Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 61841 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Depok: Universitas Indonesia, 1995
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Imam Suyitno
"Teaching Indonesian for Foreign Learners or Indonesian as a Foreign Language (IFL) is different from teaching Indonesian as a first language. The differences are due to the characteristics of the learners. IFL learners generally are adults who have language and cultural background and learning style different from those Indonesian learners have. These differences demand IFL teachers and instructors to prepare teaching-learning materials and the activities of the teaching-learning process in the classroom that are relevant to the learners? needs. Understanding the entry level behavior of the learners, the teaching materials, the teaching-learning approach, and the evalution process is of crucial importance in order to fulfill their needs. Learning needs analysis of IFL learners is also a prerequisite to developing adequate teaching-learning materials of IFL."
University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2007
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Myrna Laksman-Huntley
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Oktiva Herry Chandra
"Pemahaman implikatur percakapan lebih sulit jika dibandingkan dengan pemahaman makna tersurat tuturan, lebih-lebih di dalam wacana humor yang penuh dengan muatan budaya pembuat tuturan tersebut. Perbedaan budaya yang melatarbelakangi masing-masing penutur dan petutur akan berdampak pada mudah dan tidaknya makna implisit tersebut diungkap kembali.
Penelitian ini bertujuan memaparkan dan memberikan deskripsi tentang pemahaman implikatur percakapan yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip kerja sama. Paparan dan deskripsi tersebut mencakup strategi penguasaan atau pemahaman implikatur percakapan serta sebab-sebab kegagalan di dalam memahami implikatur percakapan.
Teori yang menjadi landasan di dalam penelitian kualitatif ini adalah teori Grice (1975) tentang implikatur percakapan dan prinsip kerja sama dan teori Sperber dan Wilson (1995) tentang enam fitur teori relevansi. Data penelitian ini terdiri atas informasi tentang strategi atau cara menarik inferensi pragmatik dalam sebuah percakapan dan jawaban responden terhadap kuesioner. Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis data kualitatif dan rnetode analisis pragmatik dengan menggunakan analisis fitur relevansi.
Dari analisis data penelitian ini diperoleh temuan bahwa strategi pemahaman implikatur percakapan pada lima jenis tindak tutur, yaitu 1) tindak tutur direktif, 2) tindak tutur komisif, 3) tindak tutur ekspresif, 4) tindak tutur representatif, dan 5)tindak tutur deklaratif, tidak menunjukkan perbedaan cara di dalam menarik inferensi pragmatik sebuah tuturan. Untuk dapat menarik implikasi pragmatik sebuah tuturan keenam fitur relevansi digunakan,yaitu 1) eksplikatur, 2) andaian dan simpulan implikatur, 3) sumber petutur, 4) pengungkapan makna, 5) aksesabilitas, dan 6) tuturan sementara. Kesalahan dalam menenrukan salah satu fitur relevansi tersebut akan berdampak pada kesulitan di dalam memahami implikasi pragmatik sebuah tuturan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa keterpahaman sebuah implikatur percakapan mensyaratkan kemampuan petutur untuk dapat mengidentifikasi keenam fitur relevansi tersebut dengan benar. Kegagalan di dalam memahami implikatur percakapan disebabkan kegagalan di dalam mengidentifikasi dan mendeskripsikan salah satu atau beberapa fitur. Adapun jenis fitur relevansi yang gagal diidentifikasi sangat bervariasi antara responden yang satu dengan responden lain. Responden gagal menginterpretasikan wacana humor yang ada karena salah di dalam 1) menangkap eksplikatur ujaran, 2) mengambil andaian dan simpulan implikatif, 3) mengembangkan kesan konteks ujaran, 4) memberikan pemaknaan yang tepat pada ujaran, atau 5) menentukan tuturan sementara yang dijadikan acuan dalam membuat simpulan.

Understanding a conversational implicature is more difficult than comprehending the explicit meaning of an utterance, especially humor discourses, which are rich of speaker's cultural background. The cultural difference between speaker and hearer creates an impact on revealing the understanding of implicit meaning.
The aims of this research are to explore and to describe a conversational implicature understanding, which appears as the result of cooperative principle violations. The explanation and description encompass the strategy of conversational implicature understandings and the causes of failure in understanding conversational implicature.
This qualitative research is based on Grice's (1975) theory of conversational implicature and cooperative principle and Sperber and Wilson's (1995) theory of relevance. The sources of data are the information of strategy or way of pragmatic inferring and the answer of respondents to questionnaires. Qualitative and pragmatic analyses using six features of relevance theory are conducted to analyze the data.
The findings of the research show that the strategies used in understanding conversational implicatures of the five speech acts, namely, 1) directive, 2) commissive, 3) expressive, 4) representative, and 5) declarative, aren't dissimilar in inferring pragmatic implications of utterances. To infer pragmatic implications, speaker applies simultaneously the six features of relevance, such as 1) explicature, 2) implicit premise and conclusion, 3) hearer's source, 4) meaning judgment, 5) accessibility, and 6) garden-path utterance. A mistake in determining one of the features of relevance causes difficulties in understanding the pragmatic implication of utterances.
The analysis shows that the comprehension of a conversational implicature requires the hearer's ability to identify six features of relevance. A failure in identification of one or some features causes a misunderstanding in comprehending the conversational implicatures. And the features that can't be identified by respondents vary among them. Respondents fail to interpret the humor discourses since they fail in 1) identifying the explicature of utterance, 2) determining the implicative premise and conclusion, 3) developing the contextual meaning of utterance, 4) giving the right meaning of the utterance, or 5) determining the garden-path of utterance as reference in interpreting the discourses.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T1227
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ngusman Abdul Manaf
"This study discusses the relationship between indirect speech act and politeness in directive speech act. To get the data, questioners with personal indormastion of respondents and nine directive speech acts which must be assessed by these Indonesian speakers in Jakarta are employed. The analysis shows that there is a positive correlation between the indiirectness of a dierctive speech act and the degree of politeness. The more indirect a directive speech act, the more polite it is. Neverthless, the correlation is not absolute. There are other parameters that determine the degree of politeness such as intonation, choice of words, and cultural values of the speakers."
University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2002
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mustakim
"Language Attitude Towards Indonesian New Words among College People in Jakarta. This study is focused on language attitude towards Indonesian new words among college people in Jakarta with respect to the acceptability of the new words. The data were collected by means of questioner as primary instrument and interview as secondary instrument. This research aims at describing language attitude among college people and the degree of acceptability of new words.
To achieve the aims, this research makes use two approaches: sociolinguistics and psycholinguistics approaches. The sociolinguistics approach--in this case language planning--is used in this research because this study is concerned with corpus planning that is the corpus of the Indonesian language. Corpus planning is part of language planning which deals with the development of language code in order to make language capable of being effectively and efficiently used to express various modem concepts. The psycholinguistics approach is used in this research because this study is concerned with language speakers' attitude, the field of social psychology.
This study reveals that college people in Jakarta tend to have a positive attitude towards Indonesian new words and its development. This attitude can be seen not only in its cognitive components, but also in its affective and cognitive component. This study also shows that this language attitude is highly correlated with the acceptability of Indonesian new words although the acceptability of Indonesian new words is also determined by the characteristics of the new words, i.e. clarity of meanings, economy of word forms, beauty of sounds, and usefulness. The characteristics of the new words are found to have correlation with the acceptability of new words. But the social variables, i.e. gender, job, education, age, and the first language of the respondents do not seem to contribute to the attitude towards, and acceptability of the new words."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sensuse, Dana Indra
"Bahasa lahir bersamaan dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Sebagai suatu alat untuk berkomunikasi, bahasa dapat mencerminkan berbagai aspek kehidupan suatu masyarakat. Suatu masyarakat yang telah maju selalu ditandai dengan pemakaian bahasanya yang luas, begitu juga sebaliknya, suatu bahasa yang banyak dipakai oleh masyarakat luas, merupakan bahasa dari suatu masyarakat yang telah maju. Sulit untuk menentukan mana yang terlebih dahuhi maju, masyarakatnya atau bahasanya. Tapi yang jelas, bagi penganut paham rasionalis, bahasa mencenninkan kemampuan daya nalar (Alwasilah, 1994).
Bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa yang banyak dipakai, karena jumlah penduduk bangsa Indonesia diperkirakan telah mencapai 180 juta jiwa. Bahasa Indonesia yang dipakai oleh banyak orang tersebut, berpotensi menjadi salah satu bahasa yang dipakai masyarakat internasional, seperti halnya bahasa Inggris. Dalam kenyataannya, harapan tersebut masih jauh dari kenyataan. Kemungkinan besar salah satu sebabnya adalah karena bahasa Indonesia itu dipergunakan di atas bahasa-bahasa daerah yang tersebar dari Sabang sanipai Merauke.
Sampai saat ini belum ada data yang pasti, berapa banyak bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Variasi bahasa dari suatu tempat ke tempat lain berkaitan erat dengan dimensi sosial maupun geografi. Variasi ini terlihat jelas antara masyarakat perkotaan dan pedesaan, perbedaan dalam umur, jenis kelamin, golongan, maupun identitas suku bangsa."
1995
LESA-25-Jan1995-33
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Wahyuning M. Irsyam
"ABSTRAK
Menjelang akhir abad XIX, Hindia Belanda mengalami proses perubahan sosial yang sangat cepat akibat penetrasi kapitalisme. Perkebunan besar, perubahan aturan tenaga kerja, dan penyewaan tanah dari petani merupakan ciri umum dari proses ini, yang mengubah sendi-sendi kehidupan masyarakat. Ekonomi komoditi menjadi dominan dan secara bertahap menggeser kegiatan ekonomi rakyat. Bagi pemilik modal asing, menanam modal di tanah jajahan bukan hanya memindahkan sebagian kekayaan di tanah jajahan. Dalam hal ini infrastruktur pendukung gerak modal menjadi elemen yang sangat penting.
Mendekati abad XX negara kolonial melakukan pembangunan secara besar-besaran: jalan raya, pelabuhan dan kantor-kantor dagang mulai dibangun, jaringan kereta api diperluas, bank-bank mulai tumbuh dan tentu saja ini akan berpengaruh pada dunia pendidikan dalam kaitan menyiapkan tenaga kerja yang akan menggerakkan semua perlengkapan yang tengah dibangun.
Penetrasi kapitalisme di Hindia Belanda membawa persoalan sosial yang laten, seperti adanya petani yang kehilangan tanah, konsentrasi alat-alat produksi di tangan tertentu, dan munculnya buruh upahan yang makin lama makin besar. Persoalan ini berkembang menjadi ketegangan di dalam masyarakat, dan pada abad XIX letupannya sudah bisa dilihat dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan petani di seluruh Jawa. Ini adalah reaksi spontan dari rakyat yang langsung merasakan akibat-akibat dari perubahan ini. Ciri utama dari pemberontakan petani tersebut adalah gagasan yang dikembangkan dalam pemberontakan seperti Ratu Adil, Messianisme, Nativisme dan Milenarisme. Gagasan ini tentunya memiliki sejarah yang panjang dan tetap hidup dalam kerangka berpikir masyarakat pada abad XIX. Dalam hal ini pemerintah kolonial yang dilengkapi dengan tentara modern dan peralatan represif lainnya di satu pihak selalu berhasil menumpas dan mempertahankan kekuasaannya, namun di lain pihak mereka membiarkan persoalan sosial yang laten tersebut terus berkembang.
Perkembangan kapitalisme selanjutnya terus menerus mengubah hubungan-hubungan sosial produksi, dan menghadirkan dunia modern di tanah jajahan. Hindia Belanda "secara resmi" terlibat dalam dunia internasional, di mana bukan hanya modal yang mendesak masuk, tetapi juga gagasan-gagasan tentang dunia dan kehidupan modern. Pengaruhnya langsung terlihat pada bumiputra terpelajar, terutama bagi mereka yang menguasai bahasa Belanda. Gagasan-gagasan modern mulai dapat dibaca di suratkabar, novel, dan barang cetakan lainnya, dan tak lama sesudahnya mapan sebagai bagian dari kehidupan intelektual di tanah jajahan.
Secara umum penelitian ini mencoba untuk mendeskripsikan dan menganalisa peranan dan kedudukan bahasa Melayu pada Masa Pergerakan. Bagaimana hubungan bahasa dan politik pada masa Pergerakan merupakan salah satu pertanyaan yang akan dicarikan jawabannya dalam penelitian ini. Pertanyaan-pertanyaan lain yang juga ingin dicarikan jawabannya adalah bagaimana mereka (baca orang-orang pergerakan) mendefinisikan persoalan yang mereka hadapi; bagaimana mereka mendefinisikan posisi mereka sendiri dalam menghadapi persoalan tersebut dan bagaimana sebenarnya mereka mengoperasikan gagasan-gagasan yang ada, dikaitkan dengan perkembangan politik pada waktu itu. Dengan kata lain bagaimana hubungan bahasa dan politik. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan, pertama untuk menjernihkan panggung politik pergerakan, yang di dalam penulisan sejarah yang ada masih sangat terbatas, dan menjadi sumber kekeliruan yang sangat besar. Penulisan sejarah pada umumnya hanya menguraikan secara rinci program dan ideologi tertentu dari sebuah organisasi dan mengamati perkembangannya secara mendalam, tapi kerap kali dilupakan bahwa penggolongan tokoh atau organisasi berdasarkan kesamaan atau perbedaan "ideologi" dan program seringkali sulit untuk dipertahankan karena dalam pengungkapan program dan ideologi, mereka berhadapan dengan bahasa yang bukan hanya sekedar alat penyampai gagasan tetapi juga sesuatu yang membatasi ruang gerak pemakainya. Hedua, untuk memperkaya kepustakaan tentang masa pergerakan nasional.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan hubungan antara bahasa dan politik di Indonesia pada awal abad 20. Dengan kata lain bagaimana sebenarnya orang-orang pergerakan mengoperasikan gagasannya melalui bahasa.
Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara. Metode yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah metode deskriptif analitis, dengan tekanan terhadap analisis perubahan, pergeseran, usaha pemurnian dan pertentangan bahasa yang sangat kompleks. Tekanannya tidak di letakkan pada untaian peristiwa sejarah (historical events) yang menceriterakan tokoh, organisasi atau peristiwa tertentu, tetapi lebih kepada analisis proses sejarah (historical process). Peristiwa maupun tokoh dengan demikian hanya disinggung sejauh benar-benar memberikan pengaruh yang mendalam terhadap proses 'sejarah tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa surat kabar merupakan senjata yang ampuh di kalangan pergerakan. Ungkapan pikiran yang berupa gagasan mereka tuangkan melalui suratkabar dengan menggunakan bahasa Melayu rendah. Bahasa Melayu rendah dengan cepat menyebar dalam dunia cetak mencetak dan menjadi bahasa yang umum dipakai di kalangan pergerakan, sebagai Bahasa Melayu Pergerakan. Melalui suratkabar, orang-orang pergerakan yang kini berpikir dalam kerangka "nasional" dapat berkomunikasi dengan "orang-orang senasib" yang tersebar di seluruh Hindia. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa buta huruf bukan merupakan hambatan bagi satu komunitas untuk terlibat dalam pembicaraan politik.

ABSTRACT
Role and Status Malay Language on the Nationalist MovementToward the end of the XIXth century, the Netherlands East Indies experienced a rapid process of social changes because of capitalist penetration. The penetration resulted in latent social problems. For example, peasants' who have lost their land. This problem then raised tensions in the society as peasants' rebellions throughout Java. The principle character of the rebellions generated is the ideas in rebellion such as Messianism, Nativism and Millenarism. The Development of capitalism continued to change the social relations of production and presented a modern world in the colonial territory. This means the capital and also ideas about modern world and life urged to penetrate. It directly influenced the educated natives, especially those who speak Dutch. Modern ideas could be read in newspapers, novels and other publications. In the early XXth century, the educated natives moved their modern ideas through publications in Malay language and also by founding the first native organizations in the colonial territory.
This research links the role and position of Malay language to politics during the movements. Anterior researches were directed more to certain figures or influences of certain ideas such as nationalism, Islam, socialism and Marxism. The problem is how the relation between language and politics, and how was it generated to express nationalist ideas.
The result of this research could clarify the platform of political movement which has been elaborated limitedly in previous historiography. These previous which pays poor attention to language becomes the biggest source of misunderstanding. The result of the research can also enrich the literature about the period of national movement.
In this research, language is not considered only as a certain sound system, which is static and has basic standard, but as something that always moves and determined generally by the development of the society. It is not situated in the exterior of the society such as reflected in the concept of "society of language user" but in inside of the society's joints that gives great influence toward its development. In that position, political life becomes dependent to language progress. The only way for modern ideas to penetrate in a certain society is through language.
The aim of the research is to describe the relation between language and politics in Indonesia during the first half of the XXth century. It can thus explain how the nationalists were using it to express and expand their ideas. Data will be collected through a study of bibliography and interviews. It will then be analyzed by special and contextual analysis, in other terms, external and internal critics. The next step is to make a report based on the data which have been analyzed through a process of historical method. The method used in the writing of the report is the analytical descriptive method with an analytical stress on changes shifts, of a very complex effort of refining and contradicting languages.
The research go to show newspaper as effective idea in the national movement. They expressed the idea in the 'Lower' Malay langguage. The 'Lower' Malay langguage spreader out very fast in the printing world and became the language used among national movement as Bahasa Melayu Pergerakan. Through newspaper, national movement who later have national thinking "can communicate with" the people who have the same fate that spreaded out in all over Netherlands Indies. The research also go to show that illiterate not become a barrier for a community to get involved in political communication."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Royani
"Penelitian ini bertujuan mengungkapkan interferensi bahasa Indonesia dalam penggunaan bahasa Arab melalui kesalahan dalam tulisan mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Bahasa Arab Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan Jurusan Terjemah Fakultas Adab dan Humaniora.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu menggunakan tes sebagai instrumen pengumpulan data, dan pendekatan kualitatif, yaitu menggunakan analisis kontrastif untuk menemukan persamaan dan perbedaan kongruensi kedua bahasa.
Di dalam telaah ini dibicarakan beberapa konsep yang mendasari analisis penelitian. Konsep-konsep itu mencakup pengertian kontak bahasa, interferensi, bahasa Arab di Indonesia, dan analisis kontrastif.
Melalui penelitian ini diketahui bahwa terdapat interferensi sintaktis Indonesia pada pemelajar Indonesia dalam kemampuan menulis dan menerjemahkan bahasa Arab. Dari 40 buah karangan dan 40 buah terjemahan, telah diidentifikasi sebanyak 107 kesalahan. Dari 107 kesalahan sintaksis, 30 adalah kesalahan kongruensi subjek-predikat, 15 adalah kesalahan kongruensi predikat-subjek, 2 adalah kesalahan kongruensi keterangan al-ha:l, 4 adalah kesalahan kongruensi pronomina-anteseden, 45 adalah kesalahan kongruensi induk-pewatas, 8 adalah kesalahan kongruensi pewatas-induk, dan 3 adalah kesalahan kongruensi hipotaksis. Dilihat dari jumlah kesalahan terbanyak adalah kesalahan kongruensi induk-pewatas (42%) pada tataran frasa dan kesalahan kongruensi subjek-predikat (28%) pada tataran kalimat.

This Research is aimed at disclosing Indonesia language interference in Arabic language based on the mistakes in the article, by the student of Arabic language major of the faculty of Tarbiyah and Teachers Training, and Translation majors of the faculty of Adab and Humanities, Syarif Hidayatullah of State Islamic University (UIN) Jakarta.
This Research uses quantitative approach, that is using test as data collecting instrument, and qualitative approach that is using contrastive analysis to find similarities and differences of both language congruence. In this study some concepts are analyzed including congeniality of language contact and interference, Arabic language in Indonesia, and contrastive analysis.
Through this research we will know that there is a syntax interference with Indonesian students in their ability to write and translate Arabic language. From 40 compositions and 40 translations, works 107 mistakes have been identified. From 107 mistakes of syntax, 30 are in subject-predicate congruence, 15 are in predicate-subject congruence, 2 are in modification congruence al-ha: l, 4 are in induk-pewatas congruence, 8 are in pewatas-induk congruence, and 3 are in hipotaxis congruence. Seen from the number of mistakes, most mistakes are in induk-pewatas congruence (42%) and in predicate-subject (28%).
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T11599
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>