Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 136584 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chandra Kirana
"Penelitian ini berupaya untuk mendeskripsikan perilaku self-disclosure yang dilakukan oleh individu beretnis Tionghoa. Studi yang mengambil setting di Jakarta ini bertujuan untuk menjelaskan peranan aspek kultur dalam melakukan self-disclosure pada kelompok tersebut. Dalam pelaksanaannya, penulis menggunakan pendekatan kualitatif - konstruktivistik untuk mengetahui perilaku self-disclosure di kalangan etnis Tionghoa.
Proses pengumpulan data dilakukan pada awal tahun 2001 hingga pertengahan 2002. Kegiatan ini melibatkan teknik participant observation dan teknik wawancara mendalam terhadap lima informan (yang atas permintaan mereka, nama mereka akan dituliskan berdasarkan inisial saja). Kemudian, hasil temuan lapangan dikategorikan ke dalam empat bagian yaitu profil informan, identitas ketionghoaan, interaksi informan dengan kelompok Pribumi (nonTionghoa) dan perilaku self-disclosure.
Dalam studi ini ditemukan bahwa identitas etnisitas (ketionghoaan) yang utama ditentukan oleh asal usul kelahiran, yang lainnya berdasarkan pada tradisi dalam keluarga. Selain itu, terkadang identitas etnis tersebut ditentukan oleh cap sosial (labeling) ataupun oleh peraturan hukum tertentu. Selain itu, studi ini menemukan bahwa dalam berinteraksi, inforrnan melakukan kegiatan interaksi yang tidak terbatas pada kalangan mereka sendiri (sesama Tionghoa). Mereka berinteraksi dengan warga Pribumi serta memiliki kegiatan (ruang/tempat) yang notabene tidak didominasi oleh warga Tionghoa raja.
Studi ini mengemukakan bahwa perilaku self-disclosure dimaknai sebagai perilaku komunikasi, khususnya sebagai cara berinteraksi, sarana untuk berbagi (sharing) maupun strategi untuk menyelesaikan masalah. Perilaku ini bagi mereka bertujuan untuk menjadi sarana berinteraksi, menciptakan kenyamanan (fisik dan psikologis) serta memungkinkan mereka untuk mengontrol situasi komunikasi yang sedang berlangsung.
Pada prakteknya, pemilihan topik pembicaraan berkaitan erat dengan risiko atau konsekuensi yang mengikuti perilaku self-disclosure tersebut. Artinya, pemilihan topik diupayakan sedemikian rupa agar memiliki derajat risiko yang kecil. Oleh karena itu, selain pemilihan topik pembicaraan yang khusus, penetapan hubungan menjadi aspek lain yang dinilai penting ketika individu akan berself-disclosure. Adapun topik-topik yang dipilih adalah topik pembicaraan mengenai keluarga, kesehatan, hobi/minat, pergaulan dengan lawan jenis dan kegiatan di tempat kerja/kuliah. Sementara itu, jenis hubungan yang dipilih adalah hubungan yang bersifat spesifik dan telah berlangsung secara mapan. Hubungan yang diutamakan adalah hubungan persahabatan, lalu hubungan keluarga dan terakhir adalah hubungan pasangan (hubungan percintaan (pacaran) dan hubungan perkawinan).
Jika dikaitkan dengan communicator style yang ada pada informan, studi ini tidak menemukan cara pengucapan yang cadel maupun penggunaan kata ganti berupa 'lu orang', 'dia orang', 'kita orang', dll. Sementara itu, jika dikaitkan dengan gaya komunikasi (dari Stella Ting-Toomey et.al), mereka dapat dikatakan menganut gaya komunikasi personal style (gaya personal). Gaya personal berorientasi kepada individu (komunikator) yang lebih menekankan pada aspek "aku" (identitas ego).
Dalam studi ini juga ditemukan bahwa informan menetapkan pertimbangan khusus berself-disclosure. Menurut informan, pertimbangan khusus perlu diperhitungkan karena biasanya informasi yang dipertukarkan menyangkut hal-hal yang khusus (rahasia/intim), jadi tidak setiap orang dapat mengetahui informasi tersebut. Dalam hal ini pertimbangan khusus itu meliputi penetapan tempat yang spesifik, tidak terganggu oleh kehadiran orang banyak (waktunya khusus), dan sedapat mungkin dilakukan oleh mereka yang memiliki usia yang relatif sebaya.

The research is trying to describe self-disclosure acted by individual from Chinese ethnic. This study takes place in Jakarta and aim to give explanation of the cultural role in acting self disclosure in the group. In carrying out this research, the researcher is using qualitative-constructive approach to find the self-disclosure in the circle of Chinese group.
Data processing was collected in early 2001 through mid 2003. It is using participation observation and in-depth interview technique to the-five informant (which as asked, they want to use an initial name only). Afterwards, the field result is categorized to 4 (four) parts that is Informants profile, Chinese identity, Informants interaction with the indigenous people (non Chinese) and Self-disclosure.
The study has found that identity ethnicity (Chinese) primary is determined by the history of its lineage and others by family tradition. Besides, the ethnic identity is determined by social labeling or by certain rule law. Furthermore, the study found that in their interaction, informants are doing unlimited interaction activities in their own circle (Chinese circle). They interact with the indigenous people and doing activities (space/place), which is not dominated by Chinese group.
This study is putting forward that self-disclosure is a meant to be as communications performance, particularly as the way of interact, tool for sharing and problem solving strategy. To them, self-disclosure purpose as interaction tool, creating comfortable (physic and psychologist) and enable them controlling the-on-going communications situation.
Practically, the selection of discussion topic is closely related with the risk or consequence, which follows the self-disclosure. Meaning that the topic has in such a way tried to have a minimum risk. So that besides particular conversation topic, the establishment of relations is another aspect considered as important thing to the individual who wants to have a self-disclosure. More over, the selected topics are around their family, health, and hobby; socialize with the opposite gender and work/campus activities. In the mean time, the type of relations selected is specific relation and has a long time established been built. The prominent relation for them is friendship relation, family relation and last is couple relation (engagement relation/marriage relation).
If it is connected with the informant's communicator style, this study has not found the way of suffer pronounce or the user of 'lu orang`(you), ' dia orang`(he/she/they), 'kita orang' (we/us), etc. While if it is connected to communication style (from Stella Ting Toomey eta!), they can be said followed communication style of personal style. The personal style is more oriented to the individual (communicator) which more emphasis on the "me" aspect (ego identity).
In this study also found that the informants determine particular consideration for self-disclosure. According to the informants, this particular consideration are needed to be considered as usually the exchange information contains confidential thing, which is only for certain person who they can share with. In this case, the particular consideration include determination of specific space, is not bothered by the presence of many people (particular time), and as possible as acted by those who have the same age.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12402
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tan, Mely G.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008
305.8 MEL e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Bima Eka Setiawan
"Masyarakat Huaulu dikenal dengan keunikan bentuk rumah adat, ritual dan aturan tabu di masyarakat yang dipengaruhi oleh adat istiadat dari leluhur. Sebagai sebuah suku yang terletak di daerah pegunungan, situasi ini tidak menjadikan Huaulu tertutup dari dunia luar. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif melalui observasi partisipan dan wawancara mendalam ke tokoh adat masyarakat Huaulu. Dunia modern yang mulai mempengaruhi dan mengubah Pulau Seram menjadi salah satu faktor yang dapat menghilangkan tradisi lokal khususnya ritual inisiasi atau cidaku di Huaulu. Skripsi ini membahas mengenai ritual cidaku sebagai bagian dari modal budaya yang masyarakat Huaulu gunakan untuk mempertegas identitas tradisional mereka dan membahas mengenai perubahan serta dampak dari adanya modernisasi yang mempengaruhi Desa Huaulu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ambivalensi logika budaya terjadi ketika masyarakat Huaulu mempertahankan tradisi lokal yang mereka miliki dengan terus menyelenggarakan ritual dan menerapkan prinsip tabu dari leluhur, akan tetapi di satu sisi mempertimbangkan kembali prinsip tersebut karena sudah menerima modernitas yang ditunjukkan dengan penggunaan teknologi serta pembangunan desa yang lebih modern. Logika budaya yang saling tumpang tindih ini menimbulkan fenomena cultural debasement, sebuah situasi yang membuat prinsip dan nilai tradisional di masyarakat menjadi berkurang mengikuti perkembangan desa ke situasi yang lebih modern demi memenuhi kebutuhan masyarakat Huaulu yang menjadi lebih kompleks.

The Huaulu community is known for its unique traditional house shapes, rituals and taboo rules in the community which are influenced by the customs from their ancestors. As a tribe located in a mountainous area, this situation did not make Huaulu sealed off from the outside world. The research was conducted using qualitative methods through participant observation and in-depth interviews with traditional leaders of the Huaulu community. The modern world that began to start influencing and change Seram Island became one of the factors that can eliminate local traditions, especially initiation rituals or cidaku in Huaulu. This thesis discusses the cidaku ritual as part of the cultural capital that Huaulu community uses to emphasizes their traditional identity and discusses the changes and impacts of modernization that affect Huaulu Village. The results show that the ambivalence of cultural logic occurs when the Huaulu community maintains their local traditions by continuing to perform rituals and applying the taboo principle of their ancestors, but on the other hand they reconsider these principles because they have accepted modernity as shown by the use of technology and more modern village development. These overlapping cultural logics give rise to the phenomenon of cultural debasement, a situation where traditional principles and values in society start to diminish following the development of the village to a more modern situation in order to fulfill the needs of the Huaulu community that become more complex."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Gustiana Andriani
"ABSTRAK
Duvall & Miller (1985) menyatakan bahwa salah satu tugas perkembangan
manusia di masa dewasa muda adalah memilih pasangan hidup. Proses pemilihan
pasangan hidup merupakan tahap awal yang akan dilalui jika seseorang memutuskan
untuk menikah. Setiap individu mempunyai pandangan yang berbeda mengenai kriteria
yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena perbedaan dalam interaksi mereka dengan
lingkungannya, yang oleh Bronfrenbrenner (dalam Berns, 1997) dibagi menjadi beberapa
struktur yaitu sistem mikro, sistem ekso, sistem meso, sistem makro, dan chronosystem
atau dimensi waktu. Sebagai bagian dari sistem mikro, orangtua dapat menjadi sumber
bagi seorang anak dalam menentukan pilihan pasangan hidup. Seorang anak akan
menerima nilai-nilai menyangkut pemilihan pasangan hidup sejak kecil dari orangtuanya
dan hal tersebut merupakan bagian dari peran orangtua dalam pengasuhan anak.
Budaya Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrlinial, dimana ibu
memegang peranan penting dalam proses pendidikan, sosialisasi, dan perkembangan
anak termasuk dalam pemilihan pasangan hidup. Campur tangan tersebut terkadang
dapat menimbulkan pertentangan antara anak dengan orangtua. Penelitian ini mencoba
untuk melihat fenomena yang terjadi antara dua generasi. Bagaimana kontribusi peran
ibu dalam hal pemilihan pasangan hidup anak perempuan sulung khususnya dalam
budaya Minangkabau; ciri khusus harapan ibu dan anak; serta faktor yang
mempengaruhi mereka dalam menentukan kriteria pasangan hidup. Penelitian dilakukan
dengan menggunakan pendekatan kualitatif, melalui metode wawancara. Subyek
wawancara adalah tiga pasang ibu dan anak perempuan sulung yang berada dalam
lingkungan budaya Minangkabau dan tidak pernah merantau ke luar Sumatra barat.
Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pendekatan
ekologis, teori pengasuhan anak, teori perkembangan dewasa muda, teori pemilihan
pasangan hidup, dan teori yang berhubungan dengan nilai budaya dan adat
Minangkabau.
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah bahwa ketiga subyek ibu
mempunyai pengaruh dalam menentukan pilihan pasangan hidup anak perempuan
sulung. Anak tidak akan menolak jika ibu menentukan pasangan hidupnya, sebab ada
kecenderungan anak menganggap pilihan ibu adalah pilihan yang terbaik. Ciri khusus
harapan seluruh subyek dalam menentukan pilihan pasangan hidup berhubungan
dengan nilai-nilai agama dan adat istiadat Minangkabau, dimana keduanya dipahami
sebagai rangkaian yang saling melengkapi. Dari segi agama, semua subyek baik ibu dan
anak mengharapkan pasangan hidup yang taat dan takwa terhadap Tuhan. Sedangkan
dari segi adat istiadat mereka mengharapkan pasangan hidup yang dapat bertingkah
laku sopan, memahami tata krama, dan tata berbicara sesuai dengan adat istiadat
Minangkabau. Hasil penelitian juga menunjukkan, ada dua faktor yang mempengaruhi seluruh
subyek dalam menentukan kriteria pasangan hidup yaitu faktor homogami dan faktor
lingkungan. Faktor homogami merupakan faktor intrinsik yang mempengaruhi seluruh
subyek dalam menentukan kriteria pasangan hidup, sedangkan faktor lingkungan
masyarakat merupakan faktor ektrinsik yang secara tidak langsung mempengaruhi
seluruh subyek.
Pengaruh yang diterima oleh seluruh subyek dari sistem lingkungan memberikan
informasi baru sehingga mereka lebih terbuka untuk menikah dengan orang lain di luar
suku bangsa Minangkabau atau keluar dari pola ideal perkawinan menurut adat
Minangkabau. Seluruh subyek memahami nilai-nilai agama dan adat istiadat
Minangkabau sebagai tuntutan yang harus diterima mereka, terutama keberadaan
mereka sebagai perempuan Minangkabau.
Untuk penelitian lanjutan, disarankan agar melakukan penelitian dengan
karakteristik latar belakang yang berbeda, misalnya membandingkan subyek yang
berada di budaya Minangkau dengan mereka yang berasal dari budaya lain atau
membandingkan subyek yang berada dalam budaya Minangkabau tetapi berasal dari
nagari yang berbeda. Penelitian juga dapat dilakukan dengan melakukan studi terhadap
tiga generasi perempuan dalam budaya tertentu, tidak hanya dalam hal pemilihan
pasangan hidup tetapi menyangkut aspek perkembangan lain sehingga akan tampak
kekayaan dan kelemahan budaya yang teliti."
2001
S3052
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wulan Purnama Sari
"ABSTRAK
Tesis ini membahas pertukaran sosial dalam pengaruhnya terhadap interaksi antara etnis Batak dan Tionghoa pada komunitas gereja di Jakarta. Penelitian ini adalah penelitian dengan menggunakan mixed methods. Hipotesis awal menjelaskan terdapat pengaruh antara pertukaran sosial dengan interaksi sosial. Tetapi hipotesis akhir menunjukkan bahwa pertukaran sosial tidak memiliki pengaruh dalam interaksi antara kedua etnis tersebut. Penelitian tambahan dilakukan untuk mencari tahu faktor apa yang sebenarnya mempengaruhi interaksi antar kedua etnis tersebut. Hasilnya menunjukkan adanya peran dari nilai dan ajaran agama Kristen Protestan tentang cara berinteraksi dengan sesama manusia, seperti tertulis dalam Alkitab.

ABSTRACT
The focus of this study is social exchange in effect of interaction between ethnic Chinese and Bataknese inside church community at Jakarta. This research is using a mixed methods. Initial hypothesis explain that social exchange is affect social interaction. But final hypothesis shows that social exchange doesn?t have any effect in interaction between two ethnic groups. Additional research was conducted to searching what factors usually affect interaction between two ethnic groups, which is the result of this additional research shows that Christians Protestant values and doctrine play a role, which is about how to interact with others people, just like written on the Bible."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
T43757
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Idaman
"Penelitian mengenai Eskalasi Hubungan Pertemanan
Antara Etnis Cina dan Etnis Bugis/Makassar. Penelitian
ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang
bagaimana eskalasi hubungan yang terjadi. Serta
mengungkap berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya
hubungan pertemanan antar mereka.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah,
yang dikenal dengan penetrasi sosial (Altman dan Taylor,
1973). Teori ini terdiri dari empat tahapan pengembangan
hubungan yaitu; tahap orientasi menuju ke tahap
penjajakan afektif, tahap pertukaran afektif dan tahapan
pertukaran stabil.
Hubungan pertemanan yang terjadi di antara mereka,
pada tahap orientasi, beberapa pasangan mengalami
hambatan, karena masih terdapat prejudis yang
mempengaruhi mereka. Juga pengalaman lingkungan mereka
tidak mendukung sehingga memerlukan waktu untuk
menjadi akrab (stabil).
Tahap penjajakan afektif dan pertukaran afektif,
hubungan mulai bergerak ke tahap yang lebih akrab untuk
mengungkapkan topik-topik tertentu yang terpilih dan
memusatkan perasaan pada tingkat yang lebih akrab
(Budyatna,1993)
Tahap akhir dari pembentukan hubungan adalah
pertukaran stabil, hubungan pada tahap ini menekankan
keterbukaan, dukungan, empaty, rasa positif dan
kesetaraan (Devito, 1995). Kemudian ditandai oleh
derajat keakraban yang tinggi para partisipan berhak
untuk memprediksi prilaku pasangannya dan memberikan
respon (Budyatna,1973).
Pada teori pertukaran sosial, bila estimasi tentang
hasil dari hubungan antarpribadi terbentuk selama proses
pembentukan, dan, pengembangan membuat hubungan tersebut
menyenangkan maka akan terbentuk hubungan menjadi akrab
dan stabil. Ketika hubungan pertemanan tersebut menjadi
akrab. Perhitungan imbalan (reward) dan biaya (cost)
bukan lagi hal dipertentangkan.
Strategi informasi oleh (Berger dan Calabrace,
1975) menawarkan strategi pasif, aktif dan interaktif,
digunakan oleh masing-masing pasangan untuk memperoleh
data-data diri dari setiap pasangan.
Untuk menyelesaikan konflik, digunakan negosiasi dan
klarifikasi (Wilmot dan Hocker). Konflik di dalam hubungan antarpribadi adalah suatu yang normal, bahkan
memperlancar pertumbuhan antarpribadi (Altman dan Taylor,
1973). Konflik terjadi terutama mengenai masalah
kesalahpahaman, perbedaan sikap, perbedaan pendapat salah
dalam mempersepsikan perilaku pasangan, namun dapat
diselesaikan dengan baik (konstruktif), kecuali bila
menyangkut prinsip/ harga diri.
Penelitian yang menggunakan, persfektif interaksi
simbolik, merupakan penelitian kwalitatif (non-
positivistik interpretatif) dimana pendekatan
kepada latarbelakang kehidupan indnvidu secara holistik
(utuh). Metode kualitatif menggunakan data yang bersifat
deskriptif, dikumpulkan dari hasil pengamatan dan
wawancara secara mendalam."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T3036
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mey Sugijanto
"Penelitian komunikasi antarbudaya dan antarpribadi ini mengambil responden 7 (tujuh) pasangan menikah atau suami-isteri yang berbeda budaya antara etnis Jawa dengan etnis Minangkabau. Dengan alasan bahwa kedua budaya tersebut, secara tata cara adat maupun sistem kekerabatan atau kekeluargaannya tentulah berbeda, pada budaya Jawa lebih bersifat patrilineal sedangkan di budaya Minangkabau bersifat matrilineal. Meskipun kedua budaya berbeda, tetapi dalam keseharian pada kehidupan bermasyarakat, kedua budaya ini secara relatif tidak mempunyai konflik.
Secara mikro, angka perkawinan pasangan suami-isteri yang berbudaya Jawa dengan Minangkabau pastilah banyak, meskipun secara pasti penulis tidak mengetahuinya. Pasangan menikah atau suami-isteri yang berbeda budaya ini secara teoritis sangatlah dekat dengan aspek-aspek budaya, sehingga terjadi proses asimilasi budaya. Meskipun kedua budaya ini termasuk ke dalam rumpun budaya high contextnya Edward T. Halt (1977), tetapi menurut M. Budyatna (1993) dalam high context itu sendiri terdapat high-high context, high-medium context dan high-low context. Pada budaya Jawa lebih kental dengan high-high context, sedangkan budaya Minangkabau dekat dengan high-medium context. Meskipun terdapat perbedaan dalam tataran budaya keduanya, kebanyakan pasangan menikah atau suami-isteri yang berbeda budaya tidak terjadi kerenggangan.
Pendekatan dalam penelitian dipergunakan teori Penetrasi Sosial (Altman and Taylor, 1973) dengan tahapan-tahapannya, yaitu Orientasi, Exploratory Affective Exchange, Dyad Members dan Stable Exchange. Pada tahapan-tahapan tersebut, masing-masing individu pasangan menikah atau suami-isteri yang berbeda budaya ini, melakukan pengungkapan diri (self disclosure). Karena semakin akrab seseorang dengan orang lain, maka semakin terbukalah ia dengan pasangannya (Gudykunst and Kim; 1997 : 323-324).
Penelitian ini mempergunakan metode kualitatif, menurut Miles and Huberman (1993: 15), "penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif". Sedangkan menurut Bogdan and Taylor (1975 : 5), bahwa, "penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku yang diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri".
Adapun hasil-hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa pasangan menikah atau suami-isteri melalui tahapan-tahapan dalam teori Penetrasi Sosial dengan rentang waktu yang bervariatif, meskipun pada pasangan ketiga tidak melalui tahap orientasi. Dalam masing-masing tahapan tersebut, terjadi pengungkapan diri (self disclosure) atau pertukaran informasi/keintiman hubungan maupun yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pertukaran hubungan atau ukuran kedalaman dan keluasan kepribadian, seperti karakteristik personal, hasil pertukaran hubungan dan konteks situasional.
Sebagai kesimpulan dari penelitian pasangan menikah atau suami-isteri yang berbeda budaya ini, ketujuh pasangan sebagai responden atau informan penelitian ini masing-masing mengikuti tahapan dalam teori Penetrasi Sosial dan hasilnya masih relevan jika dibandingkan asal dari teori ini."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7153
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Kholisoh
"Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana pembentukan dan pengembangan hubungan pertemanan antar etnis, khususnya antara etnis Betawi dan non-Betawi yang ada di Jakarta.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori penetrasi sosial (Altman dan Taylor, 1973) sebagai teori utama, sedangkan teori zeduksi ketidakpastian, self-disclosure, teori pertukaran sosial dan manajemen konflik merupakan teori pendukung. Altman dan Taylor dalam teori penetrasi sosial mengemukakan adanya empat tahapan pengembangan hubungan, yaitu; tahap orientasi, tahap penjajakan pertukaran afektif, tahap pertukaran afektif dan tahap stabil. Sebagian besar dari kelima pasangan dalam penelitian ini melalui proses tahapan penetrasi sosial yang dikemukakan oleh Altman dan Taylor tersebut, namun demikian cara dan waktu yang diperlukan untuk sampai kepada tahap stabil, masing-masing pasangan berbeda-beda.
Dalam upaya memperoleh informasi tentang pasangannya, setiap narasumber menggunakan strategi yang berbeda-beda tergantung kepada situasi dan kondisi yang ada, namun ketika hubungan berada pada tahap stabil, kelima pasangan tersebut sama-sama menggunakan strategi interaktif. Dalam setiap hubungan antarpribadi yang sehat tentunya tidak akan terlepas dari konflik. Semua nara sumber dalam penelitian ini sepakat bahwa konflik yang timbul harus diselesaikan secara baik dan dapat mengarah kepada peningkatan hubungan. Kendati demikian, pengelolaan konflik yang digunakan oleh kelima pasangan ini berbeda-beda tergantung pada situasi dan kondisi yang ada serta tidak terlepas dari karakter masing-masing individu, misainya; nara sumber yang memiliki karakter pendiam seperti narasumber 7 (Hamzah), cenderung menggunakan cara avoiding dalam mengatasi konflik. Analisis terhadap data-data yang telah diperoleh dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan paradigma constructivist terhadap kelima pasangan nara sumber yang terdiri dari satu pasangan laki-laki dengan laki-laki, satu pasangan perempuan dengan perempuan dan tiga pasangan laki-laki dengan perempuan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T3499
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Winarni Susyanti
"Di latarbelakangi oleh kemajemukan budaya masyarakat Indonesia dan adanya pendapat yang menyatakan bahwa staf pengajar di Politeknik Negeri Jakarta memiliki hambatan untuk melakukan komunikasi dalam berinteraksi antara satu dengan yang lain, maka penelitian ini memusatkan fokusnya pada komunikasi sosial antar etnis sebagai bahan pemikiran kita bersama. Umumnya kita cenderung untuk berpikir bahwa keragaman budaya dan etnik pasti akan mendorong komunikasi terpolarisasi dan menghalangi pengembangan komunikasi antarbudaya yang efektif. Tidak seharusnya demikian, keragaman malah diperlukan bagi komuniti untuk berkembang. Perbedaan harus ditangani secara konstruktif.
Untuk mencapai tujuan penelitian ini, maka penulis menggunakan paradigma konstruktivisme dengan perspektif teoritikal pada interaksionisme simbolik. Di sini berusaha menjelaskan bagaimana orang-orang mengadaptasikan strategi komunikatif mereka dalam berbagai komunikasi tatap muka dengan berbagai macam orang lewat mekanisme pengambilan peran (role taking) atau pengambilan perpektif (perspektif taking). Penelitian ini mencoba mengkaji sifat hubungan antaretnis dalam proses berkomunikasi, yang dibagi dalam lima permasalahan yaitu: (1) sifat hubungan yang terdapat dalam organisasi; (2) stereotip; (3) iklim komunikasi; (4) aliran informasi dan (5) kepuasan kerja. Dari penelitian diperoleh bahwa belum terwujudnya pengembangan komuniti berdasarkan perbedaan, yang berarti belum adanya keterbukaan, bukan mutlak keakraban. Pentingnya keterbukaan sangat jelas, yang bisa ditempuh melalui tiga bentuk komunikasi, yakni secara monolog yang bersifat self-centered, dialog teknis untuk saling bertukar informasi serta dialog yang menyiratkan komunikasi antar individu.
Keefektifan komunikasi dapat terganggu atau terhambat karena adanya faktor stereotip. sikap prasangka dan etnisentrisme yang terdapat pada salah satu atau berbagai pihak yang terlibat dalam suatu situasi pertemuan antarkelompok. Agar komunikasi sosial antaretnis dalam masyarakat heterogen dapat berlangsung dengan baik, maka diperlukan pemikiran dan upaya agar sikap antaretnis yang tidak mendukung, dapat dihilangkan atau paling tidak dikurangi keberadaannya apalagi dalam organisasi yang sangat heterogen.
Pengembangan komuniti di organisasi sangatlah penting dan harus diupayakan agar tercapai keharmonisan internal dan kedamaian dalam hubungan-hubungan dengan orang lain, yang tentunya berdampak pada iklim di organisasi dan berpengaruh pula pada kepuasan kerja anggota organisasi. Apalagi tak lama kita akan memasuki era globalisasi. Oleh karenanya diperlukan upaya yang sungguh-sungguh. Dan, harus ada keyakinan bahwa semakin banyak masing-masing individu melaksanakannya semakin besar kemungkinan pembentukan komuniti dan kedamaian dalam masyarakat, khususnya di organisasi PNJ."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7086
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Musfiratun
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang konsep diri pelaku konversi agama etnis Tionghoa yang merupakan anggota Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jakarta.
Identitas orang Tionghoa Indonesia mengalami pasang surut dari era kolonial
hingga Orde Baru, karena asal etnis mereka, orang Tionghoa tidak dianggap
sebagai penduduk asli Indonesia meskipun keberadaan mereka di negara ini sudah lama. Persepsi ini membuat orang Tionghoa mendapatkan status sebagai orang asing yang seringkali menerima diskriminasi. Hal paling dilematik yang terjadi adalah identitas diri dari mualaf Tionghoa yang berada di persimpangan di antara identitas Tionghoa dan identitas Pribumi.
Penelitian ini menggunakan teori Looking Glass Self yang dikemukakan oleh
Charles H. Cooley untuk membahas mengenai identitas dan konsep diri dari
pelaku konversi agama. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah
pendekatan kualitatif, fenomena konversi agama dianalisis melalui prespektif fenomenologi subjek sehingga diharapkan mampu merekonstruksi kehidupan yang dialami oleh setiap subjek penelitian. Keempat subjek penelitian dipilih dengan cara sampling purposive dengan kriteria 1) Merupakan pelaku konversi agama Islam yang berasal dari etnis Tionghoa, 2) Merupakan anggota aktif dari organisasi PITI Jakarta yang tercatat dan mengikuti berbagai kegiatan dari PITI.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap subjek penelitian memiliki motifmotif personal yang melatarbelakangi proses konversi agama. Tahapan terakhir dari proses konversi agama adalah adanya perubahan konsep diri dan pembentukkan identitas baru dari keempat subjek penelitian. Perubahan konsep diri pada pelaku konversi agama etnis Tionghoa berlangsung secara bertahap seiring interaksinya dengan lingkungan. Berbagai peristiwa yang mengiringi subjek dalam proses konversi agama turut andil dalam pembentukan konsep diri

ABSTRAK
This thesis studies about self concepts of Tionghoa religion converts in Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jakarta. The identity of Tionghoa people experienced up and down from colonial times until the new order, because of their ethnic status, Tionghoa people never considered as Indonesia citizen although they have lived in this country for a long time. The perception makes Tionghoa people experienced discrimination. The most complicated that happen are the identitiy of Tionghoa converts is at the intersection between Tionghoa and Indonesia.
This research used looking glass self theory presented by Charles H Cooley to explain about identity and self concepts of religion converts. this thesis used qualitative approach, the phenomena analysed through phenomenology prespective which mean the subjects could reconstruct their life as what they have done. The number of subjects are four choosen by purposive sampling with criteria considered 1) Tionghoa converts to Islam 2) is an active member of PITI Jakarta.
The result of this research showed that mostly of the subjects have several
personal motives that can be predisposed them to conversion. The last and
important part of the conversion process typically canging self concept and
forming new identity of the four subject. The canging self concepts of Tionghoa converts took place gradually, over its interaction with the environment. The various events that centered the subjects in the conversion process, interfering to formed the self concepts"
2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>