Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148771 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rini Budi Utami
"ABSTRAK
Keberhasilan pelaksanaan program pembangunan dipengaruhi oleh manusia. Hardjasoemantri dalam "Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (1986)" berpendapat bahwa kunci berhasilnya program pembangunan di bidang lingkungan hidup ada di tangan manusia dan masyarakat. Karena itu sangatlah penting untuk menumbuhkan pengertian, motivasi dan penghayatan di kalangan masyarakat untuk berperanserta dalam mengembangkan lingkungan hidup. Kesadaran masyarakat merupakan landasan motivasi untuk berperanserta dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Salim (1987:12) berpendapat bahwa keberhasilan pembangunan akan dapat dicapai apabila penduduk telah memiliki sikap yang mantap terhadap keselarasan lingkungan.
Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah, Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Surakarta telah menetapkan program pembangunan yang diberi nama Program Solo Berseri yaitu suatu upaya untuk mewujudkan kota Solo yang bersih, sehat, rapi dan indah. Untuk dapat mencapai keberhasilan program tersebut diperlukan adanya suatu usaha agar perilaku dan kesadaran masyarakat terhadap Program Berseri membudaya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya kesadaran masyarakat akan Program Berseri diharapkan masyarakat dapat berperanserta dalam keberhasilan Program Berseri.
Dari hasil penelaahan pustaka dan pengamatan disimpulkan bahwa kesadaran masyarakat dalam mengelola lingkungan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri masyarakat tersebut, di mana penulis batasi meliputi lama tinggal, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan kelembagaan sosial. Adapun faktor eksternal adalah faktor dari luar diri masyarakat, yaitu peranan pemerintah dalam penyuluhan program dan penyediaan sarana kebersihan. Interaksi dari faktor-faktor tersebut akan melahirkan kesadaran masyarakat untuk melakukan penghijauan/tamanisasi, membayar retribusi kebersihan, mengelola sampah rumah tangga, menjaga kebersihan lingkungan dan berpartisipasi dalam penyuluhan program Solo Berseri, sehingga program Solo Berseri dapat berhasil.
Atas dasar hal tersebut disusun hipotesis yaitu:
1. Semakin lama masyarakat tinggal akan semakin tinggi tingkat kesadarannya dalam melaksanakan program Solo Berseri;
2. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat akan semakin tinggi tingkat kesadarannya;
3. Semakin tinggi pendapatan masyarakat akan semakin tinggi tingkat kesadarannya;
4. Semakin besar keterlibatan masyarakat dalam kelembagaan sosial akan semakin tinggi tingkat kesadarannya;
5. Semakin intensif penyuluhan program Berseri yang diberikan oleh Pemerintah -Daerah akan semakin tinggi tingkat kesadarannya;
6. Semakin memadai penyediaan sarana kebersihan akan semakin tinggi tingkat kesadarannya.
Untuk membuktikan hipotesis di atas, dilakukan pengumpulan data primer dengan menggunakan daftar pertanyaan tentang keenam faktor yang penulis anggap mempengaruhi tingkat kesadaran masyarakat dan tentang pelaksanaan program Solo Berseri. Lokasi pengambilan sampel ditetapkan secara multi-stage dari tingkat kecamatan hingga tingkat RW, kemudian dari masing-masing RW yang terpilih mewakili populasi ditentukan respondennya secara proporsional, dan terpilih 130 responden dari empat RW yang terpilih.
Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh antara variabel independen dengan vaxiabel dependen digunakan rumus koefisien korelasi Spearman yang dihitung melalui program SPSS for MS Windows Release 6.0, serta untuk mengetahui besarnya pengaruh digunakan uji koefisien determinasi. Berdasarkan uji dimaksud, maka disimpulkan sebagai berikut:
(1) Terdapat tiga variabel penelitian yang mempengaruhi kesadaran masyarakat dalam keberhasilanprogram Berseri, yaitu:
a. Variabel lama tinggal, di mana besarnya koefisien korelasi Spearman 0,4539 pada taraf signifikan 0,000 dengan kontribusi 20,60%;
b. Variabel penyuluhan program Berseri, dengan koefisien korelasi Spearman 0,2567 padataraf signifikan 0,003 dan kontribusi variabel ini terhadap kesadaran masyarakatsebesar 5,28%;
c. Variabel penyediaan sarana kebersihan, koefisien korelasi Spearmannya 0,2295 pada taraf signifikan 0,009 serta kontribusinya sebesar 6,59%;
(2) Jika dilihat dari besarnya persentase tiap-tiap kategori untuk ketiga faktor yang mempengaruhi kesadaran masyarakat tersebut di atas, maka terbukti bahwa:
a. Semakin lama masyarakat tinggal, semakin tinggi tingkat kesadarannya dalam melaksanakan program Berseri;
b. Semakin intensif penyuluhan program Berseri yang diberikan oleh Pemerintah Daerah, semakin tinggi tingkat kesadarannya;
c. Semakin memadai penyediaan sarana kebersihan, semakin tinggi tingkat kesadarannya.
(3) Upaya-upaya yang telah dilakukan Pemda Kodya Surakarta diantaranya adalah:
a. Penyediaan tempat pembuangan sampah akhir (TPA) seluas 17 Ha di Putri Campo;
b. Penyediaan angkutan sampah yang memadai;
c. Penyediaan tenaga kebersihan sampah dan penyuluh kebersihan yang mencukupi;
d. Pemasangan tanda-tanda peringatan tentang kebersihan kota;
e. Adanya petugas pengawas kebersihan kota;
f. Melakukan pendekatan kepada masyarakat secara terus-menerus;
g. Memberi subsidi dana kebersihan, dan
h. Mengaktifkan peranserta masyarakat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 130 responden yang kesadaran masyarakatnya tinggi sebesar 39,20%, yang cukup tinggi sebesar 43,10% dan yang rendah sebesar 17,70%.

ABSTRACT
The key of successful development programmed on environment is in the hands of the people and the community So it is very important to develop understanding, motivation and comprehension of the community to participate in environmental development (Hardjasoemantri, 1986:19). Community awareness is the foundation of motivation for participation in environmental management. Salim (1987:12) stated that the success of development can be achieved if the community have a consistent attitude toward the harmony of environment.
To implement environmental management in the area, the Municipal Government of Surakarta has launched the development programmed called "Berseri Programmed", an effort toward the realization of Solo to become a clean, healthy, tidy and beautiful city. In order to render this development programmed successful, efforts are needed to make the behavior and community awareness for Berseri Programmed into a way of life. And with this community awareness for Berseri Programmed, the community can participate in the success of Berseri Programmed.
The results of the literature study and observation conclude that community awareness in environmental management is influenced by two factors, namely, internal and external factors. Internal factors are factors in the community itself. Those factors are: duration of stay, level of education, level of income and social institutions. External factors are factors outside of the community. Those factors are: the role of the government, the role in dissemination of the programmed and availability of cleanliness utilities. Interactions of two factors will reveal community awareness to provide green landscapes, pay the cleanliness retribution, manage the domestic waste properly, keep the environmental cleanliness and participate in the education program of Berseri Programmed. In so doing the Berseri Programmed will definitely be successful.
Based on the above facts, the hypotheses are formulated as follows:
1) The longer the duration of stay in Solo, the higher the level of community awareness will be achieved to implement the Berseri Programmed;
2) The higher the level of education, the higher the level of community awareness will be;
3) The higher the level of income, the higher the level of community awareness will be;
4) The more intensive to take part in social institution, the higher the level of community awareness;
5) The more intensive the information dissemination of Berseri Programmed carried out by the Regional Government, the higher the level of community awareness;
6) The more adequate the availability of cleanliness utilities, the higher the level of community awareness.
To prove the above hypotheses, primary data collection was conducted, by way of interviews using structured questionnaires on Six factors that was assumed to have influence on the level of community awareness and on the implementation of Berseri Programmed. Sample locations were taken by multi-stage method commencing at the Kecamatan/sub district level down to the RW level.
Thence, from the proportionally selected four RW, some 130 respondents were selected.
To test the presence of influence of dependent and independent variables, statistical tests were applied using Spearman correlation coefficient with SPSS Programmed for MS Windows Release 6.0; while determination coefficient test was also conducted to measure the degree of influence between the two variables. The test results disclosed that:
(1) There are three study variables which influenced community awareness in the success of Berseri Programme, namely:
a. The duration of stay variable where the magnitude of Spearman correlation coefficient is 0.4539 at the significant level of 0.000, with 20.60% contribution;
b. The information dissemination of Berseri Program variable, with Spearman correlation coefficient 0.2567 at the significan Of 0.003 and this variable contribution to community awareness 5.28%;
c. The availabality of cleanliness utilities variable, Spearman correlation coefficient is 0.2295 at the significan level of 0.009 and its contribution 6.59%
(2) If the percentage of each category of the three factors which influenced community awareness as indicated above is observed, hence, it is proven that:
a. The longer the duration of stay, the higher the level of community awareness will be achieved to implement the Berseri Programme;
b. The more intensive dissemination of Berseri Programme carried out by the Regional Government, the higher the level of community awareness will be;
c. The more adequate availability of cleanliness utilities, the higher the level of community awareness will be.
(3) Efforts already carried out by The Regional Government of Surakarta include:
a. Provision of final waste disposal site of 17 Ha in Putri Cempo;
b. Provision of adequate waste transportation;
c. Provision of waste cleanliness personil and sufficient cleanliness health educaters;
d. Placement of warning signs on city clean liness;
e. The present of city cleanliness supervisor;
f. Implementation of continuous approaches toward the community;
g. Provision of subsidy of cleanliness fund;
h. Activition of community partisipation.
The study disclosed that out of 130 respondents 39.20% are of good level community awareness, 43.10% are of moderate level and 17.70% are of poor level community awareness.
References : 30 (1977-1997)
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Slamet Widodo
"Ringkasan
Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang peranserta masyarakat dalam Pelaksanaan Program Kebersihan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Tujuan penelitian adalah identifikasi tingkat peranserta masyarakat terhadap pelaksanaan program Kebersihan dan identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat peranserta itu, adanya perbedaan tingkat peranserta antara warga masyarakat di lingkungan wilayah Kotamadya Surakarta.
Peranserta masyarakat dalam Pelaksanaan Program Kebersihan kegiatan-kegiatan kebersihan. Untuk mengukur tingkat peranserta masyarakat terhadap program kebersihan ditetapkan indikator-indikator berikut menghadiri rapat/pertemuan, memberikan gagasan, memberikan dukungan, memberikan sumbangan barang, uang, melaksanakan pengangkutan sampah, melaksanakan perbaikan saluran air dan melaksanakan instruksi Walikotamadya. Sedang faktor-faktor yang mempengaruhi peranserta adalah bantuan fasilitas kerja, bimbingan/penyuluhan, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, keadaan lingkungan pemukiman, koordinasi pemerintah daerah, serta pandangan dan sikap masyarakat.
Penelitian ini dilakukan pada 10 kelurahan, dipilih secara acak di lima wilayah kecamatan di Kotamadya Dati II Surakarta Jawa Tengah. Dari masing-masing kecamatan diambil 15 responden sehingga keseluruhan responden ada 75 orang.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa 65,33 persen tingkat peranserta masyarakat tinggi, sedang 34,6 persen lainnya rendah/sangat rendah. Hal ini tentunya ada hubungannya dengan kesempatan, kemampuan dan kemauan masyarakat untuk berperanserta.
Penelitian ini diarahkan untuk mendeteksi sejumlah faktor yang memberi peluang bagi terciptanya kesempatan, kemampuan serta kemauan masyarakat untuk berperanserta. Faktor yang ada hubungannya dengan kesempatan masyarakat untuk berperanserta adalah bantuan fasilitas kerja, sedangkan faktor-faktor kemampuan adalah bimbingan/penyuluhan, pendidikan dan pendapatan. Adapun faktor-faktor yang ada hubungannya dengan kemauan masyarakat untuk berperanserta adalah keadaan lingkungan pemukiman, koordinasi pemerintah daerah, pandangan dan sikap masyarakat terhadap program kebersihan.
Faktor yang ada hubungan dengan kesempatan masyarakat untuk berperanserta, seperti Bantuan fasilitas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara yang mendapat bantuan fasilitas kerja, banyak sekali, banyak, kurang dan kurang sekali terhadap tingkat peranserta masyarakat dalam program kebersihan. Hal ini mungkin disebabkan karena warga masyarakat yang kurang/kurang sekali mendapat bantuan fasilitas kerja tidak mempunyai kesempatan yang sama dengan warga masyarakat yang banyak mendapat bantuan fasilitas kerja dalam mengikuti kegiatan kebersihan terutama kegiatan yang membutuhkan fasilitas kerja yang dibebankan kepada warga masyarakat.
Ada tiga faktor yang diteliti dalam hubungannya dengan kemampuan masyarakat yaitu Bimbingan/penyuluhan, pendidikan dan pendapatan. Terdapat korelasi positip antara warga masyarakat yang memperoleh bimbingan/penyuluhan sangat intensif, intensif dan kurang intensif terhadap tingkat peranserta masyarakat dalam kegiatan kebersihan. Adanya pemahaman akan manfaat program kebersihan mengakibatkan peranserta yang tinggi, sebaliknya kurang intensifnya bimbingan/penyuluhan akan sulit bagi warga masyarakat memahami dan menganalisa tujuan kegiatan kebersihan, sehingga ia akan bertindak ragu-ragu dalam berperanserta terhadap kegiatan kebersihan.
Faktor Pendidikan dan pendapatan tidak nyata pengaruhnya terhadap tingkat peranserta masyarakat dalam uji statistik korelasi Spearman. Hal ini mungkin dikarenakan adanya kesamaan latar belakang sosial budaya, sehingga power atau kekuasaan resmi yang berasal dari pemerintah akan sangat berpengaruh sekali terhadap setiap warganya.
Faktor yang mempengaruhi kemauan masyarakat berperanserta adalah keadaan lingkungan pemukiman, koordinasi pemerintah daerah, tanggapan dan sikap masyarakat terhadap program kebersihan.
Keadaan lingkungan pemukiman yang diduga berpengaruh terhadap tingkat peranserta masyarakat, tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara keadaan lingkungan pemukiman baik, cukup, kurang. Hal ini mungkin disebabkan warga masyarakat berorientasi pada kepentingan pribadi dan status seseorang yang pada kenyataan mereka ini kurang berperanan dalam kegiatan kebersihan.
Terdapat korelasi positif antara koordinasi pemerintah daerah dengan tingkat peranserta masyarakat dalam program kebersihan, hal ini dikarenakan power atau kekuasaan resmi yang berasal dari pemerintah akan sangat berpengaruh sekali terhadap kegiatan masyarakat, nilai hormat dan rukun dalam kehidupan sehari-hari yang memungkinkan mereka mau bertenggang rasa terhadap pendapat, anjuran maupun ajakan pemerintah Daerah untuk melaksanakan kegiatan kebersihan.
Demikian juga pada pandangan dan sikap masyarakat terdapat hubungan yang positif dengan tingkat peranserta masyarakat. Terdapat perbedaan yang nyata antara warga masyarakat yang bersikap sangat membantu, membantu dan acuh tak acuh terhadap peranserta dalam program kebersihan.
Tingkat peranserta masyarakat dalam kegiatan kebersihan dipengaruhi secara nyata oleh faktor-faktor Bantuan fasilitas kerja yang diberikan oleh pemerintah, koordinasi dari pemerintah daerah, pandangan dan sikap masyarakat terhadap program kebersihan dan bimbingan/penyuluhan yang diberikan oleh pemerintah terutama oleh pejabat dan petugas yang berhubungan langsung dengan pengelolaan kebersihan, sedangkan tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan keadaan lingkungan pemukiman tidak terdapat hubungan dengan tingkat peranserta masyarakat terhadap pelaksanaan program kebersihan, namun masih banyak faktor-faktor lain diluar tingkat peranserta yang berpengaruh terhadap keberhasilan program kebersihan di Kotamadya Surakarta.

Summary
This thesis is a result of research about community participation in the implementation of cleanliness program and factors that affect it.
The objectives of this research are to identify level of community participation in the implementation of the cleanliness program and to identify factors that affect level of that participation and difference of participation level among community in the Regency of Surakarta.
Community participation in the implementation of cleanliness program means community involvement in 'the cleanliness activity. These are indicators used to measure level of participation among the members of community in the implementation of the cleanliness program: giving ideas, giving supports, giving material and financial supports, doing sanitary renovation, and obeying the government's instructions. Factors that affect participation are support for working facilities, coordination?s among the government's organ, perception and attitude of members of community, guidance / counseling, level of income, level of education and human settlement environment.
This research is conducted in 10 kelurahan (villages); samples are collected by randomness in five districts (kecamatan) in the Surakarta Regency, Central Java. There is ten villages (kelurahan) chosen among five districts (kecamatan). Fifteen samples are put in each district. Totally, there are 75 samples.
The result of the research shows that 65,33 percent of the respondents have high level of participation, while 34,6 percent of them shows law level of participation. This is certainly related to opportunity, ability, and the will of the community to participate.
This research is intended to identity factors that give probability for creating opportunity, ability and also the will of the members of the community to participate. Factor related to opportunity for participation is supports for work facilities, while the factors related to ability are guidance / counseling, education and income. The factors that have relation to the will of community to participate are the settlement environment, coordination among the organs of the government, the perception and attitude of community of, and toward, the cleanliness program. Factor that has relation to people's opportunity to participate, like supports for work facilities shows that there are significant differences among the people in getting work facilities. The greater the facilities they get, the higher the level of participation they have in the cleanliness program.
There are three factors studied here that are related to community ability, namely guidance / counseling, education and income. There is a positive correlation between the people who get very intensive, intensive and less intensive in guidance / counseling to level of community participation in the cleanliness program activities.
Understanding of cleanliness program utilities causes high participation, on the other hand the lack of guidance / counseling causes to the difficulty in understanding and in analyzing the aims of the cleanliness activity, so they will act doubly in participating in the cleanliness activity.
Education and income factors don't have significant effect on level of community participation, according to statistical evaluation in Spearman Correlation. This is, maybe, caused by the similarity in socio-cultural backgrounds, 50 the power or legal authority of the government will have very significant affect on every people.
The factors that affect the will of the community to participate are human settlement environment, coordination among the government's organs, perception and attitude of community of, and toward, the cleanliness program.
Human settlement environment which is predicted has an effect on level of community participation doesn't show a significant effect between good, enough and less in human settlement environments. Probably this is caused by orientation among individuals in the community to their own interests and statuses. Accordingly, they show less attention to the cleanliness program.
There is a positive correlation between coordination among the government's organs and the level of community participation in cleanliness program. Consequently, the power or legal authority of the government has very significant effect on community activity, appreciation to values and friendship in daily life style, which enable them to be ready to appreciate public opinions, advice and instructions from the Regency government to do cleanliness activity.
Similarly, there is positive correlation between perception and attitude of the community of, and toward, cleanliness and their level of participation. In other words, those with positive perception and attitude show more participation in the cleanliness program.
Level of community participation in the cleanliness activity is significantly affected by such factors as supports for working facilities, which are given by the government, and coordination among the government?s organs, perception and attitude of community to the cleanliness program, and guidance / counseling which are given by the government, especially by bureaucrats and officials who have direct relation with cleanliness management. On the other hand, level of income, level of education and human settlement environment don't have relation to level of community participation in the implementation of the cleanliness program, but there are still other factors out of level of participation that influence the success of the cleanliness program in the Surakarta Regency.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herliana Dewi
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang desain penerapan Sistem Manajemen Lingkungan (SML) berbasis standar ISO 14001 pada sektor jasa laboratorium. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pusat SUCOFINDO yang akan menerapkan SML. Pendekatan penelitian yang dilakukan adalah bersifat kualitatif dengan menggunakan metode survei, studi literatur dan observasi lapangan. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masih minimnya sektor jasa laboratorium dalam menerapkan dan mendapatkan sertifikat SML ISO 14001. Oleh karena itu perlu desain yang tepat untuk membangun SML di laboratorium. Desain SML yang akan dibangun di Laboratorium Pusat SUCOFINDO yaitu mempertimbangkan masukan dari hasil analisis kendala penerapan dan pemahaman tenaga kerja terkait manfaat sertifikasi SML. Hasil keluaran dari penelitian ini adalah desain integrasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang telah diterapkan terlebih dahulu dengan Sistem Manajemen Lingkungan (SML) yang akan direncanakan di Laboratorium Pusat SUCOFINDO, desain tersebut dinamakan Sistem Manajemen Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lingkungan (SMK3L). Keluaran lainnya dari penelitian ini adalah desain program monitoring dan rencana strategi aplikasi desain SMK3L berbasis SML ISO 14001.
Berdasarkan survei dari karyawan Laboratorium Pusat SUCOFINDO kendala utama penerapan SML adalah 1) kurangnya pengetahuan dan pengalaman di dalam penanganan lingkungan sebesar 59%, 2) belum adanya pelatihan berkaitan dengan SML sebesar 69%, 3) kendala penetapan tugas dan tanggung jawab terhadap setiap personil sebesar 64%. Pemahaman karyawan terkait manfaat utama sertifikasi SML diperoleh 81% menyatakan setuju bahwa penerapan sertifikasi SML mempunyai banyak manfaat. Pemahaman karyawan terhadap manfaat sertifikasi yang paling utama adalah 1) meningkatkan tingkat jaminan terhadap kesehatan dan keselamatan tenaga kerja terkait dampak lingkungan sebesar 93%, 2) memperbaiki proses mutu internal terkait pengelolaan lingkungan sebesar 91%, 3) manfaat yang paling utama adalah sertifikasi SML dapat meningkatkan citra perusahaan sebesar 95%.

ABSTRACT
This thesis discusses about the design implementation of Environmental Management System (EMS) based on ISO 14001 for laboratory services sector . This research was conducted at the SUCOFINDO Central Laboratory which will apply EMS. The research approach is qualitative, conducted using survey methods, literature studies and field observations. This research is motivated by the lack of laboratory services sector in applying and getting the certificate of ISO 14001 EMS. Therefore it is necessary to establish proper design EMS in the laboratory. The design of EMS to be built in the SUCOFINDO Central Laboratory is considering input from the analysis constraints of application and employees understanding related benefits of EMS certification. The output of this research is the integration of design Ocuupational Safety and Health Management System (OHSMS) which has been applied first follow by the Environmental Management System (EMS) which will be planned in SUCOFINDO Central Laboratory, the design called Occupational, Safety, Health and Environment Management System (OHSEMS) . Another output from this research is the design of the monitoring program and strategic plan design application SMK3L based on ISO 14001 EMS.
Based on a survey employees of the SUCOFINDO Central Laboratory, the main obstacle of application EMS are 1) 59% due to lack of knowledge and experience in the handling of the environment, 2) 69% due to lack of training related to the EMS, 3) 64% due to problem in setting tasks and responsibilities of each employees. The employee understanding due to main benefits of EMS certification obtained 81 % agree that the implementation of EMS certification has many benefits. The employee understanding for the main benefits of the certification are 1) increasing level of assurance to the health and safety of workers related to environmental impacts by 93 %, 2) improve the internal quality processes related to environmental management by 91 %, 3) the most important benefits of EMS certification may enhance the image of the company by 95 %."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T39199
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Katili, Ekki Husein
"ABSTRAK
Pasal 19 UU No 4 Tahun 1982, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat berperan sebagai penunjang bagi pengelolaan lingkungan hidup.
Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa adalah salah satu lembaga swadaya masyarakat dalam pembangunan Desa atau Kelurahan, yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden R.I. Nomor 28 Tahun 1980. Dengan demikian wujud partisipasi masyarakat berupa prakarsa dan swadaya gotong royong harus dapat terhimpun dalam wadah LKMD.
Untuk pengaturan lebih lanjut mengenai Susunan Organisasi dan Tata Kerja LKMD, maka Menteri Dalam Negeri telah menerbitkan Surat Keputusan No 27 1984 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja LKMD dimana ditetapkan seksiseksi dalam struktur organisasi dan tata kerja LKMD, antara lain seksi Lingkungan Hidup dan seksi PKK.
Salah satu tugas pokok LKMD adalah membantu Pemerintah Desa atau Kelurahan dalam menggerakkan dan meningkatkan prakarsa dan partisipasi masyarakat untuk melaksanakan pembangunan secara terpadu, baik yang berasal dari kegiatan Pemerintah maupun swadaya gotong royong masyarakat serta menumbuhkan kondisi dinamis masyarakat.
Pembinaan Kesejahteraan Keluarga selain sebagai salah satu seksi dalam struktur organisasi dan tata kerja LKMD, adalah juga merupakan suatu Lembaga Swadaya Masyarakat yang aktif bergerak di wilayah Kelurahan, dan juga mengemban tugas pembinaan masyarakat di bidang lingkungan hidup di Kelurahan terutama pada kaum wanita. Keikutsertaan organisasi PKK dalam pengelolaan lingkungan hidup Kelurahan dapat disalurkan dan ditingkatkan melalui LKMD.
Selanjutnya dalam rangka Pembinaan Kesejahteraan Keluarga, telah diterbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No 28 Tahun 1984, tentang PKK sebagai penggerak serta pembina gerakan masyarakat dari bawah, terutama pada kaum ibu. Dari sepuluh program PKK salah satunya adalah Kelestarian Lingkungan Hidup, dan tugas-tugas pembinaannya mencakup antara lain:
a. Melakukan usahalkegiatan di bidang peningkatan kebersihan, keindahan, kesehatan dan penghijauan serta kelestarian lingkungan hidup.
b. Menanamkan rasa keindahan kepada masyarakat dengan Sara selalu memelihara rumah, kerapihan pagar, memelihara tanaman hias di halaman rumah.
c. Menanam tanaman-tanaman (membuat taman-taman) pada tempat-tempat yang memungkinkan.
Dari tugas-tugas itu secara implicit LKMD diharapkan ikut berperanserta dalam pengelolaan Ruang Terbuka HijaulPertamanan (RTH) di wilayah administratifnya.
Namun dalam kenyataannya peranserta LKMD dalam pengelolaan RTH/Pertamanan, khususnya di Kecamatan Grogol petamburan masih perlu ditingkatan.
Ruang Terbuka Hijau merupakan salah satu keperluan mutlak masyarakat kota; ini akan semakin terasa apabila pertumbuhan dan perkembangan kota semakin meningkat. Di lain pihak, pertumbuhan jumlah penduduk kota di DKI Jakarta akan menuntut lebih banyak lahan untuk perumahan, perkantoran, perdagangan, dan fasilitas umum lainnya, sementara lahan kota relatif tidak bertambah. Pertumbuhan kota yang sangat dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk yang sangat cepat menyebabkan timbulnya masalah dan manfaat di semua aspek ekonorni, social, dan fisik.
Hasil survai pendahuluan diperoleh informasi bahwa dari 50 buah RTH/Pertamanan yang ada di Kecamatan Grogol Petamburan terdapat 41 RTHIPertamanan yang beralih fungsi, sehingga RTH/Pertamanan (Taman Kota) itu sebahagian tidak lagi berfungsi sebagai taman kota melainkan sudah menjadi bangunan perkantoran, puskesmas, pemukiman liar, dan tempat beroperasinya pedagang kaki lima. Namun sesungguhnya peruntukan lahan sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh Suku Dinas Tata Kota Jakarta Barat ternyata tetap peruntukannya sebagai ruang terbuka hijau, sedangkan izin mendirikan bangunan tidak pernah dikeluarkan oleh Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota Jakarta Barat. Untuk mengatasi hal itu perlu ada upaya pengelolaan RTHlpertamanan yang mandiri dari mayarakat sekitarnya, sehingga RTH/Pertamanan dapat berfungsi kembali sebagaimana mestinya, baik dari segi estetika maupun dari segi fungsi RTH itu sendiri. Di samping sebagai mekanisme pengawasan dan pengendalian terhadap penggunaan lahan dari praktek-praktek okupasi informal.
Berdasarkan keadaan itu, maka penelitian terhadap peranan LKMD dalam pengelolaan RTH/Pertamanan di Kecamatan Grogol Petamburan menarik untuk dilakukan.
Dalam konteks Pembangunan Nasional, Pembangunan Daerah di tingkat Kelurahan mengharapkan partisipasi masyarakat secara optimal, khususnya dalam melaksanakan 10 program PKK, yang salah satu di antaranya adalah Pembangunan prasarana dan lingkungan hidup.
Peranserta masyarakat itu diharapkan dapat ditampung dalarn suatu wadah yang dibina oleh Pemerintah yaitu LKMD. Kemudian dalam UU No 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 5 menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak atas lingkungan yang baik dan sehat serta bahwa setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemarannya. Selanjutnya dalam .pasal 19 menyebutkan bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat adalah sebagai penunjang bagi pengelolaan lingkungan hidup. Di sisi lain, kenyataan dalam masyarakat menunjukkan bahwa upaya pembangunan prasarana dan lingkungan hidup kota, terutama pengelolaan RTH/Pertamanan berubah dari fungsi semula.
Selain dari itu peranan LKMD dalam pengelolaan RTH/Pertamanan masih perlu ditingkatkan, karena pada prakteknya selama ini RTH/Pertamanan kurang mendapatkan perhatian dari LKMD, sehingga banyak RTHlpertamanan yang beralih fungsi.
Berdasarkan masalah tersebut, maka persoalan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Seberapa jauh peranan LKMD dalam pengelolaan RTH/Pertamanan di Kecamatan Grogol Petamburan
b. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi partisipasi LKMD dalam pengelolaan RTHIPertamanan di Kecamatan Grogol Petamburan
Keberadaan LKMD di tengah masyarakat pada dasarnya diharapkan dapat berfungsi sebagai salah satu sarana yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk membantu pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah di tingkat desa/kelurahan. Dleh karena itu dalam upaya pembangunan dan pengelolaan Ruang Terbuka Hijau, keterlibatan LKMD diharapkan dapat meningkat aktif.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa bila dilihat dari aktifitas LKMD selama ini, ternyata bahwa LKMD masih belum aktif melaksanakan program-program yang telah digariskan dalam Keputusan Presiden No 28 Tahun 1980. Dalam hal ini pengelolaan RTH/Pertamanan menemui hambatan-hambatan. Akan tetapi kondisi ini dapat ditingkatkan bila pengelolaan RTH dapat dilakukan bersama-sama dengan instansillembaga lainnya, seperti misalnya kerja sama antara Lembaga Swadaya Masyarakat, Karang Taruna, atau instansi Pemerintah yang terkait dengan RTH. Tingkat Pengetahuan responden terhadap peran LKMD dalam rangka pengelolaan RTHIPertamanan, pada pengumpulan data lapangan yang dilakukan di Kecamatan Grogol Petamburan menunjukkan hanya sebahagian kecil responden yang menjawab bahwa LKMD pernah mengadakan penyuluhan mengenai RTH/pertamanan. Terhadap kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh LKMD mengenai Jalur Hijau hanya 26 responden yang menyatakan LKMD pernah mengadakan penyuluhan dan 85 responden menyatakan bahwa LKMD tidak pernah mengadakan penyuluhan. Sedangkan untuk kegiatan LKMD lainnya, yaitu kerja bakti untuk membersihkan taman, dari 159 responden yang menjawab pernah dilakukan oleh LKMD hanya 68 responden, dan 53 responden menjawab pernah dilakukan kerja bakti membersihkan Jalur Hijau oleh LKMD. Dalam kaitan dengan aktifitas dari LKMD itu, hasil wawancara mendaiam dengan Kepala kelurahan dari Kelurahan Grogol, Kelurahan Tomang, Kelurahan Wijayakusurna, Kelurahan Jelarnbar, dan Kelurahan Tanjung Duren juga diperoleh gambaran yang sama, yaitu bahwa keberadaan LKMD di tengah masyarakat belumlah berjalan sesuai dengan fungsi yang telah digariskan dalam peraturan dan juga bahwa masyarakat sebahagian besar belum mengetahui fungsi dari LKMD yang sebenarnya.
Harapan bahwa pengelolaan RTH akan dapat dilakukan oleh LKMD dengan demikian dapat menemui hambatan-hambatan, karena dari pengumpulan data Iapangan dan basil wawancara diperoleh gambaran bahwa LKMD belum berperan aktif terhadap pembangunan-pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, terutama apabila dikaitkan dengan pengelolaan RTH.
Hambatan-hambatan itu terutama disebabkan karena beberapa faktor, yaitu:
1. Status keanggotaannya pada LKMD bukanlah pekerjaan utama dari anggota pengurus; sebahagian besar responden memiliki pekerjaan utama seperti misalnya: pegawai negeri, ABRI, pegawai swasta, wiraswasta, dan pekerjaan lainnya.
2. Pengetahuan anggota masyarakat mengenai LKMD masih sangat terbatas.
3. Kurang tepatnya penunjukkan kepengurusan LKMD, dapat menyebabkan program LKMD tidak berjalan sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam peraturan.
4. Secara hierarkhis, keberadaan LKMD hanyalah sebagai lembaga sosial pada tingkat kelurahanldesa, sehingga apabila ada pembangunan yang dilakukan oleh instansi yang lebih tinggi yang tidak sesuai dengan program LKMD, maka LKMD tidak punya wewenang untuk mengoreksi.
5. Masyarakat merasa keberatan apabila pengelolaan RTH/Pertamanan dilakukan oleh LKMD, apabila dana untuk pengelolaan RTH nantinya dibebankan kepada masyarakat, sebagai refleksi partisipasi.
Selain faktor yang dapat menghambat peranserta LKMD, keberadaan LKMD di tengah masyarakat juga dapat menunjang keberhasilan pengelolaan RTH.
Faktor-faktor yang dapat menunjang peran serta LKMD dalam pengelolaan RTH/Pertamanan adalah masih kuatnya rasa gotong royong masyarakat dan juga masyarakat menyadari akan pentingnya keberadaan RTH di tengah-tengah lingkungan tempat tinggal masyarakat. Kenyataan ini dapat dilihat dari tanggapan responden tentang apabila ada pihak-pihak tertentu yang ingin menggunakan RTH untuk mebangun bangunan lain selain peruntukan RTH, masyarakat berkeberatan, dan melaporkan kepada pihak Pemerintah Daerah. Di samping itu masyarakat setuju sekali dengan keinginan Pemerintah Daerah untuk menatalmemulihkan kembali RTH yang telah berubah fungsi sehingga dapat dikembalikan pada fungsi semula."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Wenas
"Paksaan pemerintah merupakan sanksi administratif dalam kasus lingkungan yang paling banyak digunakan di Indonesia. Terlepas banyaknya perubahan pengaturan lingkungan melalui UU Cipta Kerja, paksaan pemerintah ternyata masih berlaku di Indonesia. Tetapi bila pengaturan dan konsepnya dari awal sudah tidak tepat, hal ini berarti pemerintah layaknya menggunakan pisau yang tumpul untuk menyelesaikan pelanggaran lingkungan hidup. Penelitian ini berusaha untuk mengungkap konsep dan pengaturan, pelaksanaan hingga memberikan solusi permasalahan dari paksaan pemerintah di Indonesia. Hal ini dilakukan dengan penelitian yuridis-normatif dan analisis kualitatif terhadap berbagai jenis data. Data penelitian yang diperoleh berasal dari data sekunder, seperti peraturan maupun literatur jurnal atau buku. Selain itu, penelitian ini juga diperkuat dengan data lapangan melalui putusan maupun surat keputusan, serta wawancara dengan pihak KLHK. Hasil penelitian ini menemukan bahwa pemerintah selama ini keliru mengerti dan menerapkan paksaan pemerintah. Konsep yang ada tidak tepat, seperti tindakan hukum belaka yang diperintahkan kepada pihak pelanggar. Pengaturannya juga tidak jelas dan tidak konsisten, seperti kapan paksaan pemerintah dapat diterapkan. Penerapan oleh pemerintah pusat juga bisa berbeda dengan pemerintah daerah. Belum lagi pemerintah keliru mengerti denda keterlambatan, uang paksa maupun eskalasi sanksi paksaan pemerintah. Terhadap berbagai permasalahan ini, pemerintah secara konseptual harus menggunakan tindakan nyata maupun mengubah payung hukum dan instrumen yang ada. Penyamarataan dan penegasan penerapan paksaan pemerintah antara pemerintah pusat dan daerah juga penting untuk memperbaiki dan memperkuat penegakan hukum lingkungan hidup kedepannya di Indonesia.

In Indonesia, administrative coercion is the first choice by governments when dealing with environmental offences. Despite huge amendments of environmental regulations through the Job Creation Act (UU Cipta Kerja) in 2020, administrative coercion itself remained unchanged. However, if the concepts and regulations are already flawed to begin with, that means the government is metaphorically sending someone on a fool’s errand to solve environmental enforcement. This research will try to provide answers to the real concepts and regulations, implementations and solutions for the problems facing administrative coercion in Indonesia. This will be done though normative-legal research and qualitative analysis on a variety of data. The data will be secondary sources derived from current regulations, journal and texts. Additionally, this research will also be adding interview with the officials as well as rulings and administrative decision to strengthen the results. This research found that the government misunderstood and implemented an incorrect form of administrative coercion. The concepts were false, such as mere orders given to offenders assumed as concrete actions. The regulations were also faulty as it is unclear and inconsistent such as parameters of when administrative coercions should be implemented. Implementation between regional and central government varies, and there are misconceptions regarding ‘daily fine’ and other related instruments. The government conceptually, need to implement concrete actions and amend the current rules and regulations. Moreover, equal and bold implementation between the central and regional government will be the key in improving and strengthening future enforcement for a better environmental management in Indonesia. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martono Thomas
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S26329
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Supriadin
"Salah satu upaya untuk mencegah dan mengurangi pencemaran yang disebabkan ofeh aktivitas perkantoran adalah dengan menerapkan manajemen lingkungan dari ISO 14000 di lingkungan perkantoran melalui program eco-office atau green office. Eco-office adalah salah satu upaya yang efektif untuk rnewujudkan efisiensi penggunaan sumberdaya sekaligus menjadikan komunitas ramah lingkungan. Ecaoffce sebagaimana sifat dari suatu standar ini bersifat umum sehingga dapat diterapkan di berbagai jenis perkantoran seperti kantor pemerintahan pusat maupun daerah, swasta, publik atau privat, kantor besar dengan jumlah karyawan yang banyak maupun kantor kecil dengan karyawan beberapa orang saja.
Tujuan dari penelitian ini, pertama adalah mendapatkan baseline data mengenai faktor-faktor penerapan Program eco-office seperti konsumsi energi, konsumsi air bersih, pengadaan barang, penggunaan kertas/stationery, upaya pengurangan timbulan sampah dan pengolahannya, dan penggunaan kendaraan. Data tersebut akan digunakan menjajaki kemungkinan penerapan eco-office di lingkungan kantor pemerintahan. Kedua adalah untuk mengkaji penerapan era-office di kantor yang menentukan kebijakan lingkungan dibandingkan kantor yang bukan penentu kebijakan lingkungan. Untuk studi kasus dipilih Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal. Hipotesis penelitian yang diajukan adalah 1) Jika konsep eco-office dapat diterapkan di setiap perkantoran di Indonesia, maka dapat menghemat penggunaan energi dan air, dan jumlah sampah yang dihasilkan dapat direduksi; 2) Kantor penentu kebijakan lingkungan akan lebih banyak menerapkan aspek eco-office dibandingkan dengan kantor yang bukan penentu kebijakan lingkungan.
kWh/orang/bulan. Konsumsi listrik di KPDT rata-rata pada dari bulan Pebruari-Desember 2004 adalah 76036,4 kWh perbulannya dan rata-rata perorang tiap bulannya adalah 337,94 kWh/orang/bulan; 3) Pengadaan Barang: Pengadaan barang di KLH dan KPDT yang dipenuhi oleh Bagian Kerumahtanggaan hanya bersifat pengadaan rutin sedangkan untuk kebutuhan suatu proyek tertentu dipenuhi masing-masing; 4) Konsumsi Kertas: Konsumsi kertas perorang tidak dapat diketahui karena tidak ada informasi yang jelas jumlah pengadaannya, karena tersebar di tiap-tiap unit kerja berdasarkan kebutuhan nyata/proyek. Pegawai di kedua kantor rata-rata terlibat aktif dalam pengurangan jumlah sampah kertas. Manajemen penggunaan kertas lebih banyak menggunakan prinsip reuse, 5) Timbulan Sampah dan Pengelolaannya: Rata-rata timbulan sampah perhari 972,6 Titer/hari di KLH dan 165,4 liter/hari di KPDT. Jadi rata-rata tiap prang menghasilkan sampah 1,273 liter/prang/had di KLH dan 0,735 liter/orang/hari di KPDT. Sosialisasi pemilahan sampah pemah ada di KLH dan fasilitas tempat sampah berdasarkan jenisnya juga tersedia, akan tetapi belum berjalan semestinya. Sudah tersedia fasilitas pengomposan dan program pengomposan. Di KPDT belum ada sosialisasi tersebut dan fasilitas tempat sampahnya masih disatukan; 6) Penggunaan Kendaraan: KLH mempunyai kebijakan pengujian emisi kendaraan pegawainya, sedangkan di KPDT belum ada; 7) Persepsi Pegawai: Pegawai di masing-masing kantor memberikan respon dan persepsi yang baik pada konsep eco-office.
Kesimpulan dari studi kasus ini yaltu: 1) Kebijakan lingkungan yang secara khusus dikeluarkan berkenaan dengan pelaksanaan eco-office belum ada, balk di KLH maupun di KPDT. Di KLH kebijakan iingkungan mengenai eco-office ini bare dirumuskan dan masih dalam tatanan konsep yang akan segera diformulasikan menjaadi suatu kebijakan 2) Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa KLH sebagai institusi penentu kebijakan lingkungan hidup mempunyai kelebihan dari KPDT dalam beberapa aspek eco-office yaitu kebijakan pengelolaan lingkungan kantor, jumlah pemakaian air bersih dan listrik, pengelolaan sampah, program uji emisi kendaraan.
Saran-saran: 1) Pembuat kebijakan di tiap kantor dapat segera menerapkan program eco-office sebagai upaya kesadaran terhadap lingkungannya dengan prioritas pada konservasi energi dan air bersih serta reduksi timbulan sampah perkantoran. Konsep SML pada ISO 14001 dapat menjadi rujukan untuk pengembangan yang berkelanjutan; 2) Penyediaan fasilitas tempat sampah yang memadai dan terdistribusi secara merata berdasarkan jenisnya disertai dengan pelabelan yang jelas, sosialisasi yang baik serta pengawasannya yang kontinyu; 3) Penyediaan tempat sampah khusus untuk kertas (paper bin) di setiap sumber penghasilnya seperti dekat mesin fotokopi dan printer; 4) Berkenaan dengan penghematan energi maka perlu diupayakan pengaturan waktu penggunaan elevator/lift pada jam jam tertentu untuk menghemat penggunaan energi listrik, penyetelan mode stand by pada tiap komputer, mematikan listrik di ruangan pada saat istirahat atau tidak ada prang, reformulasi arsitektural dengan mempertimbangkan kelimpahan energi terbaharukan dan konsep green building, 5) Menurut pengamatan visual maka terjadi ketidakefisienan dari pemakaian AC yang disebabkan oleh sistem penyekatan ruangan. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan sistem penyekatan ruangan dengan mempertimbangkan hal tersebut; 6) Untuk mengurangi jumlah sampah, maka penggunaan kertas perlu menjadi perhatian khusus tenatama dengan membudayakan penggunaan double sided dan paradigma 3R dengan mengutamakan tahapan reduce, reuse dan recycle. Dengan dihubungkan saran ke-3 maka pengefolaan sampah kertas terpisah dari sampah Iainnya. Untuk keperiuan makan-minum pada saat ada kegiatan seminar, sidang, rapat, daan lain-lain disediakan dengan sistem perasmanan; 7) Penerapan eco-office menyentuh masalah teknis dan pengelolaan melalui Sistem Manajemen Lingkungan maka berkenaan dengan INPRES No.5 Tahun 2005 tentang Penghematan Energi sebaiknya pemerintah menerapkan secara komprehensif dengan mendukung terciptanya eco-oft ceaeco-project-eco-city.

The implementation of environment management from ISO 14000 through eco-office or green office will be one of pollution prevention and reduction effort in office activities. Eco-Office is an effective effort to establish resources efficiency and environmentally communities. Eco-Office can implement in various office activities including central and regional government office, private sector office as well as big and small office.
The objective of research are as follow, first, to collect data baseline in regard to eco-office implementation factor e.g. energy and clean water consumption, material supplying use of paper/stationery, waste and its handling and, vehicle use. The data will be use for possibility of implementation of eco-office program in government offices. Second, to investigate eco-office implementation in office that issued environmental regulatory compared to another office. The State Ministry of Environment (KLH) and The State Ministry of Less Developed Region (KPDT) have been chosen for this case study. The purpose of research hypothesis are 1) if concept of eco-office is applied to office in Indonesia, energy and clean water consumption can be minimized and reduction of waste generation; 2) the office that issued environmental regulatory should be applied better eco-office aspects rather than another office.
The results of research from each office show that 1) water consumption: average KLH's water consumption in 2004 is 1818,83 m3 per month or 2,3807 m3/person, whereas the average of clean water consumption in KPDT from June 2004 to March 2005 is 1962,3 m3 per month or 8,7213 m3/person; 2) energy consumption: average KLH's electrical consumption in 2004 is 167200 kWh per month or 218,85 liter/person in KPDT. Publication of waste separation has been applied in KLH and waste disposal facilities are also available for each type of waste, however this program didn't work properly. Composting facility and its program has been established. Whereas in KPDT both of them were not applied yet; 6) vehicle use: transportation emission test has been implemented for employing KLH, however it is not done in KPDT; 7) employees perception: employees in both of offices have given a positive response and good perception to eco-office concept.
The conclusion of this case study are as follow 1) especially in KLH or KPDT there ware no regulation of eco-office which implemented. But in KLH, they will establish the concept of eco-office to regulation 2) based on study it known that KLH was better efforts than KPDT in eco-office aspect e.g. regulatory of office environment, clean water and electric consumption, waste management, test of vehicle emission.
Recommendations: 1) the policy authorized in each could be immediately implemented eco-office program as environmental effort awareness which conservation of water and energy, and waste minimize. EMS in ISO 14001 can be referenced to sustain development; 2) the facilities of waste disposal should be in good manner, distributed properly for its types of waste, and a clearly label, a good publication and monitoring; 3) specific waste disposal for paper is provided near to the source e.g. photocopier machine and printer; 4) management of elevator/lift use at certain time, establish stand by mode in all computers, turn off the lighting of room in rest time or if no one, architecture reformulation to use renewable energy and green building concept for electrics energy efficiency; 5) Visually, there are inefficiency of AC system caused by room partitioning system, thus it is necessary to modify the system; 6) reduction of waste amount that produced from food accomplishment at the seminar activity, conference, meeting of group, and others are provided by "prasmanan" and separately handling for waste paper, double sided printing, and implement the 3R principle; 7) implementation of eco-office is improved technically and its management from EMS aspects. Therefore the INPRES No. 5 of 2005 regarding Energy Efficiency should be comprehensively implemented by fully support ecooffice-ecoproject eco-city.
"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15048
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manulang, Yosua Parhorasan
"Instagram merupakan sebuah platform media sosial popular dengan banyak fitur telah menjadi media pemasaran yang penting khususnya untuk hotel. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menjelaskan perilaku konsumen terhadap pemasaran melalui Instagram termasuk faktor dan pengaruhnya. Penelitian ini menggunakan model integrasi antara pemasaran dan psikologi sosial pada Instagram. Data dikumpulkan melalui survey online dimana responden diminta untuk mengunjungi Instagram Hotel dan kemudian menyelesaikan survey. Structural Equation Model (SEM) digunakan untuk menguji model penelitian. Hasil dari penelitian ini adalah Compliance sebagai bagian dari psikologi sosial bukan merupakan faktor untuk menjelaskan sikap terhadap Instagram Hotel. Identification dan Internalization menjadi faktor yang dapat mempengaruhi sikap terhadap Instagram Hotel. Intensi untuk melakukan pemesanan hotel dan intensi untuk menyebarkan e-WOM merupakan hasil dari pemasaran pada Instagram. Penelitian ini merupakan panduan bagi hotel untuk menciptakan strategi marketing melalui Instagram dengan menciptakan nilai bagi konsumen daripada memberikan reward sehingga akan muncul intensi untuk melakukan pemesanan hotel dan intensi menyebarkan e-WOM sebagai hasil dari pemasaran. Penelitian ini diharapkan berkontribusi menjadi literatur tentang efektifitas pemasaran melalui Instagram di Industri perhotelan.

Instagram, a popular global mobile photo and video sharing platform with variety of features has become an important marketing tools especially for hotel. These paper aim to examine the consumer behavior model toward marketing on Instagram including factors and impact. This study expressed the integrated model between marketing and social psychology theories through Instagram Hotel. Data have been collected via a structural online survey which respondent expected to visit the live Instagram Hotel then fill out the survey. Structural equation model (SEM) has been used to test the model. The result of this study is Compliance as a part of social psychology hasnt strong affected for attitude toward Instagram rather than Identification and Internalization. On the other side, Hotel Booking Intention and Intention of e-WOM is impact from marketing. This study provided guidelines for hotel marketers to create marketing strategy through Instagram with considering how to create value for customer rather than impress customer with giving reward. Intention to purchase and e-WOM are impact of marketing definitely, however it would be starting with strategic approach that is by creating interactive ways (attractive photos and videos) by utilizing variety of Instagram features. The study contributes to become knowledge about Instagram marketing effectiveness in hospitality industry."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arya Hadi Dharmawan
Bogor: Pusat Studi Pembangunan-LPPM IPB bekerja sama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia UNDP, 2005
363.7 PEM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>