Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 51298 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Achmad Bahar
"Amerika Serikat pasca Perang Dunia II memberikan perhatian serius ke kawasan Eropa. Terdapat dua pertimbangan Amerika Serikat memperhatikan kawasan Eropa pertama adalah bila negara-negara Eropa menjadi lemah secara ekonomi dan politik maka sangat mungkin pengaruh Komunisme akan lebih mudah masuk ke Eropa dan kedua Eropa yang kuat lebih menguntungkan bagi Amerika Serikat disamping dapat secara bersama-sama menanggung beban internasional juga Eropa dapat menjadi tujuan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terutama dalam masalah ekonomi dan perdagangan.
Tanggapan Amerika Serikat terhadap Masyarakat Eropa mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan Masyarakat Eropa itu sendiri. Sementara itu secara internal Masyarakat Eropa memberikan cukup waktu untuk dapat menyatukan berbagai perbedaan diantara mereka baik berkenaan dengan masalah ekonomi maupun politik. Sehingga negara-negara Eropa cenderung lebih memikirkan bagaimana mereka menyelesaikan berbagai persoalan diantara mereka sendiri dalam proses integrasi hingga berkaitan dengan penetapan pemberlakuan tarif bersama kepada negara ketiga tidak terkecuali dengan Amerika Serikat.
Beberapa persoalan kemudian muncul antara Masyarakat Eropa dengan Amerika Serikat setelah proses integrasi ekonomi Eropa makin menguat dan mulai menerapkan kebijakan tarif eksternal bersama dan masalah-masalah lain seperti subsidi pertanian, standardisasi produk dan lain-lainnya.
Peneliti dalam hal ini akan memperhatikan tanggapan Amerika Serikat terhadap beberapa masalah yang timbul bersamaan dengan proses integrasi ekonomi Eropa tersebut. Analisa dalam penulisan ini secara garis besar dibagi dalam dua bagian penting. Pada bagian pertama menjelaskan perhatian dan kepentingan Amerika Serikat terhadap proses pemulihan ekonomi dan perkembangan hubungan Eropa dengan Amerika Serikat. Setelah Masyarakat Eropa mencapai kemajuan yang ditandai oleh pembentukan Uni Eropa pada 1993, Amerika Serikat berupaya memanfaatkan kawasan Eropa untuk kepentingan ekonominya terutama pada saat perekonomian dalam negeri mengalami kelesuan sementara negara negara dunia lain mengalami kemajuan dalam bidang industri dan menjadi pesaing utama bagi dominasi ekonomi Amerika Serikat. Pada bagian kedua akan dipaparkan mengenai upaya Amerika Serikat menghadapi kemajuan yang telah dicapai Masyarakat Eropa dalam proses integrasi.
Amerika Serikat memahami bahwa kawasan Eropa merupakan tujuan bagi kepentingan Amerika sehingga meskipun terjadi perbedaan dalam beberapa masalah ekonomi dan perdagangan, Amerika Serikat berusaha dapat menemukan jalan keluar untuk dapat menyelesaikannya. Salah satu jalan untuk mencegah konflik perdagangan adalah dengan membentuk kerjasama bilateral dalam kerangka Transatlantik. Karena itu dalam pembahasan ini tidak dapat dilepaskan pentingnya peranan kerjasama Transatlantik untuk menjembatani kepentingan antara kedua negara kawasan tersebut.
Penulis menemukan dalam penelitian ini bahwa hubungan Amerika Serikat dengan Uni Eropa dalam menyelesaikan beberapa permasalahan cenderung bersifat kooperatif ditandai dengan dibentuknya Transatlantic Declaration pada 1990 untuk meletakkan prinsip-prinsip dasar kerjasama dan konsultasi antara Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Penulis akan memaparkan perkembangan kemajuan kerjasama antara Amerika Serikat-Uni Eropa tersebut dengan memperhatikan pada data yang menunjukkan aktivitas ekonomi dan perdagangan kedua negara pasca penyusunan program Pasar Tunggal 1992 dan pembentukan Uni Eropa."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T11923
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumumba, Patrice
"Pendahuluan
Bagi negara-negara yang baru memasuki fase industri secara lokal, kebijaksanaan yang tidak mendorong lancarnya arus pertumbuhan barang dan jasa, akan menguntungkan suatu negara, tetapi secara universal cenderung merugikan negara-negara lainnya dalam mencapai kemakmuran negara-negara yang bersangkutan.
Walaupun kemakmuran merupakan suatu tujuan yang universal dari diplomasi ekonomi, tetapi tidak ada suatu kesepakatan umum dalam mencapainya, bagi negara-negara maju dan terbuka yang menganut ekonomi pasar, maka perdagangan bebas, adalah sistem ekonomi yang tepat bagi negara-negara tersebut dalam mencapai sasarannya.
Perdagangan bebas bagi negara-negara yang menganut prinsip kekuasan pasar, akan meningkatkan efisiensi ekonomi dan akan membawa kemakmuran bagi kedua belah pihak. Negara-negara yang menganut perdagangan bebas akan melakukan spesialisasi produksi, dalam mana biaya upah pekerja rendah, dan meraup keuntungan-keuntungan penuh dari skala ekonomi. Untuk itu, negara-negara yang maju dan terbuka dalam diplomasi ekonominya, cenderung melakukan pada market integration dan policy integration , bukan pada market separtion. Policy integration, diartikan sebagai tindakan satu kelompok negara-negara dalam menjalin interdependensi ekonomi. Pembentukan NAFTA (North Amerika Free Trade Agreement) antara Amerika Serikat, Canada dan Mexico (1993), merupakan salah satu keberhasilan diplomasi ekonomi Amerika dalam mendukung perkembangan perdagangan bebas di dunia internasional sejak terbentuknya GATT: Hal ini sangat penting karena GATT sendiri secara tidak langsung mengalami berbagai kendala sejak ministerial meeting tahun 1982, Amerika Serikat mulai memandang perlunya pendekatan-pendekatan bilateral dan plurilateral dalam menciptakan pasar bebas (terbuka) dari pada pendekatan multilateral, seperti yang tertuang dalam GATT.
Pembentukan NAFTA pada dasarnya bukan merupakan suatu hasil dilpomasi ekonomi langsung. Cikal bakal NAFTA adalah FTA (Free Trade Agreement) antara Amerika Serikat dan Canada yang dirintis sejak tahun 1986 sampai dengan tahun 1988. FTA yang merupakan jenis perundingan perdagangan bebas, karena posisi kedua negara (Amerika Serikat dan Canada) dalam ekonomi adalah sama dan kemudian?."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rasnika Hasanah Handayani
"Tesis ini membahas tentang implikasi dari sebuah organisasi ekonomi regional (NAFTA) terhadap kesejahteraan buruh di salah satu negara anggotanya yaitu Meksiko. Permasalahan yang hendak diteliti adalah bagaimana implikasi NAFTA terhadap kesejahteraan buruh Maquiladoras periode 1994-1999. Permasalahan ini dipilih untuk melihat bagaimana regionalisme (NAFTA) dapat mempengaruhi kesejahteraan buruh. Pembahasan dalam penelitian ini terdiri dan peranan Amerika Serikat dan Kanada dalam perekonomian Meksiko, peranan NAFTA melalui NAALC daiam pelaksanaan kebijakan perburuhan di Meksiko, kesejahteraan buruh maquiladoras pada periode 1994-1999, dan kesimpulan. Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori neoliberal institusionalisme dan teori pertumbuhan ekonomi.
Pada akhirnya, hasil penelitian ini adalah bahwa NAFTA di satu sisi meningkatkan kesejahteraan buruh maquiladoras pada periode tersebut yang bisa dilihat dari meningkatnya upah minimum dan kompensasi yang diterima buruh, tetapi di sisi lain terjadi berbagai pelanggaran terhadap hak-hak buruh meskipun NAALC dibentuk. Hal ini karena adanya ketentuan bab 11 NAFTA yang melindungi kepentingan para investor negara-negara anggota, sementara itu Pemerintah Meksiko lebih mengutamakan akumulasi modal untuk membiayai pembangunan perekonomiannya sehingga membiarkan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak buruh maquiladoras. Sedangkan NAALC yang dibentuk dengan tujuan untuk menangani masalah perburuhan tidak dapat berbuat banyak dalam mengatasi pelanggaran baik yang dilakukan oleh pemilik maquiladoras maupun Pemerintah Meksiko. Ini disebabkan karena NAALC memiliki beberapa kelemahan, diantaranya adalah dalam masalah struktural karena bukan merupakan badan yang independen."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T2350
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinurat, Orrada
"Fenomena hubungan internasional antar kota (sister city) telah berkembang pesat di manca negara, demikian juga di Indonesia. Hingga saat ini sebanyak 47 pemerintah kota dan 16 pemerintah propinsi di Indonesia telah melaksanakan hubungan kemitraan ini. Berbagai kebijakan serta anjuran telah dikeluarkan oleh Pemerintah agar Pemerintah Kota/Daerah dapat memanfaatkan hubungan ini untuk memacu pertumbuhan kota/daerah. Namun di sisi lain, hubungan kemitraan kota belum dikenal dan dipahami secara luas, bahkan hanya terbatas pada sebagian jajaran pemerintahan, khususnya Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Kota/Daerah, padahal hubungan kemitraan kota idealnya dilaksanakan secara sinergi antar inslansi pemerintah dan antara pemerintah dan rnasyarakat.
Tesis ini berlujuan untuk membuka wawasan mengenai hubungan kemitraan kota dengan mengulas latar belakang perkembangan sister city serta berbagai manfaat yang dapat diperoleh melalui suatu program kerjasama yang konkrit dan dikelola secara baik. Fokus studi tesis ini adalah salah satu aspek manfaat kerjasama sister city di bidang pembangunan sosial perkotaan, yaitu pembangunan sumber daya manusia (tenaga kerja) di DKI Jakarta yang diperoleh melalui pemanfaatan program pelatihan bagi para tenaga kerja DKI Jakarta cli Tokyo-Jepang.
Tesis ini juga meneliti model program pelatihan yang digunakan untuk program kerjasama ini serta implikasinya pada pembangunan sosial di DKI Jakarta, sehingga dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah DKl Jakarta dalam mengelola program sejenis dimasa datang.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa program pelatihan tenaga kerja (dalam rangka kerjasama sister city Jakarta-Tokyo), telah memberi manfaat berupa peningkatan pengetahuan dan ketrampilan tenaga kerja di DKI Jakarta (peserta program pelatihan) dengan keluaran (output) berupa peningkatan produktivitas serta efisiensi dan efektivitas kinerja perusahaan, serta membawa dampak (outcome) berupa peningkatan kesejahteraan hidup peserta pelatihan, dengan indikator berupa peningkatan jabatan dan pendapatan/gaji.
Dengan adanya program kerjasama ini juga telah membantu khususnya bagi Pemerintah DKI Jakarta dalam menyediakanlnrenyelenggarakan program pelatihan bagi tenaga kerja, terutama terhadap kebutuhan program pelatihan tingkat internasional yaitu melalui program `pemagangan' di kotalnegara luar negeri (On the Job Training) yang memiliki keunggulan balk dalam hal teknologi maupun kualitas tenaga kerja (SDM)nya. Dalam hal ini, adanya program kerjasama ini telah memberikan "manfaat ganda" bagi DKI Jakarta, yaitu selain manfaat memperoleh pengetahuan dan penguasaan teknologi tinggi bagi tenaga kerja, juga manfaat dalam hal efisiensi biaya yang dibutuhkan bagi penyelenggraan program pelatihan sejenis (terutama karena sebagian besar biaya bagi penyelenggaraan program ini ditanggung sepenuhnya oleh Pihak Tokyo).
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa melalui program pelatihan tenaga kerja dalam rangka kerjasama sister city yang dikelola secara baik, dapat memberi dampak positif dalam upaya pembangunan sosial perkotaan. Oleh sebab itu Pemerintah perlu memberi perhatian yang Iebih besar terhadap fenomena hubungan sister city di Indonesia, baik melalui piranti lunak berupa ketentuan perundangan yang dapat menciptakan suasana kondusif juga melalui bimbingan dan dorongan agar kegiatan tersebut benar-benar bermanfaat dalam upaya mendorong percepatan pembangunan kota dan daerah."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7219
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vedi Kurnia Buana
"Sampai dengan awal tahun 1990, tidak pernah terbayangkan bahwa sebuah negara yang masih menganut ideologi sosialis-komunis seperti Vietnam dapat menjadi anggota ASEAN. Diterimanya Vietnam sebagai anggota ke-7 ASEAN tentunya tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui serangkaian proses yang panjang. Proses ini melibatkan kedua belah pihak, yaitu Vietnam sendiri dan organisasi regional ASEAN.
Tesis ini akan berusaha menjawab permasalahan utama yang menjadi dasar penulisan ini, yaitu seberapa jauh perubahan kebijakan luar negeri Vietnam yang ditujukan ke ASEAN dan bagaimana ASEAN sendiri merespon perubahan tersebut sehingga akhirnya Vietnam diterima sebagai anggota ASEAN ke-7.
Sebagai alat bantu dalam analisa, digunakan beberapa teori yang pada pokoknya adalah melihat bagaimana melihat perubahan politik luar negeri Vietnam dapat terjadi. Perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan eksternal maupun internal ternyata membawa pengaruh yang besar terhadap kebijakan politik luar negeri suatu negara,, atau dengan kata lain, perubahan yang terjadi tersebut akan mempengaruhi setiap perumusan politik luar negeri. Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut membawa implikasi pada strategi/gaya suatu negara terhadap negara lainnya.
Fenomena politik luar negeri juga dapat dilihat sebagai suatu tingkah laku yang adaptif. Politik Luar Negeri suatu negara dikatakan adaptif, apabila politik luar negeri itu mampu menghadapi/menstimulasi perubahan-perubahan pada lingkungan eksternal dari suatu mayarakat yang memberi kontribusi terhadap upaya-upaya untuk mempertahankan struktur esensial dari suatu society di dalam batas-batas yang dapat diterima.
Dari analisa berbagai fakta yang ada, dapat dirumuskan suatu kesimpulan bahwa perubahan struktur sistem internasional seiring meredanya Perang Dingin membawa beberapa konsekuensi bagi para pemimpin Vietnam untuk mengkaji ulang kebijakan politik luar negerinya. Secara umum perubahan perilaku Vietnam ini memberikan konsekuensi pada lebih adaptifnya pola hubungan luar negeri Vietnam, terutama dengan negara-negara tetangga terdekat yang tergabung dalam ASEAN. Runtuhnya Uni Soviet di tahun 1991 semakin memacu Vietnam untuk membuka diri dan adaptif di lingkungan konsentrisnya yang selama ini selalu bercirikan konfrontasi.
Format baru kebijakan luar negeri Vietnam yang adaptif terhadap lingkungan terdekatnya ditandai dengan serangkaian tindakan dan kebijakan yang mendorong negara-negara tetangga yang tergabung dalam ASEAN tidak lagi memandang Vietnam sebagai ancaman. Rangkaian tindakan dan kebijakan tersebut didorong oleh hasrat Vietnam untuk menjadi anggota ASEAN, guna mendapatkan keuntungan di bidang ekonomi dan politik. Vietnam menyadari bahwa ASEAN yang baru adalah mengejar tujuan-tujuan ekonomi, dan pencapaian tujuan tersebut secara tradisional dirujukkan oleh ASEAN dengan terlebih dahulu menciptakan stabilitas, bukan tuntutan semacam demokratisasi atau turut campur dalam aspek-aspek kehidupan negara lainnya. Pertimbangan ASEAN yang utama dalam menerima Vietnam sebagai anggota adalah untuk menghindarkan konflik baru, mengadakan kerjasama ekonomi yang sating menguntungkan, dan mengajak untuk mengembangkan stabilitas kawasan yang selama ini sulit diwujudkan karena penentangan Hanoi. Selain itu, keanggotaan Vietnam di ASEAN juga diacukan sebagai strategi dalam mewujudkan cita-cita ASEAN selama ini untuk membentuk ASEAN-10, yaitu ASEAN yang beranggotakan seluruh negara anggota kawasan Asia Tenggara."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T926
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Leonardis Arthur Parlindungan
"ABSTRAK
Tesis ini membahas penetapaan oleh AS terhadap sejumlah negara sponsor kelompok terorisme. Pembahasan dilakukan untuk memahami bagaimana kebijakan AS tersebut dapat ditinjau sebagai deterrence yang mengalami perluasan konsep dan non tradisional. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Dari hasil penelitian akan teridentifikasi variabelvariabel pembentuk deterrence yang dapat menangkal (denial) atau menghukum (punish) negara pendukung kelompok pelaku teror. Hasil penelitian ingin menyarankan pengembangan teori deterrence secara lebih luas dan penerapannya dapat lebih terukur efektivitasnya untuk memperkaya keilmuan dan kebijakan negara guna merespon ancaman terorisme internasional.

ABSTRACT
The thesis will discuss about the designation of state-sponsors of terrorism by the US upon several terrorist group supporting states. This discussion aims to build a comprehension on how the designation policy by the US could be reviewed as a broader, and a non-traditional concept of deterrence. Research is conducted with descriptive method on qualitative approach.
Results will determine and identify the variables that form deterrence effect on a denial and punishment purpose against state-sponsors of terrorism. At the end, this thesis would also like to encourage the future development of a broader yet measurable deterrence concept in order to enrich the studies and state policy on responding potential threat posed by international terrorism.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erika Damayanti
"

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab bagaimana terjadinya perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap program nuklir Iran pada periode pemerintahan Obama. Amerika Serikat lebih terbuka untuk berdiplomasi dengan Iran, tetapi masih mempertahankan pendekatan koersifnya. Guna memahami perubahan tersebut, penelitian ini menggunakan konsep perubahan kebijakan luar negeri oleh Jakob Gustavsson. Metodologi yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan analisis deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat tujuh perubahan kebijakan luar negeri yang merupakan konsekuensi dari empat hal. Pertama, pelemahan power militer Amerika Serikat dan perubahan fokus wilayah Amerika Serikat ke Asia. Kedua, polarisasi politik domestik dan penguatan perekonomian Amerika Serikat. Ketiga, keinginan Obama untuk membatasi penggunaan militer di luar negeri dan menyelesaikan isu nuklir Iran melalui diplomasi. Keempat, dinamika pengambilan keputusan di Gedung Putih. Maka dari itu, penelitian ini menyimpulkan bahwa keempat faktor ini berkontribusi terhadap tujuh perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap program nuklir Iran pada periode pemerintahan Obama. 


This research aims to answer how United States foreign policy towards Irans Nuclear Program change during the Obamas administration. United States is more open to diplomacy with Iran yet still maintain its coercive postures. In order to understand this problem, this research uses the concept of foreign policy change by Jakob Gustavsson. The methodology used on this research is a qualitative approach with descriptive analysis. This research shows there are seven foreign policy changes that are the results of four factors. First, United States declining military power and the shift of United States regional focus to Asia. Second, the polarized domestic politic situation and United States strengthening economic power. Third, Obamas personal preference in limiting the use of United States military power abroad and solve the Iran nuclear issue through diplomacy. Fourth, the decision-making process at the White House. Therefore, this research concludes that these four factors contribute to the seven changes of United States foreign policy towards Irans nuclear program. 

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hosang, Lesly Gijsbert Christian
"Ilmu hubungan internasional memiliki tiga paradigma utama; realisme, liberalisme, dan kontruktivisme yang khas dalam memandang institusi. Tulisan ini akan melihat dan membandingkan bagaimana ketiga paradigma ini memandang ASEAN Political Security Community 2015. Pada akhirnya, dapat diketahui keunikan dan kelemahan masing-masing paradigma dalam memandang kerjasama keamanan di Asia Tenggara ini. Realisme memandang security dilemma sebagai faktor kunci munculnya kerjasama, sedangkan liberalisme memandang institusionalisme sebagai faktor determinan. Di sisi lain, konstruktivisme menakankan pada identitas kolektif yang terkonstruksi di antara negara-negara anggota APSC 2015.

International relations has three major paradigms: realism, liberalism, and constructivism that has distinct view on institution. This paper will compare how the three paradigms asses the ASEAN Political Security Community 2015. In the end, the uniqueness and weaknesses of each paradigm will be identified. Realism regards security dilemma as a key factor in the emergence of security cooperation, while liberalism sees institutionalism as a determinant factor. On the other hand, constructivism emphasizes on collective identity that is constructed among the member countries of APSC 2015."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Haris
"Kerjasama keamanan Jepang dengan Uni Eropa (UE) yang telah berlangsung cukup lama, dinilai masih sangat minim dan terbatas. Namun, di masa pemerintahan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe terjadi perkembangan yang cukup signifikan. Ditandai dengan kerjasama keamanan kedua pihak yang terlibat dalam misi kontra pembajakan di Somalia dan pembuatan Perjanjian Kerjasama Strategis (Strategic Partnership Agreement, SPA) sebagai kerangka kerja yang mengikat dan berkekuatan hukum, menimbulkan optimisme Jepang-UE terhadap semakin eratnya kerjasama keamanan kedua belah pihak di masa yang akan datang. Pertanyaan dalam penelitian adalah: Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Jepang di masa pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe dalam melakukan kerjasama keamanannya dengan UE?. Penelitian ini menggunakan konsep dan teori adaptive foreign policy James N. Rosenau. Analisis dalam penelitian ini menemukan bahwa Jepang dalam melakukan kerjasama keamanannya dengan UE di masa pemerintahan Abe, dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di lingkungan internal dan eksternalnya. Faktor internalnya adalah kepemimpinan dari Shinzo Abe sebagai Perdana Menteri dan reformasi kebijakan pertahanan dan keamanan yang menginginkan Jepang lebih proaktif berkontribusi untuk perdamaian. Sedangkan faktor eksternalnya adalah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS dengan kebijakan-kebijakannya dan perkembangan dari peran UE sebagai aktor keamanan global. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui studi pustaka dan dokumen. Data bersumber dari pemerintah dan pernyataan yang diterbitkan dan jurnal, buku dan situs internet.

Japanese security cooperation with the European Union (EU) that has been going on for quite a long time, but still considered very minimal and limited. However, during the reign of Japanese Prime Minister Shinzo Abe there was a significant development. Marked by the security cooperation of the two parties involved in the counter-piracy mission in Somalia and the creation of a Strategic Partnership Agreement (SPA) as a binding and legally enforceable framework, it has raised optimism between Japan and the EU in the increasingly tight cooperation between the two parties which will come. The questions in the study are: What factors influence Japan during the reign of Prime Minister Shinzo Abe in conducting security cooperation with the EU? This research uses James N. Rosenau's adaptive foreign policy concept and theory. The analysis in this study found that Japan in carrying out its security cooperation with the EU in Abe's reign, was influenced by changes that occurred in its internal and external environment. Its internal factor is the leadership of Shinzo Abe as Prime Minister and defense and security policy reforms who want Japan to be more proactive in contributing to peace. While the external factor is the election of Donald Trump as US President with his policies and the development of the EU's role as a global security actor. This study uses qualitative methods through literature and document studies. Data sourced from the government and published statements and journals, books and internet sites."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T51685
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rifqi Daneswara
"Kerja sama keamanan Eropa mengalami perkembangan terbaru dengan aktivasi Permanent Structured Cooperation tahun 2017 oleh Uni Eropa. Aktivasi PESCO dilakukan pada waktu yang unik setelah United Kingdom memilih untuk keluar dari Uni Eropa melalui referendum di tahun 2016. Skripsi ini berusaha mencari tahu mengapa Uni Eropa mengaktivasi PESCO di tahun 2017. Tulisan ini menggunakan teori legitimasi yang ditulis oleh Tallberg dan Zurn dengan melihat legitimasi institusi berdasarkan fitur-fitur yang dimiliki institusi yaitu otoritas, prosedur dan performa. Teori tersebut digunakan karena terdapat permasalahan legitimasi yang dihadapi oleh Uni Eropa ketika PESCO diaktifkan. Menggunakan teori legitimasi, tulisan menemukan bahwa aktivasi PESCO dilakukan sebagai salah satu upaya Uni Eropa untuk melanjutkan integrasi sekaligus meningkatkan legitimasi yang dimiliki oleh institusi. Berdasarkan fitur otoritas, di dalam PESCO Uni Eropa memiliki otoritas yang rendah bila dibandingkan dengan bentuk kerja sama di bidang lainnya seperti Euro Area sebagai upaya mengurangi defisit legitimasi Uni Eropa. Sementara itu, berdasarkan fitur prosedur, pengambilan keputusan yang ada di dalam PESCO berpusat dalam Dewan Uni Eropa memiliki tujuan meningkatkan legitimasi di mata pemerintah negara anggota. Terakhir, berdasarkan fitur Performa, PESCO dibentuk untuk meningkatkan kapabilitas keamanan Uni Eropa dan legitimasi di mata audiens, namun lambatnya penyelesaian proyek menghalangi peningkatan legitimasi di fitur ini. Berdasarkan ketiga fitur tersebut, ditemukan bahwa PESCO dibentuk berdasarkan permasalahan legitimasi yang melanda Uni Eropa yaitu tingginya defisit legitimasi yang dihadapi, rendahnya kepercayaan dari negara anggota serta ketidakmampuan Uni Eropa untuk menyelesaikan masalah keamanan di lingkungan mereka. Dengan mengatasi ketiga hal tersebut, diharapkan aktivasi PESCO dapat meningkatkan legitimasi yang sebelumnya mengalami penurunan diakibatkan berbagai krisis.

European security cooperation underwent the latest development by the activation of Permanent Structured Cooperation (PESCO) in 2017 by the European Union. The PESCO activation was carried out in a unique time after the United Kingdom chose to leave the European Union through a referendum in 2016. This study seeks to find out why the European Union activated PESCO in 2017 and adopted the theory of legitimacy written by Tallberg and Zurn by looking at the legitimacy of the institutions based on the features of the institution, namely authority, procedure, and performance. Such theory was used because there were legitimacy problems faced by the European Union at the time when PESCO was activated. Using the theory of legitimacy, this study found that PESCO activation is carried out as one of the European Union's efforts to continue the integration while at the same time increasing the legitimacy of the institution. Based on the feature of the authority in PESCO, the European Union has low authority compared with forms of cooperation in other fields, as an effort to reduce the EU's legitimacy deficit. Meanwhile, based on the features of the procedure, the decision-making in PESCO is centered on the Council of the European Union with the aim of increasing legitimacy for its member state governments. Lastly, based on the feature of the performance, PESCO was activated to increase the EU security capabilities and legitimacy for the audience, however, the slow pace of project completion prevented the increase of legitimacy in this feature. Based on these three features, it was found that PESCO was formed on legitimacy problems that plagued the European Union, namely the high deficit of legitimacy, low trust from the member countries and the European Union's inability to resolve security problems in their environment. By overcoming those three things, it is hoped that PESCO activation may increase the legitimacy which has previously decreased due to various crises."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>