Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180574 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohammad Riduansyah
"Penerimaan Asli Daerah (PAD) sangat signifikan kontribusinya terhadap APBD dalam membiayai berbagai pengeluaran pemerintah daerah dengan rata-rata kontribusinya sebesar 55,71% setiap tahunnya. Besaran kontribusi PAD secara nominal terus mengalami pertumbuhan, walaupun pertumbuhan secara prosentase berfluktuasi. Sedangkan pengalokasian pengeluarannya dalam APBD terbagi dalam 2 (dua) kategori, yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dengan tingkat pertumbuhan yang berbeda terhadap masing-masing pengeluaran tersebut.
Dalam analisis terhadap komponen pembentuk PAD terlihat perbedaan kontribusi dari masing-masing komponen tersebut. Pajak dan Retribusi Daerah merupakan penyumbang terbesar dalam PAD dengan kontribusi rata-rata sebesar 79,36% dan 13,55%. Sementara 3 (tiga) komponen lainnya, yaitu Laba BUMD; Penerimaan Dinas-Dinas dan Penerimaan Lain-lain hanya memberikan kontribusi rata-rata sebesar 1,96%, 0,27% dan 4,87%. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi PAD terhadap total penerimaan daerah adalah adanya jalinan yang erat antara eksekutif dengan legislatif; adanya potensi pajak dan retribusi daerah yang besar; adanya Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dengan profesionalisme yang handal ; adanya kesadaran wajib pajak dalam melunasi kewajibannya; dan adanya dukungan sistem administrasi dan institusi yang handal.
Disamping faktor-faktor tersebut di atas, ada faktor lain yang perlu diperhatikan oleh aparatur pemerintah DKI Jakarta agar penerimaan PAD dapat terus ditingkatkan, yaitu : faktor pemberdayaan BUMD ; peningkatan kemampuan pengelolaan keuangan daerah dan perlunya membangun hubungan baik dengan pemerintah pusat dalam pengelolaan berbagai pajak yang terkait dengan pemerintah pusat tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Suryana, 1960-
"Pembangunan perumahan dan permukiman yang marak di Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang dipengaruhi pula oleh kondisi Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang yang terikat dengan Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976 tentang Pengembangan Wilayah Jabotabek. Sehingga Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang menyiapkan alokasi lahan untuk kepentingan tersebut seluas 60.404 Ha atau 54,4% dari luas wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang yaitu 111.038 Ha.
Pada tahun 1993 sampai dengan tahun 1998 telah dikeluarkan Ijin Lokasi untuk perumahan dan permukiman seluas 39.687,10 Ha tetapi lokasi yang dikuasai baru 22.001,98 Ha dan baru dimanfaatkan untuk pembangunan perumahan dan permukiman seluas 8.405,83 Ha (38 %) dari luas yang dibebaskan. Sehingga terdapat lahan tidur yang tidak produktif seluas 13.596,15 Ha.
Mengacu kepada pembangunan perumahan dan permukiman berimbang 6 : 3 : 1 luas lahan 13.201,18 Ha akan menghasilkan rumah sederhana 880.079 unit, rumah menengah 141.441 unit dan rumah mewah 13.201 unit. Sedangkan kebutuhan rumah di Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang sampai tahun 2002 hanya 644.466 unit sehingga terjadi over supply 390.275 unit.
Masalah yang akan timbul dalam jangka panjang dari tumbuhnya perumahan dan permukiman di Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang dalam luasan di atas adalah biaya pemeliharaan prasarana lingkungan, fasilitas sosial dan utilitas umum yang setiap tahun memerlukan dana sebesar Rp 89.876.000.000,00.
Berdasarkan hasil kajian teoritis dan penelitian lapangan kiranya Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang perlu mengkaji ulang kebijakan penataan ruang, terutama pengalokasian lahan untuk perumahan dan permukiman yang pada akhirnya menjadi beban. Di sisi lain dalam memelihara kondisi eksisting sekarang perlu mengambil langkah pemeliharaan prasarana lingkungan, fasilitas sosial dan utilitas umum melalui pemberdayaan masyarakat/penghuni untuk memobilisasi dana dan mengembangkan kemitraan antara swasta dan pemerintah."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahfudz
"ABSTRAK
Ikhtisar Pendapatan Daerah menurut UU No. 5 / 1974 dan menurut UU No. 22/1999.
Pada saat penyusunan thesis ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sedang membahas Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974. Berikut ini dipaparkan secara singkat mengenai komponen-komponen Pendapatan Daerah menurut undang-undang lama dan undang-undang yang baru.
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Bab III mengenai daerah otonomi, Bagian Ketigabelas mengenai Keuangan Daerah, Paragrap 1 mengenai Pendapatan Daerah, Pasal 55. Sumber Pendapatan Daerah adalah :
a. Pendapatan Asli Daerah sendiri, yang terdiri dari
1. Hasil pajak daerah
2. Hasil retribusi daerah
3. Hasil perusahaan daerah
4. Lain-lain usaha daerah yang sah
b. Pendapatan berasal dari pemberian pemerintah yang terdiri dari :
1. Sumbangan dari pemerintah
2. Sumbangan-sumbangan lain, yang di atur dengan peraturan perundang-undangan.
c. Lain-lain pendapatan yang sah.
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, Bab III mengenai Keuangan Daerah, pasal 79.
Sumber Pendapatan Daerah terdiri atas :
a. Pendapatan Asli Daerah, yaitu :
Hasil pajak daerah ;
Hasil retribusi daerah;
Hasil perusahaan milik Daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan ;
Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
b. Dana perimbangan
c. Pinjaman daerah
d. Lain-lain-lain pendapatan daerah yang sah.
KERANGKA TULISAN
Masalah otonomi daerah, dewasa ini sedang banyak dibicarakan. Hal ini tidak terlepas dari keinginan rakyat diberbagai daerah untuk segera mendapatkan otonomi seluas-luasnya dan dalam rangka memberdayakan DPRD. Aspirasi ini telah ditanggapi oleh wakil rakyat kita yang ada di pusat yang terbukti pada Sidang Istimewa (SI) MPR-RI bulan Nopember 1998, para wakil rakyat berhasil membuahkan tujuh buah TAP MPR-RI yang sangat panting bagi masa depan bangsa Indonesia. Salah satunya TAP MPR-RI No. XV/MPR/1998 mengenai penyelenggaraan otonomi daerah. Sesuai dengan undang-undang Nomor 5 tahun 1975, pemberian otonomi ini dititik beratkan kepada pemerintah daerah tingkat II.
Otonomi daerah yang dititik beratkan kepada pemerintah daerah tingkat II, mensyaratkan adanya dukungan personil, peralatan dan pembiayaan yang cukup memadai untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan yang telah diserahkan kepadanya. Tersedianya keuangan yang memadai untuk membiayai pembangunan menjadi kata kunci bagi berhasilnya pembangunan daerah tingkat II, kendatipun dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia, kemandirian keuangan daerah tampaknya tidak diartikan bahwa setiap tingkat pemerintahan daerah otonom harus dapat membiayai seluruh keperluan dari PAD."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muzakkir
"Topik keuangan daerah selalu menarik lantaran keuangan daerah menjadi suatu variabel utama untuk mengukur derajat otonomi daerah. Banyak sudah observasi yang sampai pada pendapat bahwa lemahnya pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia hampir semuanya akibat dari rendahnya pendapatan asli daerah sendiri, sehingga daerah-daerah menjadi tertinggal karena tidak mampu mengadakan sendiri komoditas publiknya. Minimnya PADS berawal dari terbatasnya kekuasaan atau kewenangan daerah menguasai aset produktif setempat, dan ini seolah given bagi daerah, terufama Dati II. Ini berkait langsung dengan pelaksanaan UU No.32/1956 tentang Perimbangan Keuangan Antara Negara dan Daerah Otonom yang sedemikian rupa membatasi ekstensifikasi jenis PADS kecuali yang telah ditentukan oleh undang-undang tersebut. Undang-undang itu memang telah dicabut bulan Mei 1999 dan diganti dengan UU PKPD yang baru, namun pada tataran praktis belum ada tanda-tanda yang menunjukkan adanya progress, sehingga daerah tetap saja seperti masih berada di era lama.
Apa yang dapat dilakukan pemerintah (Pusat Dati I dan Dati II) adalah menggelar kebijakan perpajakan daerah yang bersifat teknis, dalam hal ini memperbaiki metode pemungutan pajak dan retribusi, seperti aplikasi RIAP. Dengan demikian, ada asumsi bahwa rendahnya pendapatan asli Dati II bukan semata soal kurangnya kewenangan namun juga karena ketidakmampuan aparat perpajakan daerah. Kinerja aparat daerah, dengan demikian. dianggap lemah. Alasannya, teori mengatakan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi atau semakin maju suatu negara dan daerah maka semakin besar proporsi sektor formal yang depat dikenakan pajak. Semakin linggi pendapatan per kapita akibat pertumbuhan ekonomi itu maka semakin besar proporsi pendapatan yang dibelanjakan di sektor jasa. Kenyataannya pertumbuhan ekonomi daerah rata-rata tergolong tinggi selama Orde Baru, namun ada gap yang menganga antara tingginya perlumbuhan ekonomi itu dengan rendahnya PADS. Berarti terdapat kapasitas pajak (tax capacity) yang besar namun tidak dapat dijangkau oleh aparat daerah karena rendahnya kapasitas dan kapabilitas mereka. Untuk itu aparat perpajakan daerah harus diberdayakan secara teknis melalui suatu program usistensi.
Lantas sejauhmana dampak dan asistensi itu dalam rangka meningkatkan kemampuan aparat birokrasi perpajakan daerah? Lebih tepat lagi seberapa efektifkah RIAP mampu meningkatkan PADS, pajak daerah dan retribusi daerah? Tesis ini mengukurnya dari berbagai segi atau kriteria yang merupakan ukuran relaiif untuk menjawab pertanyaan itu dengan lokasi penelitian Kotamadya Bogor, suatu Dati II yang diasumsikan memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi . Ukuran tersebut adalah (i) revenue adequacy ratio (ratio kecukupan) yakni perbandingan antara penerimaan asli daerah baik secara total maupun individual dengan pengeluaran total APBD maupun pengeluaran rutin APBD; (ii) administrative efficiency ratio (rasio efisiensi administrasi) yakni perbandingan anfara biaya rutin dinas penghasil jenis PADS tertentu dengan jumlah penerimaan PADS yang berhasil dipungutnya; (iii) effectivity ratio (ratio efektivitas) yakni perbandingan antara realisasi pungutan PADS dengan target yang tercantum dalam APBD: (iv) elasticity (elastisitas) dan buoyancy yakni respon atau perbandingan antara persentase perubahan penerimaan PADS terhadap persentase perubahan PDRB dan persentase perubahan PDRB termasuk efek diskresioner RIAP.
Untuk hal terakhir diajukan hipotesis, bahwa ada pengaruh yang signifikan antara perubahan PDRB dan kebijakan diskresioner RIAP terhadap penerimaan PADS. Keempat prinsip itu akhirnya digabung secara matriks dan diberi skor, untuk mendapatkan jumlah total penilaian sehingga diketahui angka indikasi jenis atau kelompok pendapatan asli daerah sendiri mana yang paling banyak mendapatkan dampok positif dengan adanya aplikosi RIAP. Ternyata pajak hotel dan restoran merupakan jenis PADS yang paling bagus kinerjanya setelah mendapat asistensi RIAP, diikuti penerimaan Total pajak daerah, pajak penerangan jalan, pajak hiburan dan pajak perusahaan. Menjadi menarik, bahwa penelitian ini membuktikan bahwa semua retribusi menerima dampak negatif dari aplikasi RIAP, baik penerimaan total maupun individual. Dalam hal ini kila dapat membangun kesan bahwa metode RIAP tidak begitu cocok untuk diterapkan pada retribusi. Oleh karena itu direkomendasikan agar RIAP disempurnakan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Almaden
"Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, dapat didentifikasikan peluang investasi di Kabupaten Tapanuli Utara yang dapat memanfaatkan potensi daerah, yang kemudian secara simultan dapat menciptakan potensi penerimaan daerah di masa mendatang adalah (a) Agrobisnis/agroindutri tanaman pangan, palawija, perkebunan, hortikultuta, dan perikanan, (b) Hutan tanaman industri, (c) Perdagangan produksi pertanian, perkebunan dan perikanan, (d) Pariwisata dan hiburan, (e) Hotel dan restoran, (f) Industri pertambangan, (g) Pembangkit tenaga listrik, dan (h) Usaha jasa-jasa yang terkait dengan pariwisata. Dimana sumber penerimaan daerah tersebut tidak terbatas pada penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah (memperbanyak titik pungut pajak daerah dan retribusi daerah), akan tetapi juga penerimaan dari bagi hasil pemanfaatan sumberdaya, bagi hasil pajak pajak maupun bukan pajak, dan penerimaan lain yang terkait.
Dapat diketahui juga bahwa, peran pajak daerah dan retribusi daerah terhadap pembentukan PAD Kabupaten Tapanuli Utara "lebih dominan" atau "selalu lebih besar" dibandingkan dengan peran sumber-sumber pendapatan ask daerah yang lainnya (labs BUMD, penerimaan dinas-dinas, dan pendapatan fain-lain yang syah), baik itu perannnya sebelum maupun setelah pelaksanaan otonomi daerah. Akan tetapi peran tersebut menjadi berkurang setelah pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini terjadi karena; (a) Adanya pengaruh dari peningkatan penerimaan sumber penerimaan lain-lain yang syah, dan (b) Adanya penurunan penerimaan pajak daerah.
Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, peran pajak daerah terhadap pembentukan PAD Kabupaten Tapanuli Utara tercatat "lebih tinggi" dibandingkan retribusi daerah. Akan tetapi setelah pelaksanaan otonomi daerah, peran pajak daerah terhadap pembentukan PAD tercatat "lebih rendah" dibandingkan retribusi daerah. Hal ini dapat terjadi karena; (a) Tingkat pertumbuhan penerimaan pajak daerah belum membaik kondisinya akibat dampak krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997, dan (b) Adanya kenaikan penerimaan retribusi daerah yang cukup besar sejak setelah pelaksanaan otonomi daerah, dimana ada tambahan penerimaan dari annual fee PT. Inalum yang cukup besar.
Setelah pelaksanaan otonomi daerah ada kecenderungan terjadi penggiatan upaya yang dilakukan untuk mendorong kenaikan penerimaan pajak dan retribusi daerah di Kabupaten Tapanuli Utara. Langkah yang direncanan/dilakukan oleh Pemda Kabupaten Tapanuli Utara adalah dengan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi. Beberapa komponen pajak daerah yang penerimaannya sudah mengalami peningkatan signifikan (membaik) di era otonomi daerah antara lain; (a) Pajak Hotel dan Restoran, (b) Pajak Rekiame, dan (c) Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan-C. Komponen-komponen retribusi daerah di Kabupaten Tapanuli Utara yang mengalami peningkatan penerimaan yang signifikan setelah pelaksanaan otonomi daerah adalah retribusi; (a) Pelayanan Kesehatan, (b) Pelayanan Persampahan/ Kebersihan,(d) Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil, (e) Parkir di Tepi ]alas Umum, (f) Pasar, (g) Pemakaian Kekayaan Daerah, (h) Terminal/Parkir Khusus,(j) Pemotongan Hewan, (k) Ijin Mendirikan Bangunan, dan (I) Ijin Gangguan.
Meskipun ada kecenderungan terjadi penggiatan upaya yang dilakukan untuk mendorong kenaikan penerimaan pajak daerah, akan tetapi daya menggelembung pajak daerah di Kabupaten Tapanuli Utara teridentifikasi masih dalam kondisi "unbouyant": Artinya, bahwa sistim pemungutan pajak daerah yang diterapkan, masih belum mampu mengoptimalkan penerimaan pajak daerah tersebut seiring dengan pertumbuhan perekonomian daerah yang terjadi.
Ada kecenderungan terjadi penurunan tingkat perkembangan minat investasi di Kabupaten Tapanuli Utara setelah pelaksanaan otonomi daerah. Hal dibutikan salah satunya oleh hasil penelitian ini, dimana tingkat kecenderungan upaya menaikkan penerimaan pajak dan retribusi daerah di Kabupaten Tapanuli Utara setelah pelaksanaan otonomi daerah, secara "signifikan" berpengaruh "menurunkan" tingkat kecenderungan perkembangan minat investasi.
Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini, maka dapat disarankan, dengan potensi daerah yang ada, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Utara bisa mendorong dan memperluas kegiatan investasi untuk mengelola potensi daerah tersebut, yang pada gilirannya secara simultan akan dapat memperbesar penerimaan daerah di masa mendatang, yang salah satu diantaranya adalah terdapatnya lebih banyak titik pungut bagi pajak daerah dan retribusi daerah. Pemerintah Daerah Tapanuli Utara seyogyanya juga mau "mengkaji ulang" Perda-Perda baru tentang Retribusi Daerah yang diterbitkan setelah pelaksanaan otonomi daerah. Karena pada kenyataanya nilai penerimannya tidak cukup signifikan meningkatkan PAD, dan "diduga" ada kemungkinan akan dapat mempengaruhi tingkat minat investasi yang akan masuk ke Kabupaten Tapanuli Utara.
Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Utara perlu membenahi sistim dan kinerja pemungutan pajak daerah, sehingga dapat lebih optimal memanfaatkan dampak pertumbuhan perekonomian daerah bagi penerimaan pajak daerah. Dan juga sangat diperlukan kajian/penelitian lanjutan untuk mengetahui presepsi pengusaha dan/atau investor tentang minat (motivasi) ivestasi di Kabupatem Tapanuli Utara, khususnya presepsi yang terkait dengan pemungutan pajak dan retribusi daerah, yang dalam penelitian ini belum dapat terkover/terungkap secara lengkap/valid, Sebab kesimpulan dari kueisioner dalam penelitian ini menunjukkan bahwa, tingkat kecenderungan upaya meningkatkan penerimaan pajak setelah pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Tapanuli Utara, telah signifikan mempengaruhi tingkat kecenderungan minat investasi di Kabupaten Tapanuli Utara tersebut."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T12595
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Apri Nuryanti
"Pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diikuti pula dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal, yaitu penyerahan berbagai sumber penerimaan daerah bagi penyelenggaraan tugas pemerintah daerah dan pembangunan daerah, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Selanjutnya keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, harus didukung dengan ketersediaan dan kemampuan keuangan daerah yang bersumber dari penerimaan Pendapatan Asti Daerah (PAD). Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber penerimaan daerah yang sangat penting dan strategis untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Kemampuan keuangan suatu daerah diukur melalui seberapa besar peranan atau kontribusi PAD dalam membiayai seluruh pengeluaranpengeluaran daerah, termasuk belanja rutin daerah. Semakin besar kontribusi PAD dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maka semakin besar tingkat kemandirian suatu daerah sehingga semakin kecil ketergantungan daerah untuk menaapatkan bantuan dana dari pemerintah pusat. Sebaliknya, semakin kecil kontribusi PAD dalam APBD maka semakin besar tingkat ketergantungan daerah untuk menerima bantuan dana dar! pemerintah pusat. Oleh karena itu, pemerintah daerah dituntut untuk meningkatkan penerimaan daerah dengan menggali dan rnengembangkan seluruh sumber-sumber keuangan daerah sendiri berdasarkan potensi dan kemampuan yang dimiliki.
Tujuan penelitian dalam tests ini adalah menganalisa kondisi atau kemampuan keuangan daerah Kota Palembang secara umum dalam rangka pelaksanaan pembangunan daerah, serta merumuskan alternatif kebijakan yang mungkin dapat dilaksanakan dalam upaya meningkatkan kemampuan keuangan daerah, khususnya peningkatan PAD. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi pemerintah daerah, khususnya Dinas Pendapatan Daerah sebagai instansi yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pemungutan dan pengelolaan penerimaan daerah di masa yang akan datang.
Kemampuan keuangan daerah Kota Palembang diukur melalui indikator-indikator penerimaan keuangan daerah, yang meliputi antara lain rasio kecukupan penerimaan (Revenue Adequacy Ratio), rasio efisiensi, rasio effektivitas, dan rasio elastisitas PAD terhadap perubahan PDRB. Kenludian perumusan dan pemilihan alternatif kebijakan peningkatan PAD Kota Palembang dilakukan dengan pendekatan The Analytic Hierarchi Process (AH P).
Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa rasio kecukupan penerimaan daerah Kota Palembang TA 1998/1999-2002, baik terhadap belanja rutin maupun terhadap total pengeluaran daerah belum memadai, yakni kurang dari 20 % dari pengeluaran daerah. Rata-rata rasio kecukupan penerimaan PAD terhadap belanja rutin dan terhadap total pengeluaran daerah pada periode tersebut masing-masing sebesar 17,43 % dan 13,32 %. Sementara itu, rasio elastisitas PAD terhadap perubahan PDRB TA 1993/1994-2001 sangat berfluktuasi, namun secara keseluruhan rata-rata elastisitas PAD terhadap perubahan PDRB bersifat elastis sebesar 1,14 %.
Pemilihan kebijakan peningkatan PAD yang diprioritaskan untuk dilaksanakan menurut penilaian 5 responden berdasarkan hasil sintesa akhir global dengan menggunakan rata-rata ukur adalah kebijakan memperluas jenis pajak daerah dan retribusi daerah, dengan bobot prioritas mencapai 0,255. Prioritas kebijakan selanjutnya berturut-turut adalah memperbaiki sistem manajemen PAD dan pelaksanaan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran dan motivasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah, dengan Bobot prioritas sebesar 0.250 dan 0.249. Kebijakan pelaksanaan mekanisme pengawasan dan sanksi terhadap subjek pajak berada pada urutan terakhir dengan bobot prioritas sebesar 0,246."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T12592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Riduansyah
"Penerimaan Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan yang signifikan bagi pembiayaan rutin dan pembangunan di suatu daerah otonom. Pendapatan asli daerah merupakan suatu wujud kemampuan masyarakat lokal untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah yang diberikan kepadanya. Pendapatan asli daerah terdiri dari empat komponen utama, yaitu pajak daerah, retribusi daerah, laba BIMD, dan pendapatan lain-lain. Dari keempat komponen utama ini, pajak daerah dan retribusi daerah merupakan dua komponen yang penting bagi penerimaan PAD, karena merupakan sumber utama yang memberikan sumbangan yang signifikan dalam perolehan PAD sumber utama.
Jumlah penerimaan komponen pajak daerah dan retribusi daerah sangat dipengaruhi oleh banyaknya jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang diterapkan serta disesuaikan dengan peraturan yang berlaku yang terkait dengan penerimaan kedua komponen tersebut.
Kontribusi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap perolehan pendapatan asli daerah Pemerintah Daerah Kota Bogor dalam kurun waktu Tahun Anggaran 1993/1994-2000 cukup signifikan dengan rata-rata kontribusi sebesar 27,78 % per tahun dan pertumbuhan rata-rata sebesar 22,89 % per tahun untuk komponen pajak daerah serta rata-rata kontribusi sebesar 47,58 % per tahun dan pertumbuhan rata-rata sebesar 5,08 % per tahun untuk komponen retribusi daerah.
Kontribusi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap total perolehan penerimaan Pemerintah Daerah Kota Bogor yang tercermin dalam APBD-nya, dikaitkan dengan kemampuannya untuk melaksanakan otonomi daerah, terlihat cukup baik. Komponen pajak daerah dalam kurun waktu Tahun Anggaran 1993/1994-2000 rata-rata per tahunnya memberikan kontribusi sebesar 7,81 % per tahun dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 22,89 % per tahunnya. Sedangkan pendapatan yang berasal dua komponen retribusi daerah, pada kurun waktu yang sama, memberikan kontribusi rata-rata per tahunnya sebesar 15,61 % dengan rata-rata pertumbuhan per tahunnya sebesar 5,08 % per tahun.
Untuk meningkatkan porsi kontribusi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap total penerimaan pendapatan asli daerah dan sekaligius memperbesar kontribusinya terhadap APBD Pemerintah Daerah Kota Bogor, beberapa langkah perlu dilakukan. Pertama, perlu dilakukan peningkatkan intensifikasi pemungutan jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang telah diberlakukan. Intensifikasi ini dapat dilakukan antara lain dengan melakukan validasi wajib pajak daerah dan wajib retribusi daerah yang ada, penyesuian peraturan daerah yang mengatur pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, serta meningkatkan keterampilan aparat daerah yang mengelola pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Kedua, dilakukannya ekstensifikasi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Ekstensifikasi ini dapat dilakukan antara lain dengan jalan memberlakukan jenis pajak dan retribusi baru sesuai dengan kondisi dan potensi yang ada dengan memanfaatkan kesempatan yang diberikan dalam Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 serta peraturan perundang-undangan lainnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Sudjarwoko
"Otonomi Provinsi DKI Jakarta berbeda dengan daerah lainnya karena berada pada tingkat provinsi. Seluruh sumber penerimaan baik pajak daerah maupun retribusi daerah diberlakukan pada tingkat provinsi. Kontribusi penerimaan Pajak Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah antara tahun anggaran 2004-2009 rata-rata mencapai 83,28% per tahun. Tingkat pertumbuhan Pajak Daerah rata-rata 9,69% per tahun. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor memberi sumbangan terbesar terhadap total penerimaan Pajak Daerah dengan rata rata mencapai 33,69% per tahun. Tingkat pertumbuhan penerimaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor rata-rata sebesar 5,35% per tahun. Pendapatan Asli Daerah mendapatkan kontribusi sebesar 28,06% dari Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Pajak Kendaraan Bermotor memberikan kontribusi sebesar 31,90% terhadap rata-rata total penerimaan Pajak daerah antara tahun anggaran 2004-2009. Pajak Kendaraan Bermotor memeilikitingkat pertumbuhan 10,28% per tahun. Pajak ini memberi sumbangannya terhadap Pendapatan Asli Daerah sebesar 26,57%. Penerimaan Retribusi Daerah rata-rata memberikan kontribusi sebesar 5,39% per tahun terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah. Kontribusi penerimaan Pajak Daerah terhadap penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam kurun waktu tahun anggaran 2004-2009 adalah rata-rata sebesar 45,50% per tahun, sedangkan penerimaan Retribusi Daerah memberikan kontribusi sebesar 2,94% per tahun. Pendapatan Asli Daerah rata-rata memberikan kontribusi sebesar 54,64% per tahun terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

The autonomy of the Province of Jakarta is different approach when compare with the other regions. Its implementated at provincial level and the entire source of revenue from both local taxes and user charges are imposed on the provincial level. The contribution of the Local Tax revenue to the Local Own Revenue for the budget year 2004-2009 accounted for on an average 83.28% per annum. The Local Tax growth was on an average 9.69% per annum. Vehicle Registration Fee (usually called BBNKB) had given the largest contribution to the total revenue of Local Tax which reached on an average 33.69% per annum. The growth of the Vehicle Registration Fee was on an average 5.35% per annum. The Local Own Revenue acquired a contribution of 28.06% from the Vehicle Registration Fee. Vehicle Tax (usually called PKB) had a contribution of 31.90% to the total average of the Local Tax revenue for budget year 2004-2009. The Vehicle Tax had a growth of 10.28% per annum which gave a contribution of 26.57% to the Local Own Source Revenue. The User Charges revenue contributed on an average 5.39% per annum to the Local Own Revenue. The contribution of the Local Tax revenue to the Local Government Budget revenue in budget year 2004-2009 was on an average 45.50% per annum, while revenue of the User Charges had a contribution of 2.94% per annum. The Local Own Revenue contributed on an average 54.64% per annum to the Local Government Budget."
Depok: Fakultas Eknonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2010
T27740
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zelda Retina
"Pembentukan Komite Standar Akuntansi Pemerintah seperti embawa angin segar bagi perkembangan akuntansi pemerintahan di ndonesia. Komite yang terbentuk tahun 2002 diharapkan mampu merumuskan suatu standar yang dapat diterima umum dalam lingkungan perintahan. Kemudian, Standar Akuntansi Pemerintahan diterbitkan dan ditetapkan oleh Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005. Munculnya standar ini diharapkan dapat menjawab segala permasalahn terkait pengelolaan keuangan negara dan daerah. Berdasarkan produk hukum yang diterbitkan untuk menertibkan pengelolaan keuangan negara dan daerah yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, penelitian ini dilaksanakan. Penelitian bermaksud mengetahui seberapa besar kepatuhan pemerintahan, dalam hal ini pemerintah Kabupaten/Kota, mematuhi undang-undang dan peraturan yang berlaku dan juga melihat keberhasilan sosialisasi standar akuntansi pemerintah hingga pemerintah daerah tingkat II (Kabupaten/Kota). Penelitian ini juga bermaksud mengetahui hubungan antara pendapatan asli daerah dan total aktiva (kekayaan) dengan kepatuhan menyusun laporan keuangan sesuai Standar. Hasil menunjukkan bahwa sebagian besar Kabupaten/Kota di Indonesia telah membuat dan menyampaikan laporan keuangan tahun 2006 agar diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Hasil ini memberi harapan bahwa pemerintah Kabupaten/Kota berkomitmen tinggi untuk mewujudkan good government governance. Hasil pengujian hipotesis membuktikan adanya hubungan positif antara pendapatan asli daerah dengan tingkat kepatuhan dan cukup signifikan. Sebaliknya, total aktiva tidak terbukti mempunyai pengaruh atas tingkat kepatuhan pemerintah Kabupaten/Kota terhadap undang-undang dan peraturan yang berlaku, walau pengaruhnya tidak signifikan. "
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Raya Dumaris Theresia Novaline
"Pemerintah daerah di Indonesia mengelola biaya administratifnya secara kurang efisien. Biaya rata-rata dari pengumpulan pendapatan daerah sebagai persentase dari pendapatan yang didapatkan daerah adalah hamper sebesar 50%. Akan tetapi, terdapat banyak variasi dari inefisiensi biaya administratif pemerintah daerah di antara berbagai kabupaten / kota di Sumatera. Hasil estimasi dari model stochastic cost frontier menemukan bahwa inefisiensi biaya administratif pemerintah daerah meningkat secara signifikan seiring dengan meningkatnya transfer dana fiskal dari pemerintah pusat. Penelitian yang dilakukan juga ditujukan untuk melihat apakah terdapat inefisiensi biaya administratif antara daerah yang merupakan hasil pemekaran dengan daerah yang tidak mengalami pemekaran. Di dalam penelitian ini juga dipaparkan hasil estimasi antara metode pengukuran inefisiensi dengan cara sederhana yakni cost to yield ration dengan metode pengukuran inefisiensi yang lebih rumit yakni dengan stochastic cost frontier.

Local government in Indonesia administer its administrative cost inefficiently. The average cost of local administrative cost as a percentage of revenue generated is estimated to be almost 50%. There is, however, a wide variation in administrative inefficiency across local governments. The estimation of a stochastic cost frontier model suggests that administrative cost inefficiency increases significantly as fiscal transfers from the centre rise. The investigation also demonstrates whether there is a difference between local government which is resulted from regional expansion and local government which never face regional expansion. The simple and complex measures of cost inefficiency are also provided in this investigation."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>