Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134969 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dasfordate, Aksilas
"Tanimbar dalam kajian ini adalah suatu wilayah kepulauan yang terletak di bagian tenggara kepulauan Maluku. Kepulauan ini pada awalnya tidak berpenghuni, oleh sebab itu penyebutan Tanimbar didasarkan pada pertimbangan yang berkaitan dengan asal-usul masyarakat yang mendiami pulau tersebut. Kata Tanimbar berasal dari kata Tanempar (bahasa nistimur) Tanebar (bahasa weslyeta) dan Tnebar (bahasa fordata) yang memiliki arti sama yaitu 'terdampar'. Kata terdampar ini ditujukan kepada masyarakat yang datang dari berbagai pulau atau wilayah Indonesia khususnya Indonesia Timur, seperti ada yang datang dari Halmahera, Ambon, Seram, Banda, Kai, Aru, Sulawesi (Bugis Makassar dan Buton), bahkan ada yang datang dari pulau Timor. Atas dasar inilah, maka suku asli di kepulauan Tanimbar sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Jadi kata Tanimbar bisa digunakan untuk menunjukkan orang (orang Tanimbar), juga digunakan untuk menunjukkan wilayah (kepulauan Tanimbar).
Tanimbar yang merupakan wilayah kepulauan. Hal ini memungkinkan kebanyakan masyarakatnya mendiami daerah-daerah pesisir pantai. Berdasarkan tempat pemukiman ini, maka aktivitas rnereka-pun lebih cenderung ke laut, sehingga peralatan yang digunakan berkaitan dengan aktivitas mereka, sampai-sampai dijadikan simbol dalam setiap masyarakat di Tanimbar. Misalnya; sebuah bangunan perahu di Tanimbar, dianalogikan dengan struktur masyarakat setiap kampung di Tanimbar. Atas dasar inilah maka 'pamaru muka pamaru belakang yang merupakan dua bagian dari sebuah bangunan perahu digunakan sebagai judul tesis ini.
Sejauh ini 'Tanimbar hanya dilihat dari perspektif sejarah Maluku, khususnya Maluku Tenggara. Oleh sebab itu, jika perpegang pada pandangan tersebut, maka sejarah Tanimbar sangat terabaikan dari peter penyelidikan sejarah Indonesia. Memang diakui bahwa secara garis politik Tanimbar merupakan salah satu wilayah yang sangat terpencil dan tidak menarik perhatian para peneliti sejarah untuk meneliti daerah tersebut. Akan tetapi dimanakah sejarah dari bagian-bagian atau pulau-pulau yang juga memiliki riwayatnya sendiri-sendiri ? Apakah Tanimbar merupakan embel-embel dari Negara Kesatuan Republik Indonesia ?
Oleh sebab itu, kajian ini bertujuan; pertama, mengisi celah yang terjadi dalam penulisan sejarah Maluku, terutama mengenai pembukaan jaringan pelayaran antar-pulau di Maluku; kedua, mengungkapkan problematik interaksi masyarakat Tanimbar dalam menerima para pedagang asing (dalam hal ini Bugis Makassar dan Belanda); ketiga, mengukapkan posisi masyarakat Tanimbar dalam jaringan pelayaran di Indonesia Timur abad XIX.
Berkaitan dengan itu, ruang lingkup kajian ini terdiri atas beberapa hal yaitu; (1) tentang kondisi ekonomi, politik dan sosial budaya masyarakat Tanimbar sebelum adanya kontak dengan daerah lain di Indonesia Timur melalui jaringan pelayaran dan perdagangan abad XIX; (2) Tujuan jaringan pelayaran tersebut, yang ternyata tidak semata-mata adalah kegiatan perdagangan, tetapi juga ada kegiatan lain; seperti upaya penyebaran agama, (Islam oleh para pedagang Bugis Makassar, Kristen Protestan dan Katolik oleh para pedagang Belanda); (3) Reaksi masyarakat Tanimbar terhadap berbagai macam hal baru yang dihadapinya dan (4) beberapa faktor yang menyebabkan Belanda meninggalkan. Tanimbar akhir abad XVIII dan kembali menguasai serta menempatkan Tanimbar dalam daerah kekuasaan Belanda secara tetap pada abad XIX.
Keterlibatan Masyarakat Tanimbar dalam jaringan pelayaran di Indonesia Timur abad XIX tidak terlepas dari suatu kategori utama dalam mengkaji Asia Tenggara, yaitu port polity. Pemusatan pelabhuan dan pintu gerbang (entrepot) serta penyelenggaraan negara (polity) merupakan gejala yang hampir menyeluruh di Asia Tenggara kepulauan. Di dalam kerangka itu pula kajian Tanimbar dapat dilakukan.
Kajian ini menggunakan pendekatan kelautan yang melihat wilayah perairan laut sebagai satu kesatuan dari berbagai macam satuan bahari yang pada perkembangannya menjadi satuan yang lebih besar. Dalam kerangka itu, wilayah perairan Tanimbar terbentuk yang dapat mengintegrasikan bagian-bagiannya menjadi satu kesatuan laut. Dalam proses lebih jauh, satuan laut tersebut juga berintegrasi ke dalam jaringan pelayaran di Indonesia Timur.
Dalam konstalasi tersebut, posisi Tanimbar memainkan peranan dalam lalu lintas perdagangan di Indonesia Timur, di mana dari Tanimbar para pedagang asing (Bugis Makassar, Belanda dan Cina) memperoleh komiditi dagang seperti; tripang, mutiara, kerang mutiara, kulit penyu, sirip ikan hiu, agar-agar (rumput laut) dan sebagainya untuk dikirim ke Makassar, Batavia, Banten, Malaka, untuk dijual atau ditukarkan dengan bahan pakaian (tekstil) dan barang kebutuhan lainnnya untuk dibawa kembali ke Tanimbar. Dalam kegiatan tersebut, masyarakat Tanimbar bertintak sebagai pihak yang khusus menyediakan barang-barang dagang yang dijual kepada para pedagang asing.
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa melalui jaringan pelayaran tersebut, masyarakat Tanimbar bisa mengenal dan menerima hal-hal baru yang pada awalnya belum dikenal atau sudah dikenal tetapi lain daripada yang baru masuk. Misalnya, salah satu hal nyata yang sampai sekarang masih ada di Tanimbar, yakni model dan cara pembuatan perahu, yang ternyata model dan ketrampilan pembuatan perahu diperoleh dari para pelaut dan pedagang Butun."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T1606
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didik Pradjoko
"Penelitian dalam tesis ini berusaha untuk merekonstruksi dinamika sejarah pelayaran,perdagangan dan perebutan kekuatan politik dan ekonomi yang terjadi di kawasan Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur. Kajian sejarah maritim ini diharapkan dapat merekonstruksi sejarah dari masyarakat di Nusantara yang hidup mengarungi lautan. Kajian sejarah maritim sering diabaikan oleh para sejarawan Indonesia karena mereka lebih suka merekonstruksi sejarah yang terjadi di daratan saja, kawasan laut malah dianggap tidak penting. ketimpangan terjadi karena sejarah Indonesia tidak ditulis utuh dalam pengertian sejarah tanah air. padahal dua pertiga wilayah Indonesia adalah kawasan laut yang justru menjadi media integrasi pulau-pulau sekitarnya.
Banyak penduduk Indonesia yang hidup dari perdagangan, pelayaran dan kegiatan mengolah laut. Banyak dari budaya masyarakat kita yang temyata menjadikan laut, perahu dan pelayaran menjadi bagian dari legenda, sistem mata pencarian, sistem nilai dan asal-usul, termasuk masyarakat yang ada di kawasan laut sawu.
Padahal dalam kajian ilmuwan asing dan sumber arsip Portugis dan Belanda, wilayah.ini memiliki dinamika pelayaran dan perdagangan maritim yang;-amai pada abad-abad yang lampau. Seperti halnya ramainya pelayaran kapal-kapal Bugis dan makasar yang berdagang dan jugs mencari tripang ke Australia utara (marege) dengan menjadikan wilayah Laut Sawu sebagai pangkalan armada dan perekrutan tenaga penyelam. Bahkan jugs kehadiran kapal-kapal Portugis, Cina, Belanda, Inggris dan Amerika selama abad-ke-19 dan awal abad ke-20 untuk mencari kayu cendana, lilin, gala lontar dan kuda. Portugis dan Belanda merupakan dua bangsa yang kemudian berebut hegemoni politik dan ekonomi di wilayah kawasan Laut Sawu ini."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19220
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Albert Rumbekwan
"[ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang pelayaran orang Biak di Teluk Cenderawasih Abad XIX. Orang Biak menjalankan aktivitas perdagangan barter, ekspansi, dan merompak masyarakat suku-suku di sekitar Teluk Cenderawasih, dan mendominasi aspek perdagangan dan politik di wilayah tersebut. Orang Baik-Numfor membangun hubungan dagang dengan para pelaut Ternate, Tidore, Halmahera-Flores-Gebe, Sulawesi, Buton, pelaut Cina dan Eropa. Sistim dagang orang Biak terbentuk melalui kongsi dagang antar sahabat yang disebut; Manibobi, dengan berlayar dan berdagang keliling. Jenis-jenis komoditi dagang yang dibarter bersama para manibobi-nya di Kepulauan Yapen-Waropen, Teluk Wondama, dan Teluk Doreri-Manokwari, Amberbaken adalah; Sagu, kulit kayu massoi, burung cenderawasih, dan budak serta lainnya. Sedangkan jenis-jenis komoditi dagang baru yang diperoleh melalui kontak dagang dengan para pelaut dari Ternate-Tidore, Buton, makasar, Cina dan Eropa, antara lain; porselin cina, manik-manik, parang, tombak gelang dari besi atau logam, serta berbagai jenis kain. Pelayaran dan perdagangan orang Biak-Numfor didorong oleh motif persaingan atau korfandi, lingkungan georafis dan ekonomi, perang antar suku, dan adat budaya. Aktivitas pelayaran ini dipimpin oleh Manseren Mnu atau Suprimanggun, dan ?Mambri? sebagai pemimpin perang, dengan menggunakan perahu layar tradisional; Wairon, Waimansusu dan Waipapan/Karures, yang dipandu oleh ilmu perbintangan, yaitu bintang Orion (Sawakoi) dan Scorpio (Romanggwandi). Kemampuan pelayaran dan perdagangan sampai ke Ternate-Tidore, menyebabkan orang Biak diberi gelar-gelar seperti; Mambri, Sangaji, Korano, dan Dimara. Dan melahirkan akulturasi budaya antara orang Biak-Numfor dengan suku-suku di daerah Yapen-Waropen, Teluk Wondama, dan Manokwari melalui perkawinan dan perdagangan.

ABSTRACT
This thesis discusses the shipping of Biak in the Gulf of Paradise XIX century. Biak people barter trading activities, expansion, and community merompak tribes around the Gulf of Paradise, and dominate the trade and political aspects in the region. People Well-Noemfoor establish trade relations with the sailors of Ternate, Tidore, Halmahera-Gebe-Flores, Sulawesi, Buton, Chinese and European sailors. Biak trade system formed through trade partnership between friends is called; Manibobi, with sailing and trade circumference. The types of commodity trade with the manibobi bartered his Yapen Islands-Waropen, Wondama Bay, and Gulf Doreri-Manokwari, Amberbaken; Sago, massoi bark, bird of paradise, and slaves, and others. While other types of trading commodity obtained through trade contacts with the sailors of Ternate-Tidore, Buton, Makassar, China and Europe, among others; Chinese porcelain, beads, machetes, spears of iron or metal bracelet, as well as various types of fabrics. Shipping and trade of Biak-Noemfoor driven by competition motive or korfandi, geographic and economic environment, inter-tribal warfare, and cultural customs. Shipping activity is led by Manseren MNU or Suprimanggun, and "Mambri" as a war leader, using traditional sailing boat; Wairon, Waimansusu and Waipapan/Karures, which is guided by astrology, the stars of Orion (Sawakoi) and Scorpio (Romanggwandi). Shipping and trading capabilities to the Ternate-Tidore, causing the Biak given titles such as; Mambri, Sangaji, Korano, and Dimara. And gave birth to acculturation between the Biak-Noemfoor with tribes in the area Yapen-Waropen, Wondama Bay, and Manokwari through marriage and trade.
;This thesis discusses the shipping of Biak in the Gulf of Paradise XIX century. Biak people barter trading activities, expansion, and community merompak tribes around the Gulf of Paradise, and dominate the trade and political aspects in the region. People Well-Noemfoor establish trade relations with the sailors of Ternate, Tidore, Halmahera-Gebe-Flores, Sulawesi, Buton, Chinese and European sailors. Biak trade system formed through trade partnership between friends is called; Manibobi, with sailing and trade circumference. The types of commodity trade with the manibobi bartered his Yapen Islands-Waropen, Wondama Bay, and Gulf Doreri-Manokwari, Amberbaken; Sago, massoi bark, bird of paradise, and slaves, and others. While other types of trading commodity obtained through trade contacts with the sailors of Ternate-Tidore, Buton, Makassar, China and Europe, among others; Chinese porcelain, beads, machetes, spears of iron or metal bracelet, as well as various types of fabrics. Shipping and trade of Biak-Noemfoor driven by competition motive or korfandi, geographic and economic environment, inter-tribal warfare, and cultural customs. Shipping activity is led by Manseren MNU or Suprimanggun, and "Mambri" as a war leader, using traditional sailing boat; Wairon, Waimansusu and Waipapan/Karures, which is guided by astrology, the stars of Orion (Sawakoi) and Scorpio (Romanggwandi). Shipping and trading capabilities to the Ternate-Tidore, causing the Biak given titles such as; Mambri, Sangaji, Korano, and Dimara. And gave birth to acculturation between the Biak-Noemfoor with tribes in the area Yapen-Waropen, Wondama Bay, and Manokwari through marriage and trade.
, This thesis discusses the shipping of Biak in the Gulf of Paradise XIX century. Biak people barter trading activities, expansion, and community merompak tribes around the Gulf of Paradise, and dominate the trade and political aspects in the region. People Well-Noemfoor establish trade relations with the sailors of Ternate, Tidore, Halmahera-Gebe-Flores, Sulawesi, Buton, Chinese and European sailors. Biak trade system formed through trade partnership between friends is called; Manibobi, with sailing and trade circumference. The types of commodity trade with the manibobi bartered his Yapen Islands-Waropen, Wondama Bay, and Gulf Doreri-Manokwari, Amberbaken; Sago, massoi bark, bird of paradise, and slaves, and others. While other types of trading commodity obtained through trade contacts with the sailors of Ternate-Tidore, Buton, Makassar, China and Europe, among others; Chinese porcelain, beads, machetes, spears of iron or metal bracelet, as well as various types of fabrics. Shipping and trade of Biak-Noemfoor driven by competition motive or korfandi, geographic and economic environment, inter-tribal warfare, and cultural customs. Shipping activity is led by Manseren MNU or Suprimanggun, and "Mambri" as a war leader, using traditional sailing boat; Wairon, Waimansusu and Waipapan/Karures, which is guided by astrology, the stars of Orion (Sawakoi) and Scorpio (Romanggwandi). Shipping and trading capabilities to the Ternate-Tidore, causing the Biak given titles such as; Mambri, Sangaji, Korano, and Dimara. And gave birth to acculturation between the Biak-Noemfoor with tribes in the area Yapen-Waropen, Wondama Bay, and Manokwari through marriage and trade.
]"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T43108
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susanto Zuhdi
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Bahasoan, Mardiani
"Abad XIX di Perancis merupakan masa yang penuh gejolak akibat keadaan politik yang tidak stabil, namun memperlihatkan perkembangan dalam dunia ilmu pengetahuan dan kemajuan yang pesat dalam bidang industri dan ekonomi.
Dari tahun 1800 sampai 1900, Perancis mengalami sembilan kali perubahan bentuk pemerintahan yaitu : Consular, Kekaisaran, Restorasi, Monarki Juli, Republik Kedua, Kekaisaran Kedua dan Republik Ketiga sebagai rangkaian akibat dari Revolusi Perancis 1789.
Periode yang tidak stabil itu membawa pengaruh pula dalam kehidupan sosial dan ekonomi bangsa. Dengan adanya perubahan bentuk pemerintah tersebut, peranan kaum bangsawan dan gereja dalam kehidupan sosial dan ekonomi, beralih kepada golongan baru yaitu kaum borjuis dan para cerdik pandai.
Ketidakstabilan politik ternyata tidak menghambat perkembangan dalam dunia ilmu pengetahuan yang telah dimulai oleh para pernikir dari abad Pencerahan. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa pemikiran-pemikiran tradisional mengenai cara-cara memecahkan masalah kehidupan yang berdasarkan pada doktrin agama, digantikan oleh filsafat Positivisme Auguste Comte yang mendasarkan segala pemikiran pada ilmu pengetahuan (rains). Saat itu hanya ilmu pengetahuan sajalah yang diakui sebagai satu-satunya cara untuk memecahkan berbagai masalah dan misteri di atas bumi ini. Maka terjadilah pemujaan terhadap ilmu pengetahuan. Dalam dunia sastra sikap tersebut melahirkan para pengarang realis dan naturalis seperti Balzac, Flaubert, dan Zola.
Perkembangan yang cepat dalam bidang industri pada saat itu, membuat masyarakat Perancis yang agraris dan statis bergerak menuju kota yang berkembang pesat menjadi pusat industri dan perdagangan. Ditemukannya mesin uap untuk kereta api dan kapal, telah mempercepat proses perubahan tersebut, dengan demikian terjadi pula perubahan dalam gaya hidup masyarakat. Di samping golongan borjuis, urbanisasi..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Lisyawati Nurcahyani
Yogyakarta: Kepel Pess, 2017
959.84 LIS d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Athoillah
"Kehadiran orang orang Arab di Jawa dalam beberapa kajian disebutkan mulai terlihat pada abad XVIII sampai awal abad XIX. Sejak berdirinya Keraton Yogyakarta pada tahun 1755, beberapa orang Arab dari kalangan sayid Hadrami telah menjadi bagian dari keluarga Sultan Yogyakarta sebagai bukti hadirnya peran mereka di Keraton Yogyakarta pada abad XIX. Kajian ini membahas tentang proses dan bentuk patronase politik yang terjadi di antara kalangan Arab dengan keluarga bangsawan Jawa di Keraton Yogyakarta, khususnya pada paruh pertama abad ke 19. Ditemukan beberapa hal penting bahwa pertukaran jasa dan aliansi pernikahan antara para sayid dengan putri bangsawan Yogyakarta telah menempatkan posisi sayid sebagai elit politik dan kuatnya legitimasi keagamaan pada bangsawan Keraton Yogyakarta. Selain itu, juga ditemukan beberapa kasus bahwa para kalangan Arab juga membangun patronase politik yang justru menjadi lawan bagi Keraton Yogyakarta."
Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 2019
959 PATRA 20:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Soerjono Soekanto
Bandung: Alumni, 1985
340.57 SOE b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>