Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 138226 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fiastuti Witjaksono
"Tujuan : Mengetahui pengaruh pemberian NED terhadap status protein penderita luka bakar derajat II, 20-60% dari luas permukaan tubuh (LPT) dan/atau derajat III ≥ 10% LPT usia 18-60 tahun.
Tempat : Unit Luka Bakar RSUPNCM
Bahan dan Cara : Penelitian ini merupakan suatu uji klinik dengan randomisasi yang telah disetujui oleh panitia tetap penilai etik penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Duapuluh subyek yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan dibagi 2 kelompok secara randomisasi blok. Sepuluh subyek perlakuan diberi NED mulai ≤ 8 jam pasca luka bakar, sedangkan 10 subyek kontrol diberi nutrisi enteral/oral 24 jam pasca luka bakar. Pengamatan dilakukan selama 12 hari. Status protein ditetapkan dengan pemeriksaan albumin dan prealbumin serum serta nitrogen urea urin (NUU). Sampel darah untuk pemeriksaan albumin dan prealbumin diambil hari ke-l, 7, dan 12. Urin tampung 24 jam untuk pemeriksaan NUU diambil hari ke-3, 7 dan 12. Uji statistik yang digunakan adalah uji t untuk data berdistribusi normal dan uji Mann Whitney U untuk data berdistribusi tidak normal, batas kemaknaan yang digunakan sebesar 5%.
Hasil : Penelitian ini menunjukkan pemberian NED tidak menunjukkan perbedaan bermakna terhadap status protein antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, tetapi pada kelompok perlakuan didapatkan peningkatan kadar prealbumin dan gambaran penurunan kadar NUU yang lebih tajam.
Kesimpulan : NED mempunyai kecenderungan dapat memperbaiki status protein walaupun belum dapat dibuktikan secara statistik.

The Effect of Early Enteral Nutrition (EEN) on Protein Status in Burn Patients at Burn Unit Dr. Cipto Mangun Kusumo Hospital 1999-2000Objective: To know the effect of EEN on protein status in burn patients with 20-60% total body surface area (TBSA) of second degree burned, and/or ≥ 10% TBSA of third degree burned, age 18-60 years old subjects.
Place: Burn Unit Cipto Mangunkusumo Hospital Material and Methods
The study was a randomized clinical trial, which already certify by the ethical clearance research committee of the Faculty of Medicine University of Indonesia. Twenty subjects were selected by inclusion and exclusion criteria. The subjects were divided into two groups by block randomization. Ten subjects were given enteral nutrition started ≤ 8 hours post burn, while 10 control subjects were given enteral / oral nutrition 24 hours post burn. Observation was done for 12 days. Protein status was determined by the laboratory result of albumin and prealbumin serum and the level of urinary urea nitrogen (UUN). Blood samples for albumin and prealbumin serum were taken on the day 1st, 7th and 12th. Twenty four hours collected urines for UUN examination were taken on the day 3rd, 7th and 12th . Statistical analysis was performed with t-test for data with normal distribution and Mann Whitney U test for data which do not conform to a normal distribution. The level of significance was 5%.
Results: The results showed no significant difference between the two groups, except on day 12th the prealbumin level tends to increase and the UUN level tend to decrease in the study group.
Conclusion : The EEN tend to be able to increase the protein status although has not statistically proven yet.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T9971
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Scheraga, Harold A.
New York : Academic Press, 1961
547.7 SCH p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel Oetoro
"Tujuan: Mengetahui pengaruh pemberian nutrisi enteral dini (NED) terhadap stres metabolisme pada penderita luka bakar, dalam rangka mencari alternafif penatalaksanaan nutrisi pada penderita luka bakar.
Tempat: Unit Luka Bakar RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Bahan dan cara: Penelitian ini merupakan uji klinik pada penderita luka bakar berusia 18 - 60 tahun dengan luka bakar derajat dua seluas 20 - 60% luas permukaan tubuh (LPT). Sepuluh subyek perlakuan diberi Nutrisi Enteral Dini/NED mulai ≤8 jam pasca trauma, sedangkan 10 subyek kontrol diberi nutsisi enteral/oral 24 jam pasca trauma. Stres metabolisme dideteksi dengan pemeriksaan kadar hormon kortisol serum, glukosa darah dan nitrogen urea urin (NUU). Sampel darah untuk pemeriksaan kortisol dan glukosa diambil pada hari ke 1, 7 dan 12. Urin untuk pemeriksaan NUU di kumpulkan selama 24 jam pada hari ke 3, 7 dan 12. Uji statistik yang digunakan adalah uji Mann Whitney U untuk kadar kortisol, NUU dan glukosa darah. Batas kemaknaan yang digunakan 0,05.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna pada kadar kotisol dan NUU, namun demikian pada hari ke 12 tampak penurunan kadar NUU lebih tajam pada kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol justru meningkat Kadar glukosa darah pada hari 12 menunjukkan perbedaan bermakna (p = 0, 04).
Kesimpulan: Pemberian NED berhasil menekan stres metabolisme yang terjadi pada penderita luka bakar derajat dua berdasarkan parameter glukosa darah.

Objective: To investigate the effect of early enteral nutrition (EEN) on the metabolic stress in burned patients, in respect to looking for the alternative of nutrition management in burned patients.
Place: Burn Unit RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Materials and methods: This study was randomized clinical trial was conducted on 18 - 60 years subjects with 20 - 60% total body surface area (FBSA) of second degree burned. Ten subjects were given enteral nutrition started g 8 hours post burn, while 10 control subjects were given enteral/oral nutrition 24 hours post burn. Metabolic stress was detected by measuring of serum cortisol, blood glucose level, and urinary urea nitrogen (UUN) level. Blood samples for cortisol and glucose level were taken on day 1, 7 and 12 Twenty four hours collected urine for UUN level were taken on day 3, 7 and 12. Statistical analysis was performed with Mann Whitney U test for cortisol level, NUU and glucose level. The level of significance was 0, 05.
Results: There were no significant differences between the two groups based on serum cortisol and UUN levels, however, the level o UUN of the day 12 decreased in the study group, while it increased in the control group. A significant difference was found of blood glucose between these two groups (p = 0, 04) on day 12.
Conclusion: The administration of EEN reduced the metabolic stress of second degree burned patients express by blood glucose parameter.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T5321
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Petsko, Gregory A.
New York : Oxford University Press, 2009
572.633 PET p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nanny V. Kosasih
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Malnutrisi seringkali terjadi pada penderita Gagal Ginjal kronik (GGK) dengan Hemodialisis (HD), yang disebabkan oleh berbagai faktor termasuk gangguan metabolisme energi dan protein, perubahan hormonal, infeksi, serta asupan makanan. Di samping itu, hemodi alisis sendiri meningkatkan katabolisme protein. Untuk mengatasi keadaan tersebut diperlukan asupan protein lebih besar dari penderita non dialisis. Substitusi analog keto dan asam amino esensial pada penderita GGK dengan HD, dapat diharapkan memperbaiki gangguan metabolisme protein tanpa menambah beban pada ginjal. Di dalam tubuh analog keto mengalami transaminasi membentuk asam amino esensial yang diperlukan untuk sintesa protein, oleh karena itu, suplementasi campuran analog keto dan asam amino esensial dipertimbangkan untuk meningkatkan asupan protein. Di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian suplementasi campuran analog keto dan asam amino esensial pada penderita GGK dengan HD, walaupun di negara maju dengan kondisi berbeda sudah pernah dilakukan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai pengaruh suplementasi analog keto dan asam amino esensial terhadap status protein penderita GGK dengan HD.Campuran analog keto dan asam amino esensial sebanyak 7,5 g dan vitamin B6 20 mg dalam bentuk-kapsul sebanyak 9 kapsul, diberikan secara peroral setiap hari selama 3 minggu. Penelitian dilakukan secara acak sederhana tersamar tunggal terhadap 39 penderita GGK dengan HD. Penderita GGK dengan HD dibagi dalam 2 kelompok, masing-masing 20 dan 19 orang. Kelompok kontrol diberi kapsul plasebo dan kelompok perlakuan diberikan suplementasi. Data 10 orang masing-masing 5 orang dari tiap kelompok dikeluarkan karena tidak memenuhi persyaratan.
Hasil dan Kesimpulan : Nilai rata-rata(Y) kadar transferin kelompok kontrol dan perlakuan sebelum dilakukan suplementasi adalah berturut-turut (396,73 ± 48,38 mg/dl) dan (406,71t 31,95 mg/dl) Sesudah suplementasi kadar transferin pada kelompok kontrol cenderung penurunan lebih besar ( 390,92 ± 54,92 mg/dl) daripada kelompok perlakuan (387,73 ± 63,88 mg/dl) tetapi hasil uji statistik terhadap perubahan ini tidak bermakna (p > 0,05).
Kesimpulan: Suplementasi campuran analog keto dan asam amino esensial pada penderita GGK dengan HD yang mempunyai status protein baik, agaknya tidak memberi pengaruh terhadap status proteinnya.

The Effects Of Supplementation Of A Mixture Of Ketoanalogues And Essential Amino Acids On The Protein Status Of Chronic Renal Failure Patients On HemodialysisScope and Method of study: Malnutrition often occurs to chronic renal failure (CRF) patients on hemodialysis (HD). This may be a consequence of multiple factors including disturbances in energy and protein metabolism, hormonal derangements, infections and poor food intake. Besides, hemodialysis it self increases protein catabolism. To overcome such cases CRF patients on HD need more protein intake than non dialysis patients. Substituting ketoanalogues (SA)-and essential amino acids (EAA) in CRF patients on HD is hoped to be able to-eliminate the disturbance of protein metabolism without adding more work load to the kidney. In the body ketoanalogues undergo transamination to form EAA needed to synthesize protein. Therefore, supplementation of a mixture of KA and EAA is considered as means to increase protein intake. In Indonesia a study on the supplementation of a mixture of KA and EAA has never been done, whereas in developed countries, some have been done on different conditions.
The aim of this study is to asses the effects of a mixture of KA and EAA on the protein status of CEF patients on HD. A mixture of KA and EAA amounting to 7,5 g and 20 mg of vitamin B6 was put into 9 capsules orally for three weeks. In this study 39 CRF patient on HD were randomly divided into two groups, each consisted of 20 and 19 subjects. The control group was given placebo capsules, and the treatment group was given supplementation. Ten subjects, 5 from each group,were excluded because they didn't participate well in the study.
Findings and Conclusions :
The mean of transferrin level of the control and treatment groups before the supplementation was 396,73 ± 48,38 mg/dl and 406,71 ± 31,95 mg/dl respectively. After the supplementation transferrin level of the control group to decreased (390,92 ± 54,92 mg/dl) more than that of the treatment group (387,73 ± 63,88 mg/dl). However, statistically the change was not significant. It can be concluded that the supplementation of a mixture of KA and EAA to CR patients on HD who had good protein status, presumably, did not affect their protein status."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T3715
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Cempaka
"Protein Jembrana Superficial Unit (JSU) dapat dijadikan sebagai vaksin untuk pengobatan penyakit Jembrana. Protein JSU, yang dikode oleh gen env, disisipkan ke dalam plasmid pGEX-6P1 dan diekspresikan melalui Escherichia coli strain BL21 sebagai inangnya. Tujuan penelitian adalah untuk meneliti berbagai pengaruh konsentrasi IPTG terhadap ekspresi protein rekombinan JSU pGEX-6P1. Sel E. coli (pembawa konstruk pGEX-6P1) ditumbuhkan pada medium Luria Betani (LB) cair 50 ml dan diinkubasi pada shaker incubator hingga mencapai kepadatan sel (OD) OD600 0,6. Induksi Isopropyl-β-Dthiogalactopyranoside (IPTG) selama 1 jam dengan tiga konsentrasi perlakuan, yaitu 100 μM, 150 μM, dan 200 μM. Sel dipecah dengan dua metode, yaitu Freeze and thaw dan sonikasi kemudian pelet hasil pemecahan sel dikoleksi sebagai inclusion body. Solubilisasi protein dilakukan dengan menambahkan solubilize buffer pada pelet kemudian dilution buffer untuk tahap refolding. Protein dimurnikan melalui Gluthatione Sepharose 4B dengan metode batch capture. Hasil analisis SDS-PAGE menunjukkan ukuran protein JSU pGEX-6P1 yang tepat, yaitu ± 60 kDa pada setiap perlakuan (konsentrasi) IPTG. Pita pada induksi IPTG 100 μM terlihat lebih tebal dibandingkan dengan pita pada induksi 150 μM dan 200 μM. Hasil penelitian disimpulkan bahwa induksi IPTG 100 μM menghasilkan protein rekombinan JSU pGEX-6P1 yang optimal.

Jembrana Superficial Unit (JSU) protein can be used as a vaccine material for controlling Jembrana disease. JSU protein that encoded by the env gene was inserted into the plasmid pGEX-6P1 and expressed through the Escherichia coli strain of BL21 as a host. The aim of this study was to determine the effect of IPTG concentrations against the expression of JSU pGEX-6P1 recombinant protein. E. coli cells (pGEX-6P1 constructs carrier) were grown in 50 ml Luria Bertani (LB) liquid medium and was incubated on a shaker incubator until it reaches the cell density (OD) OD600 0.6. Induction of Isopropyl-β-Dthiogalactopyranoside (IPTG) for 1 hour with three concentrations of the treatment, there are 100 μM, 150 μM, and 200 μM. The cells was disrupted by two methods of cell lysis, Freeze and thaw and sonication, then the pellet was collected as inclusion body. Protein is solubilized by adding a buffer into the pellet and using dilution buffer for refolding step. Proteins purified using Gluthatione Sepharose 4B by batch capture method. The analysis of SDS-PAGE was shown exactly the protein size of JSU pGEX-6P1 ± 60 kDa for each treatment (concentration) IPTG. Band at 100 μM IPTG induction seems thicker than the band on the induction of 150 μM and 200 μM. The study was concluded that 100 μM IPTG induction produces an optimal of JSU pGEX-6P1 recombinant protein."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S1294
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Raisa Hanifah
"Latar Belakang: Protein saliva dapat melekat pada permukaan gigi dan membentuk pelikel. Pelikel tersebut dapat menyebabkan terjadinya perlekatan bakteri, seperti Streptococcus mutans dan Solobacterium moorei yang merupakan bakteri gram positif. Perlekatan bakteri pada pelikel selanjutnya menyebabkan terjadinya kolonisasi bakteri yang akan membentuk biofilm. Konsentrasi protein saliva pada rongga mulut dapat bervariasi pada setiap individu. Keadaan ini dapat pula mengakibatkan pembentukan biofilm mengalami perubahan.
Tujuan: Menetapkan pengaruh pajanan protein saliva asal kelompok dewasa terhadap pembentukan biofilm dual-species Streptococcus mutans dan Solobacterium moorei.
Metode: Pembentukan biofilm dual species Streptococcus mutans dan Solobacterium moorei diuji menggunakan uji crystal violet, OpenCFU dan total plate counting pada 3 jenis konsentrasi protein saliva yang berbeda.
Hasil: Dari ketiga uji yang dilakukan, tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara pembentukan biofilm yang dimediasi oleh protein saliva berdasarkan konsentrasi yang berbeda.
Kesimpulan: Pembentukan biofilm dual-species Streptococcus mutans dan Solobacterium moorei tidak dipengaruhi oleh konsentrasi protein saliva.

Background: Salivary proteins can attach to the surface of the teeth and form pellicles. These pellicles can cause the attachment of bacteria, such as Streptococcus mutans and Solobacterium moorei which are a gram-positive bacteria. The attachment of bacteria to the pellicle can causes bacterial colonization which will form a biofilm. The concentration of salivary protein in the oral cavity can vary for every person. This situation can also lead a change in biofilm formation.
Objective: To determine the effect of adult salivary protein exposure on biofilm formation of dual-species Streptococcus mutans and Solobacterium moorei.
Methods: The biofilm formation of dual-species Streptococcus mutans and Solobacterium moorei was tested using crystal violet, OpenCFU and total plate counting at three different salivary protein concentrations.
Result: From the three tests performed, there was no statistically significant difference between the biofilm formation mediated by salivary protein based on different concentrations.
Conclusion: Biofilm formation of dual-species Streptococcus mutans and Solobacterium moorei does not affected by the concentration of salivary proteins.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sania Anindita
"Latar Belakang: Protein saliva merupakan salah satu komponen biologis yang berperan dalam pembentukan pelikel pada permukaan gigi. Pelikel merupakan mediator pada pembentukan biofilm di rongga mulut. Pelikel pada permukaan gigi sebagian besar berasal dari protein saliva, dan dapat berperan sebagai mediator untuk kolonisasi awal dari bakteri. Pada rongga mulut terdapat berbagai macam spesies bakteri. Biofilm dapat terbentuk dari spesies tunggal, ganda, maupun terdiri dari banyak spesies. Pada biofilm dapat terjadi interaksi antar spesies.
Tujuan: Menganalisa pengaruh perbedaan konsentrasi protein saliva pada subjek anak terhadap pembentukan biofilm dual-species Streptococcus mutans dan Porphyromonas gingivalis.
Metode: Uji Biofilm yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji Crystal Violet, OpenCFU, dan Total Plate Counting untuk mengetahui massa biofilm dan viabilitas bakteri pada biofilm dual-species Streptococcus mutans dan Porphyromonas gingivalis.
Hasil: Pada hasil uji crystal violet, OpenCFU, dan Total Plate Counting menunjukkan peningkatan konsentrasi pada pajanan cenderung menurunkan pembentukan biofilm dual-spesies Streptococcus mutans dan Porphyromonas gingivalis. Pada ketiga uji tersebut, perhitungan hasil pada kelompok dengan pajanan tampak cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol tanpa pajanan. Akan tetapi tidak terdapat perbedaan signifikan antar kelompok pajanan.
Kesimpulan: Tampak kecenderungan penurunan pada hasil perhitungan seluruh uji seiring dengan peningkatan konsentrasi protein pada pajanan protein saliva subjek anak sebagai pelikel, dan protein saliva subjek anak kurang berpotensi sebagai mediator pembentukan biofilm dual-spesies Streptococcus mutans dan Porphyromonas gingivalis.

Background: Salivary protein is a biological component that plays an important role in the formation of pellicles on the tooth surface. The pellicle is a mediator in biofilm formation in the oral cavity. The pellicles on the tooth surface are mostly derived from salivary proteins, and can act as a mediator for the initial colonization of bacteria. In the oral cavity there are various species of bacteria. Biofilms can be formed from single, dual-species, or consisting of many species. In biofilms, interactions between species can occur.
Objective: To analyze the effect of differences in salivary protein concentrations in child subjects on the formation of dual-species biofilm Streptococcus mutans and Porphyromonas gingivalis. Methods: Biofilm tests carried out in this study were Crystal Violet, OpenCFU, and Total Plate Counting tests to determine biofilm biomass and bacterial viability in dual-species biofilms of Streptococcus mutans and Porphyromonas gingivalis.
Result: The Crystal Violet, OpenCFU, and Total Plate Counting results showed an increase in concentration on exposure which decreased the biofilm orders for dualspecies Streptococcus mutans and Porphyromonas gingivalis. Across all of these tests, the calculated yield in the exposed group tends to be lower than that in the noexposure group. However, there was no significant difference between the exposure groups.
Conclusion: There appears to be a decrease in the results of the calculation of all tests in line with the increase in protein concentration in salivary protein exposure of child subjects as pellicles, and salivary protein in child subjects has less potential as a mediator for biofilm formation of dual-species Streptococcus mutans and Porphyromonas gingivalis.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyuni
"Protein rekombinan yang difusikan ke suatu peptida tag dapat dimobilisasi pada matriks yang telah dilapisi substrat berafinitas dengan tag tersebut. Dalam proses purifikasi, protein tag kadang kala dipisahkan dari protein rekombinan. Pemisahan tag dapat dilakukan dengar menyisipkan sekuens pengenalan protease di antara tag dan protein rekombinan yang memungkinkan pemisahan tag dari protein rekombinan oleh restriksi enzim protease. Pada beberapa sistem purifikasi, protease yang telah difusikan dengan tag telah digunakan untuk memotong peptida tag, sehingga baik tag maupun protease yang memotong tag dari protein dapat dipisahkan dari protein rekombinan. Sistem tersebut sangat menguntungkan namun hanya protease PreScission (protease Human Rhinovirus) yang telah dikembangkan untuk sistem tersebut. Oleh karena itu, untuk memperoleh alternalif lain dari sistem tersebut. dilakukan konstruksi vektor pengekspresi protease MLV di dalam sistem ekspresi protein fusi tag GST. Gen protease MLV disisipkan di antara situs restriksi BamHI dan EcoRl pGEX-6P-1, di hilir ORF GST dan situs pengenalan protease PreScission. Penyisipan gen protease MLV di dalam plasmid rekombinan (pG6PI.Pro) dikonfirmasi dengan analisis perbandingan pola migrasi pG6P1.Pro yang dibandingkan dengan plasmid wild type (pGEX-6P-1) dan identifikasi insert pada jel agarose setelah restriksi dengan BamHI-EcoRI. Konfirmasi orientasi gen protease dalam pG6P1.Pro dengan analisis restriksi enzim Apal, dan Bs:Ell. Konfirmasi akhir yang bersifat definitif dilakukan dengan sekuensing pG6PI.Pro. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa pG6P 1.Pro telah berhasil dikonstruksi dengan benar. namun dari hasil ekspresi protein fusi GST-Protease MLV tidak mendapatkan protein fusi utuh (43,8 kDa). Mutasi pada N terminal protease tidak mempengaruhi ekspresi protein fusi GST-Protease MLV dan tetap tidak menghasilkan protein fusi yang utuh (44,8 kDa dan 43,97 1:Da). Kegagalan ekspresi protein fusi tersebut mungkin disebabkan adanya peristiwa autokatalisis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13676
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyuni
"Protein rekombinan yang difusikan ke suatu peptida tag dapat diimobilisasi pada matriks yang telah dilapisi substrat berafinitas dengan tag tersebut. Dalam proses purifikasi, protein tag kadang kala dipisahkan dari protein rekombinan. Pemisahan tag dapat dilakukan dengan menyisipkan sekuens pengenalan protease di antara tag dan protein rekombinan yang memungkinkan pemisahan tag dari protein rekombinan oleh restriksi enzim protease. Pads beberapa sistem purifikasi, protease yang telah difusikan dengan tag telah digunakan untuk memotong peptida tag, sehingga baik tag maupun protease yang memotong tag dan protein dapat dipisahkan dari protein rekombinan. Sistem tersebut sangat menguntungkan namun hanya protease PreScission (protease Human Rhinovirus) yang telah dikembangkan untuk sistem tersebut. Oleh karena itu, untuk memperoleh alternatif lain dari sistern tersebut. dilakukan konstruksi vektor pengekspresi protease MLV di dalam sistem ekspresi protein fus; tag GST. Gen protease MLV disisipkan di antara situs restriksi BamHI dan EcoRl pGEX-6P-l, di hilir ORF GST dan situs pengenalan protease PreScission. Penyisipan gen protease MLV di dalam plusmid rekombinan (pG6P I .Pro) dikonfirmasi dengan analisis perbaiidingan pola migrasi. pG6P 1.Pro yang dibandingkan dengan plasniid wild type (pGEX-6P-I) dal. identifikasi insert pada jel agarose setelah restriksi dengan BamHI-EcoRI. Kombinasi orientasi gen protease dalam pG6PI. Pro dengan analisis restriksi enzim Apal, dan BstEII. Konfirmasi akhir yang bersifat definitif dilakukan dengan sekuensing pO6Pl.Pro. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa pG6P 1.Pro telah berhasil dikonstruksi dengan benar. namun dari basil ekspresi protein fusi GST-Protease MLV tidak mendapatkan protein fusi utuh (43,8 kDa). Mutasi 'pada N terminal protease tidak mempengaruhi ekspresi protein fusi GST-Protease MLV dan tetap tidak menghasilkan protein fusi yang utuh (44,8 kDa dan 43,97 kDa), Kegagalan ekspresi protein fusi tersebut mungkin disebabkan adanya peristiwa autokatalisis."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>