Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 64482 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Salman Luthan
"Kebijakan legislatif tentang kriminalisasi dalam peraturan perundang-undangan meliputi tiga unsur, yaitu dasar pembenaran kriminalisasi, kepentingan hukum yang dilindungi dalam kriminalisasi, dan gradasi keseriusan tindak pidana. Untuk mengetahui fenomena ketiga unsur kriminalisasi tersebut diteliti 17 macam undang-undang, khususnya aspek tindak pidananya. Kepentingan hukum yang dilindungi dalam kriminalisasi adalah kepentingan pembangunan yang terdiri dari kepentingan pembangunan politik, ekonomi, kesejahteraan sosial dan SDM, lingkungan hidup, dan kepentingan pembangunan tata nilai sosial. Kepentingan hukum yang dilindungi tersebut lebih mencerminkan perlindungan kepentingan pemerintah daripada kepentingan masyarakat.
Dasar pembenaran kriminalisasi memiliki lima pola dasar pembenaran, yaitu peranan dan arti penting suatu hal bagi kehidupan manusia dan penyalahgunaan hal itu dapat mendatangkan kerugian kepada masyarakat, bangsa dan negara, merugikan kepentingan masyarakat dan/atau negara, bertentangan dengan norma agama, moral atau kesusilaan, kepatutan dan budaya bangsa, bertentangan dengan ideologi negara Pancasila dan UUD 1945, dan bertentangan dengan kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi, politik, keamanan, dan sosial budaya. Dasar pembenaran kriminalisasi tersebut mencermin tiga pendekatan, yaitu pendekatan kebijakan, pendekatan nilai, dan pendekatan ilmu pengetahuan.
Kebijakan legislatif menetapkan dua kriteria umum dan tujuh kriteria khusus gradasi keseriusan tindak pidana. Kedua kriteria umum tersebut adalah pembedaan tindak pidana dalam kejahatan dan pelanggaran dan perbedaan substantif perbuatan, sedangkan ketujuh kriteria khusus itu adalah pembedaan tindak pidana dalam kesengajaan dan kealpaan, perbedaan kualitas karya cipta, perbedaan kualitas zat bahan terlarang, perbedaan modus operandi pelaksanaan tindak pidana, perbedaan akibat hukum, perbedaan subjek hukum tindak pidana, dan perbedaan status kelembagaan. Kebijakan legislatif tentang kriminalisasi menunjukkan adanya tiga kelemahan, yaitu perbedaan gradasi keseriusan tindak pidana yang cukup tajam dalam satu rumpun delik, perumusan perbuatan yang berbeda kualitasnya dalam satu delik, dan perlindungan hukum yang berlebihan terhadap aparatur pemerintah."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T3931
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widarsono
"Perubahan UUD 1945 telah memberikan pada DPR kekuasaan legislasi yang lebih tegas dan bukan sekedar hak. Secara kelembagaan kekuasaan legislatif ada pada 2 (dua) lembaga yaitu Presiden dan DPR, sebelum perubahan UUD 1945 dinyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR. Setelah Perubahan UUD 1945 dinyatakan bahwa DPR membentuk Undang-Undang. Selanjutnya ditentukan secara terbalik bahwa Presiden diberikan hak untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR. Dengan demikian pemegang utama (primer) kekuasaan legislatif untuk membentuk undang-undang adalah DPR, sedangkan Presiden hanyalah pemegang kekuasaan sekunder. Disamping itu Pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR, berarti telah mengubah dari prinsip pembagian kekuasaan (distribution of powers) kepada prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) antara lembaga legislatif (DPR) dan eksekutif (Pemerintah).
Dengan adanya Perubahan UUD 1945 dibidang legislasi atau pembuatan undang-undang, dari sisi mekanisme (proses) tidak ada perubahan yang berarti hanya dipersingkatnya tahapan pembicaraan dari 4 tahap menjadi 2 tahap. Persoalan yang lebih ditonjolkan adalah penekanan terhadap kekuasaan legislatif DPR sehingga lembaga tersebut dapat bekerja secara optimal, khususnya dalam bidang Usul Inisiatif guna pembentukan Undang-Undang.
Dalam rangka mewujudkan optimalisasi kinerja DPR seperti yang diamanatkan konstitusi, kemudian memberdayakan lembaga Badan Legislasi DPR yang merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, disamping itu staf Ahli DPR yang merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, disamping itu staf Ahli DPR juga diperkuat. Persoalan selanjutnya yang dicermati adalah faktor pendukung dan penghambat pergeseran kekuasaan legislatif di DPR, ada beberapa faktor yang sebelumnya merupakan penghambat saat ini menjadi faktor pendukung, yaitu peraturan tata tertib DPR, dengan memberikan kelonggaran jumlah inisiator, jumlah fraksi dari usul inisiatif Rancangan Undang-Undang dan juga dipersingkatnya tahapan pembicaraan (UU No. 03ADPR-R /112001-2002). Hal ini tentu menjadi faktor pendukung, iklim politik juga mendukung untuk mendorong penggunaan usul inisiatif.
Persoalan yang masih menjadi penghambat adalah masalah anggaran untuk pembentukan Rancangan Undang-Undang. Hal ini karena minimnya sehingga menghambat ruang gerak dan optimalisasi kinerja DPR dalam bidang legislasi. Idealnya agar kekuasaan legislatif DPR lebih bermakna maka perlu sarana pendukung dan anggaran yang memadai, sehingga DPR dapat melaksanakan semua fungsi yang dimilikinya. Apalagi setelah lembaga perwakilan menganut sistem bikameral (adanya DPR dan DPD) persoalan pembentukan Undang-Undang tentu menjadi lebih rumit."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T9748
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aos Kuswandi
"Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai pelaksanaan fungsi legislatif dalam proses perumusan Peraturan Daerah Tentang APBD Tahun 2000 yang dilakukan oleh DPRD Kota Bekasi. Pertanyaan tesis adalah: Bagaimanakah DPRD Kota Bekasi melaksanakan fungsi legislatif dalam perumusan peraturan daerah tentang APBD tahun 2000?
Variabel dalam penelitian ini adalah: variabel pengaruh, yaitu: faktor internal DPRD, afiliasi anggota DPRD, pola hubungan anggota DPRD dengan konstituen, dan pola hubungan DPRD dengan eksekutif; sedangkan variabel terpengaruh adalah pelaksanaan fungsi legislatif DPRD Kota Bekasi dalam perumusan peraturan daerah tentang APBD tahun 2000.
Teori yang digunakan adalah teori perumusan kebijakan dan perwakilan politik. Sudut pandang studi ini, adalah: perspektif yang melibatkan proses perumusan peraturan daerah tentang APBD sebagai aktivitas politik yang dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai rangkaian tahapan yang saling bergantung. Jenis penelitian ini bersifat kualitatif. Data dikumpulkan melalui wawancara dan studi kepustakaan. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi dari anggota DPRD Kota Bekasi, Aparat Pemerintah Kota Bekasi, LSM dan Akademisi di lingkungan Kota Bekasi. Informasi diperoleh dari informan melalui prosedur wawancara tidak berstruktur. Sedangkan studi kepustakaan dari sumber-sumber berupa buku-buku, surat kabar, maupun dokumen-dokumen tertulis lainnya.
Kesimpulan yang diperoleh: Perumusan Peraturan Daerah tentang APBD Tahun 2000 di Kota Bekasi sebagai suatu tindakan politik ternyata didalamnya cenderung tidak terjadi proses komunikasi yang optimal antara DPRD, eksekutif dan masyarakat. Keadaan ini memposisikan DPRD sebagai mitra kerja (co-equal partner) eksekutif menjadi lemah. Tidak dimilikinya pengetahuan dan pengalaman yang cukup mengakibatkan terbatasnya kemampuan dan menimbulkan rasa tidak percaya diri anggota DPRD dalam merumuskan kebijakan. Pola hubungan DPRD dengan konstituennya lemah sementara komunikasi dengan eksekutif dilakukan secara formal. Keadaan tersebut mengakibatkan belum terlaksananya fungsi legislatif oleh DPRD Kota Bekasi secara optimal karena APBD yang ditetapkan cenderung lebih berorientasi kepada eksekutif dibandingkan dengan masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T3577
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Medi Iskandar Zulkarnaen
"Kebijakan legislatif tentang kriminalisasi dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dilakukan berdasarkan alasan/pertimbangan bahwa perbuatan pencemaran/perusakan lingkungan hidup bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan, bertentangan dengan nilai-nilai pancasila dan UUD 1945 dan sebagai alat kebijakan pemerintah yang khususnya bertujuan untuk mengamankan dan mempertahankan kebijakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Kepentingan hukum yang dilindungi dalam kriminalisasi ini adalah kepentingan pelestarian lingkungan hidup, perlindungan terhadap kesehatan umum dan nyawa manusia. Melalui kriminalisasi di bidang lingkungan hidup ini, semua perbuatan yang menyebabkan atau dapat menyebabkan pencemaran/ lingkungan hidup diancam dengan sanksi pidana. Namun berdasarkan pertimbangan bahwa hukum lingkungan sebagian besar merupakan ketentuan hukum administrasi, hukum pidana/sanksi pidana dijadikan sebagai penunjang hukum administrasi dalam arti hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat. Kurangnya penjelasan mengenai bagaimana penerapan asas subsidiaritas dalam konteks penegakan hukum lingkungan, menyebabkan timbulnya berbagai silang pendapat tentang sanksi yang mana yang seharusnya diterapkan terlebih dahulu dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pidana dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997.

The legislative policy about criminalization in Law Statue No 23/1997 about environment conservation, applied based a reason every activity that could pollution and destroy environment is not suitable with religion, Pancasila and UUD 1945 values and as media for government policy, especially for saving and defending development policy based on life environment orientation. Law tendencies that covered in this criminalization is for existence of environmental, protecting public health and human being. Trough criminalization in environmental, every activity that caused or potentially caused pollution of environmental could be punishing by crime law. But according to perspective that almost of environment law is administration law, crime law could give contribution toward administration law, in a meaning that crime law must be enforcement in another legal subject. Such as administration sanction and reconciliation of environment conflict is ineffectively and level of crime activity and it could cause a horror of public. Less explanation about applied sub siderite aspect in legal enforcement context caused many miss understanding about sanction that should be applied firstly, in facing many criminalities as mentioned in Law Statue No 23/1997."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26064
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmanda Primayuda
"DPR RI sebagai kekuasaan legislatif mengemban fungsi untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Kondisi ini disusun dengan sistematis oleh anggaran yang memadai dan organ yang mendukungnya. Badan Urusan Rumah Tangga merupakan alat kelengkapan dewan yang bertanggung jawab menjamin fungsifungsi dewan tersebut berjalan dengan merencanakan dan mengontrol anggaran yang ditetapkan. Keduanya, diatur dalam arah kebijakan umum pengelolaan anggaran (AKUPA). BURT mengatur tentang pembentukan keputusan arah kebijakan umum pengelolaan anggaran dan memastikan pelaksanaannya berjalan sesuai dengan keputusan tersebut, sehingga apabila terjadi ketidaksesuaian perencanaan dan pelaksanaan perlu adanya instrumen yang menyelesaikan perbedaan tersebut guna tercapainya kemanfaatan dan kesejahteraan rakyat. Dengan perbedaan perencanaan dan implementasi tersebut, timbul permasalahan, 1. Bagaimanakah kedudukan dan fungsi Badan Urusan Rumah Tangga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia di Indonesia, 2. Bagainakah implementasi pelaksanaan fungsi Badan Urusan Rumah Tangga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Penulis dalam melakukan penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu dengan mengidentifikasi beberapa teori yakni teori organ dan fungsi, teori dikotomi, green light theory dan teori kemanfaatan hukum. BURT sebagai organ penting untuk melancarkan dan mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi dewan melalui keputusan AKUPA untuk diimplementasikan oleh alat kelengkapan dewan, koordinasi diantara alat kelengkapan dewan menjadi tolak ukur untuk mewujudkan fungsi DPR RI. Adanya inkonsistensi pelaksanaan tugas dan fungsi BURT menyebabkan tidak tercapainya tujuan utama DPR RI untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, penyimpangan terhadap implementasi arah kebijakan umum pengelolaan anggaran menjadi masalah karena fungsi DPR RI tidak berjalan maksimal, sehingga BURT perlu membuat pengaturan yang baku terhadap pembentukan arah kebijakan umum pengelolaan anggaran yang pada hakikatnya dibutuhkan oleh dewan dalam menjalankan fungsi-fungsinya tersebut. Dengan demikian, tidak terjadi inkonsistensi antara perencanaan dan implementasi AKUPA.

The Indonesian House of Representatives (DPR RI) as legislative power has a function to guarantee the welfare of the people. This condition is systematically arranged by adequate budget and the organ that supports it. The Household Affairs Council is a board tool that is responsible for ensuring that the council functions are running by planning and controlling the established budget. Both are regulated in the general budget management policy direction (AKUPA). BURT regulates the formation of decisions on the general policy direction financial arragement and ensures that its implementation proceeds accordingly, so that if there is a mismatch in planning and implementation there is a need for instruments to resolve the differences in order to achieve the benefits and welfare of the people. With the difference of planning and implementation, problems arise, 1. What is the position and function of the Committe for Internal Affairs of the Indonesia House of Representatives in Indonesia, 2. What is the implementation of the function of the Committe for Internal Affairs of the Indonesia House of Representatives. The author in conducting this research using normative juridical research methods, namely by identifying several theories namely organ theory and function, dichotomy theory, green light theory and theory of legal benefit. BURT as an important organ to smooth and support the implementation of the duties and functions of the council through the decision of AKUPA to be implemented by the board's equipments, the coordination between the board's fittings becomes the benchmark to realize the function of DPR RI. The existence of inconsistencies in the execution of duties and functions of BURT caused the absence of the main objectives of the House of Representatives to realize the welfare of the people, the deviation from the implementation of the general policy direction of budget management becomes a problem because the function of DPR RI is not running maximally, therefore BURT needs to make standard arrangements towards the establishment of general management policy a budget that is essentially required by the board in carrying out its functions. Thus, there is no inconsistency between the planning and implementation of AKUPA.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T49030
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Collection of 1992-2002 general assemblies and annual session of the Indonesian People's Consultative Assembly on the process of amendments to Indonesian 1945 Constitution concerning legislative bodies."
Jakarta : State Secretariat of Republic of Indonesia, 2009
328.014 IND k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jimly Asshiddiqie, 1956-
Yogyakarta: UII, 2005
328.014 JIM f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Kurnia
"ABSTRAK
Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundang-undangan (Constitutional Review)
dapat diuji melalui mekanisme uji materil di Mahkamah Konstitusi (judicial
review), di Dewan Perwakilan Rakyat (legislative review), dan oleh Eksekutif
(excecutive review). Untuk uji materil undang-undang dapat melalui 2 (dua)
mekanisme yakni melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi dan legislative
review di DPR meskipun hasilnya berbeda. Apabila Mahkamah Konstitusi
membatalkan norma sedangkan DPR menggantikan norma. Akhir-akhir ini ada
warga negara apabila ingin mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi
disarankan untuk ke DPR karena bukan wewenang Mahkamah
Konstitusi.Legislative review yang dilakukan dalam kapasitas sebagai lembaga
yang membentuk dan membahas serta menyetujui undang-undang. Bagi lembaga
yang menjalankan fungsi legislasi dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dan presiden serta DPD (untuk Undang-undang tertentu) untuk menjadi masukan
yang bermanfaat untuk meningkatkan kinerja dan memperkuat fungsi legislasi.
Untuk itu kedudukan legislative review oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
merupakan mekanisme uji konstitusionalitas undang-undang untuk menerima uji
konstitusionalitas undang-undang terhadap terhadap Undang-Undang Dasar yang
diajukan oleh masyarakat. Checks and balances dalam pembentukan undangundang
sangat penting sebagai bagian dari pelaksanaan tugas wakil rakyat dan
peran DPR dalam pembentukan undang-undang merupakan sebagai bentuk
pertanggungjawaban kepada konstituen atau rakyat yang memilih.

ABSTRACT
Review the Constitutionality of Legislation (Constitutional Review) can be tested
through a mechanism of judicial review in the Constitutional Court (judicial
review), in the House of Representatives (legislative), and by the Executive
(excecutive review). For judicial legislation can in 2 (two) through the mechanism
of judicial review in the Constitutional Court and legislative review in the House
of Representatives although the results are different. If the Constitutional Court
annulled the norm while the House replace the norm. Lately there if citizens want
to file a judicial review to the Constitutional Court suggested to the House
because it was not authorized to Konstitusi.Legislative Court review done in the
capacity of institutions that make and review and approve legislation. For those
institutions that perform the function of legislation in this House of
Representatives (DPR) and the president and DPD (for specific legislation) to be a
useful input to improve performance and strengthen the legislative function. For
the position of legislative review by the House of Representatives (DPR) is a
testing mechanism constitutionality of laws to accept constitutionality of laws
against the Constitution proposed by the community. Checks and balances in the
legislation are very important as part of the implementation of the tasks and role
of the people's representatives in Parliament is law making as a form of
accountability to constituents or the people who choose."
2013
T35424
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Widyaningsih
"Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan adanya fakta hukum mengenai Tap MPR yang saat ini masih berlaku sebagai produk hukum dari MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sedangkan tata urutan peraturan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun tidak memasukkan Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan. Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Kewenangan apa saja yang dimiliki MPR Pasca Perubahan UUD'45?
2. Bagaimana eksistensi Tap MPR Pasca Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam hierarki perundang-undangan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan sebelumnya, ada dua tujuan penelitian ini yang dimaksudkan untuk lebih menjelaskan dan mengemukakan tinjauan dari segi hukum administrasi negara, adalah:
1. meneliti dan menganalisis kewenangan yang dimiliki MPR Pasca Perubahan UUD'45.
2. meneliti dan menganalisis eksistensi Tap MPR pasca perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam hierarki perundang-undangan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18233
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>