Ditemukan 111642 dokumen yang sesuai dengan query
Muridan Satrio Widjojo
"Di bawah tekanan kondisi obyektif keberadaan PT Freeport Indonesia, program pembangunan pemerintah, dan juga operasi militer TM di wilayah Amungme sejak 1967 dan 1970-an, Amungme berjuang untuk mempertahankan keberadaan dan memperoleh pengakuan dari internal Amungme maupun dari pihak luar. Sebelum Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (LEMASA) berdiri pada 1994 perjuangan Amungme bersifat spontan individual. Kalau pun dalam kelompok sifatnya tidak terorganisasi. Strategi-strategi yang diterapkan secara dominan didasarkan pada habitus tradisional Amungme dan hasilnya justru lebih banyak merugikan Amungme.
Sejak akhir 1980-an lapisan terdidik Amungme yang berdomisili di Timika dan Jayapura berinisiatif membuat lembaga adat, yaitu LEMASA yang berdiri pada 1994. Dalam perjuangannya memperoleh modal simbolis yakni pengakuan dan legitimasi baik secara internal maupun eksternal, Amungme memperbaharui dan memanfaatkan "adat" untuk membangun lembaga berbasis suku bangsa yang terbukti mampu mempersatukan dan memperjuangkan kepentingan Amungme. Solidaritas Amungme dapat dibangun kembali dan konflik berplatform separatis digeser menjadi masalah hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Dalam hubungannya dengan pihak luar Amungme membuka diri dan bekerjasama dengan pihak luar. Kemampuan Amungme untuk selalu mengembangkan strategi barunya diuntungkan oleh sejumlah unsur di dalam habitus habitus tradisional Amungme yang menempatkan pengetahuan dan kearifan sebagai nilai tertinggi serta terbuka pada kerjasama dengan pihak lain."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T9876
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
"Penelitian ini mengkaji fitur dan dinamika sistem kekerabatan perkawinan dalam realitas sosial budaya kelompok etnis Manggarai (KEM). Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian deskriptif...."
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Yusup Salam
"Masalah premanisme dan kondisi tata ruang yang tidak beraturan di Pasar Tanah Abang seolah telah menjadi masalah yang tidak berujung, masalah tersebut tidak bisa hanya diliahat dari pengaruh aspek fisik namun juga perlu dilihat pengaruh dari aspek interaksi sosial yang ada di dalamnya, terutama kelompok etnik Betawi dan Cina yang merupakan kelompok etnik yang dominan di Tanah Abang karan perjalanan sejarah terbentuknya Tanah Abang yang terikat dengan dua kelompok etnik tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif studi kasus, dengan menganalisis secara mendalam interaksi sosial yang dilakukan kelompokn etnik Betawi dan Cina di pasar Tanah Abang serta faktor apa saja yang mempengaruhi munculnya masalah premanisme dan perubahan penggunaan lahan di Tanah Abang. Ditemukan bahwa etnik Cina memiliki pengaruh yang cukup besar atas penataan ruang yang tidak beraturan di pasar Tanah Abang karna telah memberikan dampak perubahan penggunaan lahan di kawasan sekitar pasar Tanah Abang, sementara etnik Betawi telah memberikan pengaruh besar terhadap muncul masalah premanisme di Tanah Abang karna adanya pola intekasi bisnis keamanan dengan para pedagang dan pemilik bisnis di Tanah Abang.
The problem of thuggery and irregular spatial conditions at Tanah Abang Market seems to have become an endless problem, this problem cannot only be seen from the influence of the physical aspect but also needs to be seen from the influence of the aspects of social interaction in it, especially the Betawi ethnic group and The Chinese are the dominant ethnic group in Tanah Abang because of the historical course of the formation of Tanah Abang which is tied to the two ethnic groups. This study uses a qualitative case study approach, by analyzing in depth the social interactions carried out by ethnic Betawi and Chinese groups in the Tanah Abang market and what factors influence the emergence of the problem of thuggery and changes in land use in Tanah Abang. It was found that the Chinese ethnicity had a considerable influence on the irregular spatial planning at the Tanah Abang market because it had an impact on changes in land use in the area around the Tanah Abang market, while the Betawi ethnicity had a major influence on the emergence of thuggery problems in Tanah Abang due to the pattern of security business integration with traders and business owners in Tanah Abang."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Achmadi Jayaputra
Jakarta: Departemen Sosial, 2005
301.451 ACH
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Muhammad Nur Ichsan Azis
"Tulisan ini mendeskripsikan orang-orang Arab di Manado, baik sebagai etnis, pelaku niaga, hingga orang yang berpengaruh pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Etnis Arab tergolong masyarakat yang aktif dalam kegiatan perdagangan, terutama pada perpindahan komoditas hingga pertengahan abad ke-20. Mereka menjadi salah satu etnis yang memainkan beberapa peran penting dalam struktur masyarakat Nusantara, termasuk di Manado. Aktivitas tersebut memengaruhi proses perpindahan penduduk, diaspora, pembentukan identitas, dan poros jejaring niaga menjelang awal abad ke-20. Manado menjadi kawasan strategis yang menghubungkan beberapa bandar utama dan kecil untuk para pedagang Arab. Tulisan ini menggunakan metode sejarah untuk meneliti komunitas Arab yang masih bertahan sampai sekarang. Diaspora etnis Arab ke Manado mendorong kekuatan orang-orang Arab di Nusantara. Jejaring yang terbentuk berdampak pada pembentukan identitas agama yang melekat pada etnis Arab di Manado menjelang awal abad ke-20 M. Salah satu faktor pendorong kekuatan etnis Arab adalah perekonomian yang mampu memanfaatkan ruang di antara para pelaku niaga lainnya. Akibatnya, mereka menjadi kekuatan baru di awal abad ke-20 yang mampu menarik perhatian penduduk setempat untuk tetap menjalin relasi.
This paper describes the Arab people in Manado, as ethnic groups, traders and influential people in the late 19th century to the early 20th century. The Arabs were classified as people who are active in trading activities, especially in the shift of commodities, until the mid-20th century. They were one of the ethnic groups that play several important roles in the structure of Indonesian society, including in Manado. These activities influenced the process of population movement, diaspora, identity formation, and the axis of commercial networks towards the beginning of the 20th century. Manado was a strategic area that connected several major and small cities for Arab traders. This paper used historical methods to examine Arab communities that still survive today. The diaspora of the Arabs to Manado strengthen the Arabs in Indonesian archipelago. The network that was formed had an impact on the religious identity attached to the Arabs in Manado towards the early 20th century AD. One of factors driving the power of the Arabs was the economy which can take advantage of the space among other business actors. As a result, they became a new force in the early 20th century that they were able to attract local people’s attention to stay connected."
Kalimantan Barat : Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2020
900 HAN 4:1 (2020)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Rhenald Kasali
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998
650.1 RHE t
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Muhammad Reza Palevi
"[
ABSTRAKTingginya jumlah kekerasan kolektif dalam konflik antar kelompok etnis di Lampung menimbulkan kerugian nyawa dan materiil yang tidak sedikit. Pengaruh kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan yang terdapat di masyarakat menjadi pendorong timbulnya kekerasan kolektif. Penulisan tentang konflik yang terjadi antara kelompok etnis Lampung dan kelompok etnis Bali yang terjadi di desa Balinuraga ini menempatkan gejala tersebut dalam konteks tingkah laku kekerasan kolektif menggunakan model analisis dari teori tingkah laku kolektif oleh Smelser. Hasil analisa penulisan ini menunjukkan adanya faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan kolektif antar kelompok etnis Lampung dan kelompok etnis Bali di desa Balinuraga. Faktor tersebut berupa, faktor kondusifitas struktural akibat persaingan ekonomi dan ketidakadilan yang menimbulkan ketegangan struktural. Ketegangan ini menjadi sebuah keyakinan yang kemudian disebarluaskan dan dipertegas dengan adanya faktor peristiwa pencetus, sehingga mendorong upaya mobilisasi secara kolektif. Upaya pencegahan dari aparat pengendali sosial yang tidak maksimal menyebabkan kekerasan kolektif semakin meluas.
ABSTRACTThe high rate of collective violence in the inter-ethnic groups conflicts in Lampung causes significant loses. Economic gap and injustice are the driving force behind the collective violenc. This paper will elaborate conflicts between Lampung and Bali ethnic group in Balinuraga and places the phenomenom in the context of collective violence by using analysis model of Smelser?s Collective Behaviour Theory. The analysis shows factor that lead to collective violence between Lampung and Bali ethnic group in Balinuraga. Those factors are included structural conduciveness as the result of economic competitiveness and injustice which cause structural tension. This tension has turned into conviction that is sisseminated and reinforced by events that drive collective mobilisation. Prevention efforts by social controlling apparatus have ot been optimal and thus causes further collective violence., The high rate of collective violence in the inter-ethnic groups conflicts in Lampung causes significant loses. Economic gap and injustice are the driving force behind the collective violenc. This paper will elaborate conflicts between Lampung and Bali ethnic group in Balinuraga and places the phenomenom in the context of collective violence by using analysis model of Smelser’s Collective Behaviour Theory. The analysis shows factor that lead to collective violence between Lampung and Bali ethnic group in Balinuraga. Those factors are included structural conduciveness as the result of economic competitiveness and injustice which cause structural tension. This tension has turned into conviction that is sisseminated and reinforced by events that drive collective mobilisation. Prevention efforts by social controlling apparatus have ot been optimal and thus causes further collective violence.]"
2015
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Daniel Kurniawan
"Fokus dari studi literatur ini adalah tentang hubungan antar suku bangsa di Indonesia. Dengan menggunakan perspektif antropologi secara khusus studi ini membahas tentang relasi etnis Tionghoa dengan kelompok etnik lainnya di Indonesia. Etnis Tionghoa adalah kelompok etnis yang telah lama datang dan bermukim di Indonesia. Namun dalam masa yang cukup panjang kelompok etnis Tionghoa mengalami diskriminasi dan tidak diperlakukan secara sebagai warga negara. Relasi Etnis Tionghoa dengan kelompok masyarakat lainnya dipengaruhi oleh kebijakan rasial pemerintah Belanda yang menggolongkan etnis Tionghoa di Indonesia sebagai orang asing. Kolonial Belanda memberlakukan etnis Tionghoa sebagai seorang yang ahli dalam berdagang dan berorientasi dalam bidang ekonomi. Puncak diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, terjadi di masa presiden Soeharto dengan menerapkan kebijakan asimilasi yang melarang semua kegiatan berbahasa mandarin dan menganjurkan ganti nama. Setelah era Reformasi sejak 1998, etnis Tionghoa dapat merasakan kemerdekaannya berekspresi terutama setelah presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur kembali memperbolehkan etnis TIonghoa untuk merayakan imlek dan menunjukkan identitasnya. Tulisan ini berbentuk bibliografi beranotasi dan ingin memahami signifikansi studi dengan konteksnya saat ini.
This literature study focus on the relationship between ethnic groups in Indonesia. Using an anthropological perspective as an analytical lens, this study specifically discusses the relationship between the Chinese ethnicity and other ethnic groups in Indonesia. Ethnic Chinese group has been settled in Indonesia long before the European. However, for a long time the Chinese ethnic group in Indonesia experienced discrimination and were not treated as a full citizen. the Dutch racial policy which classifies ethnic Chinese in Indonesia as foreigners has shaped the relationship between Ethnic Chinese relations with other Indonesian ethnic groups. The Dutch colonial also regarded the Chinese group as an expert in trade and economic activities. The peak of this discrimination against ethnic Chinese occurred during the Soeharto era by implementing an assimilation policy that prohibited all Mandarin speaking activities and recommended Chinese people to change their mandarin names. After the Reformation era since 1998, the Chinese have been able to feel their freedom of expression, especially after President Abdurrahman Wahid or Gusdur allowed the Chinese to celebrate Chinese New Year and show their ethnic attribute and identities. This paper is in the form of a annotated bibliographic and wants to explore the significant of the finding with today context"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Eko Purwito Hidayat
"Konflik horizontal di Poso Sulawesi Tengah yang terjadi dalam kurun waktu 1998-2001 mengakibatkan perubahan tatanan sosial dalam masyarakat Poso. Penelitian ini ingin melihat proses-proses komunikasi antar budaya masyarakat Pamona dan Bugis pasca konflik khususnya manajemen konflik, proses facework dalam negosiasi wajah, identitas, stereotipe, prasangka dan etnosentrisme serta aspek-aspek sosial, ekonomi dan budaya dalam interaksinya. Dengan paradigma interpretif, pendekatan kualitatif dan metoda etnografi dimana peneliti terjun langsung dan tinggal bersama-sama masyarakat Poso di beberapa daerah. Pada proses negosiasi dan rekonsiliasi konflik jika dilihat menggunakan face negotiation theory maka kedua komunitas cenderung bersifat kolektivistik dan menyelesaikan konflik dengan menjaga ‘wajah’ kelompok lainnya. Gaya penyelesaian konflik antar kedua komunitas cenderung sebagian menggunakan compromising style, pasca konflik justru negosiasi yang banyak digunakan adalah avoiding style. Stereotipe, Prasangka dan Etnosentrisme yang berkembang dari masing-masing kelompok dapat menjadi hambatan dalam proses-proses komunikasi antar budaya serta kerentanan dan kerawanan akan potensi konflik berikutnya.
Horizontal conflicts in Poso, Central Sulawesi, which occurred in the period 1998-2001 resulted in changes in the social order in the society Poso. This study wanted to see the processes of intercultural communication between Pamona society and Bugis post-conflict especially conflict management, negotiation process in the face facework, identity, stereotypes, prejudice and ethnocentrism as well as social aspects, economic and cultural interaction. Using interpretive paradigm, qualitative approaches and of ethnography method, the researcher directly involved and lived together people of Poso in some areas. In the negotiation process and conflict reconciliation when viewed using face negotiation theory, the two communities tend to be collectivistic and resolve conflicts by keeping the 'face' of others. Style of conflict resolution between the two communities tend to mostly use the compromising style, post-conflict negotiations are widely used it is avoiding style. Stereotypes, prejudice and ethnocentrism that developed from each group can be a bottleneck in the processes of intercultural communication as well as the vulnerability and insecurity will be the next potential conflict."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T35566
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Anwar Muhammad
"Penelitian ini membahas tentang adanya pembentukan identitas etno-regionalisme pada saat pemberlakuan suatu kebijakan homogenisasi budaya oleh negara. Kebijakan tersebut dikenal dengan sebutan Thaification. Thaification lahir sebagai sebutan dari beberapa kebijakan yang bertujuan untuk menciptakan kesatuan identitas politik berbagai kelompok etnis yang tinggal di seluruh wilayah Thailand dengan menjadikan identitas Thai sebagai rujukannya. Pada awalnya Thaification merupakan insiatif Raja Chulalongkorn untuk membentuk nasionalisme yang dianggap lebih modern di Thailand, diteruskan pada rezim Perdana Menteri Phibunsongkhram dengan mengeluarkan kebijakan dengan sebutan Ratthaniyom.
Penulis memfokuskan tulisan ini kepada etnis Lao-Isan yang menjadi salah satu target utama dari Thaification. Penulis akan membahas tentang geliat identitias masyarakat Lao-Isan dalam menghadapi Thaification yang cenderung menerima Thaification. Penulis berasumsi bahwa penerimaan tersebut karena adanya kepentingan mereka secara ekonomi, politik dan budaya. Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis membuktian asumsi tersebut.
This study discusses the formation of ethno-regionalism identity at the time of implementing a policy of cultural homogenization by the state. This policy is known as Thaification. Thaification was born as a term of several policies aimed at creating the unity of political identity of various ethnic groups living in all regions of Thailand by making Thai identity a reference. In the beginning, Thaification was King Chulalongkorn's initiative to form a nationalism that was considered more modern in Thailand, continued on by the regime of Prime Minister Phibunsongkhram by issuing policies as Ratthaniyom.The author focuses on this paper to Lao-Isan ethnic which is one of the main targets of Thaification. The author will discuss about stretching the identity of the Lao-Isan community in the face of Thaification which tends to accept Thaification. the authors assume that this acceptance is due to their economic, political and cultural interests. Therefore in this study the authors prove these assumptions."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library