Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 189995 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Djunadi
"Latar Belakang : Pesawat terbang saat ini telah dilengkapi dengan perangkat oksigen untuk tujuan kenyamanan, keamanan dan keselamatan terbang. Namun kegagalan perangkat tersebut masih mungkin terjadi. sehingga manusia sebagai awak dan penumpang pesawat dapat mengalami hipoksia. Manusia sangat peka terhadap kondisi hipoksia terutama pada otak dan retina, dimana bila terjadi hipoksia dapat terjadi gangguan penglihatan. Sangkalia menyebutkan 87 % subyek mengalami perlambatan dalam membaca warna buku lshihara.
Metodologi : Penelitian dilakukan terhadap 94 orang calon siswa penerbang PSDP TNI AU, dengan metode kuasi eksperimen. Subyek diperiksa penglihatan warna pada ground level dan ketinggian 18.000 kaki pada ruang udara bertekanan rendah, guna mengetahui hubungan kadar hemoglobin. tekanan darah, denyut nadi serta faktor faali tubuh lainnya dan melambatnya waktu penglihatan warna dan kebenaran membaca. Sedangkan untuk analisa data digunakan analisis korelasi dan regresi linear.
Hasildan kesimpulan : Hasil pemeriksaan warna pada ground level rata-rata 83,50 detik, dengan simpang baku 14,21; pada ketinggian 18.000 kaki 106,75 detik, dengan simpang baku 16,01. Kebenaran membaca rata-rata pada ground level 99,23 %, dengan simpang baku 0,93; pada ketinggian 18.000 kaki 98,97%, dengan simpang baku 1,45. Melambatnya waktu penglihatan warna dan berkurangnya kebenaran membaca pada ketinggian disebabkan oieh berkurangnya suplai oksigen untuk menghantarkan impuls dari retina ke korteks serebri, faktor yang secara statistik berhubungan dengan hal tersebut : kadar hemoglobin, tekanan darah dan denyut nadi.

Back ground : The recent aircraft technology is growing sophisticately, equiped complete oxygen equipment designe as a pressurize cabin. The human being are very sensitive to lack of oxygen, especially the brain cells and the retina. Malfunction of cabin-pressure or oxygen equipment will cause a visual disturbance in the accuracy of color vision due to hypoxia. Sangkalia stated that 87 % subjects experience lengthening time on color vision detection.
Methodology : This research was designed as a quasi experimental study, 94 PSOP Indonesian Air Force pilot candidates (PSDP TN! AU). They were exposed in hypobaric chamber equal with simulated 18.000 feet. Color vision detection was examined coreflate with hemoglobin level, blood pressure, pulse rate, age, and V02 max at ground level and altitude. Linear analysis and corellation analysis were used to analyse data.
Result and Conclusion : Color vision detection is significantly longer at simulated altitude 18.000ft (106.75 seconds, ± 16.01) compare with at ground level (83.50 seconds, ± 14.21) with p < 0,05. Color vision accuracy is better at the ground level (99.23 % , 0,93) than altitude (98.97 %,1 1,45) with p < 0,05. Lengthening time in colour vision reading at altitude was caused by altertion of impuls conducted from retina to cerebral cortex due to reduced oxygen supply Hemoglobin level, blood pressure and pulse rate statistically have direct influence on lengthening time of color vision detection.
"
Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Charto Susanto
"Latar Belakang: Pesawat terbang sekarang sudah canggih, dengan dilengkapi perangkat oksigen dan kabin bertekanan. Ketinggian jelajah pesawat terbang komersial berkisar antara 18.000-30.000 kaki, bahkan pesawat terbang militer bisa lebih tinggi, sehingga apabila terjadi kegagalan perangkat tersebut akan menyebabkan hipoksia. Manusia sangat peka terhadap kekurangan oksigen, terutama sel otak dan retina, maka bila terjadi kekurangan oksigen sedikit saja akan terjadi penyempitan penglihatan perifer yang merupakan gejala dini pada tubuh manusia. Hendarseto menyebutkan 84% subyek mengalami penyempitan penglihatan perifer 5° akibat pengaruh hipobarik dalam ruang udara bertekanan rendah (RUBR) setara ketinggian 18.000 kaki. Fungsi mata sangat penting dalam penerbangan, maka pengetahuan mengenai rentang waktu hipoksia awal yang ditandai dengan penyempitan penglihatan perifer sebesar 5° perlu diketahui dan diteliti.
Metodologi: Disain penelitian ini adalah studi eksperimental, dengan memajankan sebanyak 94 talon penerbang PSDP TNI AU sebagai subyek dalam ruang udara bertekanan rendah (RIJBR) setara ketinggian 18.000 kaki, guna mengetahui hubungan kadar hemoglobin, kapasitas vital paksa, frekuensi denyut nadi ground level serta faktor faali tubuh lainnya dengan rentang waktu penyempitan penglihatan perifer sebesar 5°, sedang untuk analisis data digunakan analisis korelasi dan regresi linear.
Hasil dan kesimpulan: Rata-rata rentang waktu penyempitan penglihatan perifer sebesar 5° (RWP5) ialah 201,85 detik dengan simpang baku 33,16 detik, 95% Cl: 195,15-208,55. Dari hasil analisis antara RWP5 dengan hemoglobin mempunyai korelasi positif dan bermakna (r= 0,62; p = 0,0000), 95% CI: 15,46-15,82, berarti makin tinggi kadar Hb akan semakin panjang RWP5. Antara RWP5 dengan KVP mempunyai korelasi positif dan bermakna (r= 0,16; p = 0,0164), 95% CI: 90,7-94,6, berarti makin tinggi KVP akan semakin panjang RWP5. Antara RWP5 dengan frekuensi denyut nadi ground level(GLNadi) mempunyai korelasi negatif dan bermakna ( r= - 0,28; p = 0,0000), 95% CI: 75,53-78,55, berarti makin tinggi GLNadi akan semakin pendek RWP5. Regresi metode stepwise yang sesuai untuk prediksi RWP5 terdin dan faktor hemoglobin, denyut nadi `ground level' dan kapasitas vital paksa, sedangkan variabel lain tidak berkorelasi dan tidak bermakna dengan RWP5.

Background : The recent aircraft's technology is growing sophisticatedly, equipped with pressurized cabin and oxygen equipment. The cruising altitude of the commercial air line is in between 18.000 feet to 30.000 feet, although the military aircraft even higher. The human being are very sensitive to lack of oxygen, especially the brain cells and the retina, malfunction of cabin-pressure or oxygen equipment will cause a hypoxia and narrowing of peripheral vision is an early symptom. The eye have a very important role in flying, the research done by Hendarseto stated that 84% subjects experience narrowing the peripheral vision 5° or more due to hypoxia in hypobaric chamber. The elapsed time of an early hypoxia recognized by 5° narrowing of the peripheral vision should be explored.
Methodology : The research was designed as an experimental study, 94 PSDP Indonesian Air Force's pilot candidates (PSDP TNI AU), they were exposed in hypobaric chamber equal to 18.000 feet, measuring the elapsed time of 5° narrowing peripheral vision correlated with hemoglobin, forced vital capacity, pulse rate etc. Correlation analysis and linear analysis were used to analyze the data.
Results and Conclusion : The average elapsed time 5° narrowing of the peripheral vision (RWP5) is 201,85 seconds with standard deviation 33,16 second, 95% Cl : 195,15 - 208, 55. The analysis of the results of the relationship between RWP5 and hemoglobin had a positive correlation and statistically significance ( r = 0,62; p = 0,0000 ), 95% Cl: 15,46-15,82. It means that the higher the Hb concentration, the longer elapsed time 5° narrowing of the peripheral vision (RWP5). RWP5 and forced vital capacity (KVP) have positive correlation and statistically significant ( r = 0,16; p =0,0164 ), 95% Cl: 90,7-94,6 which means that the higher the forced vital capacity (KVP), the longer elapsed time 5° narrowing of the peripheral vision (RWP5). RWP5 and the frequency of ground level pulse rate (GLNadi) have negative correlation and statistically significance ( r = - 0,28; p = 0,0000 ), 95% CI: 75,53- 78,55 which means that the higher the frequency of ground level pulse rate (GLNadi), the shorter the elapsed time 5° narrowing of the peripheral vision (RWP5). Stepwise method of regression appropriate for RWP5 prediction consists of factors of hemoglobin, ground level pulse rate and forced vital capacity, other variables are not correlated and not significant related to RWP5.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Arini
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian
Manusia sangat peka terhadap kekurangan oksigen terutama mata dan sel otak dengan kepekaan paling tinggi pada kortek dan retina. Indera penglihatan merupakan indera terpenting yang harus dimiliki seorang penerbang, sebab jika fungsi mata terganggu akan berakibat fatal. Dalam keadaan hipoksia mata akan mengalami gangguan fungsinya, salah satunya adalah fungsi sensitivitas kontras. Seorang penerbang harus memiliki kemampuan penglihatan sensitivitas kontras yang prima, sebab pada saat terbang harus melihat atau mendeteksi sesuatu dari jarak yang jauh dengan cepat dan tepat.
Tujuan penelitian ini ialah mengidentifikasi pengaruh hipoksia setara dengan ketinggian simulasi 18.000 kaki terhadap kemampuan penglihatan sensitivitas kontras talon penerbang militer TNI AU/PSDP. Disain penelitian adalah kuasi eksperimen pre dan post tes, sedangkan jumlah subyek yang diteliti adalah 94 calon penerbang militer TNI AU/PSDP dalam ruang udara bertekanan rendah (RUBR), yang merupakan total sampel dari calon penerbang militer yang datang di Lakespra Saryanto untuk melakukan indoktrinasi dan latihan aerofisiologi.
Hasil Penelitian : ditemukan perbedaan bermakna dengan uji T berpasangan, pada variabel Sa02, nadi dan sensitivitas kontras (SK) pada ground level dan pada FL 180 (p < 0,05). Dengan analisis silang didapatkan hubungan yang bermakna pada kadar Rb dengan sensitivitas kontras (SK) di ground level dan pada FL 180 (p < 0,05). Dengan analisis multivariat tidak didapatkan hubungan yang bermakna (p > 0,05).
Kesimpulan : Telah dibuktikan bahwa hipoksia setara dengan ketinggian simulasi 18.000 kaki akan menurunkan kemampuan sensitivitas kontras.

ABSTRACT
The Influence of Hypoxia on Contrast Sensitivity among Military Pilot Candidates at 18.000 ft in Lakespra Saryanto, Jakarta 1997
Human being is a very sensitive to the lack of oxygen especially eyes cells and brain. Cortex and retina are the most sensitive. Vision has an important role for the pilot because visual malfunction will cause a fatal accident. One mayor aspect which influenced by hypoxia is sensitivity contrast. A Pilot needs good contrast sensibility of his eyes because he must have a capability identifying the target fastly and accurately.
METHODE
The objective of this research was to identify the influence of hypoxia to contrast sensitivity of pilot candidates at 18.000 ft simulated altitude. The design of this study is a quasi experiment, a pre and post test at ground level and at simulated 18.000 ft. The total sample was 94 respondents, are Military Pilot candidates which come to Lakespra Saryanto for aerophysiological training exercise.
RESULT
T pair analysis showed that there were significant differences (p < 0,05) among variables Sa02, pulse rate and contrast sensitivity at ground level and at FL 180. Cross analysis revealed a significant correlation between hemoglobin value with contrast sensitivity at ground level and at simulated altitude 18.000 ft. The multivariate regression analysis showed a significant correlation the level of Sa02 related to the decrease of contrast sensitivity.
CONCLUSION
Hypoxia at simulated 18.000 ft will decrease contract sensitivity, although the deviation was still within normal range.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eddy Alatas
"Telah di desain pesawat bertekanan dengan perangkat oksigen yang baik. Pesawat terbang militer mempunyai wilayah terbang ketinggian 18.000-30.000 kaki bahkan lebih. Bila peralatan tersebut mengalami kegagalan atau gangguan dalam kabin, akan mengalami hipoksia. Kemampuan penglihatan binokular tunggal salah satunya adalah kemampuan fusi yang sangat ditentukan oleh keseimbangan otot-otot ekstrinsik mata, yang dipengaruhi oleh kondisi hipoksia, sebab kemampuan fusi sangat dibutuhkan selama fase pendaratan pesawat dan terbang formasi. Mengingat pentingnya hal ini, maka perlu diketahui dan diteliti.
Metodologi : Desain pada penelitian ini adalah studi eksperimental "pre dan post test desain" yaitu dengan memajankan sebanyak 94 calon siswa penerbang PSDP TNI AU sebagai subyek dalam ruang udara bertekanan rendah (RUBR) setara ketinggian 18.000 kaki. Untuk analisis data digunakan uji T berpasangan, analisis korelasi dan regresi linear multivariate.
Hasil : Hasil uji T berpasangan dari saturasi oksigen, nadi, heteroforia jenis eksoforia di "ground level" dan di ketinggian 18.000 kaki terdapat perbedaan bermakna (p < 0,05). Hubungan heteroforia jenis eksoforia di "ground level" dan variabel-variabel, didapatkan faktor yang berkorelasi positif dan bermakna adalah gula darah (r = 0,21 p = 0,03). Faktor yang berkorelasi positif bermakna dengan heteroforia jenis eksoforia setara ketinggian 18.000 kaki adalah gula darah (r = 0,21 p = 0,04), Variabel sistolik berkorelasi positif dan bermakna (r = 0,17 SigT = 0,04) terhadap heteroforia jenis eksoforia di "ground level". Faktor-faktor yang mempengaruhi heteroforia jenis eksoforia di "ground level" dan ketinggian 18.000 kaki terdiri dari tekanan sistolik dan kadar gula darah.
Kesimpulan : Sebagai kesimpulan dengan mengetahui tekanan sistolik dan kadar gula darah dapat diprediksi kemungkinan terjadinya heteroforia jenis eksoforia pada ketinggian 18.000 kaki."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suoth, Charles P.J.
"Latar Belakang: Waktu Reaksi adalah suatu pengukuran kecepatan reaksi, suatu proses mental dari pengaliran rangsang di dalam sel-sel otak dan saraf, sering digunakan untuk menilai kemampuan pelaksanaan tugas mental seseorang. Berkurangnya suplai oksigen, terutama dalam jaringan otak dan saraf oleh pengaruh hipoksia akan memperpanjang waktu reaksi seorang penerbang dalam misi penerbangan. Keadaan ini merupakan faktor utama meningkatnya risiko terjadinya kecelakaan dalam misi penerbangan.
Metodologi: Penelitian ini adalah suatu eksperimen kuasi dengan desain pra dan pasca tes terhadap 64 orang calon siswa sekolah penerbangan TN1 Angkatan Udara dengan usia 21-26 tahun. Kadar hemoglobin, saturasi oksigen, fungsi kardio respirasi, kadar gula darah, dan waktu reaksi di ketinggian permukaan diukur. Subyek diintervensi ke ketinggian simulasi 18.000 kaki dalam ruang udara bertekanan rendah untuk mencapai kondisi hipoksia, yaitu dengan nilai saturasi oksigen 64-72%. Dilakukan pengukuran waktu reaksi di ketinggian permukaan dengan waktu reaksi di ketinggian simulasi 18.000 kaki.
Hasil: Terjadi pemanjangan waktu reaksi yang signifikan di ketinggian simulasi 18.000 kaki. (100.11 mdet ± 15,76) dibandingkan dengan waktu reaksi di ketinggian permukaan (90.98 mdet ± 14.53) (p < 0.05). Pemanjangan waktu reaksi ini disebabkan oleh berkurangnya kecepatan pengaliran rangsang di dalam jaringan otak dan saraf akibat berkurangnya suplai oksigen. Kadar hemoglobin mempunyai hubungan yang kuat dengan terjadinya pemanjangan waktu reaksi ini.
Kesimpulan: Hipoksia pada ketinggian simulasi 18.000 kaki menyebabkan pemanjangan waktu reaksi.

The Effect of Hypoxia on Reaction Time Among Indonesian Military Pilot's Candidates at a Simulated Altitude of 18.000 feet in the Hypobaric Chamber, 1999Background: Reaction time is a measure of the speed of reaction, it's a mental process that results from the impels processing through brain and nerves. It is often used to assess the ability of mental tasks performance. The lack of oxygen supply especially in the brain and nerves through hypoxia will prolong reaction time of the pilot which is a main factor to increase the risk of catastrophic in the flight mission.
Methodology: A quasi experiment study with a pre and post test design on 64 Indonesian Military Pilot's candidate's age 22-26 years was conducted. Hemoglobin, oxygen saturation, cardio respiratory function, blood sugar and reaction time at ground level was measured. Subjects were exposed to a simulated altitude of 18.000 feet for hypoxia condition in the hypobaric chamber. Hypoxia condition was indicated by 65-72% oxygen saturation. Reaction times at ground level and at 18.000 feet were measured.
Results: Reaction time was significantly longer at 18.000 feet (100.11 m sec ± 15.76) compared to ground level (90.98 m sec ± 14.53) (p < O.05). Prolonged reaction time at 18.000 feet is due to decrease of the speed of mental process in brain and nerves caused on reduced oxygen supply. Hemoglobin level showed strong correlation with prolonged reaction time (p-0,000).
Conclusion: Hypoxia at a simulated altitude of 18.000 feet prolonged reaction.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aleida Nugraha
"Latar Belakang: Walaupun pesawat terbang telah dilengkapi dengan perangkat oksigen dan kabin bertekanan, kemungkinan hipoksia masih ada apabila terjadi kegagalan dari kedua sistem tersebut. Pengetahuan mengenai rentang waktu terjadinya hipoksia awal dan faktor-faktor kardiorespirasi yang berkorelasi dengan rentang waktu hipoksia awal perlu diketahui dan diteliti.
Metodologi: Studi eksperimental dilakukan pada 130 calon siswa Sekolah Penerbang TNI AU berusia 21-26 tahun; pada keadaan permukaan bumi diukur kadar hemoglobin, saturasi oksigen, fungsi faali kardiorespirasi dan kadar gula darah. Dalam ruang udara bertekanan rendah subyek dipajankan pada kondisi hipobarik dengan ketinggian setara 18.000 kaki. Diukur rentang waktu mulai saat pemajanan sampai terjadi saturasi oksigen 85 % dengan alat pulse oksimeter.
Hasil: Pada penelitian ini ditemukan rerata waktu terjadinya hipoksia awal 199,65 detik ; (95 % CI:192,64 - 206,66 detik). Faktor-faktor yang berkorelasi positif secara bermakna adalah kadar hemoglobin (r = 0,3396 ; p = 0,000) dan kadar gula darah (r = 0,4108 p = 0,000). Sedangkan frekuensi denyut nadi mempunyai korelasi negatif kuat (r = -0,4324 ; p=0,000). Model regresi yang sesuai untuk prediksi rentang waktu hipoksia awal terdiri dari faktor-faktor kadar hemoglobin frekuensi denyut nadi dan kadar gula darah.
Kesimpulan: Dengan mengetahui kadar hemoglobin, frekuensi denyut nadi dan kadar gula darah dapat diprediksi rentang waktu terjadinya hipoksia awal.

Elapsed Time To Early Hypoxia At Simulated Altitude 18.000 Feet In Hypobaric Chamber Indicated By 85% Oxyhaemoglobin Saturation And Its Influencing Factors Among Indonesian Air Force Flight Cadets.Background. Although aeroplanes are equipped with oxygen equipment and cabin pressurization, possibilities of hypoxia incidence still exists if there are system's failure. Information on elapsed time to early hypoxia should be available, and its correlation with cardiorespiratory factors should be investigated.
Methods. An experimental study on 130 Indonesian Air Force Flight Cadets age 21-26 years was conducted. Haemoglobin, oxyhaemoglobin saturation, cardiorespiratory function and blood sugar at ground level was measured In hypobaric chamber subjects were exposed to simulated altitude 18.000 feet environment. Elapsed time between the beginning of hypobaric exposure to early sign of hypoxia indicated by 85% oxyhaemoglobin satin-lion was measured.
Result. Average elapsed time to early hypoxia was 199, 65 seconds; (95 % CI:192,64 - 206,66 seconds). Significant positive correlation was found to haemoglobin (r = 0,3396 ; p = 0,000) and blood sugar levels (r = 0,4108 ; p = 0,000). Pulse rate showed negative correlation with elapsed time to early hypoxia (r = -0,4324 ; p = 0,000). The suitable regression model for estimating elapsed time to early hypoxia include haemoglobin,pulse rate, and blood sugar levels.
Conclusion. Predicted elapsed time to early hypoxia could be estimated by using haemoglobin, pulse rate, and blood sugar levels.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhifah Rahayu
"Tidak salah lagi, warna memang memegang peran penting dalam banyak bidang kehidupan, termasuk arsitektur. Arsitektur sendiri ada karena memegang peran tertentu bagi manusia. Warna, manusia, dan arsitektur, ketiga hal ini adalah topik yang menarik untuk dibahas. Warna memiliki pengaruhnya sendiri pada psikologi manusia yang mengalaminya. Namun selain itu ada hal nyata yang dapat disebabkan oleh penggunaan warna pada arsitektur yang berdampak pada keseharian manusia. Skripsi ini membahas tentang peran warna dalam arsitektur terutama agar arsitektur tersebut dapat memenuhi peran dan tujuannya.

Without a doubt, color holds an important role in many aspect of human life, including architecture. Architecture itself exists because it holds specific role for human being. Color, human, and architecture are some of the interesting topic to discuss. Color has its own influence towards human psychology. Aside from that there are real things that can be caused by the using of color in architecture that can affects human?s daily life. This thesis discusses the role of color in architecture so that in particular, architecture can fulfill its role and purpose for humanity."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S42011
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Nurul Sakinah
"Glukosa adalah salah satu indikator kesehatan tubuh yang dapat dideteksi oleh urin yang dapat membantu pendeteksian dini penyakit diabetes dan glikosuria. Glukosa dapat dideteksi oleh urine analyzer menggunakan metode pembacaan perubahan warna pada strip uji urin. Namun sayangnya, akses terhadap urine analyzer masih sangat terbatas dikarenakan ukurannya yang terlalu besar dan harganya yang terlalu mahal. Dalam penelitian ini sistem pengukuran kadar gula urin yang lebih murah dan lebih portabel dibuat menggunakan analisis citra berbasis ponsel pintar yang dipadukan dengan pemrosesan melalui komputer. Ponsel pintar yang digunakan pada penelitian ini adalah Huawei Nova 5T dan Samsung Galaxy A51 dengan bantuan aplikasi kamera OpenCamera. Citra strip uji diambil dengan menggunakan kotak khusus yang ditambahkan papan warna sebagai alat bantu untuk mengoreksi warna. Papan warna tersebut telah diuji menggunakan standar papan warna X-Rite ColorChecker. Citra yang telah diambil akan dikoreksi warnanya menggunakan metode Root-Polynomial Color Correction (RPCC) -yang telah diuji kemampuan koreksi warnanya pada variasi suhu warna lampu 2500K-8500K. Citra yang telah dikoreksi kemudian diprediksi kadar gulanya dengan model regresi Decision Tree menggunakan LSBoost. Hasil penelitian menunjukkan, Metode RPCC menunjukkan performa yang baik dengan nilai evaluasi koreksi warna (delta e) sebesar 1,8 – 2,6 ΔE. Hasil koreksi warna terbaik dimiliki oleh citra dengan suhu warna 4500K-7000K. Model regresi menghasilkan nilai evaluasi sebesar 0,21 – 0,01 RRMSE. Hasil ini menunjukkan bahwa sistem pengukuran kadar gula urin dengan metode pembacaan strip uji berbasis ponsel pintar yang menggunakan model Decision Tree-LSBoost dapat digunakan untuk mendeteksi nilai kadar gula.

Glucose is one of the health indicators that can be detected from urine and it can be an early detection for diabetes and glycosuria. Glucose can be detected using a urine analyzer that uses the method of reading the color change on a urine test strip. However, access to urine analyzers is still very limited due to their large size and expensive price. In this study, a cheaper and more portable urine sugar measurement system was created using smartphone-based image analysis combined with computer processing. The smartphones that were used in this study are Huawei Nova 5T and Samsung Galaxy A51 who used the OpenCamera application. The image of the test strip is taken by using a special box with a color board inside as a tool for correcting colors. The color boards have been tested using the X-Rite ColorChecker standard. The image that has been taken will be color corrected using the Root-Polynomial Color Correction (RPCC) method, which has been tested for its color correction ability at the color temperature variation of the 2500K-8500K lamp. The corrected image then used to predict the sugar content using Decision Tree-LSBoost regression model. The results showed the RPCC method has a good performance with a color correction evaluation value (delta e) of 1.8 - 2.6 ΔE. The best color correction result is an image with a color temperature of 4500K-7000K. The regression model produces an evaluation value of 0,21 - 0,01 RRMSE. These results indicate that the urine sugar level measurement system with a smartphone-based test strip reading method using the Decision Tree-LSBoost model can be used to detect the value of sugar levels."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfa Sheffildi Manaf
"Buta warna adalah kelainan pada retina mata yang menyebabkan penyandangnya tidak bisa mengenali atau membedakan warna tertentu. Ketidakmampuan mengenali warna ini berpotensi menyebabkan berbagai kesulitan bagi para penderitanya dalam kehidupan sehari-hari. Kelainan buta warna tidak bisa disembuhkan. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk membantu penyandang buta warna membedakan warna adalah dengan menggunakan alat bantu.
Dalam skripsi ini, dikembangkan aplikasi bantuan penderita buta warna untuk platform sistem tertanam berbasis Windows Embedded Standard 2009, .NET Framework, OpenCV library serta EmguCV Wrapper. Sistem ini terdiri dari beberapa fitur pengenal warna yang diterapkan dengan konsep realitas tertambah. Implementasi sistem yang dibahas pada skripsi ini meliputi sistem bantu yang dikembangkan dengan konsep realitas tertambah suara, dengan tujuan membantu penyandang buta warna mengenali warna dengan media suara melalui interaksi jari pengguna pada objek warna. Sistem ini mendapatkan hasil yang cukup memuaskan berdasarkan pengujian dan tanggapan dari para responden.
Hasil pengujian interaksi jari menunjukkan tingkat deteksi jari mencapai 89.6% untuk metode klasifikasi kulit dengan format warna HSV. Sedangkan, tingkat deteksi jari menggunakan metode klasfikasi kulit dengan format YCbCr mencapai 87.5%. Selain itu, tingkat pengenalan warna yang didapat mencapai tingkat yang baik untuk mayoritas warna-warna tertentu yang diuji.

Color blindness is an anomaly which happened in retinal of eye(s) which prevent the patient to recognize or differentiate certain colors. The disability of the patient to recognize color is potential to cause problems to the patient in daily life. Color blind cannot be cured. Therefore, the only one method to help color blind people to recognize or differentiate color is with a vision aid kit.
In this final project, color blind aid system for embedded platform based on Windows Embedded Standard 2009, .NET Framework, OpenCV library and EmguCV Wrapper developed. There will be kind of color recognition features implemented with augmented reality concept in the system. Specifically, this paper explains the implementation of aid system, which is developed with sound augmented reality concept and finger interaction between user and colored object. This system receives good enough result according to system testing which has been done and responses from respondents.
The result of finger interaction test shows that the fingertip detection rate reaches 89.6% for skin classification method with HSV color space. Meanwhile, fingertip detection rate reaches 87.5% for skin classification method with YCbCr color space. Furthermore, color recognition rate achieved good result for majority of certain tested color types.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
S93
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hayfa Farhah
"Warna merupakan elemen yang digunakan oleh arsitek dan desainer interior dalam mendesain suatu ruang. Warna menjadi penting karena warna ditemukan dalam setiap objek termasuk pada permukaan ruang. Jika digunakan secara tepat, warna pada permukaan ruang tidak hanya memberikan nilai estetis tetapi juga dapat memberikan dampak bagi pencahayaan dan kondisi termal sebuah ruangan. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui performa warna permukaan ruang yang memenuhi standar kualitas ruang dalam berdasarkan Indoor Environmental Quality (IEQ). Penilaian IEQ dinilai berdasarkan kenyamanan visual, termal, dan kualitas udara. Metode yang digunakan dalam penulisan ini yaitu eksperimen dan pengolahan data. Eksperimen yang dilakukan dalam penulisan ini berupa suatu model ruang dalam berupa kotak. Warna permukaan di dalam kotak tersebut dapat divariasikan dengan intensitas cahaya yang terkontrol. Data nilai yang didapatkan dari eksperimen kemudian diolah berdasarkan poin-poin yang disesuaikan dengan parameter kenyamanan visual, termal, dan kualitas udara. Hasil eksperimen dan pengolahan data menunjukkan bahwa warna terbaik yang memenuhi standar IEQ tidaklah terdiri dari satu warna saja, tetapi performa suatu warna sangat bergantung pada kondisi kebutuhan ruang serta berdasarkan parameter apa warna tersebut dinilai. Warna permukaan ruang yang tepat dapat diketahui dengan melengkapi beberapa informasi pengguna seperti kegiatan yang dilakukan dalam ruang, jenis ruang, iklim ruangan tersebut berada, serta informasi mengenai keberadaan tanaman dalam ruangan tersebut. 

Color is an element used by architects and interior designers in designing a space. Color is important because color is found in every object, including on the surface of a room. If used properly, the color on the surface of the room not only provides aesthetic value but can also have an impact on lighting and temperature of a room. This thesis aims to determine the performance of the surface color of a room that meets the quality standards based on Indoor Environmental Quality (IEQ). The IEQ assessment is based on visual comfort, thermal comfort, and air quality. The method used in this paper is experimentation and data processing. The experiment is in the form of a room model in the form of a box. The color of the surface inside the box can be varied with controlled light intensity. The value data obtained from the experiment was processed based on the points adjusted for the parameters of visual comfort, thermal comfort, and air quality. Experimental results and data processing show that the best color that meets IEQ standards does not consist of just one color, but the performance of a color is very dependent on the conditions of space requirements and based on what parameters the color is assessed. The exact color of the surface of the room can be known by completing some user information such as the activities in the room, the type of room, the climate the room is in, as well as information about the presence of plants in the room."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>