Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 202154 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Emil Agustiono
"Kasus cedera kepala di Instalasi Gawat Darurat rumah sakit (IGD) cenderung meningkat yang memerlukan penanganan yang khusus sehingga terdapat pemulihan cedera yang memadai. Penelitian ini untuk menilai peranan skor Glasgow Coma Scale (GCS) dan faktor risiko lainnya terhadap kegagalan menjadi skor 15 pada cedera kepala pada jam ke 24 di IGD.
Metode: Penelitian dilakukan di RSUPCM dan RS FK UKI Jakarta pada bulan Agustus 1997 dengan desain kohor, pasien cedera kepala baru yang datang berobat di IGD dilakukan pemeriksaan dan diamati skor GCSnya, penyakit penyerta lain, karakteristik demografi lainnya setiap 6 jam selama 24 jam pertama yang dilakukan oleh dokter.
Hasil: Diperoleh 133 subyek cedera kepala, pada pemeriksaan GCS pertama 37 di antaranya mempunyai skor GCS 3-14, dan sisanya dengan skor 15. Faktor rumah sakit tempat perawatan dan anjuran tirah baring memberikan pengaruh risiko kegagalan secara bermalrna terhadap kegagalan pasien cedera kepala pada jam ke 24 perawatan di IGD rumah sakit. Apabila dibandingkan dengan kasus yang dianjurkan tirah baring, maka kasus yang tanpa tirah baring mempunyai risiko kegagalan 102 kali lipat (ratio kegagalan suaian 102,53; 95% interval kepercayaan 5,69-1848,27).
Kesimpulan: Pada semua penderita cedera kepala dengan skor GCS 14 atau lebih rendah diperlukan tirah baring.

Background: Head injuries currently tend to increase and need special management in the hospital emergency departments. In order to achieve appropriate recovery, the assessment of Glasgow Coma Scale (GCS) score and other risk factors should be managed properly. The purpose of this research is to assess the risk factors related to the consciousness recovery of head injury patients at.
Methods: The research was held Jakarta Dr Cipto Mangunkusumo, and Indonesian Christian University School of Medicine hospitals in August 1997 among new head injury patients and were 6 hourly for the first 24 hours of hospitalization physically examined by the doctors and special attention was taken for GCS score, and accompanying diseases.
Results: 133 new head injury patients admitted to the emergency department and in the first GCS examination, 37 of them had GCS 3-14 score and the rest had GCS score 15, has been identified that the first GCS score statistically significant influenced the failure risk factors of the observed patients after 24 hours hospitalization, and compared to subjects who had bed rest, the patients did not have bed rest had 102-folds of failure to recover (adjusted failure ratio 102.53; 95% confidence intervals 5.69-1848.27).
Conclusion: All head injury cases need a bed rest to minimize the failure to be recover.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aryono D. Pusponegoro
"Dengan kemajuan teknologi dan ekonomi maka di Indonesia, seperti juga di negara maju maupun berkembang lainnya, kejadian kecelakaan pun meningkat, terutama kecelakaan lalu lintas (KLL). KLL selalu berisiko menyebabkan trauma, baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Namun penanganan trauma ini kurang memperoleh perhatian para dokter, sehingga sering dikatakan bahwa trauma merupakan the neglected disease. Keadaan terlihat pada data di bawah ini.
Menurut data dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 1986, pada tahun tersebut terdapat 2.500.000 orang Indonesia yang mendapat trauma, di antaranya 125.000 dirawat di Rumah Sakit (RS) dan 50.000 meninggal, tetapi hanya 4000 yang meninggal di RS. Jadi ada 46.000 orang Indonesia yang meninggal karena kecelakaan, yang meninggal dalam perjalanan ke RS, di tempat kejadian, atau di tempat pengobatan lain - lainnya. Menurut SKRT 1991, secara keseluruhan trauma merupakan penyebab kematian nomor empat di Indonesia setelah penyakit infeksi, penyakit kardiovaskular, dan penyakit degenerasi seperti kanker. Kalau dipilah menurut kelompok umur, tampak bahwa kelompok umur 5-14 tahun trauma merupakan penyebab kematian nomor empat, kelompok umur 15-24 tahun merupakan penyebab kematian nomor satu karena trauma, kelompok umur 25-34 tahun penyebab kematian nomor dua karena trauma bersama dengan ibu hamil dan kelompok umur 35-44 tahun penyebab kematian nomor tiga.
Kematian karena KLL di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun; pada tahun 1991 tercatat 9000 kematian meningkat menjadi sekitar 11.000 pada tahun 1994. Pada tahun-tahun yang sama, kematian akibat KLL di Jakarta meningkat dari 345 sampai menjadi 582 orang. Namun di Kamar Jenazah Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM)/ Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) kematian akibat KLL dilaporkan meningkat dari 1201 pada tahun 1991 menjadi 1580 pada tahun 1994. Di Jakarta diperkirakan sekitar 850 sampai 1000 pasien trauma karena KLL yang pada waktu polisi tiba di tempat kejadian masih hidup, meninggal dalam perjalanan ke RS, di unit gawat darurat (UGD) atau di unit rawat intensif (ICU). Ini menujukkan bahwa pelayanan gawat darurat pra-RS kita masih buruk, meskipun Perhimpunan Spesialis Bedah "IKABI" (IKABI) sudah memprakarsai diadakannya ambulans gawat darurat 118 (AGO 118)4?."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
D480
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roh, Jung Ju
"Peristiwa 1965 dan 1998 adalah salah satu sejarah traumatis bangsa Indonesia yang memiliki dampak besar terhadap eks tapol, aksi mahasiswa, dan keluarganya. Disertasi ini berupaya mengungkapkan pengalaman traumatis korban kekerasan Orde Baru dan perjuangan mereka dari peristiwa 1965 dan 1998 dalam novel Pulang (2012) dan Laut Bercerita (2017). Untuk dapat menyampaikan pengalaman traumatis itu, karya sastra meniru mekanisme trauma. Hal tersebut menyebabkan trauma bukan hanya ada pada tataran isi namun juga tecermin dalam strukturnya. Dengan menggunakan metode symptomatic reading, konsep kekerasan negara (Kira, Ashby & Lewandowski, 2013), memori kolektif dan personal (Halbwachs, 1992), dan narasi trauma (Caruth, 1996) analisis dilakukan bukan hanya menggali makna yang ada dipermukaan teks melainkan mengungkap hal yang tidak disampaikan atau disembunyikan oleh teks. Melalui struktur narasi trauma, kedua teks merepresentasikan resistensi sebagai penggambaran korban kekerasan Orde Baru yang berdaya yang melawan dan bernegosiasi dengan opresi rezim Orde Baru. Resistensi mereka untuk mempertahankan hidup melalui peristiwa tersebut di bawah opresi dan persekusi menunjukkan kemungkinan upaya mengatasi traumanya. Hal ini direpresentasikan dalam bentuk bersuara, pemilihan saluran untuk lepas dari trauma, dan working through. Dengan demikian dialektik kematian dan kesintasan, bungkam dan besuara dalam kedua teks tersampaikan tidak hanya melalui gambaran kekerasan dan traumanya, tetapi juga melalui narasi resistensi untuk lepas dari kekerasan Orde Baru.

The events of 1965 and 1998 are part of the traumatic history of the Indonesian nation which had a major impact on former political prisoners, student activists and their families. This dissertation seeks to reveal the traumatic experiences of victims of New Order violence and their struggles from the events of 1965 and 1998 in the novels Pulang (2012) and Laut Bercerita (2017). To convey this traumatic experience, literary works imitate the mechanisms of trauma. This causes trauma not only at the content level but also reflected in the structure. By using the symptomatic reading method, the concept of state violence (Kira, Ashby & Lewandowski, 2013), collective and personal memory (Halbwachs, 1992), and trauma narratives (Caruth, 1996) the analysis is carried out not only to explore the meaning on the surface of the text but also to reveal things not conveyed or hidden by the text. Through a trauma narrative structure, both texts represent resistance as a depiction of empowered victims of New Order violence who resisted and negotiated with the oppression of the New Order regime. Their resistance to survive through these events under oppression and persecution suggests a possible attempt to overcome the trauma. This is represented in speaking up, choosing channels to escape trauma, and working through. In this way, the dialectic of death and survival, silence and voice in both texts is conveyed not only by images of violence and trauma, but also by narratives of resistance to escape the violence of the New Order."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabilla Fitryfany
"Kematian orang tua bukanlah hanya sebuah kejadian traumatis yang berkonotasi negatif, tetapi juga peristiwa yang dapat menghasilkan dampak positif yang disebut sebagai post-traumatic growth (PTG). Salah satu faktor yang dapat memengaruhi pencapaian PTG yaitu kepribadian, secara spesifik faktor openness to experience dan extraversion dari Model Big-Five Personality. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara PTG dan kedua faktor kepribadian tersebut, dengan juga mempertimbangkan perbedaan tahap perkembangan anak saat peristiwa kematian orang tua terjadi. Sebanyak 80 partisipan (M = 21,56, SD = 2,57) emerging adulthood diuji menggunakan instrumen Post Traumatic Growth Inventory (PTGI) dan Big Five Inventory (BFI). Berdasarkan hasil analisis korelasi menggunakan Pearson product moment, ditemukan bahwa PTG berhubungan secara positif dan signifikan dengan masing-masing openness to experience (r(80) = 0,28, p < 0,01, one-tailed) dan extraversion (r(80) = 0,60, p < 0,01, one-tailed). Sebagai data tambahan, hasil analisis komparatif menggunakan Independent sample t-test menunjukan tidak adanya perbedaan skor PTG pada masing-masing kelompok tahap perkembangan saat peristiwa kematian terjadi (t(78) = 0,26, p = 0,79, two tailed, d = 0,06). Implikasi terkait hasil temuan serta limitasi dan saran dari penelitian ini disediakan sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya di masa depan.
.....Death of (a) parent(s) is not only considered as a traumatic experience with negative connotations, but also something with a positive impact usually known as post-traumatic growth (PTG). One of the factors that can affect PTG is personality, specifically openness to experience and extraversion of the Big-Five Personality Model. This study aims to examine the relationship between PTG and the two personality factors, by also considering the different stages of the child’s development in which the death occurs. Eighty participants (M = 21.56, SD = 2.57) consisting of emerging adults were tested using Post Traumatic Growth Inventory (PTGI) and Big Five Inventory (BFI) instruments. Result of correlation analysis using the Pearson product moment shows that PTG is positively and significantly correlated with openness to experience (r(80) = 0.28, p < 0.01, one-tailed) and extraversion (r(80) = 0.60, p < 0.01, one-tailed) respectively. As additional data, the result of comparative analysis using the Independent sample t-test shows no difference in PTG scores for each developmental stage (t(78) = 0.26, p = 0.79, two tailed , d = 0.06). Implications related to the findings as well as limitations and suggestions from this study are provided as reference material for further research in the future."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Almira Khalisa Pradiansyah
"Penelitian ini ditujukan untuk menggali lebih mendalam tentang strategi coping dan dukungan sosial pada remaja yang pernah mengalami perundungan. Perundungan merupakan tindakan negatif individu atau kelompok yang bertujuan untuk menyakiti pihak lain, dilakukan secara berulang dan memiliki kekuatan yang tidak seimbang. Korban perundungan kerap kali menghadapi berbagai dampak berkepanjangan dan dapat berpengaruh baik secara akademis maupun nonakademis terhadap mereka hingga setelah lepas dari peristiwa tersebut. Studi kualitatif ini dilakukan dengan melakukan wawancara semi-terstruktur kepada empat orang remaja yang pernah menjadi korban perundungan berusia 17-19 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk perundungan yang dialami oleh para partisipan adalah perundungan verbal, fisik, dan relasional. Untuk mengatasi dampak negatif perundungan, partisipan melakukan strategi emotion-focused coping terlebih dahulu. Setelah kondisi emosinya dirasa tenang, partisipan melakukan problem-focused coping. Dukungan sosial yang diperoleh secara menyeluruh pada partisipan adalah dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan komunitas, dan dukungan kepercayaan diri. Penerimaan dan pemberian bantuan terhadap individu yang pernah menjadi korban perundungan dapat membuat mereka lebih terbuka dan merasa didukung. Dengan demikian lebih besar kemungkinannya untuk dapat bangkit dari trauma masa lalu.

This research is intended to dig deeper into coping strategies and social support for adolescents who have experienced bullying. Bullying is an unjustified, persistent negative action that can be committed by an individual or a group. Bullying victims frequently have a variety of long-lasting effects, which can persist both academically and non-academically long after the incident. Additionally, the social support they receive from a variety of sources (family, the school environment, and peers) is frequently inadequate. The purpose of this study was to learn more about the process participants went through, the coping strategies they employed, and the social support they experienced when confronted with bullying. In order to gather qualitative data for this study, semi-structured interviews with four bullied adolescents between the ages of 17 and 19 were undertaken. The results showed that the forms of bullying experienced by the participants were verbal, physical, and relational bullying. To overcome the negative impact of bullying, participants carried out an emotion-focused coping strategy first. After their emotional state is calm, the participants then do problem- focused coping. Social support obtained as a whole for participants is emotional support, instrumental support, community support, and confidence support. Accepting and providing assistance to individuals who have been victims of bullying can make them more open and feel supported. Thus it is more likely to be able to recover from past trauma."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Mario
"ABSTRAK
Latar belakang Pasien penurunan kesadaran merupakan salah satu kasus yang sering ditemui di Instalasi Gawat Darurat IGD Penilaian awal diperlukan untuk memberikan informasi kepada keluarga pasien mengenai kemungkinan yang akan terjadi dan membantu keluarga dalam pengambilan keputusan GCS telah menjadi salah satu penilaian yang digunakan untuk menilai luaran pasien penurunan kesadaran tetapi dinilai masih kurang dalam memprediksi luaran yang terjadi Penelitian ini bertujuan untuk menilai gabungan GCS tekanan darah sistolik dan umur dapat memprediksi luaran pasien penurunan kesadaran Metode Penelitian ini merupakan studi observasional kohort retrospektif 76 pasien penurunan kesadaran yang datang ke IGD RSUPN Cipto Mangunkusumo Peneliti melakukan pencatatan penilaian Glasgow Coma Scale GCS tekanan darah sistolik dan umur saat pasien diperiksa di triase Luaran dinilai setelah dua minggu pasca kedatangan di IGD Hasil Hasil analisis bivariat pada GCS dan umur memperoleh hasil berbeda bermakna antara pasien kelompok luaran buruk dengan kelompok luaran baik p.
ABSTRACT
Background Patients loss of consciousness is one case that is often encountered in the Emergency Room ER The initial assessment is required to provide information to the patient 39 s family about the possibility that will happen and help families in decision making GCS has become one assessment used to assess outcomes of patients with loss of consciousness but is insufficient in predicting the outcome of some cases This study aims to assess the combined GCS systolic blood pressure and age can predict the outcome of patients with loss of consciousness Methods This was a retrospective cohort observational study 76 patients with loss of consciousness that comes into the ER RSUPN Cipto Mangunkusumo Researchers conducted the recording of the Glasgow Coma Scale GCS systolic blood pressure and age when patients checked in triage Outcomes assessed after two weeks after arrival in the emergency room Results The results of the bivariate analysis on the GCS and ages get results significantly different between patients with poor outcome group with good outcome group p ."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ismail Hari Wahyu
"Penurunan kesadaran merupakan suatu keadaan darurat medis yang harus segera ditangani dengan tepat untuk mengurangi kerusakan lebih lanjut. Glasgow Coma Scale (GCS) yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pada pasien penurunan kesadaran akan memberikan gambaran keparahan dari kerusakan otak dan memprediksi outcome.
Tujuan: Mengetahui ketepatan GCS dalam memprediksi outcome pada pasien dengan penurunan kesadaran di Instalasi Gawat Darurat RSCM.
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional, kohort prospektif. 116 pasien usia ≥ 18 tahun dengan Glasgow Coma Scale dibawah 15 saat tiba di IGD RSCM Jakarta. Glasgow Coma Scale sampel dinilai sebanyak 1 kali ketika pasien pertama kali diterima di IGD RSCM. Peneliti mengevaluasi outcome pasien dua minggu setelah masuk IGD RSCM berdasarkan kriteria Glasgow Outcome Scale. Hasil Rerata usia pasien 51,4 ± 16,4 tahun, median GCS 9 (3- 14).
Hasil: Glasgow Outcome Scale diklasifikasi menjadi bad outcome (meninggal dan disabilitas berat) 66 pasien (56,9%) dan good outcome (disabilitas sedang dan sembuh) 50 pasien (43,1%). Skor GCS pasien kelompok bad outcome berbeda bermakna dengan kelompok good outcome berdasarkan analisis statistik (p < 0,001). Skor GCS-E, GCS-M dan GCS-V masing-masing pasien kelompok bad outcome berbeda bermakna dengan kelompok good outcome berdasarkan analisis statistik (p < 0,001). Hasil regresi logistik, komponen GCS yang memiliki nilai prediksi terhadap outcome adalah komponen verbal dan membuka mata. Hasil uji kalibrasi skor GCS total dan skor GCS E+V memiliki kualitas yang baik. Hasil uji diskriminasi menunjukkan skor GCS total mempunyai nilai AUC 0,788 (IK95% 0,705-0,870). Skor GCS E+V mempunyai AUC 0,777 (IK95% 0,690-0,864). Titik potong GCS adalah ≤ 9. Uji Kappa antara dokter dan perawat terhadap skor GCS menunjukkan hasil yang sangat kuat Kappa 0,901 (p < 0,001).
Kesimpulan: Skor Glasgow Coma Scale mampu memprediksi outcome dengan tepat pada pasien dengan penurunan kesadaran di Instalasi Gawat Darurat RSCM, karena memiliki kalibarasi dan diskriminasi yang baik.

Altered level of consciousness is a medical emergency that must be manage immediatly to reduce further damage. Glasgow Coma Scale (GCS) is used to assess the level of consciousness in citically ill patients. GCS indicates the severity of brain damage and predictor of patient outcomes.
Objective: To assess accuracy of GCS in predicting outcome for patients with altered level of consciousness in Emergency Department of Cipto Mangunkusumo Hospital.
Method: This study is a observational prospective cohort study. Samples were 116 patients aged ≥ 18 years with a Glasgow Coma Scale below 15 at the time of admisssion in the Emergency Department of Cipto Mangunkusumo Hospital. Glasgow Coma Scale was assessed when patients first arrived in the Emergency Department. To assess outcome, researchers used The Glasgow Outcome Scale. Glasgow Outcome Scale was reviewed 2 weeks after admission for every sample.
Results: The mean patient age was 51.4 ± 16.4 years, median GCS 9 (3-14). The Glasgow Outcome Scale classified into bad outcome (death and severe disability) 66 patients (56.9%) and good outcome (moderate disability and good recovery) 50 patients (43.1%). The difference in GCS score between both outcome group were statistically significant (p < 0,001). Each of patient's GCS-E, GCS and GCS-M-V in bad outcome groups differ significantly with good outcome group (p < 0,001). The results of logistic regression, GCS components that have predictive value to the outcome are verbal and eye opening component. Calibration test showed that total GCS score and GCS E+V score has good quality. The results of discrimination test showed total GCS score has a AUC of 0.788 (IK95% from 0.705 to 0.870). GCS score E+V has AUC of 0.777 (IK95% from 0.690 to 0.864). GCS's cut off point was ≤ 9. Kappa Test between doctors and nurses to the GCS score showed very strong results of Kappa 0.901 (p < 0,001).
Conclusion: Glasgow Coma Scale can predict outcome in patients with altered level of consciousness in the Emergency Department of Cipto Mangunkusumo Hospital, because of its good calibration and discrimination.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Petonengan, Don Augusto Alexandro
"Latar Belakang: Trauma kepala (cedera otak traumatika) adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi neurologis, bahkan kematian. Glasgow Coma Scale (GCS) adalah instrumen yang umum digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pada kondisi medis akut dan trauma serta sekaligus untuk memantau kondisi pasien selama perawatan. Setelah menjalani perawatan, luaran pada pasien pun dapat dinilai menggunakan beberapa instrument seperti Glassgow Outcome Scale. Modified Rankin Scale adalah suatu instrument untuk mengukur tingkat disabilitas pasien yang biasanya terkena stroke, tujuan penelitian ini untuk melihat GCS sebagai prediktor terhadap luaran pasien trauma menggunakan GOS dan mRS.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif potong lintang. Penelitian ini dilakukan di Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM pada subjek pasien yang mengalami cedera otak traumatika yang dioperasi maupun tidak dioperasi dan pernah menjalani perawatan di Intensive Care Unit periode Januari 2017 hingga Desember 2020.
Hasil: Dalam kurun waktu dilakukan penelitian terdapat 90 (sembilan puluh) subjek pasien yang mengalami cedera otak traumatika, didapatkan 21,1%, 44,4% dan 34,4% pasien dengan GCS 3-8; 9-12;13-15 secara berurut pada saat masuk IGD. Terdapat 24,4%, 48,9%, 26,7% pasien dengan GCS 3-8; 9-12; 13-15 secara berurut pada saat preoperasi. Terdapat 41,1%, 35,6%, dan 23,3% pasien dengan GCS 3-8; 9-12; 13-15 secara berurut pada saat pascaoperasi. Terdapat 18,9%, 24,4%, dan 56,7% pasien dengan GCS 3-8; 9-12; 13-15 secara berurut pada saat keluar dari ICU. Terdapat 17,8%, 22,2% dan 60% pasien dengan GCS 3-8; 9-12; 13-15 secara berurut pada saat rawat jalan dan terdapat 20%, 8,9% dan 71,1% pasien dengan GCS 3-8; 9-12; 13-15 secara berurut pada saat 6 bulan pasca rawat jalan.
Kesimpulan: Pasien yang masuk ke IGD dengan GCS 3-8 masih memiliki peluang sekitar 50% untuk memperoleh luaran yang baik dengan manajemen yang adekuat. Terjadi peningkatan GCS yang signifikan dan luaran yang baik terjadi pada pasien dengan modal GCS 9-12 maupun 13-15 saat keluar dari ICU, jika pasien keluar ICU dengan GCS 3-8 maka sekitar 90% pasien akan memiliki luaran yang buruk. MRS memiliki hasil luaran yang hampir serupa dengan GOS sehingga dapat digunakan sebagai penilaian luaran pasien cedera otak traumatika.

Background: Traumatic Brain Injury (TBI) is a type of mechanical trauma that occurs direct or indirectly hit the brain and can disturb neurological function until dead. Glassgow Coma Scale (GCS) is an instrument that commonly used to measure level of consciousness in an acute medical situation such as trauma and to monitor the level of consciousness while in the hospital. After getting discharged , the outcome is measured by some instrument such as Glassgow Outcome Scale. Modified Rankin Scale also a type of instrument measures disability level that usually applied on stroke patients. The goal of this study is to look GCS for an instrument to predict outcome of traumatic brain injury patients using GOS and mRS as outcome measurement scale.
Methods: This study is a cross-sectional retrospective study that conducted in Neurosurgery Department FKUI-RSCM on patients that experienced traumatic brain injury, operated or not, and treated in the Intensive Care Unit start from January 2017 until December 2020.
Results: There were 90 patients that experienced traumatic brain injury. We got 21,1%, 44,4% and 34,4% patients with GCS 3-8; 9-12;13-15 respectively when arrived at emergency room. There were 24,4%, 48,9% and 26,7% patients with GCS 3-8; 9-12; 13-15 respectively in preoperative period. There were 41,1%, 35,6%, and 23,3% patients with GCS 3-8; 9-12; 13-15 respectively in postoperative period. There were 18,9%, 24,4% and 56,7% patients with GCS 3-8; 9-12; 13-15 respectively when discharged from ICU. There were 17,8%, 22,2% and 60% patients with GCS 3-8; 9-12; 13-15 respectively discharged from hospital and there were 20%, 8,9% dan 71,1% patients with GCS 3-8; 9-12; 13-15 respectively in 6 months postoperative follow-up.
Conclusion: Patient admitted to emergency room with GCS 3-8 still have an equal chance of survival around 50% of good outcome with adequate management. There were significant escalation of GCS and good outcome happened with patients that had GCS 9-12 and 13-15 when they discharged from ICU. If patient discharge from ICU with GCS 3-8 then they would have gone to a bad outcome (90%). MRS had a similar results with GOS, therefore it can be a useful tool to measure an outcome for traumatic brain patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marlon Tua
"Latar Belakang: Skala Koma Glasgow (SKG) yang digunakan secara luas saat ini untuk memprediksi mortalitas pasien cedera kepala dewasa memiliki keterbatasan. Skor FOUR dibuat untuk mengatasi keterbatasan itu. Perlu diketahui apakah sensitivitas dan spesitivitas Skor FOUR lebih baik daripada SKG.
Tujuan: Untuk mengetahui apakah sensitivitas/spesifisitas skor FOUR dan komponenkomponennya lebih baik daripada SKG dan komponen-komponennya untuk memprediksi kematian 7 hari pada pasien cedera kepala dewasa, serta titik potong masing-masing SKG dan Skor FOUR.
Metode: Penelitian prognostik dengan menggunakan desain kohort. Sampel dinilai SKG dan Skor FOURsaat di IGD, kemudian diikuti selama 7 hari pengamatan, hasil akhir dicatat sebagai hidup atau mati. Kemudian dianalisis perbandingan ketepatan prediksi mortalitas antara SKG dan Skor FOUR.
Hasil: Didapatkan 123 sampel, kematian terjadi pada 18 orang (14,6%).skor FOUR memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik (skor FOUR pada cut off ≤ 11,5 dengan sensitivitas 94,4% dan spesifisitas 96,2%) dibandingkan SKG pada cut off ≤ 9,5 dengan sensitivitas 88,9% dan spesifisitas 91,4%.
Kesimpulan: Skor FOUR mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada SKG untuk memprediksi kematian 7 hari pada pasien cedera kepala dewasa.

Background: Glasgow Coma Scale (GCS) is the common coma score used by medical practitioners all over the world. GCS is known to have some limitations. FOUR Score was developed to overcome the limitations of GCS. Herein, we investigated whether the sensitivity and specificity of the FOUR Score is better the GCS in predicting 7 days mortality in adult with head trauma.
Aims: to find out whether the sensitivity and specificity of the FOUR Score is better the GCS in predicting 7 days mortality in adult with head trauma.
Methods: A prognostic cohort study. GCS and FOUR score were assessed in the emergency room, the patients were followed for 7 days, primary outcome measures are 7 days mortality.
Results: There were 123 eligible subjects. The mortality rate was 14.6% (18 patients). FOUR score has better sensitivity dan specificity (with the ≤ 11.5 cut off, the sensitivity 94.4% and specificity 96.2%) than GCS with the ≤ 9.5 cut off, the sensitivity 88.9% and specificity 91.4%
Conclusion: FOUR Score has better sensitivity and specificity than GCS in predicting 7 days mortality in adult with head injury.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cekli Wahyuwidowati
"ABSTRAK
Latar belakang : Kunjungan dan angka mortalitas pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD) semakin meningkat dengan kondisi penyakit yang bervariasi, sehingga deteksi yang cepat dan tepat pada pasien dengan risiko mortalitas tinggi sangat penting. Skor Hypotension, Oxygen Saturation, Low Temperature, ECG Changes, and Loss of Independence (HOTEL) sangat baik dan penting untuk diterapkan pada pasien gawat darurat karena menggunakan variabel-variabel yang mudah dan cepat diperoleh. Namun demikian skor tersebut belum divalidasi di Indonesia.
Tujuan : untuk menilai performa skor HOTEL dalam memprediksi mortalitas 24 jam pasien non bedah di IGD Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif. Subjek penelitian adalah pasien non bedah yang masuk ke IGD RSCM pada bulan Oktober hingga November 2012. Variabel bebas yang dinilai adalah tekanan darah sistolik, saturasi oksigen perifer, suhu tubuh, perubahan elektrokardiogram (EKG), dan kemampuan berdiri tanpa bantuan. Luaran yang dinilai adalah mortalitas dalam 24 jam setelah masuk IGD. Performa kalibrasi dinilai dengan uji Hosmer-Lemeshow. Performa diskriminasi dinilai dengan area under the curve (AUC).
Hasil: Terdapat 815 pasien non bedah yang datang ke IGD RSCM selama bulan Oktober hingga November 2012. Sebanyak 804 (98,7%) subjek memenuhi kriteria inklusi dengan mortalitas 24 jam sebesar 30 (3,7%) subjek. Performa kalibrasi HOTEL dengan uji Hosmer-Lemeshow menunjukkan p = 0,753. Performa diskriminasi ditunjukkan dengan nilai AUC 0,86 (IK 95% 0,781; 0,931).
Simpulan: Skor HOTEL memiliki performa kalibrasi dan diskriminasi yang baik dalam memprediksi mortalitas 24 jam pada pasien non bedah yang masuk ke IGD RSCM.

ABSTRACT
Background: The number of visit and mortality rate of emergency patients at Emergency Department (ED) have been increasing from time to time. Those patients have wide spectrum conditions. Appropriate identification of the patients with high mortality risk is crucial. The Hypotension, Oxygen Saturation, Low Temperature, ECG changes, and Loss of Independence (HOTEL) score is easy and important to be applied in the ED, however, the score has not been validated in Indonesia.
Objective: to evaluate performance of HOTEL score in predicting the 24-hour mortality non-surgical patients in ED of Sakit Cipto Mangunkusumo hospital.
Method: This was a retrospective cohort study. The research subjects were the non-surgical patients who admitted to ED of RSCM between October-November 2012. We collected systolic blood pressure, peripheral oxygen saturation, body temperature, ECG changes, and loss of independence. Those data were evaluated based on the HOTEL scoring system. The outcome were evaluated in 24- hour after admission (alive or dead). The calibration was evaluated with the Hosmer-Lemeshow test. The discrimination performance was evaluated with area under the curve (AUC).
Results: There were 815 non-surgical patients admitted to the ED between October until November 2012. There were 804 (98,7%) subjects included. The 24-hour mortality rate was 30 subjects (3,7%). The calibration performance with the Hosmer-Lemeshow test showed p = 0,753. The discrimination performance was shown with the AUC score 0,86 (95% CI 0.781; 0.931).
Conclusion: The HOTEL score has a good calibration and discrimination performance in predicting the 24-hour mortality of the non-surgical patients in ED of Cipto Mangunkusumo hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>