Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 183035 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fahmi Aris Innayah
"Seiring dengan terjadinya disintegrasi Yugoslavia pada tahun 1990, Republik Bosnia-Herzegovina menyatakan kemerdekaanya pada tanggal 20 Desember 1991, namun 31,4 % penduduknya yang termasuk golongan etnis Serbia tidak mendukung kemerdekaan tersebut. Sehingga terjadilah konflik paling berdarah di Eropa semenjak berakhirnya Perang Dunia kedua.
Banyak upaya yang telah dilakukan pihak-pihak internasional untuk menyelesaikan konflik tersebut, namun ternyata perdamaian sulit untuk dicapai. Keterlibatan NATO dan Rusia yang mempunyai orientasi kebijakan yang berbeda di kawasan terjadinya konflik, telah membawa mereka kedalam suatu upaya yang secara sengaja atau tidak telah menggiring pihak yang bertikai untuk maju ke meja perundingan.
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menjawab suatu pertanyaan penelitian yakni apakah keterlibatan NATO dan Rusia merupakan faktor utama penyelesaian konflik di Bosnia-Herzegovina.
Bersandar pada kerangkan pemikiran melalui pendekatan power dan sejumlah asumsi penelitian yang dibangun, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa upaya yang dilakukan NATO dan Rusia berkorelasi dengan penyelesaian konflik di Bosnia Herzegovina Hipotesis ini diuji dengan menggunakan metode penelitian deskriptif-komparatif, sementara pengumpulan datanya dilakukan lewat studi kepustakaan.
Hasil penelitian pada akhirnya mendapati bahwa NATO dan Rusia demi meraih tujuan politik luar negerinya, mereka melakukan kerjasama yang bersifat semu (pseudo-coalition). Hal ini terlihat pada saat NATO menerapkan kebijakan untuk memperluas pengaruh ke Eropa Timur, pada saat itu pula Rusia mencoba kembali mengukuhkan pengaruhnya di kawasan yang sama."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T3060
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chery Sidharta
"Upaya panjang mencari penyelesaian damai konflik di Filipina Selatan melibatkan intervensi dua negara yang berbeda, Libya dan Indonesia, yang berperan sebagai mediator, dalam kerangka Organisasi Konferensi Islam. Namun dalam menjalankan perannya kedua negara tersebut memiliki keberhasilan yang berbeda. Hal ini menarik untuk ditelaah lebih jauh terutama memahami apa yang menjadi pembeda keberhasilan antara Indonesia dan Libya sebagai pihak ketiga dalam penyelesaian konflik antara Pemerintah Filipina dan MNLF di Filipina Selatan, dan bagaimana perbedaan itu dapat terjadi.
Dalam penelitian ini dipergunakan konsep Oran Young dan Marvin Ott bahwa keberhasilan mediasi dalam resolusi konflik antara lain tergantung pada kapabilitas mediator yaitu ketidakberpihakan, independensi dan leverage.
Konsep lain yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah konsep Brian Frederking, Andrea Pyatt dan Shaun Randol yaitu, peran jenis aktoraktor regional (Indonesia) dan ekstra-regional (Libya)-dalam upaya mediasi. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman mendalam mengenai mengenai keberhasilan peran pihak ketiga dalam resolusi konflik, dengan mengambil kasus mediasi Libya dan Indonesia dalam penyelesaian konflik di Filipina Selatan.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif-analitis.
Unit analisis penelitian ini adalah negara.
Hasil penelitian mengindikasikan bahwa perbedaan kapabilitas antara Indonesia dan Libya memiliki hubungan terhadap resolusi konflik di Filipina Selatan, terutama faktor persepsi keberpihakan atau ketidakberpihakan, ketergantungan, penerimaan dan leverage kedua negara oleh aktor yang memiliki kemampuan menentukan dalam konflik, dalam kasus ini Pemerintah Filipina.
Lebih jauh ini mengindikasikan bahwa efektifitas peran pihak ketiga sebagai mediator dalam konflik ditentukan oleh sifat konflik (internalminoritas) dan distribusi kekuatan (power) antara pihak-pihak yang bertikai."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7216
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Worang, Toary Ceacer Fransiskus
"Internasionalisme Amerika adalah orientasi dalam politik luar negeri Amerika. Penyebaran demokrasi dan liberalisme ke seluruh dunia merupakan ciri utama dalam orientasi ini. Internasionalisme Amerika diformulasikan oleh Presiden Amerika Woodrow Wilson. Ia percaya bahwa Amerika memiliki sense of mission dan sense of obligation memperkenalkan demokrasi dan liberalisme kepada masyarakat internasional dalam rangka pembentukan tatanan dunia yang aman, stabil dan makmur. Bagi Wilson upaya membawa demokrasi dan liberalisme pada masyarakat internasional tidak bisa dilepaskan dari bentuk kerjasama dengan institusi intemasional/ multilateral. Pemikiran Wilson inilah yang diangkat kembali dalam politik luar negeri masa Clinton. Ciri utama politik luar negeri Clinton adalah pemanfaatan institusi internasional/multilateral dalam upaya penyebaran demokrasi dan liberalisme ke seluruh dunia lewat strateginya "Enlargement". Tesis ini akan menunjukan bagaimana pemerintah Clinton memanfaatkan institusi internasional/multilateral dalam mendukung terlaksananya strategi `Enlargement'. Pelaksanaan politik luar negeri Amerika Serikat masa Clinton sendiri tidaklah mudah karena perkembangan lingkungan internasional yang mana Neo Cold War Orthodoxy yang semakin membahayakan dan tidak terduga bagi Amerika Serikat. Untuk itu tesis ini jugs akan menunjukan bagaimana sikap pragmatis pemerintah Clinton menyebabkan keberhasilan pemanfaatan institusi internasional/multilateral mendukung strategi "Enlargement".

American Internationalism is an orientation in American Foreign Policy. The main characteristic of American internationalism is the universalism of democracy and liberalism. It was President Woodrow Wilson who formulated American Internationalism since he believed that Americans have sense of mission as well as sense of obligation to introduce democracy and liberalism to international community in order to create a stable, secure, and prosperous world order. According to Wilson, American's effort to promote democracy and liberalism is highly in collaboration with various international and multilateral institutions. In Clinton's administration Wilsonianism has been adopted and become the main element in its foreign policy. In this regard, the use of international/multilateral institutions become prominent in universalizing democracy and liberalism through so called `enlargement strategy'."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T14629
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marcus Daniel Wicaksono
" ABSTRAK
Hubungan Rusia dan Tiongkok di kawasan Asia Tengah merupakan contoh kasus unik yang memiliki implikasi tidak hanya pada keamanan regional tetapi juga keamanan global. Latar belakang penelitian ini adalah ldquo;jika sebuah kerja sama yang kuat terbentuk antara Rusia dan Tiongkok di kawasan Asia Tengah, maka dapat membatasi kemampuan aktor eksternal kawasan, termasuk Amerika Serikat, untuk mempengaruhi negara-negara Asia Tengah. rdquo; Oleh karena itu penelitian ini mengajukan pertanyaan bagaimana hubungan Rusia dan Tiongkok di kawasan Asia Tengah dari tahun 2007 hingga tahun 2016? Melalui pertanyaan tersebut penelitian ini bertujuan untuk mengetahui posisi hubungan Rusia dan Tiongkok di kawasan Asia Tengah serta dampak dari hubungan tersebut terhadap sistem keamanan global. Signifkansi penelitian ini bagi literatur adalah untuk mengembangkan kajian sistem keamanan internasional pada tingkat global maupun regional dan mengembangkan kajian kawasan Asia Tengah. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus melalui pengujian terhadap model hubungan kausal antara keterlibatan negara kuat, konflik regional, dan keamanan internasional yang ditulis oleh Benjamin Miller dan Korina Kagan. Dengan menggunakan model tersebut penelitian ini menemukan bahwa 1 hubungan Rusia dan Tiongkok di kawasan Asia Tengah dalam periode 2007-2016 sesuai dengan jalur kausalitas kerja sama; 2 Rusia dan Tiongkok di kawasan Asia Tengah memiliki kapabilitas seimbang dan kepentingan ldquo;tinggi, simetris; berkonflik; rdquo; 3 Ketergantungan kerja sama Rusia dan Tiongkok di kawasan Asia Tengah terhadap derajat rivalitas kedua negara. Berdasarkan temuan-temuan tersebut penelitian ini berkontribusi dalam badan ilmu bagi kajian hubungan bilateral Rusia dan Tiongkok.
ABSTRACT Russian and Chinese bilateral relations in Central Asia is an unique case that have implication not only to regional security but also to global security. This study rsquo s background is ldquo if a strong cooperation is formed between Russia and China in Central Asia, it may limit the ability of external actors, including United States, to influence Central Asian countries. rdquo Therefore, the research question asks how is the bilateral relation between Russia and China in Central Asia from 2007 to 2016 This study use ldquo case study rdquo method to test the model of causal relations between great power involvement, regional conflicts and international security by Benjamin Miller and Korina Kagan. By using this model, this research finds that 1 the bilateral relations of Russia and China in Central Asia within 2007 2016 period is in accordance to the line of causality of cooperation. 2 Rusia and China have equal capabilites and ldquo high symetrical conflicting rdquo interest in Central Asia. 3 the cooperation of Russia and China in Central Asia depends on both countries rsquo degree of rivality. With this respect, this study has contributed to the study of bilateral relation of Russia and China."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
S63573
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Indradjaja
"Adanya pendapat yang menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tidak berperan dalam proses pembuatan politik luar negeri, menjadi latar belakang dipilihnya topik ini. Pertanyaannya adalah apakah benar bahwa DPR RI tidak ada peran ? Kalau benar, mengapa demikian ? Kalau ada, bagaimana peran DPR RI tersebut ? Jawaban-jawaban atas pertanyaan itu merupakan hal-hal yang dikaji dalam tesis ini.
Sesuai dengan definisi politik luar negeri, yaitu tindakan-tindakan suata negara terhadap lingkungan luar dan kondisi-kondisi yang melingkupi pembuatan tindakan tersebut, make dipilihlah 2 (dua) kasus. Kasus itu adalah Normalisasi Hubungan Diplomatik Indonesia Republik Rakyat Cina dan kasus Penyelesaian Masalah Timor Timur di For a Intemasional Pasca Peristiwa Dili 1991.
Untuk memahami peran DPR RI tersebut, maka digunakan beberapa kerangka pemikiran. Partama, adalah tentang model hubungan legislatif dan eksekutif dalam suatu sistem politik dalam kaitan dengan pembuatan politik luar negeri, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kenneth N, Waltz. Kedua, adalah konsep-konsep tentang fungsi dan hak-hak lembaga legislatif secara umum dan DPR RI secara khusus.
Hasil temuan tesis ini menunjukkan bahwa politik luar negeri (kasus Normalisasi Hubungan Diplomatik Indonesia Republik Rakyat Cina dan kasus Penyelesaian Masalah Timor Timur di For a Internasional Pasca Peristiwa Dili 1991) sebagai output bukanlah berbentuk peraturan setingkat Undang-Undang (W). Konsekuensi logisnya adalah fungsi pembuatan W yang dimiliki DPR RI tidak digunakan. Yang digunakan oleh DPR RI adalah fungsi kontrol saja. Fungsi kontrol inipun digunakan secara terbatas oleh DPR RI, yang ditunjukkan oleh digunakannya wewenang bertanya di dalam Komisi saja. Selain itu penggunaan fungsi kontrol ditunjukkan juga oleh adanya berbagai masukan dan saran yang diberikan Komisi I DPR RI kepada Menteri Luar Negeri Republik Indonesia.
Tesis ini juga menemukan kenyataan bahwa Menteri Luar Negeri Republik Indonesia adalah pelaksana politik luar negeri Indonesia). Demikian halnya dalam kasus Penyelesaian Masalah Timor Timm- pasca Peristiwa Dili 1991. Kebijakan Penyelesaian Masalah Timor Timur tersebut tidak pernah dibahas oleh pemerintah secara serius di dalam rapat-rapat dengan DPR RI (Komisi I). Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa Presiden Republik Indonesia (Jenderal purnawirawan Suharto) adalah tokoh yang menentukan dan mendominasi pembuatan politik luar negeri Indonesia (dua kasus) tersebut. Salah satu sebab dominannya Presiden RI tersebut karena pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 belum dijelaskan dalam peraturan perundangan yang lebih operasional. Ketiadaan perturan perundangan yang lebih opersional tersebut menyebabkan kedudukan DPR dalam pembuatan politik luar negeri RI menjadi tidak terlalu jelas. Akibatnya DPR RI tidak berdaya, ketika lembaga tersebut diabai.kan oleh eksekutif."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Achmad Dahlan
"Konflik Indonesia dengan Malaysia tentang Pulau Sipadan dan Ligitan telah berlangsung cukup lama, yakni sejak tahun 1967 dan dibicarakan secara bersama-sama pada tahun 1969, dalam perkembangannya dapat menggangu hubungan baik kedua Negara, dan bahkan dapat menjadi pemicu konflik terbuka yang dapat mengganggu perdamaian dan keamanan dikawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu, Keputusan Kedua belah pihak untuk membawa kasus tersebut ke Mahkamah Internasional merupakan jalan yang terbaik dan patut mendapatkan penghargaan dari dunia internasional. Hal ini dikarenakan kedua pihak telah mendahului upayanya secara politik melalui perundingan diplomatic, namun gagal.
Dalam sidangnya, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi milik Malaysia. Hal ini menimbulkan keresahan disebagian masyarakat Indonesia yang menyimpulkan bahwa lepasnya pulau tersebut merupakan kegagalan diplomasi pemerintah Indonesia. Padahal dalam Undang undang Nomor 4/Prp/1960 Indonesia tidak pernah memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan kedalam wilayah Indonesia sehingga apabila dikatakan Pulau Sipadan dan Ligitan telah lepas dari Indonesia sebagai akibat Keputusan Mahkamah Internasional adalah tidak tepat, karena Indonesia tidak pernah memiliki kedua pulau tersebut. Kemudian, Upaya untuk memenangkan kedua pulau dalam perebutan dengan Malaysia telah diupayakan semaksimal mungkin, namun hasilnya tidak sesuai maka harus diterima dengan jiwa besar dan dilandasi oleh keinginan untuk membangun hubungan internasional dengan Negara lain secara baik dan beradab."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13758
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Waryono Kushantara
"ABSTRAK
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 menjadi bahan pemisah antara masa kehidupan sebagai negara jajahan dan masa menjadi masa yang merdeka, berdaulat serta bebas menentukan jalan hidupnya. Kemerdekaan Indonesia direbut melalui perjuangan bersenjata dengan mematahkan kekuatan senjata penjajah yang jauh lebih modern. Sekalipun kekuatan persenjataannya tidak memadai, berkat perjuangan yang dijiwai semangat persatuan dan kesatuan bangsa yang tidak kenal menyerah, rela berkorban yang diiringi motivasi tinggi maka penjajah akhirnya bisa diusir. Di antara negara-negara yang merdeka sesudah perang dunia II hanya sedikit yang merebut kemerdekaannya melalui perjuangan revolusi, salah satunya adalah Indonesia. Karena itu bagi para pendiri negara sifat anti penjajah, kegandrungan akan melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial dijadikan tujuan dasar negara kita yang adalah tujuan politik luar negeri kita.
Meskipun kemerdekaan Indonesia diraih dengan pengorbanan darah, keringat, air mata, tetapi kekerasan itu terpaksa dilakukan untuk mencirikan bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat dan bebas dari campur tangan asing.
Kemerdekaan merupakan sifat asasi setiap bangsa. Pada dasarnya meskipun Indonesia cinta damai namun lebih cinta pada kemerdekaan. Prinsip ini tetap dianut Indonesia dari sejak berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia sampai saat ini. Dari awal mula para pendiri negara telah menggariskan politik luar negeri yang bebas aktif. Politik luar negeri ini secara konsisten tetap dijalankan Indonesia dan dalam pelaksanaannya selalu ditentukan oleh kepentingan nasional yang paling menonjol pada saat itu. Dengan demikian terjalin ikatan yang erat antara politik luar negeri dan politik dalam negeri. Diantaranya terjadi saling interaksi dan pengaruh mempengaruhi.
Dengan menganut politik luar negeri yang tidak memihak, Indonesia tidak akan terseret pada salah satu kubu, kehadiran salah satu blok bukan mustahil akan mengundang pula kehadiran blok lawan. Bila sampai terjadi akan membahayakan keamanan nasional sehingga akhirnya akan berpengaruh pula secara tidak langsung pada keamanan dan stabilitas regional. Keadaan ini tidak pernah terjadi sehingga kemanan nasional dapat terlaksana dengan baik karena tidak ada kekeuatan asing yang ikut campur dalam masalah dalam negeri kita. Kondisi ini pun secara tidak langsung berpengaruh terhadap kemanan nasional."
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rossy Verona
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan luar negeri AS terhadap Jepang pada era pasca Perang Dingin, khususnya masa Clinton I, dengan memfokuskan pada aliansi keamanan AS-Jepang dan upaya AS mempertahankan komitmennya di kawasan Asia Pasifik. Dalam hal ini penulis menggunakan negara sebagai unit analisa. Tesis ini sangat menarik bagi penulis karena yang dianalisa adalah kebijakan dan perilaku politik AS dan Jepang - dua negara besar di dunia.
Kelangsungan aliansi AS-Jepang penting bagi kawasan. Dalam pandangan AS, aliansi keamanan AS-Jepang adalah kuat dan penting, namun untuk terus menjaga tercapainya kepentingan nasional bersama, aliansi tersebut harus terus berkembang. Khususnya untuk kawasan Asia Timur, AS mencari bentuk aliansi yang dapat terus menjadi insurance policy, yaitu menyediakan pertahanan bagi Jepang dan menjamin stabilitas di Asia Timur dan dapat bertindak sebagai investment policy yaitu dalam hal meningkatkan kontribusi bagi stabilitas regional dan keamanan global. Dalam kaitan ini, ada dua faktor yang mempengaruhi aliansi keamanan AS-Jepang yaitu perubahan pada lingkungan strategis kedua negara dan persepsi yang berbeda dalam berbagi beban, tanggung jawab dan kekuatan diantara mereka.
Pembahasan permasalahan ini dilakukan secara deskriptif-analitis dengan menggunakan berbagai kerangka pemikiran. Dengan menggunakan pendapat Hanrieder yang mengaitkan kebijakan luar negeri dengan sasaran yang hendak dicapai, teori Lentner mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi suatu kebijakan, pendapat Newsom mengenai cakupan politik Iuar negeri, pendekatan sistem politik Almond, teori Kegley dan Wittkopf dan Holsti mengenai komponen kebijakan luar negeri, teori yang dikemukakan oleh Rosenau mengenai variabel yang mempengaruhi formulasi politik luar negeri dan tujuan jangka panjang suatu politik luar negeri, pendapat Gross mengenai kepentingan nasional suatu negara, konsep keamanan Buzan, dan pandangan Viotti dan Kauppi mengenai negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional, penulis mencoba membahas permasalahan tersebut.
Hasil dari penulisan ini adalah bahwa upaya AS untuk tetap mempertahankan komitmen dan keberadaan militernya di kawasan Asia Pasifik dipengaruhi oleh tarik menarik antara dua faktor, yaitu perubahan persepsi ancaman keamanan eksternal AS dan perubahan sistem internasional pasca Perang Dingin."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T9583
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisari Dyah Paramita
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan luar negeri AS dalam konflik Israel-Palestina khususnya pada saat masa Presiden Bush, serta menjelaskan faktor-faktor eksternal dan internal AS yang berubah dan tidak dapat diabaikan pada saat itu sehingga membuat AS melakukan adaptasi dalam perilakunya. Dalam hal ini penulis menggunakan negara sebagai unit analisa. Tesis ini sangat menarik bagi penulis karena yang dianalisa adalah perilaku kebijakan AS sebagai satu-satunya negara yang mengalami perubahan secara signifikan dalam doktrin dan kebijakan luar negerinya setelah peristiwa serangan teroris tanggal 11 September 2001.
Adaptasi perilaku AS, merupakan respon AS terhadap perkembangan di lingkungan eksternalnya yaitu peningkatan eskalasi konflik di wilayah pendudukan di Palestina, adanya tekanan dari negara-negara asing termasuk dari negara-negara yang merupakan "sekutu dekat" AS di kawasan serta strategi ofensif yang dijalankan oleh Perdana Menteri Israel Ariel Sharon sejak tahun 2001. Di samping itu, adaptasi perilaku AS tersebut juga merupakan respon AS atas perkembangan di lingkungan internalnya yaitu adanya keprihatinan anggota Kongres/Senat serta publik domestik AS, adanya kekhawatiran kehilangan momentum positif proses perdamaian di Timur Tengah serta adanya kekhawatiran menurunnya koalisi global anti terorisme di kalangan Pemerintah AS.
Pembahasan mengenai permasalahan dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan berbagai kerangka pemikiran sebagai alat analitis.Dengan menggunakan pendapat Rosenau yang mengaitkan antara tindakan suatu negara terhadap lingkungan eksternalnya dengan respon terhadap aksi dari lingkungan eksternal dan internal serta penjelasan bahwa kebijakan luar negeri perlu dipikirkan sebagai suatu proses adaptif, pendekatan sistem politik David Easton, Mochtar Mas'oed dan Hoisti mengenai komponen kebijakan luar negeri serta teori yang dikemukakan Howard Lentner bahwa dalam mencapai tujuan politik luar negerinya, suatu negara mengalami serangkaian penyesuaian yang tetap yang terjadi di dalam negara maupun antara negara dengan situasi yang dihadapi, penulis mencoba membahas permasalahan tersebut.
Hasil dari penulisan ini adalah adaptasi perilaku AS diwujudkan dalam beberapa penyesuaian kebijakan luar negeri AS mengenai konflik Israel-Palestina, yang mencapai puncaknya pada peluncuran roadmap pembentukan dua negara sebagai penyelesaian terhadap konflik Israel-Palestina pada tanggal 30 April 2003. Dalam roadmap disebutkan bahwa realisasi pengakhiran konflik Israel-Palestina hanya dapat dicapai dengan penghentian kekerasan dan tindakan terorisme, dengan pemimpin Palestina yang mampu secara tegas mengambil tindakan melawan tindakan teror dan mampu untuk membangun demokrasi berdasarkan toleransi dan kemerdekaan, kesediaan Israel untuk melakukan apa yang diperlukan bagi berdirinya negara Palestina dan diterimanya oleh kedua pihak suatu wilayah pemukiman sebagaimana telah diatur dalam roadmap tersebut.
Peluncuran roadmap perdamaian merupakan wujud adaptasi kebijakan Presiden Bush pada tingkat perilakulaksi dalam konflik Israel-Palestina, dimana sebelumnya Presiden Bush selalu menolak thrill tangan langsung untuk menggerakkan proses perdamaian. Presiden Bush kini mengulurkan tangannya langsung dengan meletakkan kapasitas dan pengaruh AS untuk membuka kembali solusi politik yang selama lebih dari dua tahun tertutup rapat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12314
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>