Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134227 dokumen yang sesuai dengan query
cover
J. Indiwan Seto Wahju Wibowo
"Penelitian bertajuk `Pembunuhan Karakter dalam Pers Indonesia' ini menggunakan analisis semiotik, salah satu model analisis teks media. Tema yang diangkat adalah `character assassination' Presiden Abdurrahman Wahid dalam teks berita koran dan majalah Ibukota.
Sesuai sifatnya, penelitian kualitatif ini tidak berpretensi untuk menyamaratakan atau menggeneralisasi semua berita pers Ibukota telah melakukan `pembunuhan karakter' terhadap Presiden Abdurrahman Wahid. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis yang sejak awal sudah beranggapan bahwa tidak ada berita pers yang sungguh-sungguh netral.
Eriyanto (2001:52) menyatakan bahwa analisis teks berita yang bersifat kritis pada awalnya melihat realitas dan hubungan sosial berlangsung dalam situasi yang timpang. Media bukanlah saluran yang bebas tempat semua kekuatan sosial saling berinteraksi dan berhubungan.
Sebaliknya, pers penganut teori kritis memandang media bukanlah saluran yang bebas, tempat semua kekuatan sosial yang saling berinteraksi dan berhubungan. Media massa justru dimiliki oleh kelompok dominan, sehingga mereka lebih mempunyai kesempatan dan akses untuk mempengaruhi dan memaknai peristiwa berdasarkan pandangan mereka. Dalam suasana era reformasi, pers Indonesia seakan mendapat angin, berani mengkritik bahkan melakukan pembunuhan karakter.
Pembunuhan Karakter adalah upaya mendiskreditkan karakter seseorang terutama publik figur atau orang berpengaruh lewat pelemparan opini atau distorsi informasi yang penuh dengan kebohongan. Dalam penelitian kualitatif ini, figur Abdurrahman Wahid menjadi sosok yang sering dizalimi oleh media massa khususnya Rakyat Merdeka, Panji Masyarakat, Gatra serta Adil dan Republika.
Penelitian ini menganalisis teks-teks berita - baik berupa teks tertulis, gambar, foto atau ilustrasi yang berkaitan dengan sepak terjang dan pendapat Abdurrahman Wahid ketika menjadi Presiden RI.
Alasan utama mengapa topik ini diangkat adalah rasa ingin tahu penulis mengenai berita-berita macam apa yang bisa dikatagorikan sebagai upaya `pembunuhan karakter' oleh pers. Sekaligus menjadi telaah ilmiah mengenai konsep pembunuhan karakter yang selama ini seringkali disebut-sebut tetapi tidak pernah dikaji secara ilmiah.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis semiotik Roland Barthes dan diperlengkapi dengan teknik analisis semiotik sosial Halliday. Semuanya terjalin dalam kerangka berpikir paradigma konstruktif yang mengarah kepada paradigma kritis saat melihat media massa dan kekuasaan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam banyak hal media massa tertentu paling tidak dari 40 sample berita terpilih, telah melakukan `pembunuhan karakter' terhadap pribadi Gus Dur sebagai presiden.
Dari berita yang dianalisis menunjukkan hampir sebagian besar teks berita itu berisi berita-berita yang bertentangan atau melanggar kode etik jurnalistik wartawan. Pelanggaran yang sering dilakukan adalah pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik wartawan Indonesia, yakni memuat berita tidak berimbang, terlalu interpretatif, mencampuradukkan antara fakta dan opini penulis serta melakukan penghinaan, pelanggaran hak privacy dan mencemarkan nama baik.
Di sisi yang lain hasil penelitian ini memungkinkan atau bisa mengilhami penelitian selanjutnya mengenai pelanggaran kode etik jurnalistik dan pengaruhnya pada kebebasan dan profesionalisme jurnalistik."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T9717
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Juli Bestian
"Pemetaan hubungan antara pers dan kekuasaan presiden di negeri ini dalam rekaman sejarah selalu menggambarkan pola hubungan yang bersifat vertikal, yaitu dominasi kekuasaan presiden terhadap pers nasional. Dalam kajian mikro, pola hubungan seperti ini tergambarkan secara nyata di dalarn isi pemberitaan pers Indonesia. Pers pada Saat memberitakan berbagai persoalan yang berkaitan dengan kekuasaan presiden, tidak lebih hanya sebagai institusi yang menyuarakan kepentingan pemerintah kepada khalayak pembacanya. Apa yang menjadi agenda kekuasaan presiden, dengan sendirinya menjadi agenda pemberitaan pers.
Perubahan kekuasaan negara, dari kepemimpinan Presiden Soeharto kepada Presiden BJ Habibie (23 Mei 1998) kemudian kepada Presiden Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999), pada kenyataannya juga berimplikasi pada perubahan pola hubungan antara pers dan kekuasaan presiden. Jika di era kepemimpinan Presiden Soeharto, pers ccnderung berperan sebagai kepanjangan tangan pemerintah, maka di era kepemimpinan Presiden BJ Habibie berubah drastis menjadi institusi yang bebas menyuarakan kepentingannya masing-masing. Kondisi demikian berlanjut di era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid.
Dengan menggunakan analisis teks terhadap seluruh pemberitaan pidato kenegaraan presiden antara tahun 1994 hingga tahun 2000 pada surat kabar Kompas. Suara Karya, Media Indonesia, dan Republika, penelitian ini membuktikan terjadinya perubahan pola hubungan antara pers dan kekuasaan presiden.
Di era kepemimpinan Presiden Soeharto, pidato kenegaraan presiden diberitakan oleh keempat surat kabar dengan porsi terbanyak dan menempati posisi halaman yang paling penting pada setiap surat kabar. Dari sisi isi pemberitaan, keempat surat kabar yang diteliti cenderung seragam, memberitakan isi pidato kenegaraan sesuai dengan apa yang diucapkan Presiden Soeharto. Dalam memilih nara sumber yang dimaksudkan untuk menanggapi isi pidato kenegaraan, keempat surat kabar cenderung memilih para tokoh berlatar belakang hubungan politik yang erat dengan Presiden. Strategi pemilihan nara sumber seperti ini dengan sendirinya menghasilkan isi komentar yang cenderung mendukung segenap persoalan yang diucapkan Presiden di dalam pidatonya.
Pola pengemasan isi berita yang seperti itu semakin diperkuat pula oleh pola penyikapan langsung masing-masing surat kabar sebagaimana yang tertuang di dalam isi editorial keempat surat kabar. Di era kepemimpinan Presiden Soeharto, editorial keempat surat kabar cenderung menghindar dari penilaian kristis mereka terhadap kekuasaan Presiden, dan memilih mendukung segenap kebijakan Presiden. Sekalipun beberapa kesempatan untuk mengkritik kebijakan Presiden coba dilakukan oleh beberapa surat kabar, namun isi kritik lebih bersifat penyampaian usulan perbaikan dari kondisi yang dirasakan pers kurang memadai.
Di era kepemimpinan Presiden BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid, pidato kenegaraan berubah menjadi arena penilaian terhadap kinerja yang dicapai oleh Presiden. Di era ini terdapat kebebasan pada masing-masing surat kabar dalam menentukan porsi, penempatan berita, pemilihan nara Sumber, penentuan isi pemberitaan maupun pola-pola penyikapan terhadap kekuasaan presiden. Tidak hanya itu, penampilan presiden di dalam membacakan isi pidato kenegaraan pun menjadi bahan penilaian pers nasional. Masing-masing surat kabar sesuai dengan kepentingannya menunjukkan pola penyikapan terhadap kekuasaan presiden. Oleh karena itu, di era ini terlihat dengan jelas pers yang mendukung kekuasaan Presiden BJ Habibie, pers yang menentang kekuasaannya, ataupun pers yang mendukung kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid dan yang menentang kekuasaannya.
Selain perubahan di dalam isi pemberilaan dan kebijakan editorial, perubahan juga terjadi di dalam proses produksi berita dan mekanisme kontrol pemberitaan. Apabila di era kepemimpinan Presiden Soeharto, faktor eksternal media seperti kekuatan nara sumber dan pemerintah sangat berperan di dalam proses pembentukan berita, maka peran tersebut luruh di era kepemimpinan Presiden BJ Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid. Peran tersebut tergantikan oleh makin dominannya faktor internal media, yaitu lapisan struktural menengah ke atas sebagai penentu produksi berita."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12340
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
S3952
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Armando
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1988
S4001
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henri Subiakto
"Pers yang fungsi utamanya sebagai sarana penberitaan, mempunyai konsekuensi isi yang disajikan agar senantiasa menggambarkan realitas yang terjadi di masyarakat. Tapi dalam prakteknya, pers berada pada posisi yang sulit ketika dihadapkan kuatnya hegemoni negara melalui elit-elitnya, yang merambah ke berbagai aspek sosial politik, termasuk sebagai pembuat berita (news maker), dan sumber berita yang acapkali menentukan definisi realitas. Jadinya, kemandirian pers mengungkap berita menjadi pertanyaan yang menarik. Apakah pers dalam menjalankan fungsinya mengungkap dan mendefinisikan realitas itu bertumpu pada kemampuan dan visinya sendiri, ataukah sudah tunduk kapada kekuatan elit negara yang hegemonik tadi?
Melalui penelitian dengan metode analisis isi pada peraberitaan di Harian Kompas dan Republika, pernasalahan di atas dicoba dijawab. Kemandirian pers yang diteliti itu khususnya menyangkut kemandirian dalam mengungkap isu-isu kemasyarakatan yang pada akhir-akhir ini memang kebetulan banyak menenuhi agenda pemberitaan.Persoalan konflik tanah, perburuhan, pencemaran lingkungan, korupsi dan kolusi, demokratisasi, SARA, dan isu-isu kemasyarakatan lain yang sejenis, menjadi fokus penelitian.
Hasilnya, kemandirian pers dalam mengungkap berita sifatnya fluktuatif. Terkadang pers dapat menampilkan beritanya dengan kemadirian yang tinggi, terutama pada isu yang tidak sensitif, dan jenis tertentu yang memang menyangkut kepentingan yang mendasar, seperti persoalan tanah, perburuhan dan pencemaran lingkungan. Tapi pada kesempatan lain, pers terpaksa kompromi dengan kekuatan politis yang ada di luar diri mereka. Pada isu-isu yang sensitif menurut "kacamata" elit penguasa, definisi realitasnya lebih banyak ditentukan oleh sumber informasi yang berasal dari elit negara. Jadinya, kemandirian pers dalam mengungkap berita, bukan sekadar persoalan ketersediaan atau keterbatasan sumber daya dan perangkat peralatan yang dimiliki. Tapi persoalan kemandirian pemberitaan akhirnya lebih berkait dengan persoalan iklim politik. Yaitu siapa yang mempunyai posisi yang dominan dalam sistem politik tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novieta Hardeani Sari
"Seorang Presiden, sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintah, dalam menjalankan roda pemerintahan membutuhkan dukungan penuh, tidak hanya dari orangorang didalamnya namun juga dari masyarakat. Beliau sebagai Presiden dituntut memiliki adanya kredibilitas yang positif. Dalam melakukan tugasnya sehari-hari dia harus memiliki strategi komunikasi yang efektif, terarah, efisien dan terencana yang dilakukan oleh Public Relations/Humas. Dengan seringnya terjadi kerancuan informasi dan berita, Presiden merasa perlu untuk menyesuaikan diri agar tidak terjadi kesenjangan terutama untuk kebijakan-kebijakan yang diambilnya.
Maka pada Surat Keputusan Presiden No. 255/M/2000 tanggal 9 Oktober 2000, Presiden resmi mengangkat tiga orang juru bicara dan satu institusi pendukung yang menjadi satu kesatuan tim, Tim Media/Juru Bicara Kepresidenan, untuk membantu Presiden dalam mengelola informasi dan hubungan dengan media massa, mewakili apa saja yang menjadi keinginan Presiden yang layak diketahui masyarakat pada umumnya. Hal ini juga sebagai langkah menyikapi tekanan masyarakat yang meminta agar Presiden memiliki seorang juru bicara.
Karena Presiden mempunyai 'kekurangan' dalam masalah penglihatan, maka dengan keberadaan juru bicara akan banyak membantu tugas Presiden sehari-hari. Dalam menentukan suatu strategi komunikasi yang efektif, terarah, efisien dan terencana, sehingga dapat menunjang tujuan, visi dan misi organisasi, juru bicara perlu menguasai teknik-teknik kehumasan. Penjabaran teknik-teknik kehumasan, dijelaskan didalam kerangka pemikiran yang berisi tentang teori-teori manajemen komunikasi, meliputi reposisi, komunikasi internal, media relations, manajemen berita (cara mengemas pesan), dan manajemen fungsi human.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat evaluatif, dimana pengambilan datanya melalui wawancara tidak berstruktur tetapi terfokus kepada permasalahan, serta studi kepustakaan yang dapat memberikan kelengkapan data penelitian.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwasanya penyusunan strategi komunikasipada Tim Medial juru Bicara Kepresidenan masih belum maksimal dan efektif. Dimana pada level individu, permasalahan timbul karena kurangnya pengalaman yang dimiliki masing-masing anggota Tim Media/juru Bicara Kepresidenan dalam hal kejuru bicaraan.
Pada level insitusi, permasalahan yang timbul banyak berkaitan dengan kebijakan politik pemerintah yang lebih memperhatikan masalah-masalah politis dibandingkan masalah substantif Selain itu, balk Presiden maupun para juru bicara kepresidenan itu sendiri masih kurang memiliki sense of human relation, dimana mereka lebih mendahulukan emosi dari pada rasionalitas, yang tergambar pada pernyataan-pernyataan Presiden yang sering kali kontroversial.
Opini publik yang seharusnya dijadikan sebagai masukan bagi sebuah institusi untuk kemudian dilakukan penyesuaian-penyesuaian, kurang diperhatikan secara serius oleh individu-individu didalam sistem ini, termasuk mereka yang langsung dekat dengan Presiden, dengan alasan peroleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat untuk Partai Kebangkitan Bangsa sangatlah sedikit. Karena faktor-faktor (level socio-political environment) tersebutlah maka Presiden lebih peduli dengan masalah-masalah koalisi maupun kompromi-kompromi politik dibandingkan dengan opini publik, yang beliau nilai bisa ditempatkan diposisi kedua setelah dicapainya kompromi politik."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T8653
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sirait, Sondang Grace
"Media massa nasional di Indonesia sejak beberapa waktu yang lampau terus mengalami pertumbuhan modal, dan fungsinya sebagai sarana komunikasi yang sentral bagi lapisan elit telah membawa media massa khususnya media berita nasional terlibat dalam "perbincangan rasional" ekonomi politik. Perbincangan ini menjadi menarik dalam kasus Indonesia, karena negara ini Baru saja mengalami perubahan. Apakah dinamika ini membawa dinamika pula terhadap kehidupan pers Indonesia, itulah yang dicoba untuk ditelaah dalam penelitian ini. Paradigma post-structuralism dalam penelitian ini menempatkan media massa sebagai sebuah institusi yang berada dalam realitas negara yang saling berhubungan. Realitas itu menunjukkan dinamika dalam berbagai aspek, terutama menyangkut perubahan sosial dan kekuasaan dalam masyarakat, yang tidak merata dalam pembagiannya. Perubahan sosial terutama dapat dijelaskan melalui pendekatan teori Strukturasi dari Anthony Giddens (1984) dengan menggunakan konsepsi agensi, struktur, serta bentuk-bentuk interaksi didalamnya. Strukturasi sendiri dapat didefinisikan sebagai proses pembentukan diri (kembali) suatu struktur lewat interaksi antaragensi manusia. Ada dua konsep dasar dalam teori Strukturasi yang mewakili inti analisanya, yaitu agensi dan struktur. Agensi adalah sebuah konsepsi mengenai pelaku sosial (social actors) yang pada dasarnya merupakan individuindividu dengan nilai pribadi. Pembicaraan mengenai agensi adalah pembicaraan mengenai tindakan, yang erat dengan aplikasi kekuasaan. Sedangkan struktur merupakan suatu dualitas yang mengandung peraturan yang mengikat secara moral maupun birokratis dan sumber daya yang berhubungan dengan perolehan kekuasaan. Salah satu varian utama yang menjelaskan karakteristik media massa adalah keterkaitannya dengan struktur politik ekonomi. Dasar pemikirannya adalah bahwa media massa mutlak bersifat ideologis. Seperti bangunan, is berpijak pada pondasi struktur ekonomi politik tempatnya berada, dengan berpilarkan kondisi sosio-kultural masyarakat tempatnya beroperasi. Pendekatan yang dipakai dalam penulisan ini adalah teori Media Politik-Ekonomi, yang menempatkan media sebagai bagian integral dari proses-proses ekonomi, politik, dan sosial dalam masyarakat. Cara pandang seperti ini menempatkan media dalam kerangka teoretis yang lebih luas, terutama dalam hal keberadaannya secara institusional. Penelitian ini menggunakan metode Critical Discourse Analysis dari Norman Fairclough dalam melakukan kajiannya. Kerangka analisis itu juga disebut analisis kritis wacana, yang menggali teks dan konteks dari suatu wacana, dari level mikrostruktur sampai makrostruktur. Sesuai kebutuhan penelitian ini, di tingkat textual digunakan metode analisis berita yang menggabungkan skema tematik dan skematik berita dari van Dijk. Obyek penelitiannya merujuk pada pemberitaan kasus konflik sosial, dengan spesifikasi wacana berita kerusuhan berbau SARA pada era Orde Baru yang diwakili kasus Situbondo dan pada era Reformasi yang diwakili kasus Ambon. Pada tingkat discourse practice, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan pimpinan redaksi harian Kompas sebagai pihak penyelenggara pemberitaan. Dan dalam pembahasan tingkat sociocultural practice peneliti melakukan studi literatur untuk memperluas konteks analisis. Pertanyaan penelitian ini dijawab lewat temuan bahwa antara ciri pemberitaan media berita nasional pada era Orde Baru dan Reformasi terdapat perbedaan, yang dapat dijelaskan lahir sebagai dampak reproduksi struktur sosial yang dialami negara Indonesia, yang muncul sebagai hasil interaksi antaragensi didalamnya. Secara spesifik, reproduksi juga terjadi dalam struktur media massa nasional, yang juga terpengaruh interaksi berbagai agensi didalamnya. Bagi kerja media berita nasional, agensi-agensi yang mungkin terlibat dalam interaksi adalah wartawan, pimpinan redaksi, pemilik modal, berbagai kelompok kepentingan dalam masyarakat, individuindividu dengan kepentingan tertentu (self-inflicted individuals), dan pemerintah. Dampak riil interaksi antaragensi di atas menunjukkan kinerja dan hasil produksi pemberitaan yang berbeda, dimana pemberitaan era Reformasi memiliki ciri yang lebih dinamis dibandingkan dengan pemberitaan era sebelumnya. Pada akhirnya, penelitian ini mencapai kesimpulan sebagai berikut. Pertama, dalam kesadaran akan pola interaksi antaragensi dan struktur media berita yang akan terus berganti serta potensi berita sebagai kekuatan sosial baru, kita perlu memusatkan perhatian pada suatu agensi individual yang memegang peranan langsung terhadap produksi berita, yaitu wartawan. Kedua, media berita akan terus mengalami dinamika selama terjadi pergeseran pola interaksi dalam masyarakat. Melalui suatu proses dialektika, media berita akan kembali menjadi sarana bagi perubahan dalam masyarakat. Dan ketiga, mengenai keberadaan media berita sebagai suatu industri berkembang. Obyek penelitian ini, harian Kompas dapat menjadi contoh kasus yang menarik, terutama dalam hal perkembangannya menjadi industri besar dengan tetap mempertahankan ciri pemberitaannya yang subtle dan pragmatis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
S4209
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suraya
"ABSTRAK
Pokok permasalahan tesis ini dititik beratkan pada media yang diwakili oleh para pekerja medianya mengkonstruksi realitas sosial terutama mengenai kasus Aceh dilatarbelakangi oleh ideologi profesionalnya, yaitu menyajikan beritanya dengan tujuan untuk memberikan informasi, pendidikan dan hiburan. Namun kita belum mengetahui bagaimana sebenarnya cara pandang yang dimiiiki oleh institusi medianya (KOMPAS, Republika dan Suara Karya) terutama para individu pengelolanya terhadap kasus Aceh itu sendiri dan citra ABRI yang diangkat ?
Aspek yang ditelaah dalam kerangka teori adalah seputar isi berita (teks) dengan teori ekonomi politik, yang diintertekstualitaskan dengan produksi dan konsumsi teksnya serta sosial budaya pers di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk menemukan nilai-nilai (Ideologi) apa yang disebarkan oleh ketiga media tersebut melalui beritaberita kasus Aceh.
Hasil penelitian yang didapat, Republika dan Suara, Karya cenderung lebih banyak mengemukakan framing pelanggaran HAM. ABRI di citrakan sebagai pelariggar HAM. Pada Suara Karya eksemplar yang dikemukakan adalah kekejaman Polpot di Kamboja, Hitler dan Nazi-nya di Jerman dan kekejaman Serbia terhadap Bosnia.
Sedangkan KOMPAS mengemukakan ketiga framing secara merata, yaitu Stabilitas Keamanan, Jasa Rakyat Aceh dan Pelanggar HAM.
Namun pada elemen framing yang dikemukakan terdapat eksemplar, yaitu pemboman terhadap kedutaan besar Amerika Serikat di Nairobi, Kenya dan Dar es Salaam, Tanzania oleh aksi teroris. Depiction yang muncul adalah Terorisme pada aksi-aksi kerusuhan sedangkan pelakunya adalah teroris. Hal ini_ biasanya dikemukakan oleh media non Islam dengan menyebarkan nilai-nilai (Katolik) yang dianutnya. Ideologi dominan pada ketiga media tersebut adalah ideologi kapitalis. KOMPAS memiliki oplah yang besar sehingga lebih banyak dibaca dibandingkan dengan Suara Karya yang hanya lebih banyak dibaca oleh pegawai negeri (afiliasi ke Golkar) dan Republika yang segmen pembacanya kebanyakan muslim. Dengan adanya pemberitaan kasus Aceh tersebut. ketiga suratkabar mengharapkan lebihbanyak dibaca pembacanya sehingga oplahnya menjadi naik dan para pengiklan lebih banyak masuk.
Pemberitaan dalam media pada masa orde baru sangat dibatasi terutama yang menyangkut masalah Pancasila, UUD 1945, Dwi Fungsi ABRI dan kegiatannya serta Keluarga Suharto beserta kroninya. Karena itu pemberitaan mengenai ABRI sangat jarang terekspos. Sedangkan pada
masa reformasi, katup-katup pembatas tersebut mulai terbuka. Semua media menikmati ephoria kebebasan tersebut, sehingga kasus Aceh yang banyak menyangkut kegiatan ABRI mulai terekspos. Para pekerja media mengkonstruksi berita Kasus Aceh dipengaruhi oleh perekonomian media yang bersangkutan. Sehingga saat berita tersebut terjadi dikaitkan dengan krisis moneter yang melanda media massa serta peta politik yang sedang berubah ke arah era reformasi. Berita Kasus Aceh dikonstruksikan dengan tujuan agar oplah media tersebut menjadi naik sehingga tetap bertahan dalam situasi dan kondisi yang terjadi di Indonesia.
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
S4428
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harsono Suwardi
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993
323.445 HAR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>