Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 54273 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Laksmi Wingit Ciptaning
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Respon ovarium terhadap stimulasi FSH sangat dipengaruhi oleh fungsi reseptor FSH (FSHR). Genotip FSHR memainkan peranan yang mendasar pada respon tisiologis organ target terhadap stimulasi FSH. Telah diketahui polimorfisme pada gen reseptor FSH. mempengaruhi sensitivitas reseptor terhadap FSH, Persentase penderita Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK) pada wanita usia reproduksi cukup besar yaitu sekitar 5 -10 % dan dalam penanganannya membutuhkan terapi induksi ovulasi, salah satunya dengan menggunakan FSH eksogen. Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan penelitian terhadap polimorfisme gen reseptor FSH pada penderita SOPK di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : a). Distribusi genotip dan frekuensi alel FSHR di posisi 307 dan 680 ekson 10 pada kelompok SOPK dan kelompok normal. b), Kadar FSH basal pada wanita penderita SOPK dan wanita normal. c). Hubungan antara distribusi genotip FSHR di posisi 307 dan 680 dengan level FSH basal pada kelompok SOPK dan kelompok normal.
Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan distribusi genotip maupun frekuensi alel pada posisi 307 dan 680 pada ekson 10 gen reseptor FSH antara kelompok wanita penderita SOPK dan kelompok wanita normal. Ada perbedaan bermakna antara kadar FSH basal pada kelompok SOPK dan kelompok normal . Tidak terdapat perbedaan kadar FSH yang bermakna pada varian genotip posisi 307 maupun posisi 680 gen FSHR antara kelompok SOPK data kelompok normal, dengan kadar FSH basal tertinggi pada posisi 307 pada kelompok SOPK dimiliki oleh genotip Threonin/Threonin dan kadar FSH basal tertinggi di posisi 680 pada kelompok SOPK dimiliki oleh genotip Asparagin/Serin."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwit Ade Fidiawati
"Ruang lingkup dan cara penelitian: Karsinoma ovarium merupakan salah satu keganasan yang sangat penting karena menempati urutan ke empat penyebab kematian pada wanita. Di Indonesia dari tahun 1989-1992 terdapat 13% karsinoma ovarium dalam 1.726 kasus. Diagnosis histopatologik memegang peranan penting dalam penanganan tumor ovarium. Saat ini yang masih sering menimbulkan masalah diagnostik adalah membedakan antara tumor borderline dengan kistadenokarsinoma padahal penanganan dan prognostiknya berbeda. AgNOR merupakan salah satu cara penilaian proliferasi dengan menghitung nucleolar organizer region (NOR) yang merupakan lengkung DNA ribosom yang ditranskripsikan menjadi RNA ribosomal dengan bantuan RNA polimerase. Jumlah dan ukuran AgNOR berkorelasi dengan aktivitas proliferasi sel. Peningkatan nilai AgNOR mencerminkan peningkatan aktivitas proliferasi sel atau ploidi. Pada penelitian ini, nilai AgNOR digunakan untuk melihat hubungannya dengan derajat histopatologik tumor ovarium musinosum. Penghitungan nilai AgNOR dilakukan pada 20 kasus kistadenoma, 20 kasus tumor borderline dan pada 20 kasus kistadenokarsinoma dengan dua cara, yaitu rata-rata jumlah AgNOR per nukleus (mAgNOR) dan persentase nukleus dengan AgNOR>1, >2, >3 dan >4 (pAgNOR).
Hasil dan kesimpulan: Dari penelitian ini diperoleh nilai mAgNOR dan pAgNOR meningkat dan kistadenoma, tumor borderline dan kistadenokarsinoma (masing-masing 2,14; 3,55 dan 5,18). Nilai pAgNOR pada karsinoma lebih tinggi daripada nilai pAgNOR pada kistadenoma dan pada tumor borderline (pAgNOR>1 pada kistadenoma 69,55%; pada tumor borderline 964% dan pada kistadenokarsinoma 99,95%). Dengan menggunakan analisis varian didapatkan perbedaan bermakna di antara ke tiga jenis tumor tersebut (p=0,00). Dan dengan uji korelasi diperoleh hubungan yang sangat kuat antara nilai AgNOR dan derajat histopatologik tumor ovarium musinosum. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai AgNOR dapat digunakan untuk membedakan antara kistadenoma ovarium musinosum, tumor borderline dan kistadenokarsinoma.

Ovarian carcinomas are one of the most important malignant tumors because it had become the fourth most common cause of female cancer death. In Indonesia from 1989 to 1992, more than 13 % of 1.726 cancer cases were ovarian carcinomas. Histopathologic diagnostic become an important role in treatment of ovarian tumors. However, the main problem in histopathologic diagnostic the difficulties in differentiating ovarian cystadenocarsinomas and borderline tumors. Application of objective method is therefore necessary for the differential diagnosis. Nucleolar organizer region (NOR) are loops of DNA on the short arms of acrocentric chromosomes that presumably are associated with ribosomal RNA activity, protein synthesis and cellular proliferation. NOR are readily demonstrated by means of argyrophilia of their associated proteins, using the so-called AgNOR technique. Increased number of AgNOR may reflect increased proliferative activity of cell or ploidy, i.e., the count of AgNOR per nudeus was higher in malignant than in benign tissues. In this study, the authors tested AgNOR counting method for their ability to discriminate between benign tumour, borderline tumor and carcinoma and to see correlation between histopathologic grades of mutinous ovarian tumors with AgNOR counts. Selective cases of 20 cases cystadenomas, 20 cases of borderline tumors and 20 cases of cystadenocarsinomas were evaluated by 2 AgNOR counting method: 1) the mean number of AgNORs per nucleus (mAgNOR) and 2) the percentages of nuclei with >1, >2, >3 and >4 AgNORs (pAgNOR>1, pAgNOR>2, pAgNOR>3 and pAgNOR>4, respectively).
Result and conclusion: mAgNOR counts demonstrated a progressive increase from cytadenomas to borderline tumours and to cystadenocarcinomas (2,14; 3,55 and 5,18, respectively). pAgNOR counts were higher in carcinoma than in cystadenoma and in borderline tumors (in adenoma, 69.55% have pAgNOR>1, while in borderline and in carcinoma were 96,1% and 99,55%, respectively). Using analysis of variance, both AgNOR counts enabled significant discrimination between cystadenoma, borderline tumours and carcinoma (13=0, 00). The AgNOR counts show statistically significant correlation with histopathological grade of mucinous ovarian tumors. The result indicates that the AgNOR counting procedure may be useful in distinguishing borderline tumours from cytadenocarcinoma and cystadenoma mutinous of ovary.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T 11303
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Karsinoma ovarium merupakan salah satu keganasan yang sangat penting karena menempati urutan ke empat penyebab kematian pada wanita....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Alvin Bramantyo
"Latar Belakang: Limfadenektomi memainkan peranan penting dalam operasi surgical staging kanker ovarium. Limfadenektomi merupakan prosedur yang kompleks dan berpotensi menyebabkan berbagai komplikasi intra- dan pascaoperasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa subtipe histologi dan derajat histopatologi kanker ovarium yang berbeda memiliki kejadian metastasis kelenjar limfe yang berbeda pula, sehingga dapat mempengaruhi pengambilan keputusan klinis.
Tujuan: Mengetahui prevalensi metastasis kelenjar limfe pada pasien kanker ovarium tipe epitel stadium klinis 1 pada berbagai subtipe histologi dan derajat histopatologi.
Metode: Penelitian menggunakan metode potong lintang pada pasien kanker ovarium tipe epitel stadium klinis 1 yang menjalani limfadenektomi di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada tahun 2014-2023. Data yang dikumpulkan mencakup karakteristik demografi, subtipe histologi, derajat histopatologi, dan status metastasis kelenjar limfe. Hubungan antar variabel dianalisis menggunakan uji chi-square atau uji Fisher's exact.
Hasil: Terdapat 106 subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Peningkatan stadium akibat metastasis kelenjar limfe ditemukan pada 6.6% subjek. Metastasis kelenjar limfe paling banyak ditemukan pada subtipe histologi serosum derajat tinggi (15.4%) dan derajat diferensiasi buruk (10.6%). Hubungan yang signifikan secara statistik ditemukan antara kejadian metastasis kelenjar limfe dengan derajat diferensiasi (P=0.043), namun tidak dengan subtipe histologi. Tidak terdapat subjek dengan derajat diferensiasi baik-sedang yang mengalami metastasis kelenjar limfe.
Kesimpulan: Keputusan untuk melakukan limfadenektomi perlu dipertimbangkan kembali saat melakukan operasi surgical staging pada kanker ovarium tipe epitel stadium klinis 1 dengan derajat diferensiasi baik-sedang. Penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar dibutuhkan untuk kesimpulan yang lebih kuat.

Background: Lymphadenectomy plays an integral role in the surgical staging of ovarian cancer. However, it is a complex procedure that is potentially associated with intra- and post-operative complication. Some studies showed that distinct histologic subtype and grade have different frequencies of lymph node metastases and these might have potential implication for clinical decision making.
Objective: To evaluate the prevalence of lymph node metastasis in patients with clinically stage 1 epithelial ovarian cancer of various histologic subtype and grade.
Methods: This was a cross sectional study including clinically stage 1 epithelial ovarian cancer patient who underwent lymphadenectomy at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, during the period of 2014-2023. Demographics, histologic subtype, tumor grade, and lymph node status were collected. Comparisons were made with Chi square or Fisher's exact test.
Results: A total of 106 subjects were included in the study. Upstaging due to lymph node metastases were found in 6.6% of subjects. Lymph node metastases were most common in high-grade serous histology (15.4%) and poorly differentiated tumor grade (10.6%). However, a significant association with lymph node metastases rate was found only on tumor grade (P=0.043) and not histologic subtype. Furthermore, no subjects with well-to-moderately differentiated tumor had lymph node metastases.
Conclusions: The decision to perform lymphadenectomy should be reconsidered when performing surgical staging in patients with well-to-moderately differentiated clinically stage 1 epithelial ovarian carcinoma. Additional studies with larger samples are needed for exact conclusion.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zakiah Tourik
"ABSTRAK
Latar belakang. Tumor ganas sel germinal ovarium jarang terjadi, hanya 5 dari keganasan ovarium. Terjadi pada remaja dan dewasa muda, dimana 65 kasus ditemukan pada stadium I. Disgerminoma merupakan jenis Histopatologi yang tersering, dengan kesintasan mencapai 100 . Pada non disgerminoma kesintasan mencapai 85 . Di Indonesia, khususnya RSCM belum ada laporan terbaru mengenai tumor ganas sel germinal ovarium.Tujuan. Mengetahui sebaran meliputi karateristik, penatalaksanaan dan kesintasan 3 tahun pasien tumor ganas sel germinal ovarium di RSCM tahun 2011 ndash; 2013.Metode. Penelitian ini menggunakan studi potong lintang dengan mengambil data sekunder dari rekam medis dan mewawancarai pasien atau keluarga pasien via telepon atau kunjugan rumah.Hasil. Pada penelitian ini, dari 24 subjek penelitian, 54,2 ditemukan pada usia 20-40 tahun dan 58,3 subjek belum menikah. Sebanyak 83,3 datang dengan keluhan perut membesar. Secara histopatologi didapatkan jenis disgeminoma, tumor sel germinal campuran, sinus endodermal yolk sac dan teratoma imatur dengan proporsi masing-masing 50 , 25 , 16,7 dan 8,3 , sebagian besar kasus 50 ditemukan pada stadium I. Conservative surgical staging dan kemoterapi adjuvan tatalaksana pilihan. Terdapat 2 subjek jenis disgerminoma yang diberikan dengan kemoterapi neoadjuvan regimen Bleomycin, Etoposide, Cisplatin dan cyclophosmide-cisplatin memberikan respon yang baik. Kesintasan ge; 3 tahun pada jenis disgerminoma mencapai 83,3 , pada tumor sel germinal campuran 100 dan pada teratoma imatur mencapai 50 .Kesimpulan. Pada tumor ganas sel germinal ovarium conservative surgical staging diikuti kemoterapi lengkap merupakan pilihan terapi dengan kesintasan ge; 3 tahun mencapai > 70 .
Background.
ABSTRACT
Malignant ovarian germ cell tumor is a rare event, occurring in 5 of total ovarian malignancy. This type of malignancy affects young adult and 65 cases is detected in stage I. Dysgerminoma is the most common histopathology finding with survival rate of 100 . In non-dysgerminoma type, survival type reaches 85 . In Indonesia, especially in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta, there is no recent report on malignant ovarian germ cell tumor. Methods. To determine prevalence of malignant ovarian germ cell tumor in term of characteristics, management, and 3-year survival rate in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta from 2011 to 2013. Results. We collected data from 24 subjects. As many as 54.2 subjects were between 20 to 40 year old and 58.3 was single. Around 83.3 of total subjects came with chief complaint of abdominal enlargement. Histopathology finding confirmed dysgerminoma in 50 subjects, mixed ovarian germ cell tumor in 25 , endodermal sinus tumor or yolk sac tumor in 16.7 , and immature teratoma in 8.3 . Half of the cases were found in stage I. The main therapy was conservative surgical staging and adjuvant chemotherapy. In 2 subjects with dysgerminoma, neoadjuvant chemotherapy Bleomycin, Etoposide, Cisplatin, and cyclophosmide-cisplatin regimen resulted in good response. The 3-year survival rate was 83.3 in dysgerminoma, 100 in mixed ovarian germ cell tumor, and 50 in immature teratoma. Conclusion. In malignant ovarian germ cell tumor, conservative surgical staging followed by complete course of chemotherapy is the treatment of choice with 3-year survival rate exceeding 70 . "
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Maryani
"Kanker ovarium yaitu kanker yang terbentuk di jaringan pada ovarium. Studi kasus kontrol berbasis rumah sakit ini menilai hubungan riwayat reproduksi, penggunaan hormon, dan riwayat kanker pada keluarga dengan kejadian kanker ovarium pada pasien rawat jalan RSKD Jakarta tahun 2013, menggunakan alat kuesioner dan rekam medik pasien. Peneliti merekrut 71 penderita kanker ovarium sebagai kasus dan 140 responden sebagai kontrol yang seluruhnya terdiri dari penderita kanker serviks. Hasil penelitian menemukan bahwa semakin banyak jumlah kehamilan semakin besar efek protektif (1-2 kali (OR= 0.18, 95% CI= 0.05-0.59) dan ≥ 3 kali (OR= 0.06, 95% CI= 0.02-0.20)) dibandingkan tidak pernah hamil. Pola tersebut juga terlihat pada jumlah melahirkan. Pernah menyusui anak pun memberikan perlindungan terhadap kanker ovarium (OR=0.17, 95% CI= 0.08-0.39) dan efek protektif meningkat seiring dengan panjangnya durasi (1-24 bulan (OR= 0.31, 95% CI= 0.12-0.80) dan ≥ 25 bulan (OR= 0.13, 95% CI= 0.06-0.31)) dibandingkan tidak pernah menyusui anak. Perlindungan pun timbul dari riwayat pernah menggunakan kontrasepsi oral (OR=0.37, 95% CI= 0.20-0.68), dan efeknya meningkat seiring dengan tingginya episode (1 episode (OR= 0.39, 95% CI= 0.20-0.76) dan ≥ 1 episode (OR= 0.32, 95% CI= 0.10-0.99)), panjangnya durasi (1-24 bulan (OR= 0.46, 95% CI= 0.23-0.93) dan ≥ 25 bulan (OR= 0.25, 95% CI= 0.09-0.69)), serta pendeknya rentang waktu sejak terakhir menggunakan kontrasepsi oral_umur saat didiagnosis (< 15 tahun (OR= 0.33, 95% CI= 0.13-0.80) dan ≥ 15 tahun (OR= 0.41, 95% CI= 0.20-0.87)) dibandingkan tidak pernah menggunakan kontrasepsi oral. Sebaliknya, ada peningkatan risiko terkena kanker ovarium akibat pernah mengalami infertilitas (OR= 2.09, 95% CI= 1.06-4.13) dibandingkan tidak pernah mengalami infertilitas, dan adanya riwayat kanker ovarium pada keluarga (OR= 7.55, 95% CI= 1.53-7.35) dibandingkan tidak ada riwayat kanker ovarium pada keluarga. Oleh karena itu, perlu adanya upaya peningkatan promosi kesehatan mengenai faktor protektor dan faktor risiko tersebut kepada masyarakat.

Ovarian cancer is cancer that forms in tissues of the ovary. This hospital-based case-control study evaluated reproductive history, hormone use, and family history of cancer in relation to ovarian cancer on patient of RSKD Jakarta in 2013. Data were collected through questionnaires and medical record of patients. Researcher recruited 71 ovarian cancer cases and 140 controls that a whole consists of cervix cancer patients. The result found the a significant protection to ovarian cancer risk because of number of pregnancy 1-2 , number of pregnancy ≥ 3 (OR= 0.06, 95% CI= 0.02-0.20), parity 1-2 (OR= 0.23, 95% CI= 0.08-064), parity ≥ 3 (OR= 0.07, 95% CI= 0.03-0.20), ever breastfeeding (OR= 0.17, 95% CI= 0.08-0.39), breastfeeding during 1-24 months (OR= 0.31, 95% CI= 0.12-0.80), breastfeeding during ≥ 25 months (OR= 0.13, 95% CI= 0.06-0.31), ever use of oral contraceptive (OR= 0.37, 95% CI= 0.20-0.68), using oral contraceptive during 1-24 months (OR= 0.46, 95% CI= 0.23-0.93), using oral contraceptive during ≥ 25 months (OR= 0.25, 95% CI= 0.09-0.69), have time since last use of oral contraceptive_age of diagnose (OR= 0.33, 95% CI= 0.13-0.80), and have time since last use of oral contraceptive_age of diagnose (OR= 0.41, 95% CI=0.20-0.87). Conversely, ever infertility (OR= 2.09, 95% CI= 1.06-4.13), and family history of ovarian cancer (OR= 7.55, 95% CI= 1.53-7.35) increased ovarian cancer risk significantly. Therefore, the health promotion about protector factors and risk factors of ovarian cancer have to be increased."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S52427
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desi Ari Madi Yanti
"Kanker Ovarium adalah pertumbuhan sel - sel yang abnormal pada satu atau dua bagian indung telur. Kanker ovarium merupakan penyakit ganas ginekologi kedua diseluruh dunia, pada tahun 2013 ditemukan 22240 pasien dimana 14.030 (15%) meninggal dunia akibat kanker ovarium tersebut. Laporan ini bertujuan memberikan gambaran tentang pelaksanaan praktik spesialis keperawatan maternitas dalam menjalankan perannya sebagai pendidik, pelindung, pengelola, kolaborator, komunikator, konselor, koordinator, agen perubah dan peneliti dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien kanker ovarium dengan menggunakan teori adaptasi Roy. Model teori keperawatan adaptasi Roy efektif dilakukan pada kedua kasus ibu dengan kanker ovarium, aplikasi teori tersebut membantu menyelesaikan masalah keperawatan di fase akut maupun di fase pemulihan. Pada klien kanker ovarium perlu adanya pengabungan teori Loss and Griving dengan adaptasi Roy untuk membantu klien mempertahankan keadaan psikologis klien dalam tahap menerima. Penulis mampu mencapai target kompetensi dalam praktik klinik keperawatan maternitas residensi dengan baik.

Ovarian cancer is the growth of abnormal cells in one or two parts of the ovary. Ovarian cancer is the second gynecological malignant disease throughout the world. In 2013 there were 22,240 patients that 14,030 (15%) died from the ovarian cancer. This report aimed to provide an overview of the implementation of maternity nursing specialist practice in carrying out its role as an educator~ a protector, a manager, a collaborator, a communicator, a counselor, a coordinator, an agent of change and a researchers in providing nursing care to the ovarian cancer clients using Roy adaptation theory. Roy adaptation nursing theory model was effectively performed in both cases of women with ovarian cancer, the application of the theory helped to solve the nursing problem in the acute phase and in the recovery phase. The combination of Loss & Grieving and Roy Adaptation Theory could help ovarian cancer clients to maintain their psychological state in the receiving phase. The author was able to achieve the target competencies in maternity nursing residency clinical practice successfully.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dimas Kirana Mahaputra
"Latar Belakang: Cisplatin sebagai agen kemoterapi merupakan salah satu modalitas terapi pada kanker padat seperti kanker ovarium. Sejumlah studi membuktikan adanya efek samping hepatotoksik cisplatin. Hal ini dapat mengakibatkan kemoterapi tidak efektif, karena dosis cisplatin dikurangi atau bahkan dihentikan pemberiannya. Dewasa ini, obat berbasis tanaman banyak diteliti, salah satunya kurkumin. Kurkumin mempunyai efek hepatoprotektif namun bioavailabilitasnya sangat rendah. Sejumlah penelitian membuat formula nanokurkumin untuk meningkatkan bioavaibilitasnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian nanokurkumin pada gambaran histologis jejas liver yang diinduksi oleh cisplatin pada tikus model kanker ovarium. Metode: Penelitian ini menggunakan bahan biologis tersimpan dari penelitian sebelumnya. Terdapat 5 kelompok perlakuan; kontrol, DMBA; DMBA+Cisplatin; DMBA+Cis+kurkumin; dan DMBA+Cis+nanokurkumin. Pewarnaan Masson Trichrome dipakai untuk mengamati akumulasi kolagen sebagai penanda fibrosis. Selanjutnya dilakukan kuantifikasi jaringan kolagen /Collagen Proportionate Area (CPA), serta skoring fibrosis hati (skor ISHAK). Hasil: Induksi DMBA dan terapi cisplatin dapat mengakibatkan fibrosis hati, ditandai dengan deposisi kolagen yang lebih tinggi dibanding kelompok kontrol. Pemberian nanokurkumin menunjukkan adanya perbaikan secara histologis berupa fibrosis periportal yang ringan dan skor fibrosis yang lebih rendah secara signifikan (p<0.05) dibanding kelompok lainnya. Pemberian nanokurkumin juga menunjukkan persentase akumulasi kolagen (CPA) yang rendah, namun tidak signifikan (p>0.05) secara statistik. Kesimpulan: Pemberian nanokurkumin pada model kanker ovarium yang diterapi dengan cisplatin pada tikus menunjukkan efek hepatoprotektor dengan memperbaiki skor fibrosis dan mengurangi akumulasi kolagen pada jaringan liver. Diperlukan penelitian lebih lanjut yang membandingkan beragam dosis dan formulasi untuk mengetahui efikasi nanokurkumin yang paling baik sebagai hepatoprotektor pada model kanker ovarium yang diterapi dengan cisplatin.

Background: Cisplatin as a chemotherapy is one of the main modalities of therapy in patients with solid tumours like ovarian cancer. Studies have proven the hepatotoxicity of cisplatin, which causes dose reduction and even termination. Nowadays, herbal based drug is intensively studied, one of them is curcumin. Curcumin is known to have a hepatoprotective effect, albeit with very low bioavailability. To solve this, many research have formulated nanocurcumin to increase its bioavailability. This research aims to find out the effect of nanocurcumin in liver fibrosis induced by cisplatin in ovarian cancer of rat’s model. Method: Our study uses stored biological materials from previous study. The groups are; Control; DMBA; DMBA+Cisplatin; DMBA+Cisplatin+Curcumin; DMBA+Cisplatin+Nanocurcumin. Liver fibrosis is observed with Masson Trichrome stain to view collagen accumulation as fibrosis marker. Afterwards, quantification of collagen fibers (CPA) and liver fibrosis grading (ISHAK) is done. Results: Induction of DMBA with cisplatin treatment causes liver fibrosis, indicated by higher collagen deposition compared to the normal group. Administration of nanocurcumin shows improvement in histological structure such as milder periportal fibrosis and significantly lower liver fibrosis grade (p<0.05) compared to other groups. Administration of nanocurcumin also results in lower collagen percentage (CPA), however it is statistically insignificant (p>0.05). Conclusion: Administration of nanocurcumin in rat ovarian cancer model treated with cisplatin shows hepatoprotective effect by reducing both fibrosis grade and collagen accumulation in the liver. Further study is required with varying dose and formulations to know the nanocurcumin’s best efficacy as hepatoprotector in ovarian cancer model treated with cisplatin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ganot Sumulyo
"Latar Belakang: Kanker ovarium merupakan salah satu keganasan dengan kematian tertinggi pada wanita di seluruh dunia. Seringkali pasien dating dengan stadium lanjut dan memerlukan penanganan segera. Akan tetapi, terdapat berbagai penyebab terjadinya pemanjangan waktu tunggu operasi. Hal ini mungkin dapat menyebabkan perburukan klinis saat dilakukan tindakan operatif pada pasien.
Tujuan: Menentukan hubungan antara lama waktu tunggu operasi dengan perburukan klinis pada pasien kanker ovarium stadium lanjut.
Metode: Penelitian kohort retrospektif dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia pada Januari 2019 hingga Juni 2019. Pasien kanker ovarium stadium lanjut yang dilakukan tindakan operatif diikutsertakan pada penelitian. Pasien yang terbukti tidak memiliki kanker ovarium stadium lanjut pada pemeriksaan histopatologi atau memiliki penyakit komorbiditas berat lainnya dieksklusi dari penelitian. Karakteristik dasar, waktu tunggu, status performa berdasarkan ECOG score, kadar haemoglobin dan albumin dasar, status nyeri, dan indeks massa tubuh dikumpulkan dan dilakukan analisis secara statistik.
Hasil: Didapatkan 90 subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Didapatkan 25,6% subyek mengalami perburukan status performa, 11,1% mengalami perburukan haemoglobin, 61,1% mengalami perburukan albumin, 14,4% mengalami perburukan nyeri, 32,2% mengalami perburukan indeks massa tubuh, dan 77,8% mengalami perburukan klinis. Didapatkan nilai cutoff 73 hari untuk menentukan pemanjangan waktu tunggu operasi.
Kesimpulan Terdapat hubungan bermakna antara waktu tunggu terapi dengan perburukan klinis pasien kanker ovarium stadium lanjut.

Background: Ovarian cancer is one of the highest fatalities for cancer in women worldwide. Patients often come in an advanced stage and require immediate treatment. However, there are various causes for the extension of the waiting time for surgery. This might cause clinical deterioration during the operation.
Objective: To determine the relationship between the length of time waiting for surgery and clinical deterioration in patients with advanced ovarian cancer.
Methods: A retrospective cohort study conducted at the National Center General Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia from January 2019 to June 2019. Patients with advanced stages of ovarian cancer who performed operative measures were included in the study. Patients who were proven not having advanced ovarian cancer on histopathological examination or had other severe comorbidities were excluded from the study. Baseline characteristics, waiting time, performance status based on ECOG score, haemoglobin and albumin levels, pain status, and body mass index were collected and analyzed statistically.
Results: There were 90 study subjects who met the inclusion criteria and did not meet the exclusion criteria. A total of 25.6% of subjects experienced a worsening of performance status, 11.1% experienced worsening of hemoglobin, 61.1% experienced worsening of albumin, 14.4% experienced worsening pain, 32.2% experienced a worsening of body mass index, and 77.8% experiencing clinical deterioration. A cutoff value of 73 days is obtained in order to determine the lengthening of the operating waiting time.
Conclusion There is a significant relationship between the waiting time of therapy with clinical deterioration in patients with advanced ovarian cancer.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58865
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>