan pandangan bahwa mengembangkan ekonomi rakyat berarti mengembangkan sistem ekonomi "dari rakyat", "oleh rakyat" dan "untuk rakyat". Dengan kata lain membangun ekonomi rakyat dalam IDT juga berarti meningkatkan kemampuan rakyat dengan cara mengembangkan dan mendinamisasikan potensinya, dengan kata lain memberdayakannya.
Visi dan misi pemberdayaan yang diemban Program IDT yang merupakan program cetakbiru pemerintah dan ditujukan untuk memampukan masyarakat miskin menjadi subjek atau aktor utama pembangunan, dengan demikian memunculkan pertanyaan mengenai : dimensi-dimensi pemberdayaan apa yang terjadi dalam pelaksanaan program, bagaimana proses pemberdayaan itu dilakukan, serta sejauh manakah program IDT telah mampu memberdayakan para penduduk miskin dengan mengedepankan partisipasi dan keswadayaan mereka? Kemudian dengan adanya bukti-bukti fisik terjadinya akumulasi dan proses perguliran dana IDT di Kelurahan Galur, apakah dengan demikian juga berarti program tersebut telah mampu meletakkan suatu prakondisi yang mengedepankan basis lokalitas dan pribumisasi pembangunan yang menjadi fondasi bagi penduduk miskin mencapai kemandirian.
Latar belakang dan pertanyaan tersebut mendasari penelitian ini yang bertujuan untuk (1) mengidentifikasi dimensi-dimensi pemberdayaan yang diterapkan di dalam pelaksanaan program IDT di Kelurahan Galur, {2} mengidentifikasi bagaimana proses pelaksanaan pemberdayaan tersebut, serta {3} mengetahui sejauh mana dimensi-dimensi pemberdayaan itu diterapkan di lapangan. Penelitian ini dilaksanakan dengan metode penelitian kualitatif karena bertujuan untuk (a) mendeskripsikan dimensi-dimensi pemberdayaan yang terjadi, (b) mendapatkan makna subjektif dari pemberdayaan itu, dan (c) mendapatkan karakteristik khusus kajian yakni dimensi-dimensi pemberdayaan yang ada, serta hasilnya tidak untuk mendapatkan generalisasi.
Dalam penelitian ini telah berhasil diidentifikasi dan dideskripsikan berbagai dimensi pemberdayaan yang terjadi yakni pemberdayaan pendamping oleh pemerintah dan pemberdayaan para anggota pokmas oleh pendamping. Secara umum dapat dikatakan bahwa kadar pemberdayaan yang terjadi masih rendah walaupun berbagai target program dapat dicapai. Tercapainya target atau tujuan-tujuan antara (objectives) program dengan kadar pemberdayaan yang rendah, ternyata disebabkan oleh upaya mobilisasi yang sangat kental dalam implementasi program. Mobilisasi ini menjadi alternatif paling "tepat" dan "mendapat pembenaran" karena berbagai muatan yang terkandung dalam program. Partisipasi dan swadaya lokal yang seharusnya generator pembangunan menjadi tenggelam dan menjadi sekedar alat untuk mencapai tujuan program tadi.
Makna partisipasi dan swadaya lokal dari para pendamping dan penduduk miskin cenderung pasif, bersifat pseudo den manipulatif karena pemerintah masih berfungsi sebagai chief-protagonist atau pengambil keputusan utama. Akibatnya implementasi program di lapangan belum mampu merubah pola pembangunan klasik yang berorientasi produksi ke paradigma pembangunan berorientasi manusia dengan paradigma pembalikan dalam manajemen (reversal paradigm in management). Oleh karena itulah rekomendasi penelitian ini terutama ditujukan kepada pemerintah agar secara perlahan mengurangi peran-perannya dan mengedepankan peran, partisipasi dan swadaya pendamping dan warga lokal. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Apid Junaedi
"Kebijakan Program Pembangunan Prasarana dan Sarana Desa (P3SD) dengan pola Imbal swadaya dilaksanakan di Kabupaten Bogor sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan kesejahteraan sosial melalui penyediaan prasarana dan sarana desa yang dapat menunjang perekonomian desa dan membuka akses masyarakat terhadap pusat-pusat pelayanan.
Program ini dilaksanakan dengan pendekatan Community management sebagai upaya mengembangkan masyarakat agar mampu mengelola pelaksanaan program dari tahap persiapan sampai pada pelestarian program atau tahap pemeliharaan dan pengembangan. Untuk maksud tersebut maka diperlukan proses pemberdayaan masyarakat yang dilakukan secara instensif.
Penerapan model pengembangan masyarakat merupakan salah satu intervensi Pemerintah Kabupaten Bogor dalam proses pemberdayaan masyarakat dengan mencoba mengembangkan inisiatif, partisipasi, dan swadaya masyarakat dalam pelaksanaan program P3SD Imbal Swadaya.
Tesis ini meliputi Kebijakan Program P3SD secara umum dan penerapannya dalam model Pengembangan Masyarakat, terdiri dari tahapan pelaksanaan program dan faktor penghambat.
Pengungkapan hal tersebut dilakukan dengan penelitian yang bersifat kualitatif terhadap pelaksanaan program dilapangan dan pengumpulan data dilakukan melalui Studi Kepustakaan, Wawancara dan Observasi.
Dan hasil penelitian diperolah gambaran bahwa upaya pemberdayaan yang dilaksanakan sejak tahap persiapan sampai tahap pemeliharaan belum mencapai hasil yang optimal, karena masih terdapat kelemahan seperti masyarakat masih tergantung kepada petugas, tidak ada pembagian tugas yang jelas serta masih sulitnya masyarakat berpartisipasi dalam pemeliharaan.
Maka dalam pelaksanaannya mengalami kesulitan, keterlibatan dan partisipasi masyarakat seperti yang diharapkan baru sampai pada tahap bekerja kearah perubahan atau hanya sampai pekerjaan konstruksi fisik selesai, sementara dalam tahap berikutnya, generalisasi dan stabilisasi keterlibatan belum ada.
Adapun terminasi terjadi karena batas waktu untuk satu tahun anggaran sudah berakhir. Meskipun demikian ternyata dengan penerapan program yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat mampu memberikan hasil yang lebih baik dari sebelumnya. Khususnya bagi masyarakat dengan adanya prasarana tersebut secara ekonomi berhasil menunjang proses pemasaran hasil produksi khususnya pertanian, dan secara sosial bermanfaat bagi membuka keterisolasian masyarakat dan menimbulkan beberapa perubahan sikap seperti masyarakat sudah mulai berpikir untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.
Program ini selanjutnya terus dilaksanakan sekaligus dikembangkan secara bertahap dalam pelaksanaannya, dengan berupaya memperbaiki beberapa permasalahan seperti, meningkatkan pelaksana yaitu LPM dan aparat desa serta upaya pembagian tugas kerja, kompensasi yang lebih efektif dan seimbang."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T3306
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lasito
"Tesis ini meneliti tentang keterlibatan lembaga-lembaga desa dalam kegiatan pemhangunan dalam rangka upaya pemberdayaan masyarakat.
Pemerintah desa beserta unsur-unsurnya dan lembaga kemasyarakatan seperti (LKMI) dan lembaga adat dipandang memiliki peran tersendiri dalam pemhangunan desa. Perlunya lembaga-lemhaga desa itu terkait erat dengan mekanisme yang dijalankan pemerintah dalam menyampaikan program pembangunan kepada masyarakat dengan memanfaatkan kelembagaan yang ada.
Pada sisi yang lain lembaga-lembaga itu sudah dikenal oleh masyarakat sehingga akan menjamin partisipasi aktif masyarakat. Ditinjau dari segi pemberdayaan, lembaga-lembaga itu merupakan bentuk representasi masyarakat. Relevan dengan itu, penelitian ini akan mengkaji heherapa program dan kegiatan pembangunan, baik yang bersumher dari pemerintah maupun swadaya masyarakat di Desa Sami, Kabupaten Sanggau Propinsi Kalimantan Barat.
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Tujuannya untuk mendeskripsikan karakteristik dari pelaksanaan pembangunan desa dalam kerangka upaya pembeerdayaan masyarakat dan mcngetahui kondisi dari lembaga-lembaga desa yang ada. Data diperoleh dengan wawancara kepada sepuluh informan penting di lokasi penelitian ditambah dengan studi data sekunder dan observasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T3926
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>