Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 98430 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muridan Satrio Widjojo
"Di bawah tekanan kondisi obyektif keberadaan PT Freeport Indonesia, program pembangunan pemerintah, dan juga operasi militer TM di wilayah Amungme sejak 1967 dan 1970-an, Amungme berjuang untuk mempertahankan keberadaan dan memperoleh pengakuan dari internal Amungme maupun dari pihak luar. Sebelum Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (LEMASA) berdiri pada 1994 perjuangan Amungme bersifat spontan individual. Kalau pun dalam kelompok sifatnya tidak terorganisasi. Strategi-strategi yang diterapkan secara dominan didasarkan pada habitus tradisional Amungme dan hasilnya justru lebih banyak merugikan Amungme.
Sejak akhir 1980-an lapisan terdidik Amungme yang berdomisili di Timika dan Jayapura berinisiatif membuat lembaga adat, yaitu LEMASA yang berdiri pada 1994. Dalam perjuangannya memperoleh modal simbolis yakni pengakuan dan legitimasi baik secara internal maupun eksternal, Amungme memperbaharui dan memanfaatkan "adat" untuk membangun lembaga berbasis suku bangsa yang terbukti mampu mempersatukan dan memperjuangkan kepentingan Amungme. Solidaritas Amungme dapat dibangun kembali dan konflik berplatform separatis digeser menjadi masalah hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Dalam hubungannya dengan pihak luar Amungme membuka diri dan bekerjasama dengan pihak luar. Kemampuan Amungme untuk selalu mengembangkan strategi barunya diuntungkan oleh sejumlah unsur di dalam habitus habitus tradisional Amungme yang menempatkan pengetahuan dan kearifan sebagai nilai tertinggi serta terbuka pada kerjasama dengan pihak lain."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T9876
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penelitian ini mengkaji fitur dan dinamika sistem kekerabatan perkawinan dalam realitas sosial budaya kelompok etnis Manggarai (KEM). Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian deskriptif...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yusup Salam
"Masalah premanisme dan kondisi tata ruang yang tidak beraturan di Pasar Tanah Abang seolah telah menjadi masalah yang tidak berujung, masalah tersebut tidak bisa hanya diliahat dari pengaruh aspek fisik namun juga perlu dilihat pengaruh dari aspek interaksi sosial yang ada di dalamnya, terutama kelompok etnik Betawi dan Cina yang merupakan kelompok etnik yang dominan di Tanah Abang karan perjalanan sejarah terbentuknya Tanah Abang yang terikat dengan dua kelompok etnik tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif studi kasus, dengan menganalisis secara mendalam interaksi sosial yang dilakukan kelompokn etnik Betawi dan Cina di pasar Tanah Abang serta faktor apa saja yang mempengaruhi munculnya masalah premanisme dan perubahan penggunaan lahan di Tanah Abang. Ditemukan bahwa etnik Cina memiliki pengaruh yang cukup besar atas penataan ruang yang tidak beraturan di pasar Tanah Abang karna telah memberikan dampak perubahan penggunaan lahan di kawasan sekitar pasar Tanah Abang, sementara etnik Betawi telah memberikan pengaruh besar terhadap muncul masalah premanisme di Tanah Abang karna adanya pola intekasi bisnis keamanan dengan para pedagang dan pemilik bisnis di Tanah Abang.

The problem of thuggery and irregular spatial conditions at Tanah Abang Market seems to have become an endless problem, this problem cannot only be seen from the influence of the physical aspect but also needs to be seen from the influence of the aspects of social interaction in it, especially the Betawi ethnic group and The Chinese are the dominant ethnic group in Tanah Abang because of the historical course of the formation of Tanah Abang which is tied to the two ethnic groups. This study uses a qualitative case study approach, by analyzing in depth the social interactions carried out by ethnic Betawi and Chinese groups in the Tanah Abang market and what factors influence the emergence of the problem of thuggery and changes in land use in Tanah Abang. It was found that the Chinese ethnicity had a considerable influence on the irregular spatial planning at the Tanah Abang market because it had an impact on changes in land use in the area around the Tanah Abang market, while the Betawi ethnicity had a major influence on the emergence of thuggery problems in Tanah Abang due to the pattern of security business integration with traders and business owners in Tanah Abang."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmadi Jayaputra
Jakarta: Departemen Sosial, 2005
301.451 ACH
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rhenald Kasali
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998
650.1 RHE t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Nur Ichsan Azis
"Tulisan ini mendeskripsikan orang-orang Arab di Manado, baik sebagai etnis, pelaku niaga, hingga orang yang berpengaruh pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Etnis Arab tergolong masyarakat yang aktif dalam kegiatan perdagangan, terutama pada perpindahan komoditas hingga pertengahan abad ke-20. Mereka menjadi salah satu etnis yang memainkan beberapa peran penting dalam struktur masyarakat Nusantara, termasuk di Manado. Aktivitas tersebut memengaruhi proses perpindahan penduduk, diaspora, pembentukan identitas, dan poros jejaring niaga menjelang awal abad ke-20. Manado menjadi kawasan strategis yang menghubungkan beberapa bandar utama dan kecil untuk para pedagang Arab. Tulisan ini menggunakan metode sejarah untuk meneliti komunitas Arab yang masih bertahan sampai sekarang. Diaspora etnis Arab ke Manado mendorong kekuatan orang-orang Arab di Nusantara. Jejaring yang terbentuk berdampak pada pembentukan identitas agama yang melekat pada etnis Arab di Manado menjelang awal abad ke-20 M. Salah satu faktor pendorong kekuatan etnis Arab adalah perekonomian yang mampu memanfaatkan ruang di antara para pelaku niaga lainnya. Akibatnya, mereka menjadi kekuatan baru di awal abad ke-20 yang mampu menarik perhatian penduduk setempat untuk tetap menjalin relasi."
Kalimantan Barat : Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2020
900 HAN 4:1 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Kurniawan
"Fokus dari studi literatur ini adalah tentang hubungan antar suku bangsa di Indonesia. Dengan menggunakan perspektif antropologi secara khusus studi ini membahas tentang relasi etnis Tionghoa dengan kelompok etnik lainnya di Indonesia. Etnis Tionghoa adalah kelompok etnis yang telah lama datang dan bermukim di Indonesia. Namun dalam masa yang cukup panjang kelompok etnis Tionghoa mengalami diskriminasi dan tidak diperlakukan secara sebagai warga negara. Relasi Etnis Tionghoa dengan kelompok masyarakat lainnya dipengaruhi oleh kebijakan rasial pemerintah Belanda yang menggolongkan etnis Tionghoa di Indonesia sebagai orang asing. Kolonial Belanda memberlakukan etnis Tionghoa sebagai seorang yang ahli dalam berdagang dan berorientasi dalam bidang ekonomi. Puncak diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, terjadi di masa presiden Soeharto dengan menerapkan kebijakan asimilasi yang melarang semua kegiatan berbahasa mandarin dan menganjurkan ganti nama. Setelah era Reformasi sejak 1998, etnis Tionghoa dapat merasakan kemerdekaannya berekspresi terutama setelah presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur kembali memperbolehkan etnis TIonghoa untuk merayakan imlek dan menunjukkan identitasnya. Tulisan ini berbentuk bibliografi beranotasi dan ingin memahami signifikansi studi dengan konteksnya saat ini.

This literature study focus on the relationship between ethnic groups in Indonesia. Using an anthropological perspective as an analytical lens, this study specifically discusses the relationship between the Chinese ethnicity and other ethnic groups in Indonesia. Ethnic Chinese group has been settled in Indonesia long before the European. However, for a long time the Chinese ethnic group in Indonesia experienced discrimination and were not treated as a full citizen. the Dutch racial policy which classifies ethnic Chinese in Indonesia as foreigners has shaped the relationship between Ethnic Chinese relations with other Indonesian ethnic groups. The Dutch colonial also regarded the Chinese group as an expert in trade and economic activities. The peak of this discrimination against ethnic Chinese occurred during the Soeharto era by implementing an assimilation policy that prohibited all Mandarin speaking activities and recommended Chinese people to change their mandarin names. After the Reformation era since 1998, the Chinese have been able to feel their freedom of expression, especially after President Abdurrahman Wahid or Gusdur allowed the Chinese to celebrate Chinese New Year and show their ethnic attribute and identities. This paper is in the form of a annotated bibliographic and wants to explore the significant of the finding with today context"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Purwito Hidayat
"ABSTRAK
Konflik horizontal di Poso Sulawesi Tengah yang terjadi dalam kurun
waktu 1998-2001 mengakibatkan perubahan tatanan sosial dalam masyarakat
Poso. Penelitian ini ingin melihat proses-proses komunikasi antar budaya
masyarakat Pamona dan Bugis pasca konflik khususnya manajemen konflik,
proses facework dalam negosiasi wajah, identitas, stereotipe, prasangka dan
etnosentrisme serta aspek-aspek sosial, ekonomi dan budaya dalam interaksinya.
Dengan paradigma interpretif, pendekatan kualitatif dan metoda etnografi dimana
peneliti terjun langsung dan tinggal bersama-sama masyarakat Poso di beberapa
daerah. Pada proses negosiasi dan rekonsiliasi konflik jika dilihat menggunakan
face negotiation theory maka kedua komunitas cenderung bersifat kolektivistik
dan menyelesaikan konflik dengan menjaga ‘wajah’ kelompok lainnya. Gaya
penyelesaian konflik antar kedua komunitas cenderung sebagian menggunakan
compromising style, pasca konflik justru negosiasi yang banyak digunakan adalah
avoiding style. Stereotipe, Prasangka dan Etnosentrisme yang berkembang dari
masing-masing kelompok dapat menjadi hambatan dalam proses-proses
komunikasi antar budaya serta kerentanan dan kerawanan akan potensi konflik
berikutnya.

ABSTRACT
Horizontal conflicts in Poso, Central Sulawesi, which occurred in the period
1998-2001 resulted in changes in the social order in the society Poso. This study
wanted to see the processes of intercultural communication between Pamona
society and Bugis post-conflict especially conflict management, negotiation
process in the face facework, identity, stereotypes, prejudice and ethnocentrism as
well as social aspects, economic and cultural interaction. Using interpretive
paradigm, qualitative approaches and of ethnography method, the researcher
directly involved and lived together people of Poso in some areas. In the
negotiation process and conflict reconciliation when viewed using face
negotiation theory, the two communities tend to be collectivistic and resolve
conflicts by keeping the 'face' of others. Style of conflict resolution between the
two communities tend to mostly use the compromising style, post-conflict
negotiations are widely used it is avoiding style. Stereotypes, prejudice and
ethnocentrism that developed from each group can be a bottleneck in the
processes of intercultural communication as well as the vulnerability and
insecurity will be the next potential conflict."
2013
T35566
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanro Yonathan Lekitoo
"Kelompok etnik Kayo Pulau dan kelompok etnik asli lainnya di teluk Humboldt, Kota Jayapura adalah rumpun kelompok etnik yang oleh Keesing disebut sebagai masyarakat tribal, masyarakat tanpa ekonomi sentral dan politik sentral. Kelompok etnik di sana dapat dikategorikan sebagai masyarakat pra-industri oleh Lewellen, dengan tipe masyarakat yang oleh Fried disebut rank society. Sejarah Perang Dunia Kedua membawa kelompok-kelompok etnik di Kota Jayapura segera masuk dalam dunia modern, di mana kehadiran Tentara Jepang 1942 dan Sekutu 1944 membuka berbagai infrastruktur perang di sana. Setelah hengkangnya Pemerintah Belanda, dan Papua kembali ke Pangkuan NKRI 1963, hingga kini Kota Jayapura menjadi salah satu daerah yang lebih maju dan sangat polietnik, oleh karena itu sering disebut sebagai Indonesia mini.
Kajian mengenai relasi antar-kelompok etnik dilakukan di Kampung Kayo Pulau kira-kira 3 tahun lamanya, yakni 2015-2018. Penelitan dengan metode etnografi, di mana teknik observasi partisipasi, wawancara, serta studi literatur dari berbagai sumber digunakan. Analisis selain Kampung Kayo Pulau, juga diangkat ke tingkat Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura di mana karakter sosial budaya penduduknya mirip.
Konsep utama yang dipakai pada kajian ini adalah konsep etnisitas dari Barth dan Eriksen, di mana relasi antar-etnik bersifat mencair dan konstruktif. Namun demikian penekanan dari Barth lebih pada relasi individu dan keluarga dalam perspektif ekologi dan demografi. Sedangkan Eriksen lebih kepada konteks kesejarahan. Dalam kaitan relasi antar-etnik orang Kayo Pulau dengan kelompok etnik lainnya di Kota Jayapura, saya mencermati empat konteks, yakni kekerabatan, ekonomi, politik dan keagamaan. Dalam kaitan dengan keempat konteks tersebut, sifat inklusif orang Kayo Pulau dan kelompok-kelompok etnik asli di Kota Jayapura yang mana selalu mencari persamaan dan merangkul kelompok etnik lainnya, merupakan nilai-nilai penting dalam mempertahankan kehidupan yang toleran dan harmonis.
Kini penduduk asli Kota Jayapura hanya 3,71 persen dan orang Kayo Pulau di kampungnya hanya 24,6 persen. Namun mereka mampu bertahan dan beradaptasi di tengah pusaran modernisasi, serta dalam konteks masyarakat yang polietnik dan berbagai tuntutan kehidupan dengan mengedepankan relasi antar-kelompok etnik, baik dalam konteks kekerabatan, ekonomi, politik dan keagamaan.

The Kayo Pulau ethnic group and other indigenous ethnic groups in the Humboldt bay, Jayapura City are groups of ethnic groups that Keesing refers to as tribal communities, communities without a central economy and central politics. Those ethnic groups can be categorized as pre-industrial societies by Lewellen, with the type of society that Fried calls rank society. The history of the Second World War brought ethnic groups in the city of Jayapura immediately into the modern world, where the presence of the Japanese Army in 1942 and the Allies of 1944 opened various war infrastructures there. After the departure of the Dutch Government and Papua returned to Indonesia in 1963, until now Jayapura has become one of the most developed region and become a highly polyethnical region. The development and the diversity of Jayapura city make this city called Little Indonesia.
The study of relations between ethnic groups in Kampung Kayo Pulau is conducted approximately 3 years, between 2015-2018. The research is done using ethnographic methods, with participatory observation techniques, interviews, and literature studies from various sources are used. The analysis proccess is done other than Kampung Kayo Pulau, is also raised to the level of Jayapura City and Jayapura Regency where the socio-cultural character of the population is similar
The main concept used in this study is the concept of ethnicity from Barth and Eriksen, where inter-ethnic relations are melting and constructive. However, the emphasis of Barth’s concept is on the relations of individuals and families in an ecological and demographic perspective. Whereas Eriksen’s is more on the historical context. The inter-ethnic relations of the Kayo Pulau people with other ethnic groups in Jayapura City, I look at four contexts, those are kinship, economy, politics and religion. In relation to these four contexts, the inclusive nature of Kayo Pulau and indigenous ethnic groups in Jayapura City which always seek equality and embrace other ethnic groups, are important values ​​in maintaining a tolerant and harmonious life.
Today, the native population of Jayapura City is only 3.71 percent and Kayo Pulau is only 24.6 percent. However, they are able to survive and adapt in the midst of a vortex of modernization, multi-ethnic context and various demands of life by prioritizing relations between ethnic groups, both in the context of kinship, economy, politics and religion.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martin Budi
"Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan sensus penduduk sejak 2010, penelitian ini menguji pengaruh keragaman etnis terhadap ketimpangan pengeluaran di Indonesia. Ini dicapai dengan menggunakan estimasi OLS menggunakan ethnic fractionalization index (efi) dan ethnic polarization index (epoi) sebagai proksi keanekaragaman etnis. Tanpa variabel kontrol, ethnic fractionalization index adalah positif dan signifikan dalam mempengaruhi ketimpangan pengeluaran di Indonesia. Tidak seperti ethnic fractionalization index, ethnic polarization index dan ketimpangan pengeluaran memiliki hubungan berbentuk U terbalik. Namun, pengaruh keragaman etnis kurang signifikan ketika variabel kontrol ditambahkan ke estimasi. Selain itu, efek keanekaragaman etnis kehilangan signifikansinya ketika memasukkan dummy wilayah ke dalam estimasi. Kami menemukan bahwa semua dummy wilayah secara signifikan mempengaruhi ketimpangan dan mengurangi efek keragaman etnis. Akhirnya, dimasukkannya interaksi antara proxy keragaman etnis dan dummy wilayah mengungkapkan hasil yang tidak terduga. Meskipun tidak signifikan, baik interaksi ethnic fractionalization index atau ethnic polarization index dengan dummy wilayah menunjukkan hubungan negatif.

Based on the National Socio-Economic Survey (Susenas) and population census from 2010, this study examines the effect of ethnic diversity on expenditure inequality in Indonesia. This is achieved using the OLS estimation using ethnic fractionalization index (efi) and ethnic polarization index (epoi) as the proxy of ethnic diversity. Without the control variable, the ethnic fractionalization index is positive and significant in affecting expenditure inequality in Indonesia. Unlike the ethnic fractionalization index, the ethnic polarization index and expenditure inequality have an inverted U-shaped relationship. However, the effect of ethnic diversity is less significant when control variables are added to the estimation. Additionally, the effect of ethnic diversity loses its significance when incorporating regional dummies into the estimation. We found that all regional dummies significantly affect inequality and diminish the ethnic diversity effect. Finally, the inclusion of the interaction term between ethnic diversity proxy and regional dummies reveals an unexpected result. Though not significant, both interactions of the ethnic fractionalization index or the ethnic polarization index with regional dummies show a negative relationship."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
T52899
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>