Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 139689 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wongkar, Luter
"Salah satu ciri yang paling menonjol dalam era pasar bebas adalah barang dan atau jasa yang ditawarkan dapat berasal darimana saja tanpa mengenal hambatan yang berarti. Kunci persaingan dalam pasar global adalah kualitas total yang mencakup penekanan-penekanan pada kualitas produk, kualitas biaya/harga, kualitas pelayanan dan kualitas penyerahan tepat waktu.. Waktu pelayanan pengambilan obat di apotek di duga dipengaruhi oleh faktor jenis resep, jumlah item, jumlah resep dalam shift, shift dan ketersediaan obat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran waktu pelayanan pengambilan obat di apotek Kimia Farma Kota Pontianak dan melihat bagaimana hubungan antara jenis resep, jumlah item, jumlah resep dalam shift, shift dan ketersediaan obat dengan waktu pelayanan pengambilan obat di apotek serta faktor yang paling dominan berhubungan dengan waktu pelayanan.
Penelitian ini dilakukan di apotek Kimia Farma Kota Pontianak dari tanggal 10 Oktober 2000 sampai 4 Nopember 2000. Sampel penelitian sebanyak 385 resep dan jenis penelitian time motion study.
Analisis yang digunakan adalah analisis univariat, bivariat dan multivariat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa waktu rata-rata pelayanan pengambilan obat di apotek untuk obat jadi sebanyak 722,91 detik (12,05 menit) dan racikan sebanyak 1677,52 detik (27,96 menit). Shift pagi waktu pelayanan pengambilan obat jadi sebanyak 276,67 detik (4,61 menit) dan racikan sebanyak 1002,64 detik (16,71 menit) sedangkan shift sore waktu pelayanan pengambilan obat jadi sebanyak 884,73 detik (14,75 menit) dan racikan sebanyak 1878,16 detik (31,30 menit). Dari analisis bivariat di dapat faktor yang berhubungan dengan waktu pelayanan pengambilan obat di apotek adalah jenis resep, jumlah item, jumlah resep dalam shift, shift dan ketersediaan obat. Dari analisis multivariat didapat variabel yang paling dominan berhubungan dengan waktu pelayanan pengambilan obat di apotek adalah jenis resep.
Berdasarkan hasil penelitian disarankan kepada pihak apotek dapat digunakan untuk memberikan kepastian waktu pelayanan pengambilan obat di apotek. Selain itu apotek harus memberdayakan sumber daya manusia yang ada untuk meningkatkan mutu pelayanan kepada pasien atau keluarganya.
Kepustakaan 32 (1980-2000)

One of characteristic most conspicuous in free market era is commodities and or services can be offered from anywhere in the world without cant obstacle. Key competition in global market is total quality that emphasize on product quality, cost quality, service quality and quality of appropriate delivery time. It is suspected that delivery time of medicinal service at dispensary is related to types of prescription (patented drugs or dispensing one), number of drugs requested, and working shift number of prescription requests in a shift and drug availability.
This study is aimed at describing delivery time for medicinal service at Kimia Farma dispensary in Pontianak city, and to determine factors related to it, such as types of prescription, number of requested drugs, number of prescription requested in one working shift, the shift itself and availability of drugs at the dispensary. Further this study also examine which factors is the most related to the delivery time. This study was conducted from October 10 - November 4, 2000. Samples were 385 prescriptions of time and motion study.
This study showed that average time to delivery prescribed drugs for patented drugs is 722,91 seconds (12,05 minutes) and for dispensing drugs is 1677,52 seconds (27,96 minutes), During morning working-shift, average time for patented drugs 276,67 seconds (4,61 minutes) and for dispensing drugs is 1002,64 seconds (16,71 minutes), while during night working-shift, respectively 884,73 seconds (14,75 minutes) and 1878,16 seconds (31,30 minutes) for patented and dispensing drugs. Bivariat analysis showed that type of prescription; number of prescription request, total prescription requested in one working-shift, the shift itself and availability of drugs are the factors related significantly with delivery time. By using multivariate statistic, type of prescription is the most important explanatory variable to the delivery time.
Based on the results, it suggested to the dispensary management to start service option with a certainty time delivery to the customers. Further more; the management should empower their human resources in relation to improve quality of services.
Bibliography 32 (1980-2000)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T9899
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chur: Switzerland: Harwood, 1993
615.19 LIP
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Ichsan Baihaqi
"ABSTRAK
Amoksisilin trihidrat perlu dienkapsulasi pada sediaan yang termodifikasi untuk meningkatkan bioavailabilitasnya. Pada penelitian ini, studi pengaruh metode loading obat terhadap mekanisme disolusi obat pada hidrogel kitosan-poli N-vinilpirrolidon full-IPN dengan agen pembentuk pori CaCO3 telah berhasil dilakukan. Nilai efisiensi enkapsulasi in situ dan post loading berturut-turut sebesar 93 dan 75 . Sedangkan, nilai disolusinya sebesar 94 dan 98 berturut-turut untuk in situ loading dan post loading. Data uji disolusi dimasukkan ke dalam model orde-nol, orde-satu, Higuchi dan Korsmeyer-Peppas untuk mengetahui kinetika dan mekanisme disolusinya. Metode in situ loading mengikuti model orde-satu R2 = 0,9772 , sedangkan metode post loading mengikuti model Higuchi R2 = 0,9880 . Pada model Korsmeyer-Peppas, didapatkan mekanisme disolusi in situ loading berupa difusi Fickian n = 0,4024 , sedangkan post loading berupa gabungan difusi dan erosi n = 0,5532 . Pada hasil mikroskop optik terlihat bahwa permukaan hidrogel saat sebelum dan sesudah uji disolusi pada kedua metode loading menunjukkan perubahan menjadi lebih kasar. Pada hasil SEM terlihat bahwa bagian permukaan dan melintang dari hidrogel dengan metode post loading terbentuk pori dan saluran pori, baik sebelum dan sesudah uji disolusi. Sedangkan, dengan metode in situ loading pada bagian mendatar dan melintang terlihat pori dan saluran pori hanya setelah dilakukan uji disolusi.

ABSTRACT
Amoxicillin trihydrate needs to be encapsulated with a modified matrice to increase its bioavailability. In this study, the effect of drug loading methods on drug dissolution mechanism from chitosan poly N vinylpirrolidone hydrogel with CaCO3 as the pore forming agent has been studied. It was found that the encapsulation efficiency of in situ and post loading methods were 93 and 75 , respectively. The dissolution values were 94 and 98 , respectively for in situ and post loading. The dissolution test data was incorporated into zero order, first order, Higuchi and Korsmeyer Peppas models to determine the kinetic and the mechanism of the drug dissolutions. The in situ loading method followed first order model R2 0,9772 , while the post loading method followed Higuchi model R2 0,9880 . Based on Korsmeyer Peppas model, the dissolution mechanism of in situ loading was Fickian diffusion n 0,4024 , while post loading was a combination of diffusion and erosion n 0,5532 . In the optical microscope images, the hydrogel surface at the time before and after the dissolution test, on both loading methods, shows a change, it becomes rougher. In the SEM images showed that the surface and cross section of the the post loading method formed pores and pore channels, both before and after the dissolution test. Meanwhile, on the surface and the cross section of in situ loading method has pores and pore channels only after dissolution test."
2017
S69493
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Pitched at a level comprehensible to those new to the field, this authoritative text covers the scientific and technological fundamentals of drug delivery as well as clinical applications and the developmental potential in controlled release drug delivery."
New York: Springer, 2012
e20417665
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Garnis Fithawati
"Pengobatan umum akibat bakteri Helicobacter pylori dengan amoksisilin trihidrat yang dikonsumsi secara oral dan berulang kurang efektif. Hal ini dikarenakan amoksisilin trihidrat memiliki waktu yang singkat dalam lambung. Enkapsulasi amoksisilin trihidrat ke dalam matriks sistem penghantar obat mengapung dapat mengatasi masalah tersebut. Pada penelitian ini, amoksisilin trihidrat dienkapsulasi ke dalam matriks hidrogel Semi-IPN kitosan metil selulosa sebagai sistem penghantar obat mengapung dengan adanya penambahan agen pembentuk pori 20 KHCO3. Metode loading obat dilakukan secara in situ loading dan post loading. Metode loading obat in situ loading memberikan hasil efisiensi penjeratan dan persen disolusi lebih tinggi dibanding proses post loading. Efisiensi dan persen disolusi in situ loading yang didapatkan adalah 100 dan 92,70 secara berurutan. Sedangkan Efisiensi dan persen disolusi post loading adalah 98,7 dan 90,42 secara berurutan. Studi mekanisme disolusi obat dilakukan dengan pendekatan kinetika membuktikan bahwa baik in situ loading maupun post loading adalah difusi dan degradasi dengan nilai n berturut-turut 0,4913 dan 0,4602. Hasil tersebut didukung dengan adanya karakterisasi menggunakan mikroskop optik yang dilanjutkan dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy SEM . Pada hasil mikroskop optik pada kedua metode loading terlihat bahwa permukaan hidrogel semakin kasar. Dan hasil SEM pada kedua metode loading terihat bahwa terbentuknya pori yang memanjang setelah dilakukan uji disolusi.

Common treatment for Helicobacter pylori by repeated oral consumption of amoxicillin trihydrate is not effective. Amoxicillin trihydrate has a very short residence time in stomach which leads into its ineffectiveness. Residence time of amoxicillin trihydrate can be improved by encapsulating amoxicillin trihydrate into a floating drug delivery system. In this study, amoxicillin trihydrate is encapsulated into hydrogel semi IPN chitosan methyl cellulose matrix as a floating drug delivery system and then treated with 20 KHCO3 as pore forming agent. Drug loading process used are in situ loading and post loading. In situ loading process has higher efficiency percentage and dissolution percentage than post loading process. In situ loading process resulted 100 efficiency with 92,70 dissolution percentage. Post loading process resulted 98,7 efficiency with 90,42 dissolution percentage. Mechanism of drug dissolution study by kinetics approach showed both in situ loading process and post loading process are diffusion and degradation process n 0,4913 and n 0,4602 respectively. These results are supported by characterization data from optical microscope and scanning electron microscopy SEM . Data from optical microscope showed both loading process resulted in coarser hydrogel surface. Characterization using SEM showed elongated pores in both loading process after dissolution test."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S68063
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Allen, Loyd V., Jr.
Philadelphia: Wolters Kluwer Health, 2014
615.1 ALL a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Arnawilis
"Biaya belanja obat pada tahun 2000 di Rumah Sakit "IBNU S1NA" Pekanbaru sebesar Rp 2.784.442.315,00 atau 31,29% dari seluruh biaya operasional rumah sakit (Rp 8.894.418.879,00). Meskipun biaya yang dikeluarkan untuk pembelanjaan obat tersebut sudah cukup besar tetapi masih ditemukan masalah berupa belanja obat ke apotek luar sebesar Rp 325.687.400,00 atau 11,69%, dari biaya belanja obat. .Obat yang dibeli secara kontrak menumpuk sebesar Rp 249.059.000,00 atau 49,18% dari nilai obat yang dibeli secara kontrak yaitu sebesar Rp 600.000.000,00. Sejumlah obat deadstock sebesar Rp. 22.603.827,00 atau 0,8% dari biaya belanja obat. Penulis berasumsi masalah tersebut terjadi karena belum memadainya perencanaan obat di Rumah Sakit "IBNU S1NA" Pekanbaru. Berdasarkan hal tersebut penulis ingin mendapatkan gambaran perencanaan obat di Rumah Sakit "IBNU SINA" Pekanbaru pada Januari 2000 sampai dengan Desember 2000.
Penelitian ini merupakan studi kasus dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data diperoleh melalui wawancara mendalam yang mencakup informasi dari informan yang terkait, observasi dengan menelusuri data yang terdokumentasi. Penelitian ini dilaksanakan dari awal Mei sampai akhir Juni 2001.
Hasil wawancara mendalam dari observasi yang dilakukan terhadap variabel-variabel terkait dengan perencanaan obat di Rumah Sakit "IBNU SINA" Pekanbaru tahun 2000, didapatkan hal-hal yang sudah dipertimbangkan, yaitu pemakaian obat periode sebelumnya, stok akhir, masa tenggang (lead time), kapasitas gudang, stok pengaman, usulan dokter, usulan kepala kamar operasi, dan anggaran. Dengan catatan belum adanya data yang mendukung perhitungan terhadap hal-hal yang dipertimbangkan tersebut. Didapatkan juga hal-hal yang seharusnya sudah dipertimbangkan, tetapi pada kenyataannya belum dipertimbangkan, yaitu usulan komite medik, usulan panitia farmasi dan terapi, usulan kepala IGD, usulan kepala ruangan perhitungan analisis ABC pemakaian, perhitungan analisis ABC investasi, perhitungan indeks kritis ABC, perhitungan Economic Order Quantity (EOQ), pertimbangan Length of Slay, pola penyakit, formularium, dan standar terapi.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa perencanaan obat di Rumah Sakit "IBNU SINA" Pekanbaru tahun 2000 belum efektif, mengingat hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan obat belum sepenuhnya dipertimbangkan, dan pihak-pihak yang seharusnya terlibat belum dilibatkan.
Agar perencanaan obat lebih efektif dan efisien, maka penulis menyarankan kepada pihak manajemen dalam membuat perencanaan kebutuhan obat sebaiknya mempertimbangkan hal-hal yang semestinya dipertimbangkan dengan melibatkan pihak-pihak terkait. Selain itu, perlu dibuat prosedur tetap dan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan perencanaan obat.

The Process of Planning for Medical Supplies at IBNU SINA Moslem Hospital, Yarsi Riau - Pekanbaru, 2000.The medicine expenditure in the year 2000 at IBNU SINA Hospital, Pekanbaru was Rp 2,784,442,315.00 or 31.29% from the whole operational costs (Rp 8,894,418,879.00). Although the medicine expenditure is quite large, there still are prescriptions filled to other pharmacies amounting to Rp 325,687,4000.00 or 11.69% from the total medicine expenditure. Unused medication bought through contracts reached Rp 249,059,000.00 or 49.18% from the Rp 600,000,000.00 spent on medicine. The amount of dead stock medicine was Rp 22,603,827.00 or 0.8% from the total medicine expenditure. The author assumes that inadequate medical planning at IBNU SINA Hospital, Pekanbaru, caused it. Based on those facts, the author aims to achieve an illustration of the medical planning at IBNU SINA Hospital, Pekanbaru in January 2000 to December 2000.
This study was a case study that applies a qualitative approach. The data obtained through in-depth interviews that comprised of the information from related informants, observation by tracing documenting data, and Discussion Group Focus (FGD). This study began in early May to the end of June 2001.
The in-depth interviews, Discussion Group Focus, and observations on related variables against medical planning at IBNU SINA Hospital, Pekanbaru, in the year 2000, these aspects were already being considered: the use of medical supplies during the previous period, final stocks, lead time, warehouse capacity, safety stock, doctor recommendations, recommendations from the head of the surgery room, and budget. However, there is no data that supports the calculations on the aspects above. There were also several items that should be considered, but were not, such as the recommendations from the medical committee, pharmacy and therapy committee, the head of the IGD, the head of the room, calculations analysis of the ABC use, calculations analysis of the ABC investing, calculations on the ABC critical index, the Economic Order Quantity (ECQ), the Length of stay, disease pattern, Hospital drug standard, and therapy standard.
The study indicated that the medical supplies planning at IBNU SINA Hospital, Pekanbaru, in the year 2000, was ineffective, since the aspects that should be considered had not been considered, and the parties that should be involved were not involved.
To make the planning more effective and efficient, the author suggests the management to take into consideration the aspects above and involve the related parties. In addition to that, create a standard procedure and policies that is related to the planning.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suparmanto
"Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih tergolong tinggi (373 per 100.000 kelahiran hidup, SKRT 1995). Setelah melalui penelusuran oleh WHO melalui Prevention of Maternal Mortality Network diketahui ada 3 keterlambatan yang terjadi. Pertama terlambat membuat keputusan di tempat tinggal pasien, kedua terlambat merujuk ketempat yang lebih mampu untuk menangani dan ketiga terlambat memberi pertolongan setelah berada di rumah sakit.
Dalam sebuah penelitian di Afrika didapati waktu tunggu penanganan kasus gawat darurat berkisar antara 2,6 jam hingga 15,5 jam. Untuk mengetahui keadaan di Pontianak dibuat sebuah penelitian mengenai waktu tunggu kasus gawat darurat kebidanan yang dirujuk atau datang sendiri ke rumah sakit. Penelitian dilangsungkan selama 8 minggu sejak 15 September hingga 15 Nopember 2000. Sampel diambil secara purposif sejumlah 35 kasus. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi waktu tunggu persiapan operasi kasus gawat darurat kebidanan diteliti antara lain karakteristik pasien (pendidikan pasien, kadar Hb pasien, pendidikan suami, kehadiran suami, penghasilan keluarga) karakteristik sumber daya rumah sakit (kesibukan dokter jaga, bidan, dokter operator, staf kamar operasi) karakteristik fasilitas (kesibukan kamar operasi, waktu persiapan alat operasi) karakteristik administrasi (mendapatkan ijin operasi) dan karakteristik penunjang (tersedianya darah).
Hasil penelitian memperlihatkan rerata waktu tunggu 8 jam 16 menit dengan nilai median 5 jam 45 menit. Waktu terpendek 30 menit dan terpanjang 25 jam 36 menit. Panjangnya waktu tunggu disebabkan oleh kondisi pasien. Sebagian variabel yang diteliti tidak ada hubungan bermakna kecuali kadar Hb dan waktu persiapan kamar operasi. Variabel waktu persiapan kamar operasi ternyata merupakan faktor paling dominan.
Disarankan untuk meningkatkan mutu pelayanan secara keseluruhan dan memperpendek waktu tunggu agar menempatkan bank darah didalam rumah sakit dan persiapan kamar operasi lebih baik lagi. Bagi pasien yang akan dirujuk diupayakan agar tetap berada dalam kondisi terbaiknya. Selain itu juga dianjurkan membuat dan membina jaringan kerjasama antara rumah sakit dan Puskesmas serta mencoba mendapatkan cut off point waktu tunggu melalui organisasi profesi (POGI).

Waiting Time Analysis of Preparation Operation for Obstetric Emergency Cases in Hospitals in Pontianak in the Year 2000The Maternal Mortality Rate in Indonesia is still high with 373 deaths per 100.000 live birth(SK.RT 1995). WHO through Prevention of Maternal Mortality Network had found that there were 3 categories of late in helping the patients. The first is "late to decide" by the family, second is "late to refer" to the hospital and the third is "late to take care the patient inside the hospital by the health personnel".
Former study in Africa for waiting time was found that it need between 2,6 to 15,5 hours for a patient to wait until she got a help. This study was trying to know the waiting time for an emergency case in obstetric begins when she arrived until she got medical interventions such as cesarean section or laparotomy. The study was carried out for about 8 weeks, from 15th of September until 15th of November 2000. The samples were taken by purposive method and a total of 35 cases were achieved during this study period. Many factors were correlated to the waiting time such as characteristics of the patients (education, hemoglobin value, education of her husband, husband present in the hospital) characteristics of personnel of the hospital (level of occupancy of the doctor in charge, the midwife, the obgyn and the staff of the operation room)characteristics of the facility of the operation room (readiness of the operation room, readiness of the equipment) characteristic of getting the letter of inform consent (time to get the agreement) characteristic of the other (readiness of the blood).
The result of this study found that the waiting time's mean was 8 hours 16 minutes. The median was 5 hours 45 minutes and the range was 30 minutes to 25 hours 36 minutes. The causes of the length of the waiting time were patients? condition. There were no significant variables except hemoglobin value and preparation of the operation room's time. With the backward method of linear regression the time for preparation of the operation room was the most dominant variable.
To improve the quality in health services and make the waiting time shorter, it is suggested to make preparation time faster, organized a blood bank inside the hospital and referred patient in her best condition. Also suggested to build and maintain good networking between hospital and health center and try to find the cut off point of waiting time through the Indonesian Society of Obstetric and Gynecologist (ISOG).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T8441
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mustofa
"Toko obat berijin sebagai bagian dari sistem distribusi obat dalam upaya pemerataan ketersediaan obat sehingga obat mudah diperoleh pada saat yang diperlukan dan terjangkau oleh masyarakat sesuai dengan salah satu kebijakan nasional dibidang obat.
Kepatuhan pemilik toko obat berijin dalam menyalurkan obat-obatan berguna dalam mencegah terjadinya penyalahgunaan dan kesalahgunaan obat, tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pemilik toko obat dalam melaksanakan ketentuan pokok operasional toko obat berijin yaitu Keputusan Menteri Kesehatan nomor 167 tahun 1972.
Penelitian dilakukan dengan rancangan cross-sectional , pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner dan pengamatan langsung di lapangan, penentuan patuh dan tidak patuh berdasarkan ditemukan atau tidaknya obat keras, obat palsu atau diduga palsu di toko obat yang dijadikan sampel. Responden adalah 70 pemilik toko obat berijin yang tersebar di sembilan Kabupaten/Kota dalam provinsi Jambi dan faktor-faktor yang dilihat hubungannya dengan kepatuhan adalah faktor pendidikan, pengetahuan, sikap, persepsi, motivasi, penerapan sangsi, supervisi, tingkat kehadiran asisten apoteker penaggung jawab serta faktor lingkungan.
Hasil penelitian menunjukan 44 responden (62,8%) patuh, sedangkan sisanya 26 responden (37,8%) kurang patuh. Dart sembilan faktor yang diteliti ternyata empat diantaranya mempunyai hubungan dengan kepatuhan pemilik toko obat berijin yaitu faktor motivasi, supervisi, kehadiran asisten apoteker dan lingkungan. Pemilik toko obat berijin yang memiliki motivasi tinggi 5,6 kali lebih patuh dari yang memiliki motivasi rendah; yang menyatakan supervisi bermanfaat 3,4 kali lebih patuh dari yang menyatakan supervisi kurang bermanfaat; toko obat yang sering dikunjungi oleh asisten apoteker penangung jawab, lebih patuh 7,6 kali dari yang jarang dikunjungi oleh asisten apotekernya dan pemilik toko obat yang berada dalam lingkungan kondusif 23 kali lebih patuh dari pemilik toko obat yang berada dalam lingkungan kurang kondisif. Faktor lingkungan diketahui merupakan faktor paling dominan yang mempengaruhi kepatuhan pemilik toko obat berijin.
Untuk menekan persentase pelanggaran di toko obat diharapkan Balai POM di Jambi lebih menekankan pada perbaikan lingkungan berupa penyebaran informasi kepada masyarakat tentang efek samping obat dan cara pemakaian obat yang benar serta rasional; Pemerintah daerah (Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota) mampu memberikan arahan baik kepada asisten penanggung jawab maupun kepada pemilik toko obat tentang tugas dan tanggung jawab selaku pengelola toko obat berijin sebelum ijin dikeluarkan dan kepada Badan POM diharapkan dapat menambah frekuensi supervisilpengawasan di lapangan secara lebih proporsional sesuai dengan luas wilayah kerja dan jumlah sarana yang harus diawasi oleh Balai POM."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T4606
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karenna
"Nanoemulsi donepezil yang dihantarkan dari hidung ke otak dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan akumulasi donepezil di otak dan menghindari efek samping di saluran cerna. Namun, penelitian sebelumnya masih menggunakan konsentrasi surfaktan yang dapat menimbulkan sitotoksisitas. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan nanoemulsi donepezil dengan droplet berukuran di bawah 200 nm, nilai potensial zeta lebih besar dari 30 mV, indeks polidispersitas kurang dari 0,3, pH mendekati pH fisiologis nasal, serta fluks permeasi in vitro yang lebih tinggi dari kontrol. Nanoemulsi m/a yang mengandung donepezil, asam oleat, Tween 80, PEG 400, BHT, dan air demineralisata dibentuk dengan metode homogenisasi kecepatan tinggi dan ultrasonikasi. Parameter organoleptis, ukuran, indeks polidispersitas, potensial zeta, pH, permeasi in vitro melalui mukosa nasal kambing, dan stabilitas tiga formula nanoemulsi yang mengandung 3%, 4%, dan 5% surfaktan dinilai dan dibandingkan. Ketiga nanoemulsi memiliki ukuran droplet di bawah 110 nm, potensial zeta mencapai -29,77 mV, indeks polidispersitas kurang dari 0,3, pH masih ditoleransi mukosa nasal, dan stabil dalam penyimpanan pada suhu 30 ± 2 °C maupun 5 ± 2 °C selama sebulan. Melalui studi ini disimpulkan bahwa nanoemulsi F2 memiliki karakteristik fisik yang baik dan fluks permeasi terbaik (9,51 ± 2,64¼g/cm2.jam) sehingga berpotensi digunakan untuk meningkatkan akumulasi donepezil di otak.

Donepezil nanoemulsion delivered via the nose to brain route can be an alternative to increase donepezil accumulation in the brain and avoid gastrointestinal side effects. However, previous study still used high surfactant concentrations which can cause cytotoxicity. This study aims to produce donepezil nanoemulsions with droplet sizes below 200 nm, zeta potential values greater than 30 mV, polydispersity index less than 0.3, pH nearing nasal physiological pH, and higher in vitro permeation compared to control. An o/w nanoemulsion comprising of donepezil base, oleic acid, Tween 80, PEG 400, BHT, and demineralized water was formed by high-speed homogenization and ultrasonication. Organoleptic, size, polydispersity index, zeta potential, pH, in vitro permeation through goat nasal mucosa, and the stability of three formulas containing 3%, 4%, and 5% surfactant were compared. All three nanoemulsions had droplet sizes below 110 nm, zeta potential up to -29.77 mV, polydispersity index less than 0.3, pH tolerated by nasal mucosa, and stable in storage at 30 ± 2 °C and 5 ± 2 °C for a month. This study concludes that the F2 nanoemulsion had good physical characteristics and the best permeation flux (9,51 ± 2,64¼g/cm2.hour), thus having potential to increase donepezil accumulation in the brain."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>