Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 185688 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eulis Wulantari
"Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kemajuan suatu pengobatan yang telah dicapai adalah dengan melihat angka konversi pemeriksaan dahak setelah 2 bulan pengobatan (fase awal). Tingginya angka konversi diharapkan akan diikuti oleh tingginya angka kesembuhan.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah studi kasus kontrol berpadanan. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Population target dari penelitian ini adalah 46 puskesmas dari 101 puskesmas yang ada di Kabupaten Bogor, dengan jumlah sampel penelitian terdiri dari 50 kasus dan 100 kontrol.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan keteraturan berobat dengan kegagalan konversi setelah pengobatan fase awal pada penderita TB Paru BTA positif. Variabel independen adalah keteraturan berobat sebagai variabel utama, dan variabel lain yaitu umur, jenis kelamin, beratnya penyakit (lama batuk darah), penyakit komorbid (diabetes melitus, asma rematik artritis) dan vaksinasi BCG. Variabel dependen adalah kegagalan konversi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penderita TB paru BTA positif yang teratur berobat pada kasus adalah sebesar 44% dan yang teratur berobat pada kontrol adalah sebesar 89%. Keteraturan berobat dari lama batuk darah juga mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian kegagalan konversi setelah pengobatan pada fase awal. Setelah dikontrol dengan variabel lain, terbebas dari interaksi dan faktor konfounding maka model akhir dari kegagalan konversi setelah pengobatan fase awal adalah keteraturan berobat yang membetikan risiko sebesar 1/8 kali dibandingkan dengan penderita yang tidak teratur berobat.
Berdasarkan hasil penelitian, dianjurkan pada pelaksana program puskesmas untuk melakukan pemantauan makan obat dengan memotivasi penderita maupun dengan mengoptimalkan fungi pengawas makan obat (PMO). Disamping itu anamnese yang mendalam terhadap penderita diperlukan untuk melihat kemungkinan adanya batuk darah dan lamanya batuk darah sebelum mendapat pengobatan.
Pada peneliti lain di sarankan untuk melakukan penelitian disain kohor dengan pemeriksaan laboratorium maupun radiologi. Sehingga informasi yang diperoleh berguna dan dapat dijadikan bahan masukan bagi pengambil kebijakan penyelenggaraan program TB Paru.

Regular Treatment and Failure Occurrence Risk after Initial Treatment Phase At Pulmonal Tuberculosis in Bogor Distric from 1999 to 2001Failure after initial phase treatment acts as an indicator in analyzing the improvement of the treatment in the initial phase. Conversion rate is expected to be followed by cure rate.
The research is designed as a matched case control study, and the data collected in this thesis are primary and secondary data. The target population of this research is those covered by 46 Health Centers of 101 Health Centers spread all over Bogor District. The number of the eases participate in this study is fifty while the control is one hundred.
The purpose of this thesis is to examine the relationship between treatment regularity patient and the occurrence of conversion failure after initial treatment phase. The independent variable of this research is treatment regularity as the main variable, while age, sex, severity of decease (prolonged bleeding cough), comorbid diseases (diabetes mellitus, rheumatic arthritis, asthma) and BCG vaccination as potential confounding variable. The dependent variable is conversion failure after initial treatment phase.
The result of this research showed that patients who follow their treatment schedule regularly in the control group (89%) is higher than those in the case group (44%). Treatment regularity and prolonged bleeding cough are significantly related to conversion failure after initial treatment phase in pulmonary tuberculosis.
Adjusted to the related factors by analyzing the confounding factors and interaction between them, the fixed model consisted of treatment regularity as risk protector for conversion failure after initial treatment phase lowering the risk to118 time than patient without regular treatment.
Based on the result of this study, it is suggested to the public health center programmers to observe the treatment regularity by motivating the patient and optimalizing the function of the drug-taking controller. Beside that, the in-depth anamnesis to the patient is needed to detect possibility of the existing and the length of the bleeding cough before getting the treatment.
It is also recommended to another researcher to investigate this issue using cohort design and comprehensive research through laboratory examination and radiology observation, it is expected that all information found in the research may help the stakeholders to implement the policies related to the advancement of TB program."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 10025
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jajat Hidajat
"Tuberkulosis Paru (TB. Paru) merupakan masalah kesehatan masyarakat penting, WHO memperkirakan bahwa di Indonesia setiap tahunnya ada 581.000 kasus baru tuberkulosis dengan 140.000 kematian dan merupakan penyumbang ke tiga terbesar kasus tuberkulosis di dunia setelah India dan Cina.
Berdasarkan survei tahun 1979 - 1993 didapat prevalensi BTA (+) rata-rata 0,29%, terendah di Bali (0,08%) dan tertinggi di Nusa Tenggara Timur (0,79%). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menyebutkan bahwa TB. Paru adalah penyebab kematian ketiga, sesudah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran pernapasan. Di Kabupaten Pontianak prevalensi TB. Paru BTA (+) tahun 1994 adalah 0,55 per 1000 penduduk. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai ketidakpatuhan berobat penderita TB. Paru BTA (+) di Kabupaten Pontianak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan berobat penderita TB. Paru BTA (+) di Kabupaten Pontianak. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2000, disain penelitian adalah kasus kontrol dengan sampel penelitian adalah penderita TB. Paru berumur 14 tahun dengan BTA (+) yang bertempat tinggal di Kabupaten Pontianak pada tahun 1999 - 2000 dan mendapat pengobatan dengan OAT, baik kategori-1 maupun kategori-2; sedangkan jurnlah sampel yang diambil berjumlah 108 kasus dan 108 kontrol.
Hasil yang diperoleh, dari 459 penderita TB. Paru BTA (+) yang diobati yang dinyatakan sembuh 74,1%, pengobatan lengkap 21,3%, lalai berobat 0,9%, gagal 2% dan meninggal 1,7%. Hasil analisis univariat, dari 216 responden 64,35% jenis kelamin laki-laki dan 33,65% perempuan; umur terbanyak pada kelompok umur 34-43 tahun (31,02%), tingkat pendidikan terbanyak pendidikan rendah (66,2%) dan pekerjaan terbanyak petani/pedagang (60,19%). Pada analisis univariat, dari 14 variabel independen temyata hanya 12 variabel yang dianggap potensial sebagai faktor risiko (p<0,25), variabel yang dianggap sama untuk kedua kelompok (p>0,25) adalah variabel jenis kelamin dan pendidikan.
Hasil analisis multivariat dengan metode regresi logistik dari 12 variabel independen yang diambil sebagai model, ternyata hanya 5 variabel yang mempunyai hubungan bermakna secara statistik (p<0,05), yaitu tidak mengerti materi penyuluhan (OR=5,6 95% CI : 2,3 ; 13,8 dan p=0,000), tidak ada PMO (OR-16,2 95% CI : 4,7 ; 56,0 dan p4,1,000), pengetahuan tentang TB. Paru kurang (OR=31,9 95% CI : 11,3 ; 89,9 dan p=0,000), pelayanan tidak Iengkap (OR-7,0 95% CI : 1,3 ; 36,2 dan p 0,000) dan kelompok umur. Kelompok umur di klasifxkasikan ke dalam 6 kelompok dengan kelompok umur 64-73 tahun sebagai referensi; hasilnya adalah kelompok umur 14-23 tahun (OR-12,9 95% Cl : 1,5 ; 108,5 dan p 0,019), kelompok umur 24-33 tahun (OR-8,3 95% CI : 2.0 ; 68.6 dan p 4l.048), kelompok umur 34-43 tahun (OR-4,9 95% CI : 0,8 ; 32,2 dan p=0,095), kelompok umur 44-53 tahun (OR=11,0 95% CI : 1,5 ; 82,0 dan p--0,020) dan kelompok umur 54-63 tahun (OR-2,7 95% CI : 0,3 ; 20,9 dan p=0,348).
Kesimpulan yang dapat ditarik yaitu faktor tidak mengerti materi penyuluhan, tidak ada PMO, pengetahuan kurang mengenai TB. Paru, pelayanan tidak lengkap, umur yang secara bersama-sama mempunyai hubungan yang bermakna (p<0,05) dengan ketidakpatuhan berobat penderita TB. Paru BTA (+) di Kabupaten Pontianak tahun 1999-2000.
Selanjutnya dapat disarankan agar faktor penyuluhan kesehatan dari petugas kesehatan supaya lebih di intensifkan lagi, dilakukan pembinaan secara berkesinambungan terhadap PMO dan meningkatkan kemampuan pengelola program P2 TB Paru di Puskesmas. Selain itu juga juga perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai ketidakpatuhan berobat, terutama terhadap faktor stigma masyarakat, ESO, PMO dan persepsi terhadap kemajuan pengobatan dengan suatu alat ukur atau instrurnen yang lebih baik.
Daftar Pustaka 46 : (1986 - 2000)

Pulmonary Tuberculosis (Pulmonary TB) is serious public health problem, WHO estimated about 140 thousands of TB deaths in Indonesia annually, and every year 483 thousands new TB Cases and contributed the 3 rd greatest number of TB cases in the world after India and China. Based on survey between 1979 - 1993, the prevalence of AFB (+) is about 0.29%, the lowest is in Bali (0.08%) and the highest is in East Nusa Tenggara (0.79%). The Household Health Survey (SIKRT) in 1995 mentioned that Pulmonary TB was the Std caused of death after Cardiovascular Diseases and Respiratory Diseases. In Pontianak Regency prevalence of Pulmonary TB in 1994 is 0.55% per 1000 people and there is no formal research result about incompliance treatment of pulmonary TB AFB (+) patient mentioned in area.
The objective of this research is to understand key factors associated with incompliance treatment of patients of Pulmonary TB AFB (+) in Pontianak Regency. Research was done in June 2000, by using case control design. Population sample are the Pulmonary TB patients in the age over 14 year old with AFB (+) who live in Pontianak Regency in 1999 - 2000 with anti-TB drugs treatment, not only the first category but also the second category. The sample size were 108 cases and 108 controls.
The results pre, from 459 Pulmonary TB treated patients AFB (+), 74.1% recovery, 21.3% completed treated, 0.9% defaulted, 2.0% failure and 1.7% dead. The univariate analysis results from 216 respondences 64.35% male and 35.65% female; 31.02% at age group of 34-43 years old, most of them have low education level (66.2%) and 60.19% stated as farmer/merchant. Based on univariate analysis, from 14 independent variables found that only 12 considered as potential risk factors (p<0,25), the variables considered as similar for two categories (p>0.25) are gender and education.
In logistic regression method using 12 independent variables in the model and incompliance toward treatment variable as dependent variable, there were only 5 independent variables that have significant relationship (p<0.05). The 5 variables were : the lack of understanding of health promotion materials (OR=5.6 95% CI : 2.3 ; 13.8 and p=0.000), the availability of overseer of the DOT (OR-I6.2 95% Cl : 4.7 ; 56.0 and p=0.000), the lack of knowledge of Pulmonary TB (OR=31.9 95% CI : 11.3 ; 89.9 and p=q.000), the incomplete of facilities service (OR-7.0 95% CI : 1,3 ; 36,2 and p=0,000) and the age groups. The age groups were classified into 6 groups; i.e. 14-23 year old, 24-33 year old, 3443 year old, 44-53 year old, 54-63 year old and 64-73 year old, The age group of 64-73 year old had become a reference for other groups. Each other groups was compared to reference (64-73 year old). The comparisons result in OR-12,9 95% CI : 1.5 ; 108.5 and p=0.019 (group of age 14-23 year old), OR=8.3 95% Cl : 2,0 ; 68.6 and p O.048 (group of age 24-33 year old), OR=4.9, 95% CI : 0.8 ; 32.2 and p=0.095 (group of age 34-43 year old), (OR-11.0 95% CI : 1,5 ; 82,0 and p=0,020 (group of age 44-53 year old) and OR=2.7 95% CI : 0.3 ; 20.9 and p=0.348 ( group of age 54-63 year old ).
The conclusion is that the lack of understanding of health promotion materials, the availability overseer of the DOT, the lack of knowledge of Pulmonary TB, the uncompleted of facilities service and the age group have significant relationships (p<0.05) with incompliance toward treatment among patients of Pulmonary TB AFB (}) in Pontianak Regency in 1999 - 2000. Furthermore, it is suggested to make health promotion from health staff more intensive, cultivate the overseer of DOT continuously and improve the capability of the organizer TB Program in health center (Puskesmas). Besides that, it needs to do further research on incompliance toward treatment, mainly on community stigma, drug side effect, efficacy of overseer of the DOT and the perceived treatment using a better indicator or instrument.
Reference : 46 (1986 - 2000)
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T2755
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tjetjep Yudiana
"Penyakit tuberculosis (TB) dewasa ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat khususnya di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah telah melakukan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short Course) yang merupakan komitmen internasional. Namun demikian dalam pelaksanaannya masih ditemukan hambatan, misalnya masih tingginya kegagalan pengobatan sebagaimana yang dihadapi Kabupaten Bandung. Penderita dinyatakan gagal pengobatan apabila hasil pemeriksaan ulang dahak pada satu bulan sebelum akhir pengobatan atau pada akhir pengobatan dahaknya tetap positif. Sebaliknya apabila hasilnya negatif, dapat dinyatakan sembuh.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perilaku kepatuhan mengambil obat pada penderita TB paru BTA(+) dengan pengobatan kategori I terhadap kegagalan pengobatan dan pengaruh kovariat lainnya (persediaan obat anti tuberculosis, persepsi responden terhadap jarak rumah dengan Puskesmas, penilaian responden terhadap pelayanan petugas, peranan pengawas menelan obat dan persepsi responden terhadap efek samping obat) terhadap kegagalan pengobatan di Kabupaten Bandung tahun 1999-2000.
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur perilaku kepatuhan mengambil obat menggunakan kartu pengobatan (TB.01), untuk mengukur kovariat lainnya menggunakan kuesioner, sedangkan untuk mengukur status gagal dan sembuh menggunakan data sekunder (TB 03) berdasarkan laporan hasil pemeriksaan laboratorium dari PPM dan PRM.
Jenis disain penelitian ini adalah studi kasus kontrol, dengan besar sampel berjumlah 266 responden terdiri dan 133 kasus (penderita yang dinyatakan gagal dalam pengobatannya) dan 133 kontrol (penderita yang dinyatakan sembuh). Baik kelompok kasus maupun kontrol diidentifikasi melalui pemeriksaan mikroskopis di puskesmas. Berdasarkan analisis multivariat dengan regresi logistik menunjukkan bahwa perilaku kepatuhan mengambil obat setelah dikontrol oleh kovariat persepsi responden terhadap jarak rumah dengan Puskesmas, peranan PMO dan persepsi responden terhadap efek samping obat berpengaruh signifikan terhadap kegagalan pengobatan OR=7,422 (95% CI;4,034-13,657).
Guna meningkatkan upaya penanggulangan TB, penelitian ini menyarankan bahwa perlu mengoptimalkan kemampuan petugas kesehatan dalam memberikan motivasi kepada penderita, melibatkan lembaga yang terdekat dengan masyarakat misalnya RT/RW, mengoptimalkan peranan PMO, dan upaya khusus lainnya guna menemukan OAT yang dapat menekan sekecil mungkin risiko efek samping yang ditimbulkan oleh OAT.

Behavioral Analysis of Compliance of Pulmonary Tuberculosis Diseases with Bacterial Resistance (+) Patients to Take Drug with Medication Category I to the Medication Failure in Public Health Center Bandung Regency 1999-2000
Tuberculosis diseases (TB) today still represents the problem of health of society specially in developing countries include in Indonesia. To overcome the problem, government has conducted DOTS strategy (Directly Observed Treatment Short Course) representing international commitment However in its execution still found hindrances, for example still the high failure of medication as faced by Bandung regency.
The patients stated to be failed in medication if result of phlegm reexamining in one month before the end of medication or by the end of medication of his phlegm remains to be positive. On the contrary if its result to be negative, can be expressed to recover. The target of this research is to know behavioral influence of compliance of pulmonary tuberculosis diseases with acid bacterial resistance (+) patients to take drug with medication category I to the failure medication and other covariant influences (supply of anti tuberculosis, respondents perception to the distance of home to public health center, the respondents judge toward officer service, the role of supervisor to take the drug and respondent's perception to the drug side effects) to failure of medication in Bandung regency in 1999-2000.
Measuring instrument used to measure the compliance behavior to take drug using medication card (TB.01), to measure other covariate using questioner, while to measure failure and recover status to use secondary data (TB.03) pursuant to report result of assessment of laboratory from PPM and PRM.
The type design of this research is control case study, with the sample amount to 266 respondents consist of 133 cases (expressed patients failed in their medication) and 133 control (expressed patient recovered). Whether case group and control identified through microscopic assessment in public health center.
Pursuant to multivariate analysis with logistic regression shows that compliance behavior to take drug after controlled by respondent's perception covariate to the house distance with public health center, PMO role and respondent's perception to drug side effects have an significant effect to failure of medication OR =7,422 (95% CI: 4,034-13,657).
In order to improve TB handling effort, this research suggests that require to maximize the ability of health officer in giving motivation to patient involves closest institutes with society for example RT/RW, to maximize PMO role, and other special efforts in order to find OAT that could depress as small as possible of side effects risk generated by OAT."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 10349
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Panduasa
"Konversi pada pengobatan penderita TB paru merupakan tanda keberhasilan pengobatan dan pencegahan penyebaran kuman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh merokok terhadap kegagalan konversi penderita TB Paru.
Penelitian ini menggunakan disain kasus kontrol. Kasus adalah penderita yang mengalami kegagalan konversi Sedangkan kontrol adalah penderita yang mengalami konversi. Hasil akhir didapatkan penderita dengan riwayat merokok sebelum pengobatan mendapatkan rasio odds 4,92 kali (CI95% 1,6-14,51) terjadi kegagalan konversi dan penderita yang merokok pada saat pengobatan tuberkulosis mendapatkan rasio odds 13,77 kali (CI 95% 4,6-41,01) terjadi kegagalan konversi setelah dikontrol umur, keteraturan berobat, penyakit diabetes melitus. Maka penderita tuberkulosis perlu berhenti merokok selama pengobatan.

Conversions is a sign of the success of the treatment and prevention of the spread of germs. This study aimed to determine the effect of smoking on conversion failure patients with pulmonary TB. This study used a case-control design. Cases were patients who experienced failure of conversion while controls were patients who experienced conversion. The final results obtained patients with a history of smoking prior to treatment to get an odds ratio of 4.92 times (CI95% 1.67 to 14.51) conversion failure and patients who smoked at the time of treatment for tuberculosis getting odds ratio 13.77 times (95% CI 4 0.62 to 41, 01) conversion failure after controlling age, regularity of treatment, disease diabetes mellitus. So tuberculosis patients have to stop smoking during tuberculosis treatment."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Helda Suarni
"Penyakit tuberkulosis merupakan masalah global dunia dan diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Bakteri Mycobacterium tuberculosis . WHO memperkirakan dalam dua dekade pertama di abad 20, satu miliar orang akan terinfeksi per 200 orang berkembang menjadi TBC aktif dan 70 juta orang akan mati akibat penyakit ini. Di Indonesia, TBC merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TBC di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TBC didunia. Angka kesakitan penyakit TB Paru dengan hasil BTA (+) di Kota Depok khususnya Kecamatan Pancoran Mas masih cukup tinggi. Adanya masalah penyakit TB Paru di sebabkan oleh beberapa faktor risiko, salah satunya adalah faktor lingkungan seperti kepadatan hunian,ventilasi pencahayaan, suhu, kelembaban dan jenis lantai.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni tahun 2009 di wilayah kerja empat puskesmas yang ada di Kecamatan Pancoran Mas yaitu Puskesmas Pancoran Mas, Puskesmas Cipayung, Puskesmas Rangkapan Jaya dan Puskesmas Depok Jaya. Sampel yang di ambil adalah semua tersangka TB Paru yang datang berobat ke puskesmas yang berumur >= 15 tahun dan tercatat di buku register TB Paru. Jumlah sampel yang diperlukan adalah 50 untuk kasus dengan hasil pemeriksaan BTA (+) dan 50 untuk kontrol dengan hasil pemeriksaan BTA (-), di mana pengambilan sampel dilakukan dengan cara sistematik random sampling. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan faktor risiko lingkungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru BTA Positif di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok bulan Oktober tahun 2008- April tahun 2009.
Faktor risiko lingkungan yang di teliti adalah kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, suhu, dan lantai rumah dengan memperhatikan karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, prilaku batuk dan kebiasaan merokok dari responden Metode yang digunakan adalah desain kasus kontrol dengan perbandingan 1:1 dengan 50 penderita TB Paru BTA positif sebagai kasus dan 50 penderita BTA negatif kontrol.
Hasil penelitian ini menunjukkan faktor risiko lingkungan berhubungan dengan kejadian TB Paru BTA (+) adalah ventilasi rumah (OR=14,182 CI=5,412-37,160 %), pencahayaan (OR =9,117 CI= 3,668- 22,658) sedangkan faktor risiko lain adalah perilaku tidak menutup mulut saat batuk (OR =12,310 CI=3,375-44,890). Sedangkan untuk suhu dan kelembaban walaupun secara statistik tidak menunjukkan hubungan tetapi rata-rata tidak memenuhi persyaratan rumah sehat ( suhu rata-rata 30,84ºC dan kelembaban rata-rata 70,38 %).
Untuk itu disarankan kepada masyarakat untuk selalu menjaga kebersihan rumah, berperilaku hidup bersih dan sehat dan melakukan penghijaun di rumah. Untuk petugas puskesmas sebaiknya lebih meningkatkan lagi kegiatan di klinik sanitasi, melakukan kunjungan langsung kerumah penderita TB Paru dan tidak henti-hentinya memberikan penyuluhan kepada masyarakat. Untuk Dinas Kesehatan Depok sebaiknya tidak hanya menekankan kepada pengobatan penderita tetapi juga lebih kepada pencegahan penyakit ini dan kepada Pemerintah Kota Depok sebaiknya lebih meningkatkan perencanaan program rumah sehat seperti perencanaan perbaikan rumah masyarakat yang tidak mampu khususnya bagi penderita TB Paru BTA (+) dan meningkatkan program pemberantasan penyakit menular."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Amaliah
"TB paru merupakan masalah di Indonesia. Data Riskesdas 2010 menunjukkan, prevalensi TB Paru 2009/2010 sebesar 725/100.000 penduduk. Evaluasi hasil dilihat dengan angka konversi pada akhir pengobatan fase intensif sebesar 80%. Masalah utama kegagalan konversi adalah komponen perilaku penderita TB paru yaitu keterlambatan diagnosis dan tidak selesainya pengobatan yang berakibat resistensi ganda OAT. Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol, populasi sebanyak 1.305 adalah penderita TB paru pengobatan fase intensif tahun 2010 yang tercatat di formulir TB 01 puskesmas di Kabupaten Bekasi. Sampel diambil sebanyak 170 penderita, dikelompokkan menjadi gagal konversi sebanyak 200 penderita dan konversi sebanyak 1.105 penderita. Setiap kelompok diambil masing-masing 85 penderita. Data dikumpulkan dengan wawancara menggunakan kuesioner. Metode analisis data dengan uji Chi Square dan regresi logistik.
Hasil penelitian menunjukkan responden tidak teratur minum obat lebih besar yang mengalami kegagalan konversi (74,1%) dibandingkan yang konversi (46,4%). Hasil uji Chi square ada hubungan yang bermakna antara keteraturan minum obat, sikap terhadap keteraturan minum obat, pengetahuan tentang TB, penyuluhan kesehatan, efek samping obat, dan status gizi dengan kegagalan konversi. Hasil uji statistik dengan regresi logistik menunjukkan faktor paling berhubungan dengan kegagalan konversi adalah status gizi OR: 4,705: 95% CI: 2,143-10,332. Status gizi penderita TB paru perlu ditingkatkan sebagai upaya bersama dengan pemberian OAT.

Pulmonary TB is a problem in Indonesia. Riskesdas 2010, the prevalence of pulmonary TB 2009/2010 for 725/100.000 population. Evaluation results conversion rate at the end of the intensive phase of treatment by 80%. The main problem is the conversion of a component failure behavior of patients with pulmonary TB is not the completion of delayed diagnosis and resulting treatment dual resistance OAT. Design study are casecontrol study. Population of 1305 patients with pulmonary TB is an intensive phase of treatment in 2010 are recorded in the TB form 01 health centers in the district of Bekasi. Samples were taken 170 patients, classified as many as 200 patients failed to convert and convert as many as 1.105 people. Each group of 85 patients taken at random. Data were collected by interview using a questionnaire. Methods of data analysis with chi square tests and logistic regression.
The results showed respondents do not regularly drink more drugs that have failed conversion (74.1%) compared to the conversion (46.4%). Chi square test results there was a significant association between the regularity of drug taking, attitudes toward medication order, knowledge of TB, health education, medication side effects, and nutritional status with conversion failure. The results of statistical tests with logistic regression showed factors associated with failure of the conversion is the nutritional status OR: 4,705: 95% CI: 2,143-10,332. Nutritional status of patients with pulmonary TB needs to be improved as a joint effort with the provision of OAT.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
T31309
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Elyu Chomisah
"Tuberkulosis Paru (TB Paru) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahun ada 450.000 kasus baru dengan kematian 175.000 orang setiap tahunnya. Hasil SKRT 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian ketiga setelah kadiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Di Propinsi Sumatera Selatan Program Pemberantasan Penyakit TB Paru dengan strategi DOTS dimulai pada tahun 1995, data dari kabupaten / kota didapat angka kesembuhan 82,98 % dan angka cakupan penemuan penderita 26,7 %, Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Moehamad Hoesin Palembang pada tahun 1998/1999 angka konversi 84,16 % melebihi angka nasional 80%, tetapi angka kesembuhan hanya 76,19 %, dibawah angka nasional 85%. Ketidakpatuhan berobat merupakan salah satu penyebab kegagalan penanggulangan program TB Paru.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor - faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tuberkulosis Paru BTA Positif di RSUP Dr. Moehamad Hoesin Palembang Tahun 1998 -2000. Disain penelitian ini adalah kasus kontrol dengan jumlah sampel 186 responden, kriteria sampel penelitian adalah penderita TB Paru BTA Positif Kategori 1, 2 yang telah selesai makan obat dan berumur lebih dari 14 tahun, terdaftar dari bulan Agustus 1998 sampai dengan Desember 2000 di Bagian Penyakit Dalam Poliklinik DOTS RSUP Dr. Moehamad Hoesin Palembang. Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Moehamad Hoesin Palembang adalah Rumah Sakit yang pertama di Propinsi Sumatera Selatan melaksanakan Program Pemberantasan Tuberkulosis Paru dengan strategi DOTS.
Hasil penelitian analisis - univariat dari 186 responden yang patuh 124 (66,7%) dan tidak patuh 62 ( 33,3%), laki-laki 130 (69,9%), umur produktif (16-45) tahun 135 orang ( 71,8%), pendidikan rendah 114 orang (61,3%), bekerja 100 (53,8%). Pada basil bivariat dari sepuluh variabel independen ternyata hanya empat variabel yang dianggap potensial sebagai faktor resiko (p< 0,25), Hasil analisis multivariat dengan metode Regresi logistik dari empat variabel independen diambil sebagai model, ternyata hanya satu variabel yang mempunyai hubungan bermakna yang paling kuat (p<0,05), yaitu pengawas menelan obat (PMO),OR =3.457. 95 5 : 1,644- 7.269, P value (Sig) = 0,0011.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa faktor - faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru BTA positif di Rumah Sakit Dr.Moehamad Hoesin tahun 1998 - 2000 adalah faktor PMO dan faktor penyuluhan kesehatan oleh petugas mempunyai hubungan bermakna secara statistik (p < 0,05) dengan kepatuhan berobat penderita TB Pam dan yang paling besar pengaruhnya terhadap variabel dependen adalah faktor Pengawas Menelan Obat (PMO).
Selanjutnya dapat disarankan kiranya faktor pengawas menelan obat (PMO) tetap dipertahankan dan dilakukan pelatihan bagi kader, keluarga, PKK KotafKecamatan 1 Kelurahan, petugas kesehatan secara berkesinambungan dan meningkatkan terns kemampuan pengelola program TB Pam di RSUP Dr.Moehamad Hoesin Palembang, Untuk penyuluhan kesehatan oleh petugas kepada penderita, masyarakat tentang penyakit TB Paru hendaknya tetap diberikan secara berkesinambungan dengan menggunakan poster, leaflet, buku pedoman. Untuk Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Selatan agar tetap menyediakan obat anti Tuberkulosa kategori 1, 2, dan 3.

Lung Tuberculosis (Lung TB) still remains a community health problem, WHO estimates that in Indonesia, there are approximately 450,000 new cases annually with 175,000 death every year SKRT results of 1995 show that tuberculosis is the third cause of death following cardiovascular and respiratory disease and it is of the first cause of infection diseases. In South Sumatera Province, Lung TB Eradication Program with DOTS strategy has been introduced in the province since 1995. Data gathered from districts/cities indicate that the figure of healing is 82.98°/° and the figure of identified patients is 26.7%, At Dr. Moehamad Hoesin Central General Hospital of Palembang of 1998/1999, the conversion figure of 84,16% is higher than the national figure of 80%.However the figure of healing is only 76.19%, below the national figure of 85%. Disobedience to undertaking medical treatment is reportedly to be the cause of failure of Lung TB Eradication Program.
This study is aimed at investigating factors that correlate with patients' obedience to undertaking treatment of Lung TB Positive BTA in Dr.Moehamad Hoesin Central General Hospital in Palembang in 1998 - 2000. The study design employed was controlled case with sample of 186 respondents. The sample criteria used were those samples were Lung TB Positive BTA patients of Category 1 and 2 who had taken their medicines and aged more than 14. registered since August 1998 until December 2000 in Internal Diseases Unit of Polyclinic of the hospital, Dr. Moehamad Hoesin Central General Hospital is the first hospital in the South Sumatera province introducing Lung TB Eradication Program with DOTS strategy.
Result of univariat analysis shows that of 186 respondents, 124 patients (66.7%) were obedient and 62 (333%) were disobedient. The respondents consisted of 130 males (69.9%), 135 (71.8%) patients of productive age (16-45), poorly educated people of 146 (61.3%), working people of 100 (53.8%). The bivariat result indicates that of ten independent variables, only four variables considered potential as risk factor (p<0.25).The multivariat result shows that by using Logistic Regression method, of the four independent variables taken as models, only one variable proven to have the most significant correlation (p<0.05), which was supervisor taking medicine (PMO) OR=3.457.95%: 1.644-7.269, p value = 0, 0011.
It may be concluded that factors that correlate with patients' obedience to undertaking Lung TB positive BTA treatment at the hospital during 1998 - 2000 are PMO factor and health education by health worker; these are having statistically significant correlation (p<0.05) with the patients' obedience to undertaking Lung TB treatment. While the most significant influence on the dependent variable was the supervisor-taking-medicine (PMO) factor.
It may be recommended that the supervisor-taking-medicine factor be sustained; continuous training be provided for cadres, family members, Woman's Club of the city/district/village, and health workers; and management skills of officials in Lung TB Program of the hospital be improved continuously. The health education by health workers for patients and community on Lung TB disease should be sustainable provided by means of poster, flyers, manual book. The health department of South Sumatera Province should keep providing anti Tuberculosis medicines of category 1, 2, and 3."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T1239
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Armaidi Darmawan
"Program penanggulangan tuberkulosis (TB) nasional dengan strategi Directly Observed Treatment Shorrcourse (DOTS) yang mengandung Pengawas Menelan Obat (PMO) semenjak tahun 1995 telah berhasil baik dan setelah 3 tahun berjalan angka kesembuhan penderita lebih dari 85%. Di kabupaten Kerinci strategi DOTS dimulai sejak tahun 1998, tiga tahun sampai tahun 2001 belum memperlihatkan hasil yang memuaskan dimana angka konsumsi yang rendah dan angka kesembuhan hanya 41%. Faktor ketidak teraturan minum obat merupakan salah satu penyebab kegagalan program penanggulangan TB paru.
Sejak 1998 strategi DOTS yang mengandung komponen PMO di kabupaten Kerinci sudah diterapkan. Namun bagaimana hubungan PMO tersebut dengan keteraturan penderita TB paru minum obat dan mengapa penderita teratur atau tidak teratur belum diketahui. Untuk ini studi kasus kontrol bersamaan dengan kualitatif Foccus Group Discussion (FOD) ini dilaksanakan
Sampel adalah penderita TB paru berusia 15 tahun keatas yang telah selesai atau putus berobat di puslesrnas kabupaten Kerinci sejak 1 Januari sampai 31 Desember 2001. Jumlah sampel adalah 194 penderita dengan 97 kasus dan 97 kontrol.
Lima kelompok FGD dengan 42 informan, baik dari kelompok kasus maupun kontrol telah membetikan inforrnasinya tentang sebab-sebab ketidak teraturan minum obat.
Kasus adalah penderita sampel yang tidak minum obat 3 hari atau lebih pada fase awal dan atau 7 hari atau Iebih pada fase lanjutan, dimana lama penyelesaian minum obat kategori 1 lebih dari 6 bulan 10 hari.
Dengan logistik regresi multipel dan contens analysis, hasil signifikan dimana penderita yang tidak mempunyai PMO selama minum obat berisiko 2,68 kali lipat dibanding yang mempunvai PMO (OR:2,6 %: 95°%f%CI: l,4G-4,94;p:0.00I ).
Keberadaan PMO di kabupaten Kerinci masih diperlukan, penyuluhan tentang TB paru secara komprehensif dengan durasi yang cukup dan frekuensi yang lebih sering untuk mengantisipasi berhentinya penderita karena tidak mengerti dengan penyakit TB dan program pengobatannya.
Diperlukan penanganan khusus ESO yang timbul agar tidak menjadi alasan penderita untuk berhenti minum obat.
Daftar Pustaka 42 : (1990 - 2002)

The National Tuberculosis Programs (NTP) adopted the Directly Observed Treatment Short course (DOTS) strategy. Treatment observer is one of the live components of DOTS. It has applied to the treatment observer as from 1995. A good result with high cure rate more than 85% has been achieved so far. DOTS strategy has been implemented since 1998 in the Kerinci district, however, the conversion rate was still low and cure rate were just 41% in 2001. The irregularity of drug consuming TB drugs is one of the failures of the national tuberculosis programs.
Since 1998 the DOTS strategy has been applied in Kerinci district, however, the relation of treatment observer and the patient regularly or irregularly consuming TB drug is not known yet. For this purpose, a case control study and focus group discussion (FGD) were carried out.
The samples were the tuberculosis patients of 15 years old or more who had completed the treatment or defaulted. They are cases treated with category-1 in the community health center since 1 January to 31 Decembe,2001. The total sample taken was 194, where 97 of them are cases and 97 as controls. Five FGD were performed. The total of 42 informants as case and control were attending the FGD and contributed information.
The criteria of the cases are those samples who did not consume medicine for 3 days more during intensive phase and or 7 days for intermittent phase and the duration of treatment was six months and ten days or more.
Logistic regression multivariate method and content analysis were used for data analysis purpose, and the significant result was obtained. Where the patient without treatment observer has 2.68 times risk of irregularity of consuming TB drug compared with accompanied by the treatment observer (OR: 2.68, 95% CI: 1.46-4.94, p: 0.001).
The treatment observer is really required in Kerinci district, A comprehensive counseling on tuberculosis on regular base for quite some time is required to anticipate the drop out from treatment. Most of the patients do not understand about tuberculosis and the treatment procedure. Special action has to be taken w treat the side effect in order to prevent from self stopping TB treatment.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T1412
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asnawi
"Program penanggulangan Tuberkulosis Paru dengan strategi Directly Observed Treatment Short course (DOTS) telah dimulai sejak tahun 1995. Diantara indikator yang dapat digunakan melihat keberhasilan strategi DOTS adalah angka kesembuhan dan angka konversi. Di kota Jambi angka kesembuhan pada tahun 2000 sebesar 87,5% di atas target nasional sebesar 85%, dan tahun 2001 turun menjadi 80%. Sedangkan angka konversi BTA (+) menjadi BTA (-) tahun 2001 hanya mencapai 65% di bawah target nasional sebesar 80%,. Terjadinya penurunan angka kesembuhan dan angka konversi tersebut mengindikasikan adanya penurunan persentase penderita Tb Paru yang patuh berobat di kota Jambi tahun 2001. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru di kota Jambi tahun 2001.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Penelitian dilaksanakan dalam kurun waktu 2 bulan, dengan menggunakan data primer yang di peroleh dari basil wawancara melalui kuesioner. Sampel penelitian adalah seluruh penderita Tb Paru yang telah selesai berobat sejak 1 November 2000 sampai 31 Oktober 2001 sebanyak 133 orang.
Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor pengetahuan, efek samping obat (ESO), jarak dari rumah ke Puskesmas, kesiapan transportasi, persepsi terhadappersediaan obat, penyuluhan oleh petugas, jenis PMO dan peran PMO mempunyai hubungan yang bermakna dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru.
Dan hasil analisis multivariat dapat disimpulkan bahwa faktor jarak dari rumah ke Puskesmas, kesiapan transportasi, penyuluhan oleh petugas, dan peran PMO merupakan variabel yang dominan berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru di Kota Jambi tahun 2001.
Penelitian ini menyarankan pihak program dapat memanfaatkan tenaga kesehatan yang berdomisili dekat dengan penderita untuk memperrnudah pasien mengambil obat misalnya bidan di desa, perawat, petugas kesehatan di Puskesmas Pembantu.
Agar PMO benar-benar dapat melaksanakan tugas sesuai fungsi dan peranya dengan baik, maka dimasa yang akan datang disarankan perlu melakukan pemilihan PMO yang lebih selektif, dan semua PMO tersebut di beri pelatihan secara khusus sebelum pengobatan dimulai. Dengan memperhatikan kuatnya hubungan antara penyuluhan yang diberikan petugas dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru serta didukung hasil beberapa penelitian terdahulu, maka di masa akan datang perlu pengamatan secara kualitatif tentang penyuluhan langsung perorangan yang diberikar petugas kepada penderita Tb Paru di Puskesmas, dan kemungkinan altematil pengembangan keterampilan petugas dalam memberi penyuluhan lansung perorangan (misalnya dengan mengikuti pelatihan atau kursus berhubungan dengan penyuluhan tersebut).

Lung Tuberculosis control program by Directly Observed Treatment Short course (DOTS) has been started since 1995. Among the indicators that suggested the ? level of successfulness of DOTS strategy are cure rate and conversion rate. In Jambi recovery rate in year 2000 is 87,5% higher than 85% of national target, but in 2001 decrease to 80%. Whereas conversion rate of Acid-Fast Bacilli positive to negative in 2001 is only 65% below 80% of national target. The decreasing rate of recovery and conversion indicating the decreasingly of lung TB patient which obey regular medication in Jambi. This study generally to find out factors related to medication compliance of lung TB patient in Jambi year of 2001.
This study using a cross sectional design, carried out in two months, primary data obtained from interview with questionnaires. The sample is all of the 133 lung TB patients that have been taking medication since 1st of November 2000 to 31st of December 2001.
This study suggest that such factors like knowledge, drugs side effect, distance from home to community health centre, transportation, perception to drugs availability, information dissemination by health officer, and drug usage supervising have significance correlation to patient's obedient to medication. From multivariate analysis, can conclude that distance factor from house to community health centre, transportation, information by healthcare staff, and drug usage supervising are dominant variable related to lung TB patient's compliance in medication in Jambi year of 2001. This study recommended that program planner to involve every healthcare staff which living nearby patient to help patient in this medication such as midwife or community health centre staffs.
In order to encourage PMOs to do the task appropriately, in the future all PMOs should be rained before doing their job. By considering relationship between educations by healthcare staff with patient's compliance to medication and supported by the results from previous study, so in the future need qualitative observation about information directly to TB lung patient in community health centre, and alternative for developing skill of healthcare staffs in disseminating information directly to an individual.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T621
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Sugiarto
"Tuberkulosis paru adalah salah satu penyakit yang muncul sebagai pembunuh yang disebabkan oleh salah satu jenis kuman yaitu Mycrobucterium tuberculosis. Delapan juta penduduk dunia diperkirakan mengidap penyakit TB Paru dengan tingkat kematian penderita sekitar tiga juta orang (33,3 %). Penyakit ini 75 % menyerang kelompok usia produktif (15-50 tahun) dan kematian yang diakibatkannya merupakan 25 % dan seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah.
Indonesia pada tahun 1999 menempati peringkat ketiga sebagai negara yang jumlah penderita TB Paru terbanyak setelah India dan Cina. Peningkatan kasus tuberkuliosis, dari hasil beberapa penelitian yang teiah dilakukan selama ini, dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan diantaranya adalah lingkungan fisik, karakteristik ,individu dan lingkungan sosial yang ada disekilar pemukinnan atau perumahan penduduk.
Di Kabupaten Bengkulu Utara telah dilaksanakan upaya penemuan kasus secara terus-menerus, upaya ini mampu menemukan suspek TB Paru. Tahun 2001 dari 1307 suspek, diperiksa 5,121 specimen dan ditemukan penderita BTA (+) sebanyak 220 orang. Periode bulan Januari 2002 sampai dengan Desember 2002, jumlah specimen diperiksa sebanyak 5.343 specimen dari 1.781 orang dan ditemukan BTA (+) sebanyak 261 orang, sedangkan periode tahun 2003 dari 1687 suspek dan 5.061 specimen yang diperiksa ditemukan 258 orang dengan BTA (+).
Penelitian ini menggunakan desain case control dengan menggunakan data primer dan sekunder, penelitian dilakukan di 16 (enam helas) Puskesmas wilayah Kabupeten Bengkulu yaitu Puskesmas Penimnas, Kota Arga Makmur, Air Lais, Air Bintunan, Lubuk Durian, Pekik Nearing, Lubuk Pinang, Sebelat, Napa] Putih, Ketahun, D6 Ketahun, Karang Pulau, Kerkap, Karang Tinggi, Taba Penanjung dan Puskesmas Kembang Seri, Pengambilan sampel dilakukan dengan Cara random sederhana sebanyak 182 sampel yang terdiri dari 91 sampel kasus dan 9I sampel bukan kasus.
Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan tahapan analisis univariat, bivariat dan multivariate. Variabel independen dalam penelitian adalah karakteristik individu (usia, jenis'kelamin, kontak penderita, riwayat imunisasi, perilaku, status gizi), lingkungan fisik (ventilasi, suhu, pencahayaan, kclembaban), lingkungan social (kepadatan penghuni, pendidikan, pengetahuan, penghasi]an).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penghuni rumah kebun yang pcrnah kontak dengan penderita TB paru BTA (+) mcmpunyai risiko 5,09 kali, status gizi yang kurang mempunyai risiko 2,26 kali, kelembaban tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 3,56 kali, kepadatan hunian tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 2,716 kali, tingkat pengetahuan tentang penyakit TBC yang kurang mempunyai risiko 2,37 kali untuk terkena TB paru BTA (+).
Saran yang dapat disampaikan, agar kegiatan program terkait di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkulu Utara dapat melakukan penanganan masalah TB paru di rumah kebun ini melalui kegiatan pendataan dan pemetaan rumah kebun yang ada di tiap wilayah Puskesmas sehingga diperoleh gambaran populasi yang berisiko, penempatan fasilitas pelayanan kesehatan terdekat dengan rumah kebun,. melakukan koordinasi program gizi, P2M dan kesehatan Iingkungan serta promosi kesehatan.

Pulmonary tuberculosis (TB) is a severe disease caused by the bacterium Mycobacterium tuberculosis. Around 8 million people suffer from pulmonary TB with a death rate of 3 million people (3,3 %). Approximately 75 % of the pulmonary TB cases occur in the productive age group (15-50 year old) and 23 % of deaths are actually preventable.
Indonesia in 1999 occupy the third rank as a country that have the most cases of pulmonary TB after India and China. From previous studies, there are several environmental factors that influence the increase of pulmonary TB cases, such as physical environment, individual characteristics, and the social environment surrounding the residences.
In north Bengkulu, continuous efforts have yielded new cases suspected as being pulmonary TB sufferer. In 200], out of 1,707 people suspected, 5,121 specimens were examined and those with BTA (+) were 220 people. During January to December 2002, there were 5,343 specimens examined from 1,78I people, end there were 261 of of those with BTA (+). In 2003, of of 1687 suspected, 5,061 specimens were examined and those with BTA (+) were 258 people.
Design of this studying case control study using primary an d secondary data, and was undertaken in 16 public health centers in Bengkulu district, namely Perumnas, Kota Arga Makmur, Air Lais, Air Bintunan, Lubuk Durian, Pekik Nyaring, Lubuk Pinang, Sebelat, Napa! Putih, Ketahun, D6 Ketahun, Karang Pulau, Kerkap, KarangTinggi, Taba Penanjung and Kembang Seri. Samples were collected using a sample random method, and there are 91 case 91 case samples and 91 control sample.
Hypothesis testing was done through univariate, bivariate. and multivariate analysis. Independent variables of this study include individual characteristics (age, sex, Ievel of education, knowledge, contact with TB sufferer, history of immunization, behavior, and nutritional status), physical environment (ventilation, temperature, the amount of light entering the house, and humidity), and social environment (density of house occupants, and income).
The result of the study show that occupant of plantation house that have had contact with a pulmonary TB BTA (-i) sufferer are 5.09 times more likely to suffer from pulmonary TB BTA (t]. There are risks 2,26 times more for those with poor nutritional status, 3.56 times for poor humadity, 2.72 times for high density of occupants, and 237 times for a lack of knowledge about pulmonary TB.
Recommendations that can be derived from this study are the implementation of programs by the district health service of North Bengkulu that include data recording of plantation houses in the areas around various public health centers, thus enabling the District Health Service to determine the population at risk for pulmonary TB. as well as building several several health service facilities that can be easily accessed from the plantation houses, coordinating programs on nutrition, control of infectious diseases, environment health and health promotion.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T12916
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>