Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 56526 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Subarno
"The Meiji restoration indicated an early process of modernization in Japan, a major political, economic, and social change that took place rapidly in the second half of the 19th century, by which Japanese society was transformed into the modern one. This process of modernization continued up to the end of Pacific War when Japan was defeated by the allied forces. In the post war era, Japan rushed to catch up with the industrialized west by focusing on her industrial and economic development. Consequently, less than two decades Japan has become a rich country.
Even though Japan has been an advanced and modern country, and accepted modern culture of the west and developed advanced industries based on what she has learned, she has at the same time, maintained her own culture, that has many characteristics, like: multi-layered, homogeneity, Japanization, and pragmatism. These features can be seen in religion too. Buddhism is absorbed side by side with Shinto and the two religions become harmoniously interwoven in the lives of the Japanese. This phenomenon strengthens folk religion, an indigenous primitive religion into which elements from Shinto, Buddhism, Taoism, Confucianism and other religions have been grafted and is expressed in the daily ritual and matsuri. Among them is the 0-Bon Matsuri.
0-Bon Marsuri is a part of ancestor worship, observed between 13-15th day of the seventh month, by placing offerings on the bondana and by otherwise seeking to please the ancestral spirits. For contemporary Japanese people, this observance has many functions, such as: to fulfill basic human needs, to strengthen solidarity among family groups, to be recreational event, and to break monotonous. That's why the phenomenon changes from religious ceremony to social custom."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11166
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Hanan Pamungkas
"Sembonyo adalah upacara bersih laut yang dilakukan nelayan di dusun Karanggongso, desa Tasik Madu, Kecamatan Prigi, kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, Dalam upacara tersebut dilakukan berbagai kegiatan yang disertai dengan beberapa sesaji. Sekalipun dalam skala kecil (di tingkat dusun) upacara ini cukup menarik untuk dikaji. Selain bentuk sesajinya unik, upacara ini cenderung untuk dipertahankan. Mengacu pada Geertz dan Turner, fenomena simbolik dalam upacara semacam itu merupakan gambaran nilai-nilai sosial yang ideal dan menjadi pusat pendorong Bari berbagai kegiatan sosial ekomoni masyarakatnya. Sementara itu warga masyarakat menginterpretasikan "teks-teks simbolik" dalam upacara itu sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Dengan demikian permasalahan penelitian ini adalah apa sebenarnya makna simbol sembonyo, bagaimanakah warga masyarakat menginterpretasikan makna simbol upacara tersebut, serta apa fungsi upacara bagai masyarakat Karanggongso.
Melalui analisa simbol seperti yang dilakukan Turner, yakni dengan menganalisis simbol dominan dan instrumental dalam upacara Sembonyo, maka diketahui adanya perpaduan unsur pemujaan kesuburan dan pemujaan nenek moyang sebagai konsep utama dari upacara. Tema besar dari upacara Sembonyo adalah slametan yang oleh Geertz dilukiskan sebagai terciptanya keseimbangan psikososial manusia Jawa dalam hubungan antar manusia dan alam. Tatanan ideal ini diperlukan masyarakat, mengingat keterbatasan pengetahuan dan teknologi nelayan dalam mengatasi krisis alam (laib) serta adanya krisis sosial sebagai akibat konflik diantara warga masyarakat nelayan di luar upacara. Karena itulah Sembonyo berfungsi sebagai "pembersih" warga masyarakat dari ganguan alam maupun ganguan moral. Selain memiliki fungsi integratif semacam itu, sembonyo juga berfungsi memperkokoh peranan elit dusun, melalui rangkian upacara yang diciptakan. Setiap tahunnya upacara sembonyo, yang oleh Turner disebut "drama sosial", diperingati agar nilai-nilai yang ideal itu teraktualisasikan. Tidak semua warga memberi makna sakral kepada simbol upacara sembonyo tidak lebih dari kegiatan rekreatif."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Hanief Saha Ghafur
"Suatu hal yang menarik untuk dikaji dewasa ini adalah pembangunan kepariwisataan. Pembangunan Pariwisata telah banyak menyuguhkan berbagai tontonan, permainan tradisional, upacara adat dan berbagai bentuk seni pertunjukan. Kegiatan ini telah menjadi agenda kegiatan resmi dari berbagai biro dan agen perjalanan wisata, perhotelan dan organisasi-organisasi kesenian di daerah. Semua bentuk kegiatan tersebut didukung oleh pemerintah, yang memang membutuhkan masukan devisa bagi pembangunan. Oleh karena itu, pemerintah mempunyai kepentingan besar dibalik semua perhelatan besar tersebut. Untuk itu, pemerintah akan berbuat apa saja bagi kesuksesan upacara-upacara tersebut.
Dalam pembangunan kepariwisataan di Indonesia banyak suguhan berupa macam-macam bentuk tontonan, permainan tradisional, upacara adat dan berbagai bentuk seni pertunjukan. Namun yang menjadi persoalan, yaitu apabila bentuk pertunjukannya berupa upacara ibadah keagamaan, seperti Hudoq. Bagi masyarakat dayak di pedalaman Kutai upacara Hudoq masih di anggap sakral dan dihayati sebagai upacara religius. Namun dilain pihak para penyelenggara, para turis asing, dan kebanyakan para penonton melihat upacara tersebut dengan sikap areligius, profan dan dianggap sebagai tontonan biasa.
Penelitian ini mengkaji dampak pembangunan pariwisata terhadap upacara perladangan dan upacara ritual Hudoq khususnya. Tulisan ini mencoba memberi gambaran tentang bagaimana proses pembangunan mendesakralisasi upacara ibadah keagamaan. Proses itu terjadi manakala Hudoq tercerabut dari basis sosial dan kulturalnya, sehingga menjadi sekedar sebuah tontonan yang areligius dan profan. Ketercerabutan tersebut karena Hudoq sudah kehilangan nuansa religio-culturalnya melalui proses pembangunan yang telah disekularisasikan."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Aras K.E.
"Penelitian ibertujuan memberikan gambaran yang jelas mengenai perubahan matsuri dari suatu kegiatan yang bersifat sakral menuju ke arah komersialisasi, khususnya pada saat Shichi Go San matsuri. Pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan, sedangkan dalam analisa dicoba menggunakan teori yang dikembangkan oleh Celia Lury tentang perubahan kegunaan benda oleh pencari keuntungan, teori Sokyo Ono dan William P. Woodard tentang kehidupan ekonomi dalam ajaran agama Shinto dan juga teori yang dikembangkan oleh Freddy Yuliharto tentang kapitalisme yang merupakan awal terbentuknya komersialisasi. Selain itu, juga digunakan teori kebudayaan yang bersifat adaptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa matsuri yang merupakan kegiatan sakral dalam ajaran agama Shinto dimanfaatkan oleh pencari keuntungan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Keuntungan ini diperoleh dengan cara menjual berbagai macam barang dan jasa yang menunjang pelaksanaan suatu matsuri. Kegiatan pengadaan barang dan jasa seperti ini dalam ajaran agama Shinto diperbolehkan selama hal tersebut untuk kepentingan memuja kami atau dewa. Perilaku ini kemudian memudarkan unsur sakral dalam matsuri karena masyarakat Jepang lebih memfokuskan diri kepada persiapan aneka macam barang untuk menyambut suatu matsuri daripada keadaan komunikasi aktif dengan kami atau dewa. Gejala pemfokusan diri terhadap aneka macam barang untuk menyemarakkan matsuri inilah yang kernudian menimbulkan suatu bentuk komersialisasi matsuri."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S10980
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Kania Izmayanti
"Kyoto yang kini telah dikenal sebagai kota besar, namun tidak memiliki industri berat dan masih kaya akan hal-hal yang bersifat tradisional dan masyarakatnya sangat menyukai kreasi-kreasi yang kecil. Kyoto lebih menitikberatkan dalam hal cita rasa, cita rasa akan kerajinan, industri rumah tangga, adat istiadat, festival, pertunjukkan, makanan, toko-toko yang ada kalanya sangat sempurna bahkan bisa dikatakan berlebihan atau pemborosan (Japan today : 240) Cita rasa yang dimiliki oleh masyarakat Kyoto dituangkan dalam perayaan Gion matsuri.
Tujuan penelitian ini adalah ingin melihat dengan jelas fungsi dan makna dari perayaan Gion matsuri yang dilaksanakan pada masyarakat Kyoto dewasa ini. Dan juga ingin memberikan sedikit pemahaman tentang kebudayaan Jepang khususnya tentang matsuri kepada orang-orang yang mempunyai minat terhadap Jepang dan khususnya tentang kebudayaan Jepang.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka, yaitu dengan mengkaji buku-buku ilmiah, risalah, serta bahan tuisan lainnya yang relevan dengan penelitian. Data yang ada dikumpulkan dan dianalisa dengan teknik deskriptif interpretatif dengan melakukan pendekatan kwalitatif yaitu dengan menganalisa terhadap fenomena-fenomena yang berkaitan dengan masalah penelitian untuk mendapatkan analisa yang seobjektif mungkin."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T3048
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dea Azure Ivana
"Masyarakat Hindu-Bali merupakan masyarakat yang memiliki ciri religius. Adanya ciri-ciri tersebut menjadikan kehidupan masyarakat itu sendiri tidak terlepas dari tradisi, seni-budaya, ritual, dan berbagai nilai yang terkandung dalam ajaran Agama Hindu-Bali sendirian. Kedatangan modernisasi yang dibawa oleh tingginya aktivitas pariwisata berjalan seiring waktu di pulau Bali nyatanya menimbulkan ketakutan tersendiri (meski tidak secara eksplisit) bagi masyarakat dalam mempertahankan ciri atau identitas Bali mereka. Salah satu upaya yang dirasa bermanfaat adalah dengan terus melaksanakan ritual adat dan agama, termasuk peraturan Banten Canang Sari. Secara tidak langsung, membentuk makna yang berasal dari stimulasi yang dianggap bermanfaat oleh masyarakat situasi modernisasi saat ini. Dari sini maknanya ada dalam ritual pengaturan Banten Canang Sari relevan dengan permasalahan masyarakat. Ritual peraturan Banten Canang Sari sendiri merupakan simbol religiusitas dalam upaya masyarakat mempertahankan karakteristik Bali mereka.

The Hindu-Bali community is a society that has religious characteristics. The existence of these characteristics makes the life of the community itself inseparable from traditions, arts-culture, rituals, and various values ​​contained in the teachings of the Hindu-Balinese Religion alone. The arrival of modernization brought about by high tourism activity goes hand in hand The time on the island of Bali in fact caused its own fear (although not explicitly) for the people in maintaining their Balinese characteristics or identity. One effort that has been deemed beneficial is to continue to carry out traditional and religious rituals, including the Banten Canang Sari regulations. Indirectly, forming meaning that comes from stimulation that is considered beneficial by society the current modernization situation. From here the meaning is in the ritual setting of Banten Canang Sari which is relevant to community problems. The Banten Canang Sari ritual ritual itself is a symbol of religiosity in the community's efforts to maintain their Balinese characteristics."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Claudia Yuliani Kurnia
"Skripsi ini membahas tentang pengaruh ajaran Buddha dan Konfusianisme yang berkembang di Korea terhadap tata cara dan makna ritual pemakaman dan peringatan arwah yang dilakukan masyarakat Korea. Namun, penulis membatasi masalah ini pada ritual yang dilaksanakan sebelum mendapat pengaruh agama Kristen dan perkembangan modernisasi. Sebelum membahas topik tersebut, penulis juga membahas mengenai pandangan masyarakat Korea mengenai kematian dan kehidupan setelah kematian yang dijadikan dasar dilaksanakannya kedua ritual tersebut. Dari penelitian kualitatif deskriptif ini, disimpulkan adanya pengaruh yang kuat dari ajaran Buddha dan Konfusianisme dalam makna dan pelaksanaan ritual pemakaman dan peringatan arwah dalam masyarakat Korea dan kedua ritual tersebut tetap dilaksanakan secara turun-temurun hingga sekarang ini.

Abstract
This thesis discusses the influence of Buddhism and Confucianism that developed in Korea toward the procedure and meaning of funeral and memorial services performed in Korean society. However, the author limits this problem in the rituals conducted prior to the influence of Christianity and the development of modernization. Before addressing the topic, the author also discussed the Korean society views of death and life after death which is used as the basis of the implementation of both the ritual. From this descriptive qualitative research, we can conclude the existence of the strong influence of Buddhism and Confucianism in the meaning and implementation of funeral and memorial services in Korean society and the rituals are still carried out by generations until today."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S500
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Lodera
"Upacara Pasupati merupakan sebuah ritual yang tidak saja memiliki dimensi religi yang melandasinya, namun juga memiliki dimensi etis dan estetis. Hal itu terlihat dalam berbagai aktivitas Upacara Pasupati itu sendiri yang menampakkan adanya aktivitas dalam bentuk kerjasama dan partisipasi dalam hubungan ketetanggaan dan dalam berbagai aktivitas lainnya.
Penelitian ini mencoba mengkaji dan menelusuri dimensi-dimensi etis dan estetis pelaksanaan upacara Pasupati terutama yang terkait dengan masalah hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan hidupnya dan manusia dengan Tuhan, yang memang selama ini belum pernah diteliti dalam bentuk karangan ilmiah.
Secara pragmatis penelitian ini bertujuan untuk menelusuri tenomena-fenomena etis dan estetis dalam pelaksanaan upacara pasupati dan konsekuensinya terhadap integrasi masyarakat Bali.
Upaya untuk memperoleh hasil penelitian tersebut dipergunakan beberapa teknik penelitian yakni dengan mengidentifikasi Lokasi Penelitian, mengumpulkan data dengan metode pencatatan dokumen, dan observasi, menganalisa data, mengecek kesahihan data atau kebenaran data yang diperoleh dan menggunakan metode Kritis Refleksif untuk mengolah data yang bersifat empiris.
Berdasarkan atas temuan dan analisis data penelitian, maka dapat dikemukakan hasil penelitian sebagai berikut:
Makna etis dari sebuah Upacara Pasupati, mengandung berbagai jenis pendidikan terutama dalam pendidikan moral dan karakter umat Hindu, serta mengandung unsur imperatif bagi umatnya untuk selalu melaksanakan sradha bhakti secara rutin, dalam waktu-waktu tertentu dan dalam perspektif, pelaksanaan sebuah Upacara Pasupati dapat menuntun umat Hindu untuk berprilaku dan bertindak sesuai dengan ajaran agama, sehingga menumbuhkan rasa percaya pada Tuhan, dapat senantiasa berkomunikasi dengan Tuhannya dan dapat mengetahui kebenaran baru tentang yang religius.
Dengan percaya kepada Tuhan justru menjadikan seseorang lebih kuat menghadapi berbagai persoalan hidup dan memiliki integrasi individual (tidak lemah, dan mudah putus asa), serta memiliki integrasi sosial (harmonis dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama). untuk memperkuat perasaan dan ide-ide kolektif yang menjadi ciri dan inti persatuan rnasyarakat, guna dapat dipeliharanya rasa persatuan dan rasa kebersamaan
Makna estetis dari pelaksanaan upacara Pasupati adalah keindahan yang dihayati oleh masyrakat Bali bukan semata-mata untuk dinikmati oleh indra manusia melainkan rasa seni mampu berkiprah dalam menghubungkan manusia dengan Tuhannya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T4091
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kuala Lumpur: Kementerian Kebudayaan, Kesenian dan Warisan, 2006
R 394.209 595 HAR
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>