Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19452 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tamon, Max Laurens
"Minahasa adalah salah satu Kabupaten Daerah Tingkat II di Sulawesi Utara. Kultur masyarakat Minahasa telah membentuk sistem kehidupan masyarakatnya. Kata Mina'esa yang akhirnya menjadi Minahasa yang berarti "tanah yang dipersatukan", adalah sebutan lain dari "Musyawarah Para Ukung" (Vergadering der Doopshoofden) atau "Dewan Wali Pakasaan" (Raad der Doopshoofden). Dewan ini merupakan "lembaga" tertinggi dalam masyarakat Minahasa yang bertahan hingga akhir abad ke-19.
Dewan Wali Pakasaan dalam fungsinya, dapat menangani berbagai permasalahan yang muncul, utamanya seperti konflik dalam masyarakat Selain itu, lembaga ini berfungsi sebagai sarana untuk menampung aspirasi yang datangnya dari masyarakat serta yang terpenting lagi, lembaga ini dapat melawan apa yang disebut "musuh bersama" yaitu bajak laut Mindanao.
Adat-istiadat/tradisi, selalu menjadi dasar bertindak lembaga ini, karena setiap musyawarah dan apa yang dihasilkan dalam musyawarah itu, selalu didasarkan atas prinsip kebersamaan, yaitu prinsip Mina'esa.
Idealisme L Wenzel selaku Residen pertama di Keresidenan Manado sejak tahun 1824, yang mengedepankan adaptasi program pemerintahannya dengan tradisi Minahasa, tidak terwujud. Wenzel sebaliknya menerapkan sistem pemerintahannya itu dengan mengacu pada sistem hukum Barat, yang secara nyata bertentangan dengan kultur Minahasa.
Kondisi yang diciptakan Wenzel tambat laun menjadi pemicu bagi masyarakat Minahasa, khususnya bagi mereka yang telah berpendidikan Barat, untuk menuntut kepada pemerintah Hindia Belanda agar memberikan otonomi seluas-luasnya bagi Minahasa. Alasannya, pertama, telah ada undang-undang desentralisasi (decentralisatieweb) 1903 tentang otonomisasi di Hindia Belanda; kedua, kuatnya "dorongan" tradisi Mina'esa bagi masyarakat Minahasa; ketiga, walaupun ada beberapa orang anak Minahasa yang duduk sebagai anggota Volksmad, akan tetapi kepentingan Minahasa tidak terakomodasi dalam lembaga itu. Tiga hal inilah yang telah menjadi faktor penentu, sehingga pada tahun 1919, lahirlah apa yang disebut Minahasa Raad (Dewan Minahasa), yang menggantikan fungsi dari Dewan Wali Pakasaan yang telah diselewengkan oleh J.Wenzel dan para penggantinya sepanjang pemerintahannya di Hindia, khususnya di Minahasa.

From Mina'esa to Minahasa Raad (Minahasa Council) the end of Nineteenth Century to the Early of the Twentieth CenturyMinahasa is one the counties in North Sulawesi. The culture of Minahasan society has formed and built their systems and ways of lives. "Minahasa" another name for Vergadering der Doopshoofden (The Forum of the Llkungs) or Rued der Doopshoofden (The Council of Pakasaan). This council was the highest representative in Minahasan society which last until the end of the nineteenth century.
In its function, the council of Pakasaan could overcome kindsof problems such as conflicts which emerged from the people. Furthermore, this council was the place where the people could convey their voices and the most important thing it could fight against the pirates coming from Mindanao that was known as "the enemy of all the Minahasan people".
The customs and the traditions of the people were always the basic principle for the council in taking any decision for the sake of the people. Thus all the results taken this council always reflected their unity and togetherness. This basic principle known as the philosophy of Mina'esa.
Since 1824, J. Wenzel became the first resident in the residence of Manado. As the resident, Wenzel ran his government by applying the mixing of traditions in Minahasa with his own administration program, but unfortunately it did not work. On the other hand, Wenzel ran his government administration system by putting priority on the western law, which obviously contradicted to the culture of Minahasan people.
The condition created by Wenzel eventually became the major source for the Minahasan people especially for those who had received western education to sue their right for governing their own land, claiming the autonomy from the Dutch government. The Minahasan had three reasons for their claim; first, they had already got the law for decentralization (decentralisatieweb) in 1903 which was about the autonomy in Netherlands Indies; second the strong will to conservate the Mina'esa's tradition for the Monaha_san people; third the lack of ability of the Minahasan people who sat in the representative to fight for the sake of Minahasan people. These three reasons became the basic affect that in 1919 they gave birth to the founding of Minahasa Raad (Minahasan Council) which replaced the Pakasaan Council which had been misled by Wenzel and also those who took over his position during his government in Netherlands Indie especially in Minahasa.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T9484
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arum Puspita Windiantari
"Wilayah Amerika Serikat bagian Selatan pada masa sebelum Perang Saudara dikenal sebagai daerah perkebunan yang sangat luas dengan para budak sebagai pekerjanya dan perindustrian di wilayah ini berkembang sangat lamban. Namun, setelah dua puluh tahun perang berakhir dan perbudakan telah dihapuskan dari seluruh wilayah Amerika Serikat, wilayah Selatan telah berkembang menjadi wilayah yang maju dalam bidang industri, pertanian, politik, pendidikan dan lain sebagainya. Wilayah Selatan pun memasuki suatu masa baru yang penuh dengan perubahan di berbagai bidang kehidupan, yaitu masa New South yang pada awalnya berupa konsep yang dipopulerkan oleh Henry W. Grady pada pertemuan New England Society, New York, tahun 1886. Perkembangan satu bidang kehidupan di Selatan telah memberikan pengaruh kepada bidang lainnya. Kemajuan dalam teknik pertanian di Selatan telah membuat produksi pertanian mengalami peningkatan mencapai dua kali lipat dari masa sebelum perang seperti kapas, tembakau, sayur serta buah-buahan. Peningkatan produksi ini menyebabkan melimpahnya bahan baku utama untuk bidang industri, seperti produksi kapas yang mengalami peningkatan menyebabkan industri tekstil pun berkembang di Selatan. Selain industri tekstil, industri besi dan baja juga berkembang sangat pesat dengan Birmingham, Alabama, sebagai kota penghasil besi terbesar di Selatan yang memberikan ancaman bagi industri besi di wilayah Amerika Serikat bagian Utara. Berkembangnya bidang industri di Selatan telah rnemberikan dampak kepada kota-kota di Selatan, yang tumbuh dan berkembang sangat cepat. Puluhan kota baru muncul dan tumbuh di Selatan seiring dengan bertambahnya jumlah populasi penduduk di Selatan karena banyaknya pendatang baru untuk mencari peruntungan di Selatan. Dampaknya kemudian juga terjadi dalam bidang perdagangan dengan banyaknya toko-toko yang dibangun di kota-kota yang baru tumbuh tersebut. Sebagai wilayah yang sedang berkembang maka Selatan memerlukan sarana transportasi untuk menunjang kelancaran hubungan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya di Selatan. Oleh karena itu, banyak dibangun lintasan-lintasan kereta api yang menyebabkan pernintaan terhadap besi meningkat sehingga industri besi meningkat di Selatan. Peningkatan dari bidang industri, pertanian, lintasan-lintasan kereta api, kota-_kota baru yang tumbuh telah mengakibatkan perekonomian wilayah Selatan berkembang dengan pesat dibandingkan dengan masa Perang Saudara maupun masa Rekonstruksi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S12128
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukron Faisal
Depok: Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S54257
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Watupongoh, Geraldine Y. J. Manoppo
"This thesis is an attempt to analyze and describe the Malay language used in Tjahaja Sijang, the first newspaper in Minahasa in the 19th century. Minahasa, the far end of the Northeastern peninsula of Celebes (Sulawesi) possessed eight indigenous languages, but for particular reasons Malay was used in church and school. At that time people knew two varieties of Malay. The literary variety was used in school and in church by the Protestant missionaries in the interior mountainous areas, where-as the colloquial one was used as contact language at the coastal areas. With the growing traffic between the two language societies, mutual interference was likely to happen, creating a third variety. As the contributing writers represented all levels of the Minahasaa society and language groups, the language of this newspaper is assumed to reflect the Malay varieties used during its thirty one years-of publication-(1$69-1900). The entire discussion is divided in seven chapters. Chapter I gives the rationale, objectives and significance of the project; the research methodology; the data; some information about Minahasa: its land,- its people and their language, religion and government. A brief historical account of the socio cultural and political background is given in Chapter II, to explain the historical influences and foreign cultures that had contact with the Minahasans. Chapter III attempts to trace the development of Malay and its varieties and to describe the literary and colloquial varieties' in Tjahaja Sijang. The third variety is separately discussed in Chapter IV. Chapter V focuses on the foreign lexical influence, and Chapter VI tries to explain the spelling system. Findings and conclusions are stated in Chapter VII. Lists of loanwords and samples of translated texts in Malay are in the Appendices."
Depok: Universitas Indonesia, 1983
D203
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Nur
"Sebelum abad ke-19 pantai barat Sumatera berada dalam kekuasaan Aceh. Kekuatan Aceh sangat dirasakan di setiap bandar dengan menempatkan Wakil Raja Aceh yang bergelar Panglima Aceh. Kehadiran kekuatan Aceh di kawasan pesisir barat ditanggapi oleh penduduk setempat dengan pro dan kontra. Bagi yang pro, mereka mendukung keberadaan Panglima Aceh di setiap bandar, sebab sebagian dari oray,g Aceh telah menjadi penduduk setempat dan berketurunan. Namun kadang_kadang para Panglima sering berbuat semena-mena terhadap penduduk dengan memonopoli perdagangan lada dan bahan komoditi lainnya. Para Wakil Aceh melarang penduduk berdagang dengan pedagang lain selain orang Aceh. Jika ada yang tidak mentaati peraturan itu, orang Aceh tidak segan-segan memukul atau menganiaya orang yang berani berdagang dengan pedagang lain. Faktor inilah yang menyebabkan penduduk berusaha menolak para Wakil Aceh yang ganas itu dan berusaha mencari hubungan dengan pedagang Eropa. Para Wakil Aceh juga menjadi penghalang masuknya pedagang Eropa ke pantai barat Sumatera, seperti Inggris dan Belanda. Pada abad ke-18 beberapa bandar di pesisir barat telah menolak para penguasa Aceh. Kebetulan ketika itu posisi Aceh memang telah lemah setelah tidak adanya kekuatan Raja Aceh yang melanjutkan jejak Sultan Iskandar Muda yang terkenal. Kondisi yang demikian menguntungkan bagi para pedagang Eropa."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
D1769
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dana Listiana
Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013
959.8 DAN t (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Carpentier, Jean
Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2011
944.04 CAR s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Carpentier, Jean
Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2017
944.04 CAR s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
G. Moedjanto
Yogyakarta: Kanisus, 1988
959.8 MOE i I
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Q. Reynaldo Regent Effendy
"Penelitian ini merupakan upaya rekonstruksi Stasiun Kereta Api Sukabumi, Jawa Barat, pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 dalam perspektif arkeologi industri. Kajian arkeologi industri adalah salah satu kajian arkeologi yang menekankan interpretasi pada tinggalan industri masa lampau dengan memberikan konteks sosial, ekonomi, dan teknologi. Metode penelitian yang digunakan meliputi pengumpulan data, pengolahan data, analisis data (analisis bentuk dan kontekstual), dan interpretasi. Hasil penelitian ini adalah kegiatan operasional perkeretaapian di dalam Stasiun Kereta Api Sukabumi berdasarkan hubungan keletakan antar bangunan. Pada stasiun ini juga menggambarkan adanya pembagian kelas sosial penumpang. Stasiun ini berperan dalam perantara mobilisasi masyarakat dan distribusi barang serta komoditi perkebunan teh sekitar. Stasiun ini juga andil dalam industri pariwisata di Sukabumi. Keberadaan stasiun ini juga memberikan kemudahan bagi masyarakat pada masa Hindia Belanda yang hendak ke Kota Sukabumi.

This research is an effort to reconstruct the Sukabumi Railway Station, West Java, in the late 19th to early 20th centuries in industrial archaeology perspective. The study of industrial archeology is one of the archaeological studies that emphasizes the interpretation of the industrial heritage of the past by providing social, economic, and technological contexts. The research method used includes data gathering, data processing, data analysis (form and contextual analysis), and interpretation. The results of this study are the railway operational activities in the Sukabumi Railway Station based on the location relationship between buildings. At this station also illustrates the existence of a social class division of passengers. This station has a role in community mobilization and distribution of goods and commodities from surrounding tea plantations. This station also has role in the tourism industry in Sukabumi. The existence of this station made easy for people during the Dutch East Indies era who wanted to go to Sukabumi City.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>